1. Bagaimana proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild ?
2. Bagaimana proses pembentukan dan penentuan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam :
1. Proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild.
2. Proses pembentukan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Media Massa
Media massa merupakan kependekan dari istilah media komunikasi massa, yang secara sederhana dapat memberikan pengertian sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan serentak kepada khalayak banyak yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai tempat (Effendy, 1993; Wright, 1988).
Media massa sering dibedakan menjadi media massa tampak (visual), dan media massa berbentuk dengar (audio), dan media massa berbentuk gabungan tampak dengan dengar (audio-visual). Media massa berbentuk tampak umumnya dikerjakan dengan
mesin cetak, maka disebut sebagai media massa cetak atau media cetak. Media cetak meliputi surat kabar, brosur, selebaran, majalah, buletin, tabloid, dan buku. Media massa berbentuk dengar (audio) meliputi semua alat mekanis yang menghasilkan lambang suara termasuk musik, seperti radio dan kaset. Media massa berbentuk gabungan tampak dan dengar (audio-visual) meliputi televisi, kaset musik video dan film. Radio, televisi, dan film pada dasarnya bekerja dengan elektronik sehingga disebut media elektronik (Wright, 1988; Effendy, 1993; Straubhaar and LaRose, 2006).
Media massa memiliki karakter berbeda satu sama lain, dengan kelebihan dan kekurangannya. Misalnya karakter televisi berbeda dengan radio, surat kabar, sebagai media konvensional. Sementara saat ini dalam era globalisasi lompatan dan kemajuan teknologi tidak diduga demikian cepatnya. Misalnya komputer menghasilkan medium internet yang dianggap sebagai medium interaktif dengan sebutan blog (weblog) dan vlog (videolog) (Straubhaar and LaRose, 2006). Selain itu, teknologi seluler sudah berkembang tak kalah cepatnya misalnya dengan adanya fasilitas sms dan video streaming.
Media atau dalam istilah bahasa Inggris disebut Channel adalah alat atau cara di mana pesan disampaikan dari komunikator ke komunikan (Infante et al. 1993). Masih menurut Infante et al. (1993) bahwa Berlo dalam model Source, Message, Channel dan Receiver (SMCR) menempatkan lima panca indera manusia sebagai media (channel). Bahkan Mcluhan dalam Littlejohn (1989) mengatakan bahwa media adalah pesan itu sendiri.
Media massa, menurut McQuail (1989) memiliki peran mediasi (penengah/penghubung) antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi. Sedangkan menurut Littlejohn (1989), media are organizations that distribute culture products or messages that affect and reflect the culture of society. Media massa juga memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi khalayaknya, di mana media massa menyalurkan produk atau pesan budaya sebagai refleksi budaya masyarakatnya.
Dalam dunia periklanan terkini, Kasali (1992) dan Stout dalam Straubhhar and LaRose (2006) membedakan media ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu :
a. Media lini atas terdiri dari iklan-iklan yang dimuat dalam media cetak, media elektronik (radio, televisi dan bioskop), serta media luar ruang (papan reklame dan angkutan).
b. Media lini bawah terdiri dari seluruh media selain media di atas, seperti direct mail, pameran, point of sale display material, kalender, agenda, gantungan kunci atau tanda mata.
c. Media interaktif, yaitu internet.
Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006), pengiklan melalui pencipta iklan dalam memilih media untuk beriklan berdasarkan pada apa yang ingin dicapai, jenis pesan atau informasi yang ingin dikomunikasikan dan biaya yang dikeluarkan. Pengiklan berusaha mencapai sejumlah besar khalayak dengan biaya sedikit mungkin. Biaya untuk penggunaan media bergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran khalayak, komposisi khalayak (umur, penghasilan, pendidikan, dan sebagainya), dan prestise dari media itu sendiri.
2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa
Jenis media yang dipakai dalam berkomunikasi dapat mempengaruhi persepsi dan daya serap pesan bagi penerima. Misalnya televisi memiliki karakteristik yang sarat dengan teknologi audio dan visual. Pada saat menonton acara televisi, secara disadari atau tidak, digunakan kelima panca indera (melihat, mendengar, menyentuh, membaui dan merasa) secara bersamaan.
Dalam konteks mediasi media massa, McQuail (1989) menganggap televisi sebagai medium yang mampu menyajikan realitas seolah-olah nyata, padahal semu bagi pemirsa di ruang-ruang keluarga. Peran televisi seperti ini disebut dengan istilah pseudo reality. Selain itu, karena kemampuan audiovisual yang menarik perhatian individu, maka siaran televisi mampu menjangkau khalayak yang lebih banyak dibandingkan media massa lainnya. Televisi juga berfungsi sebagai pendistribusi bahkan memediasi realitas sosial dengan pengalaman khalayaknya berupa produk atau pesan-pesan budaya yang sebenarnya merefleksikan budaya masyarakat itu sendiri. Selain itu, televisi berfungsi untuk menyebarkan informasi, baik informatif maupun sosial, bahkan sebagai sumber inspirasi tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengambil keputusan.
Hal ini sejalan dengan paradigma media massa yang menyatakan bahwa media massa berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), dalam memberikan informasi, motivasi dan menggerakkan masyarakat, agar tidak hanya mengerti arti pembangunan, namun juga mendukung dan berpartisipasi dalam proses pembangunan
yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, televisi hampir tidak memperoleh tandingan, antara lain karena efektivitas penyebarannya, pesona gambar dan suaranya serta kemampuan komunikatif yang sempurna (Wright, 1988; McQuail, 1989; Effendy, 1993).
2.2.1 Format Siaran Televisi
Televisi merupakan media massa yang memadu audio sebagai segi penyiaran suaranya dan visual sebagai segi gambar bergeraknya (moving images). Luasnya masyarakat yang dapat dijangkau oleh televisi kadang-kadang dapat menyebabkan penyiaran bersifat umum dan menjemukan. Oleh karena itu segmentasi pasar sebuah stasiun terbagi-bagi menurut rubrik yang disiarkan. Pemirsa terbagi-bagi pada berbagai jenis rubrik yang disukai yang dikaitkan dengan jam siarannya. Misalnya, acara film anak-anak pada pagi dan petang hari menjangkau khalayak anak-anak. Acara memasak, keluarga, film drama dan senam menjangkau ibu-ibu rumah tangga. Acara diskusi pasar modal, siaran berita, serta film-film detektif menjangkau para pria berpendidikan (Kasali, 1992).
Format siaran televisi telah dibuat sedemikian rupa seperti format siaran radio yang membedakan pemirsa satu stasiun dengan pemirsa stasiun lainnya. Misalnya, ada stasiun yang sepanjang hari hanya menyiarkan berita tanpa diselingi oleh film-film cerita, ada yang siarannya sepanjang hari didominasi bermacam-macam kuis, dan ada pula yang hanya film cerita saja atau siaran olah raga. Masing-masing format siaran yang spesifik ini sangat membantu pengiklan dalam melakukan kampanye iklan (Kasali, 1992).
2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi
Kasali (1992) menguraikan kekuatan dan kelemahan televisi sebagai medium iklan sebagai berikut :
a. Kekuatan Televisi
1) Efisiensi biaya. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur. Televisi menjangkau khalayak sasaran yang dapat dicapai oleh media lainnya, tetapi juga khalayak yang tidak terjangkau oleh media cetak. Jangkauan massal ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala.
2) Dampak kuat. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera, seperti penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama dan humor.
3) Pengaruh kuat. Televisi mempunyai kemampuan kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih ”percaya” pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali yang merupakan cerminan bonafiditas pengiklan.
b. Kelemahan Televisi
1) Biaya besar. Kelemahan yang paling serius dalam beriklan di televisi adalah biaya absolut yang sangat ekstrem untuk memproduksi dan menyiarkan siaran komersial. Sekalipun biaya untuk menjangkau setiap kepala adalah rendah, biaya absolut dapat membatasi niat pengiklan. Biaya produksi, termasuk biaya pembuatan film dan honorarium artis yang terlibat, dapat menghabiskan jutaan rupiah. Belum lagi penyiarannya yang harus diulang-ulang pada jam-jam siaran utama.
2) Khalayak tidak selektif. Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap sebuah media yang tidak selektif, karena segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah. Jadi, iklan-iklan yang disiarkan di televisi memiliki kemungkinan menjangkau pasar tidak tepat.
3) Kesulitan teknis. Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam siarannya.
2.3 Komunikasi Pemasaran
Untuk memenangkan persaingan bisnis yang semakin ketat, pada tahun 90-an mulai diperkenalkan konsep yang memadukan strategi komunikasi dan pemasaran, sehingga memunculkan istilah komunikasi pemasaran. Harris (1991) memunculkan istilah marketing public relations (MPR). Jefkins (1988) menyebutnya marketing communication. Kasali (1992) menegaskan bahwa perpaduan konsep tersebut disebut
sebagai bauran komunikasi pemasaran (marketing communication mix). Sedangkan Temporal (2001) dan Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) sepakat dengan istilah komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication).
Pada dasarnya istilah bagi konsep komunikasi pemasaran berlandaskan pada dua konsep, yaitu komunikasi dan pemasaran. Strategi komunikasi menekankan pada pengelolaan komunikasi yang bersifat informatif dan persuasif serta kesan-kesan konsumen terhadap perusahaan dan produknya (Harris, 1991). Menurut Rachmadi (1992) komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang dapat dipercaya untuk menciptakan kemauan baik. Sementara strategi pemasaran menurut Harris (1991) menekankan pada upaya merangsang pembelian dan kepuasan konsumen. Jefkins (2004) menyatakan bahwa kegiatan pemasaran merupakan proses manajemen yang bertanggung jawab mengenali, mengantisipasi dan memuaskan keinginan atau kebutuhan konsumen demi meraih laba.
Jefkins (1988) menyebutkan komunikasi pemasaran aims at creating a favorable marketing situation in advance of selling, distribution, advertising and sales promotion. Menurut Temporal (2001) untuk pembangunan suatu merek diperlukan komunikasi yang bersifat strategis dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek, yaitu strategi komunikasi pemasaran terpadu. Suatu strategi komunikasi total merupakan strategi yang sangat penting dalam pembangunan merek, karena strategi ini menentukan keefektivan penciptaan citra. Komunikasi-komunikasi mengutarakan janji merek tersebut yang akan dialami oleh para konsumen. Nada dan gaya komunikasi mencerminkan kepribadian merek dan pemilihan media mempengaruhi penetrasi segmennya. Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) integrated marketing communication assures that the use of all commercial media and messages is clear, consistent, and achieves impact.
Jadi dapat dikatakan bahwa komunikasi pemasaran merupakan suatu strategi dalam membangun produk atau merek dengan cara mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek melalui upaya penciptaan situasi pemasaran yang menyenangkan melalui periklanan maupun bentuk promosi penjualan lainnya yang bersifat informatif, persuasif, jelas dan konsisten. Dalam penelitian ini difokuskan pada komunikasi pemasaran melalui periklanan.
Pengertian periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar dan biasanya bersifat persuasif. Meskipun tujuan periklanan selalu untuk menginformasikan dan membujuk, namun periklanan juga mengalami perubahan yang dramatis sebagai suatu bentuk komunikasi (Stout dalam Straubhar and LaRose, 2006). Sedangkan Kasali (1992) mengungkapkan pengertian periklanan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan. Sebagai suatu tujuan, Jefkins (1996) mengatakan advertising aims to persuade people to buy.
Dalam dunia industri periklanan terdapat tiga pelaku periklanan yang disebut sebagai hubungan tripartit, yaitu pengiklan, pencipta iklan (biro iklan), dan pihak media. Proses periklanan berlangsung sejak pengiklan membayar komisi kepada biro iklan untuk menciptakan iklan, kemudian mengawasi pekerjaannya. Biro iklan membantu pengiklan dalam menciptakan iklan, mengembangkan kreasi dan membeli ruang dan atau waktu di media, kemudian menempatkan iklan berdasarkan pada data rating. Pihak media membantu menyediakan ruang dan atau waktunya untuk digunakan oleh pengiklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).
Lembaga pengawas yang terdiri dari pemerintah dan para pesaing berinteraksi atau bahkan mempengaruhi aktivitas pengambilan keputusan pengiklan dengan berbagai cara. Pemerintah berkepentingan dalam memberi rambu-rambu dalam bentuk peraturan pemerintah seperti norma-norma kesusilaan, kesehatan, ataupun keselamatan penggunaan. Sedangkan para pesaing memegang peranan langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi gerakan pengiklan. Apa yang dilakukan pesaing biasanya tercermin dalam kampanye-kampanye periklanan yang dilakukannya dan akan dipantau terus-menerus (Kasali 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Model proses periklanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Proses Periklanan (diadaptasi dari Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006)
Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa advertising must communicate important information about product (such as price, features, channel of distribution, and the like), but it also requires a creative way of stating these facts that cuts through the clutter of competing advertisements and gets attention of consumers. All messages have an informational dimension and an emotional dimension. Because advertising has to get the attention of audience members who are usually not interested in the message, how the message is conveyed is just as important as what is said. Advertising is as a form of communication in terms of both its style and its content, and the continuity of theme. Advertiser and advertising agency integrate symbols of popular culture. Ultimately, advertising turns out to be a reflection of social and culture norms due to a tendency of communicate in the language of the familiar.
Periklanan dapat dikatakan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian periklanan dari suatu produk atau merek melalui media massa yang dibayar dengan tujuan menginformasikan dan membujuk orang untuk membeli. Proses periklanan suatu produk atau merek melibatkan hubungan tiga (3) pihak, yaitu pengiklan, pencipta iklan, dan pihak media. Pencipta iklan, berdasarkan informasi produk atau merek dari pengiklan, mengintegrasikan pesan dalam periklanan berupa simbol budaya popular dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Di sisi lain, pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengawas, sedangkan pesaing berkontribusi dalam mempengaruhi pengiklan dalam pengambilan keputusan. 2.4.1 Pengiklan
Pengiklan Pencipta
Iklan
Media
Khakayak
Komisi Pembelian media
Iklan
Rating
Jalur dari media Pembelian oleh
konsumen Review
Pengiklan merupakan penggagas awal dalam suatu proses komunikasi pemasaran melalui periklanan. Kasali (1992) mengatakan bahwa pengiklan adalah inti dari sistem manajemen periklanan yang memfokuskan perhatian pada analisa, perencanaan, pengendalian dan aktivitas pengambilan keputusan. Pengiklan melakukan seluruh pengarahan manajerial dan dukungan anggaran untuk mengembangkan program periklanan perusahaan atau lembaga bersangkutan. Sewaktu membuat iklan, pengiklan harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian perusahaan.
Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa dalam penciptaan pesan periklanan pada dasarnya tidak dilakukan oleh pengiklan. Pengiklan mendelegasikan penciptaan pesan periklanannya kepada pencipta iklan (advertising agency). Pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya, sedangkan perencanaan dan pelaksanaan kampanye periklanan dilakukan oleh pencipta iklan yang ditunjuknya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya, makanya waktu membuat iklan, pengiklan harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian perusahaan.
2.4.2 Produk
Produk menurut Stanton dalam Alma (2004) adalah seperangkat atribut baik berwujud maupun tidak berwujud termasuk di dalamnya masalah warna, harga, nama baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer) dan pelayanan pabrik serta pelayanan pengecer, yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya. Kotler and Roberto (1989) mengatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan di pasar, untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk terdiri atas barang, jasa, pengalaman, events, orang, tempat, kepemilikan, organisasi, informasi dan ide.
Kategori produk lain disebut Kotler and Roberto (1989) sebagai produk sosial. Menurutnya produk sosial terdiri dari ide (idea), praktek sosial (practice) dan produk nyata (tangible object). Tipe ide terdiri dari (a) kepercayaan (belief) merupakan suatu persepsi mengenai sesuatu hal yang faktual; kepercayaan juga meliputi evaluasi, (b)
sikap (attitude) merupakan evaluasi positif atau negatif mengenai orang, obyek, ide atau peristiwa, (c) nilai (value) merupakan keseluruhan ide mengenai apa yang benar dan salah. Produk bertipe praktek sosial, yaitu tindakan (act) dan perilaku (behavior) yang mungkin saja merupakan peristiwa dari suatu tindakan tunggal, seperti hadir untuk mendapatkan vaksinasi atau memberikan suara dalam pemilu. Praktek tindakan sosial dapat berbentuk tindakan pribadi ataupun pembentukan pola perilaku. Sedangkan produk nyata mengacu kepada produk fisik yang membantu suatu kampanye. Produk nyata merupakan produk pelengkap atau penyempurnaan dari praktek sosial.
Seluruh dimensi produk, baik bersifat tangible maupun intangible, yang memberikannya nilai merupakan merek dari produk tersebut. Suatu merek berisi seluruh dimensi yang mengidentifikasi dan memberi nilai unik bagi suatu produk atau perusahaan (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Setiap produk memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah ciri khas yang menunjukkan keistimewaan yang membedakan sesuatu hal. Karakteristik produk menurut Kasali (1992) adalah adanya penonjolan salah satu dari sekian unsur produk yang dapat ditonjolkan. Tetapi ada pula dan dapat pula ditonjolkan dua (2) atau lebih atribut secara bersamaan.
Karakteristik produk tersebut dapat dibagi menjadi tiga (Kasali, 1992), yaitu : a. Karakteristik fisik. Penonjolan karakter ini meliputi sifat-sifat fisik suatu produk,
seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya.
b. Karakteristik fisik semu. Karakter ini tidak dapat diukur atau dilihat dengan jelas seperti karakter fisik di atas yang meliputi sifat-sifat yang bertalian dengan rasa, selera, bau (keharuman), simbol-simbol, dan sebagainya.
c. Keuntungan konsumen. Keuntungan ini mengacu pada keuntungan yang dapat dinikmati oleh calon pembeli. Misalnya, tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-anak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Hal ini disebut keuntungan ekstra.
Dalam mengatasi ledakan produk yang akan terjadi, banyak produsen yang menyadari untuk menyusun ataupun menanamkan produknya dalam benak konsumen. Banyaknya tangga-tangga dalam benak konsumen, memperkeras usaha produsen untuk menduduki tangga pertama dengan memperkenalkan kategori atau variasi produk baru yang diharapkan agar konsumen dapat mencengkram produk tersebut di dalam benaknya apalagi jika produk itu berkaitan dengan produk yang terdahulu.
Setiap kategori produk apapun, berprospek mengetahui manfaat penggunaan setiap produk. Untuk memanjat tangga produk yang ada pada pikirannya, produsen harus mengaitkan produk yang akan diluncurkan dengan merk-merk lain yang sudah ada dalam benaknya (Ries and Trout, 1981). Menurut Arnold (1996), inti dari sebuah merk merupakan kepribadian merk sekaligus unsur yang harus tampil lain daripada yang lain dalam pasar. Inilah yang membuat konsumen merasa loyal. Dalam produk dapat dilihat adanya keuntungan-keuntungan yang nyata yang diberikan merk tersebut setelah melihat kegunaan merk tersebut dan mendorong untuk berusaha memuaskan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Sehubungan dengan hal di atas, Kasali (1992) mengungkapkan bahwa karakteristik produk dapat menggambarkan hal berikut :
a. Pengelompokkan atau penggolongan produk b. Mutu implisit produk
c. Pelayanan tambahan
d. Penggolongan produk tradisional e. Tahap daur hidup
f. Distribusi produk
g. Kepribadian produk (citra dan posisinya) h. Kemasan dan penampilan
i. Daya jangkau bagi konsumen
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik produk secara tidak langsung mempengaruhi pembelian dari calon konsumen. Karakteristik produk yang mengiringi dapat mempengaruhi suatu produk dalam memberikan alternatif untuk memberikan kepuasan tersendiri bagi konsumen. Karakteristik produk dapat dibentuk berdasarkan : (a) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya; (b) karakteristik fisik semu meliputi sifat yang bertalian dengan rasa, selera, keharuman, simbol-simbol, dan sejenisnya; (c) keuntungan konsumen, seperti tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-anak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Agar kepribadian dari produk itu tetap ada, karakteristik dari produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut malah justru harus menambah nilai plus dari produk tersebut.
Dalam periklanan, pencipta iklan merupakan bagian dari biro iklan atau perusahaan periklanan (advertising agency). Perusahaan periklanan berisi individu-individu berbakat yang menciptakan dan melakukan perencanaan periklanan. Perencanaan periklanan merupakan suatu dokumen tertulis yang berisi garis besar tujuan dan strategi bagi periklanan suatu produk (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).
Dalam perencanaan periklanan, menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) pencipta iklan berpedoman pada beberapa unsur, yaitu :
a. Situation Analysis, yaitu (1) menjelaskan dimana perusahaan saat ini, bagaimana mencapainya dan ingin berada di masa depan, (2) mengidentifikasi persoalan-persoalan relevan yang harus ditujukan oleh periklanan dan memberikan gambaran lengkap tentang konsumen dan produk.
b. Objectives, yaitu (1) segala hal yang berkaitan dengan pencapaian kampanye periklanan, (2) berdasarkan pada sifat produk, persaingan, permintaan konsumen dan ketersediaan anggaran.
c. Target Market Profile, yaitu gambaran individu-individu yang paling mungkin membeli produk, seperti sifat demografik dan psikografiknya.
d. Positioning Statement, yaitu paragraf singkat yang menjelaskan bagaimana perusahaan menginginkan konsumen mempersepsi produk.
e. Creative Strategy, yaitu bagian dari perencanaan yang menggambarkan tema spesifik dan pendekatan periklanan tentang apa yang ingin ditampilkan periklanan secara nyata. Strategi kreatif berisi ”a big idea” atau suatu cara yang menyegarkan dan menarik untuk menganggap penting suatu produk.
f. Media plan, yaitu perencanaan media yang akan digunakan dalam melancarkan kampanye periklanan.
Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa a key element in the advertising plan is the creative strategy, or what the advertising will say in order to achieve the objectives of the campaign. Using the research data as a foundation, copywriters and graphic designer begin work on a creative concept or “big idea”. Concepting is the act of saying something in a unique way but at the same time ensuring that the message is “on strategy” with what needs to be communicated for the product to sell.
Peran besar pencipta iklan dalam kampanye periklanan adalah bagaimana menciptakan konsep kreatif atau “big idea” bagi komunikasi suatu produk. Copywriter dan visualizer atau desainer grafis membenamkan diri ke dalam berbagai informasi
mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran dan kemudian menginkubasinya untuk menghasilkan positioning tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan tujuan iklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Dalam hal ini, pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan positioning bagi produk yang akan diiklankan. Pencipta iklan melandaskan pekerjaannya berdasarkan pada perencanaan periklanan yang meliputi analisis situasi, tujuan, profil target market, pernyataan positioning, strategi kreatif dan perencanaan media. Untuk itu dilakukan reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial tersebut untuk diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan.
2.4.4 Iklan
Definisi iklan menurut Kasali (1992) adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Menurut Kotler (1994), iklan merupakan bentuk komunikasi non-personal yang dilaksanakan lewat media dan dibayar oleh sponsor yang jelas. Iklan menurut Effendy (1989) adalah pesan komunikasi yang disebarluaskan kepada khalayak untuk menawarkan barang dan jasa dengan menyewa media. Iklan juga merupakan informasi, baik verbal maupun non verbal yang berfungsi untuk membujuk konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Sandage (1975) menyatakan bahwa iklan berfungsi sebagai pembimbing bagi konsumen yang memberitahukan adanya suatu produk yang dapat memuaskan suatu kebutuhan, tempat dimana produk itu dapat diperoleh dan mutu yang ditawarkan barang tersebut.
Rangsangan agar konsumen membeli produk yang ditawarkan, dibutuhkan juga iklan yang semenarik mungkin dengan visual seekspresif mungkin, sehingga dapat menggambarkan produk yang dimaksud. Dengan menampilkan iklan baik yang sifatnya informatif dan persuasif, diharapkan mampu merangsang dan membujuk orang untuk membeli.
Littlejohn (1989) menyatakan informatif adalah pesan yang mampu mengurangi ketidakpastian dan untuk membuat peramalan keputusan. Persuasif adalah bagaimana seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak lain. Dengan tersiratnya makna persuasif dalam sebuah iklan diharapkan konsumen dapat merubah sikap dan loyal terhadap produk yang diiklankan.
Isi pesan iklan menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) bermakna tersembunyi dan implisit. Pesan tersembunyi dalam iklan adalah pesan yang bersifat halus dan memanipulasi yang secara tidak disadari merangsang pembelian. Sedangkan pesan implisit adalah pesan bersifat tegas yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga
mempromosikan gaya hidup materialistik dimana kebahagiaan hidup dapat dicapai dengan mengkonsumsi barang materi.
Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan yang sejenis, menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak, sehingga pesan tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang diiklankan ke dalam benak khalayak.
Nurrahmawati (2002) mengatakan pengingatan nama merek dalam pesan iklan merupakan respon yang perlu ditanamkan dalam benak calon konsumen untuk bertindak melakukan pembelian. Menurut Mulyana (1997), iklan televisi bukan bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, tetapi sifat para pembelinya, sehingga konsumen membeli bukan karena produknya, tetapi karena sentuhan emosi dari pesan iklannya. Iklan televisi mengarahkan konsumen untuk mempercayai realitas yang ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol produk sosial.
Dalam menyampaikan pesannya, iklan-iklan tersebut sangat berpengaruh pada khalayak, di mana khalayak dipaksa untuk menerima informasi-informasi di luar batas kemampuan khalayak itu sendiri, karena terlalu banyaknya informasi yang disampaikan yang khalayak terima, sehingga khalayak merasa jenuh. Informasi-informasi tersebut tidak lagi dapat diseleksi secara rasional. Untuk itu, informasi-informasi tersebut disusun menurut tangga-tangga, di mana anak tangga pertama dipersepsikan sebagai yang paling bagus dan paling bermutu. Sedangkan anak tangga kedua dipersepsikan sebagai kurang bermutu atau sebagai merk kedua (Kasali, 1992).
Untuk menjadi anak tangga pertama tidaklah mudah, karena kesemuanya itu menyangkut persepsi dari seseorang, yaitu bagaimana cara untuk menyakinkan calon pembeli untuk menentukan mereknya pada tangga pertama. Di sini manusia melakukan proses seleksi di dalam pikirannya dalam menerima pesan-pesan komunikasi yang merupakan satu bagian dari proses persepsi dalam pikiran manusia pada saat proses komunikasi berlangsung (Kasali, 1992).
Untuk mencapai tangga pertama diperlukan positioning, karena untuk mencapai anak tangga pertama seseorang harus memahami dan telah mengingat merek produk tertentu di antara produk-produk sejenis lainnya. Strategi positioning digunakan sebagai jalan untuk menempatkan produk di dalam pikiran konsumen dengan menonjolkan salah satu keunggulan di antara keunggulan-keunggulan yang lain (Kasali, 1992).
Iklan adalah pesan komunikasi verbal maupun non verbal yang disampaikan kepada komunikan dengan maksud agar membeli dan tetap loyal kepada produknya. Tanpa harus mengabaikan bagaimana cara agar orang melihat, tertarik, memahami dan membeli setelah melihat iklan dengan cara membuat iklan semenarik mungkin serta harus disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.
Kebanyakan hanya sedikit khalayak menyimak iklan yang ditayangkan di televisi. Hal demikian menurut Collet dalam Kasali (1992) dikarenakan :
a. Sifat iklan itu sendiri yang mencerminkan sifat produk yang diiklankan.
b. Sifat khalayak pemirsa itu sendiri. Sebagian dari khalayak sama sekali tidak mau disuguhi iklan, sedangkan sebagian lainnya lagi memang commercial consumers. c. Positioning iklan tersebut di dalam keseluruhan program siaran televisi, terutama
saat-saat penyiaran dan acara yang disela.
d. Perhatian pemirsa acap kali sangat ditentukan oleh kehadiran orang lain di dalam ruang tempat menonton. Semakin banyak orang yang berada di situ, semakin kecil perhatian pemirsa terhadap iklan.
e. Pemuatan iklan. Jika iklan disela di antara adegan-adegan yang menarik dari suatu program yang banyak disukai orang, makin banyak waktu yang dihabiskan oleh pemirsa untuk melihat iklan.
Menurut Bettinghaus (1973), pesan persuasif dibentuk atau dirancang melalui penggunaan sistem kode secara efektif. Sistem kode tersebut, yaitu sekelompok simbol dan sekelompok aturan yang tergabung menjadi unit-unit bermakna. Sistem kode tersebut merupakan unsur dasar dari sistem bahasa, seperti kata-kata yang merupakan bahasa verbal atau sistem kode verbal. Selain itu sistem kode nonverbal, seperti ekspresi wajah, kerutan dahi, senyuman, gerak tubuh, isyarat dan lainnya. Meskipun unsur dalam sistem kode nonverbal berbeda, namun aturan dalam membentuk makna tidak berbeda karakteristiknya dengan sistem kode verbal. Bahkan fungsi pesan nonverbal mempertegas makna pesan verbal.
Pesan dalam sebuah iklan dapat disebut teks iklan. Sebagai suatu teks, pesan dalam iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film. Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal maupun nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang dikenal; lambang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atau bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau
mirip dengan keadaan yang sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon di sini digunakan sebagai lambang (Sobur, 2003).
2.4.5 Iklan Televisi
Iklan televisi sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan bagian dari suatu kongsi atau sindikat, jaringan, lokal, kabel, atau bentuk lainnya (Kasali, 1992). Lebih lanjut, Kasali (1992) membagi iklan televisi ke dalam empat (4) bentuk, yaitu :
a. Pensponsoran. Banyak sekali acara televisi yang penayangan dan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Pihak sponsor bersedia membiayai seluruh biaya produksi plus fee untuk televisi.
b. Partisipasi. Iklan disisipkan di antara satu atau beberapa acara (spots). Pengiklan dapat membeli waktu yang tersedia, baik atas acara yang tetap maupun yang tidak tetap.
c. Spot Announcement. Iklan ditempatkan pada pergantian acara.
d. Public Service Announcement. Iklan layanan masyarakat yang ditempatkan di tengah-tengah suatu acara. Iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menggalang solidaritas masyarakat atas suatu masalah.
Menurut Kasali (1992) di dalam dunia periklanan, kata kreatif banyak dipakai bersama beberapa kata lain untuk merujuk pada istilah dan pengertian berbeda, antara lain (1) orang kreatif, (2) strategi kreatif dan (3) pengerjaan kreatif. Strategi kreatif merupakan berbagai informasi mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran, ke dalam suatu posisi tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan tujuan iklan. Pengerjaan kreatif mencakup pelaksanaan dan pengembangan konsep atau ide yang dapat mengemukakan strategi dasar dalam bentuk komunikasi efektif. Termasuk pembuatan judul dan atau kepala tulisan (headline), perwajahan dan naskah, baik dalam bentuk kopi untuk iklan-iklan media cetak, tulisan untuk iklan-iklan radio, maupun storyboards untuk iklan-iklan televisi. Kreativitas iklan televisi diciptakan dengan memperhatikan karakter produk untuk memiliki kemampuan memposisikan (positioning) yang khas di dalam benak khalayak sasaran.
Proses kreatif sebuah iklan televisi memang unik dan memerlukan kepiawaian, serta kecermatan khusus dalam penggarapannya. Sifat medianya yang sangat khas, menuntut tampilan yang khas. Mulai dari konsep yang dapat mengoptimalkan kekuatan media tersebut, hingga mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahannya.
Dalam menerjemahkan panduan cerita (story board) iklan ke dalam sinematografik, banyak dilakukan trik-trik, baik dalam adegan, model, maupun teknik sinematografi untuk melahirkan hasil yang cemerlang. Televisi adalah medium massa bersifat intrusif. Orang dapat menonton televisi dengan membaca, mengobrol, makan dan sebagainya, maka perlu stimuli yang kuat untuk membuat pemirsa mengalihkan perhatiannya ke layar kaca. Stimuli dalam iklan televisi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan kekuatan audiovisual, misal (1) menampilkan soundtrack yang menarik, (2) mampu menciptakan teather of mind dengan menampilkan jingle yang menciptakan irama dalam tubuh khalayak, (3) menggunakan dialog yang memiliki karakter dan gaya khusus yang diperkuat dengan efek suara, (4) menggunakan bahasa tubuh dengan menampilkan unsur metafora dan demonstratif, yang diperkuat pada detil cerita maupun sinematografinya (Majalah CAKRAM, 1996).
Untuk iklan televisi, ada beberapa teknik visual yang dapat digunakan untuk membuat naskah iklan dramatis dan mempunyai kemampuan menjual. Menurut Russel (dalam Kasali, 1992) teknik-teknik tersebut adalah :
a. Spokespearson. Teknik ini menampilkan seseorang dihadapan kamera yang langsung membawakan iklan kepada pemirsa televisi.
b. Testimonial. Teknik ini mempergunakan seseorang yang dikenal luas yang mampu memberikan kesaksian atau jaminan tentang suatu produk.
c. Demonstration. Teknik ini cukup populer mengingat televisi adalah media yang ideal untuk memberikan demonstrasi kepada konsumen tentang manfaat suatu produk.
d. Closeups. Teknik inipun ideal untuk dipergunakan oleh televisi.
e. Story Line. Teknik ini mirip membuat sebuah film yang sangat pendek.
f. Direct Product Comparison. Gaya ini membandingkan dua buah produk secara langsung.
g. Humor. Gaya ini termasuk salah satu gaya yang digemari oleh copywriter maupun konsumen.
h. Slice of Life. Pendekatan ini menggunakan penggalan dari adegan sehari-hari. i. Customer Interview. Teknik yang menampilkan gaya seseorang yang sedang
melakukan wawancara.
j. Vignettes and Situations. Produk-produk yang sering menggunakan teknik seperti ini adalah minuman, permen, rokok, dan produk-produk lain yang sering dikonsumsi. Gambar yang ditampilkan biasanya menunjukkan sejumlah orang
tengah menikmati sesuatu produk seperti menikmati hidup. Sementara itu, musik dan liriknya memberikan suasana mendukung.
k. Animation. Teknik seperti ini biasanya menggunakan gambar atau tokoh kartun sebagai ganti suasana atau manusia sebenarnya.
l. Stop Motion. Meskipun mampu menampilkan gambar bergerak, televisi sering juga menampilkan iklan yang disajikan hanya sebagai stop motion dan mungkin merupakan suatu rangkaian gambar berseri.
m. Rotoscope. Teknik ini menggabungkan teknik animasi dengan gambaran nyata. n. Combination. Teknik ini pada dasarnya merupakan penggabungan dari dua atau
beberapa teknik dasar di atas.
Pembuatan sebuah iklan untuk televisi komersial pada dasarnya mirip dengan pembuatan sebuah film. Diperlukan suatu naskah tertulis yang kemudian dituangkan dalam bentuk story boards. Story boards mirip dengan suatu komik. Ada gambar yang menunjukkan bagian dari adegan dan ada tulisan yang menunjukkan dialog atau suatu suara yang harus terdengar pada saat gambar itu muncul. Demikian pula dengan adegan-adegan berikutnya (Kasali, 1992).
Menurut Mulyana (1996), filosofis yang melekat dalam diskursus televisi, iklan di televisi bukan bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, melainkan mengenai sifat para pembelinya. Iklan menayangkan para bintang dan atlet tenar, simbol-simbol prestisius, kejantanan, kasih sayang, romantisme dan lain-lain, semua ini bukanlah cerita mengenai sifat atau mutu produk. Iklan tersebut menuturkan kecemasan, kebahagiaan dan impian yang mungkin akan membeli produk tersebut. Apa yang perlu diketahui bukanlah apa yang terbaik dari produknya, melainkan apa yang tidak dipunyai oleh calon pembeli. Artinya, yang ditawarkan oleh produsen bukanlah nilai pakai atau fungsi produk, tetapi lebih pada nilai gengsi dan prestise.
2.4.6 Iklan Rokok di Televisi
Iklan rokok di televisi lebih sering muncul dalam bentuk spot announcement, yaitu iklan rokok ditempatkan pada pergantian acara atau program televisi. Iklan rokok yang ditayangkan di stasiun televisi di Indonesia terikat dengan ketentuan dan peraturan yang sangat ketat. Misalnya, iklan rokok di televisi hanya boleh tayang di atas pukul 21.00.
Dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan di Indonesia (Kasali, 1992) menyebutkan penerapan khusus tentang iklan rokok sebagai berikut :
b. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa tidak merokok adalah hal yang tidak wajar. c. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa merokok adalah sehat atau bebas dari
gangguan kesehatan.
d. Iklan tidak boleh ditujukan terhadap anak di bawah usia 16 tahun dan atau wanita hamil, atau menampilkan dalam iklan.
PP No. 81/1999 memperkuat tentang pembatasan iklan rokok di media masa disebutkan bahwa karakter produk dalam iklan rokok tidak boleh ditayangkan secara terang-terangan dalam iklan. Iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi berbentuk spot announcement dan ditayangkan di atas pukul 21.00, dimana karakter produk tidak tervisualkan secara terang-terangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembuatan iklan rokok di televisi dituntut kreativitas tinggi agar, karakter produk tetap dapat terposisi dengan baik di dalam benak khalayak. Pesan dalam iklan rokok harus menyajikan ciri yang membedakan dengan produk sejenisnya. Agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya, maka iklan rokok Sampoerna A Mild harus menyajikan pesan dengan cara memposisikan produk rokok tersebut melalui pembentukan dan penentuan positioning berbeda.
2.5 Pembentukan Positioning Produk pada Iklan
Darlymple and Parson (1983) mengatakan bahwa product positioning focuses on buyer’s perception and preference about the place a product (or brand) occupies in specified focuses market. Menurut Kotler (1991) product positioning is the act of establishing a viable competitive positioning of the firm and its offer in each target market. Stout dalam Straubhaar and La Rose (2006) mengatakan positioning adalah a short paragraph explaining how the company wants to the consumers to perceive the product. Harris (1991) menyebutkan positioning is how brands are ranked against the competition in customer’s mind. Dapat diartikan bahwa positioning produk bukanlah untuk membentuk suatu pikiran atau kreasi baru dalam benak konsumen, tetapi untuk menggerakkan apa yang sudah ada dalam pikiran manusia dan menghubungkannya dengan apa yang sudah ada dalam pikiran konsumen.
Menurut Kasali (1992), dalam menentukan positioning suatu produk atau merek diperlukan langkah-langkah, yaitu :
1. Identifikasi pasar pesaing, yaitu melakukan identifikasi atas sejumlah pesaing yang ada di pasar tentang produk sejenis, produk pengganti, maupun bentuk usaha turunannya.
2. Persepsi konsumen, yaitu melakukan penelitian tentang persepsi konsumen terhadap produk pesaing, sehingga diperoleh sejumlah atribut yang dianggap penting oleh konsumen, seperti karakteristik produk, manfaat bagi konsumen, dan sebagainya. 3. Menentukan posisi pesaing, yaitu mengetahui posisi yang diduduki pesaing dari
berbagai sudut pandang.
4. Menganalisis preferensi konsumen, yaitu mengetahui posisi yang dikehendaki oleh konsumen terhadap suatu produk tertentu.
5. Menentukan posisi merek produk sendiri dengan mempertimbangkan hal-hal, yaitu (a) analisa terhadap luas dan potensi pasar serta kemungkinan untuk memasuki psar tersebut, (b) komitmen terhadap segmentasi pasar, (c) jangan mengubah kepribadian atau ciri khas iklan, (d) penggunaan simbol merek atau produk sebagai identitas dan kepribadian.
6. Ikuti perkembangan posisi
Menurut Kotler (1991), dalam melakukan positioning produk atau merek perlu diperhatikan dua (2) tahap, yaitu pertama, identify possible positioning concepts for each target segment; Kedua, select, develop and communicate the choosen positioning concept. Dalam memposisikan suatu produk harus mengidentifikasi konsep positioning yang cocok dengan konsumen, kemudian memilih, mengembangkan dan mengkomunikasikannya kepada konsumen tersebut. Hal tersebut berarti bahwa dalam usaha untuk menempatkan merek atau ingin mengenalkan produk tertentu kepada konsumen harus dilihat apa yang dibutuhkan oleh konsumen dengan melihat ke dalam benaknya apa yang telah ada di dalam benaknya tersebut. Jika telah ada hubungan yang erat, di antara keduanya, maka produk yang ingin disampaikan kepada konsumen, dengan mudah diterima dan dingat oleh konsumen.
Positioning menurut Kasali (1992) adalah suatu proses atau upaya untuk menempatkan suatu produk, merek, perusahaan, individu atau apa saja dalam alam pikiran yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Positioning mempunyai maksud untuk menyerang dan menerobos alam pikiran manusia, agar produk atau merek tertanam dalam pikiran konsumen, sehingga produk tersebut mempunyai posisi teratas dalam benak setiap konsumen. Gilson and Berkman (1980) mengatakan positioning adalah creating a unique niche, or position, for a product or service in the consumer’s
mind by emphasizing some specific need that it meet. Positioning merupakan sebuah kreasi unik atau posisi untuk produk atau pelayanan ke dalam pikiran konsumen dengan menitikberatkan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik yang dibutuhkan atau sesuai dengan yang diperlukan oleh konsumen.
Untuk dapat menembus benak konsumen, positioning produk perlu dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning (positioning statement). Pernyataan positioning berhubungan erat dengan strategi komunikasi yang jitu, pilihan media yang pas, frekuensi optimal dan memerlukan pertimbangan waktu yang baik. Pernyataan positioning harus mewakili citra yang hendak dicetak dalam benak konsumen. Citra itu harus berupa suatu hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter suatu produk. Pernyataan yang dihasilkan harus cukup singkat dan mudah diulang-ulang dalam iklan dan memiliki dampak yang kuat di sasaran pasar. Pernyataan positioning yang baik dan efektif harus mengandung dua unsur, yaitu klaim unik dan bukti-bukti yang mendukung (Kasali, 2005).
Di dalam positioning itu sendiri terdapat strategi-strategi yang berguna untuk menempatkan suatu merk produk tertentu di dalam alam pikirannya. Strategi-strategi tersebut diuraikan oleh Kasali (1992) sebagai berikut :
a. Penonjolan Karakteristik Produk
Di sini pengiklan harus menonjolkan salah satu keunggulan di antara keunggulan-keunggulan lainnya.
b. Penonjolan Harga dan Mutu
Pada penonjolan harga dan mutu, harga yang tinggi dianggap sebagai produk bermutu, sebaliknya harga rendah dianggap sebagai produk tidak bermutu. Harga tinggi harus berdasarkan riset dan pengembangan mengenai produk tersebut. Tanpa adanya itu, positioning hanya bersifat sementara dan dengan mudah akan bergeser dengan produk-produk pesaing.
c. Penonjolan Penggunaan
Menonjolkan mengenai penggunaan dari produk tersebut. Di dalam penyampaiannya ada yang menggunakan mengkomunikasikan citra dengan mengaitkan dengan penggunaan dari produk tersebut.
d. Positioning Menurut Pemakaiannya
Pendekatan pada bagian ini, menonjolkan tentang pemakai produk tersebut. Hal ini merupakan strategi yang baik, karena pemakai produk pada iklan tersebut akan menarik konsumen dan membuat konsumen ingin mencoba produk yang dimaksud.
e. Positioning Menurut Kelas Produk
Menonjolkan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh produk tersebut, tetapi tidak dimiliki oleh produk yang lain dan ini merupakan strategi, agar konsumen tertarik terhadap produk yang diiklankan.
f. Positioning dengan Menonjolkan Simbol-simbol Budaya
Pada bagian ini, ditonjolkan mengenai simbol-simbol budaya yang merupakan keunggulan dari produk tersebut, di mana berfungsi untuk menciptakan citra yang berbeda dengan produk-produk pesaing.
g. Positioning Langsung pada Pesaing
Di sini, ditonjolkan mengenai keunggulan-keunggulan yang ada, langsung kepada konsumen dengan tujuan agar para konsumen tertarik karena terkesan jujur dan di mana dilakukan juga penonjolan kedudukan produsen itu terhadap pesaingnya.
Berkaitan dengan penelitian dapat dikatakan bahwa positioning produk pada iklan televisi adalah proses menempatkan dan menghubungkan produk atau merek dengan apa yang sudah ada dalam benak konsumen sesuai dengan kebutuhan spesifiknya dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning berupa klaim dan bukti-bukti mendukung yang mewakili citra produk atau merek dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter produk atau merek yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklan. Proses positioning produk pada iklan tersebut dilakukan melalui tahapan mengidentifikasi para pesaing, memahami persepsi konsumen, menentukan posisi pesaing, menganalisis preferensi konsumen, menentukan posisi merek produk sendiri, mengikuti perkembangan positioning produk sendiri dan mengkomunikasikannya kepada konsumen.
2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan Televisi
Menurut Bungin (2001), iklan adalah sebuah realitas yang dijadikan ide cerita dalam iklan televisi. Maksudnya, iklan televisi lahir dari realitas sosial masyarakatnya sebagai bagian dari reproduksi sosial . . . . Reproduksi sosial iklan televisi terjadi, ketika iklan televisi merefleksikan realitas sosial (nyata) ke dalam realitas iklan televisi, kemudian direfleksikan kembali ke dalam realitas sosial pemirsanya.
Efek ideologis yang ditampilkan dalam iklan berkaitan dengan bagaimana iklan dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antar kelas sosial, antara kelompok mayoritas dengan minoritas, laki-laki dengan perempuan, kaya dan miskin. Ketidakberimbangan ini dimunculkan melalui perbedaan yang
disajikan dalam simbol-simbol yang menjelaskan posisi sosial sebagai realitas sosial yang ditampilkan.
Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis naskah) maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya atau sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif. Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengkilan, dengan menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.
Dalam proses demikian terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung, baik dalam diri pengiklan dan pencipta iklan maupun di antaranya. Proses interaksi simbolik berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi, melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu.
Televisi melalui programnya, salah satunya adalah iklan televisi, merepresentasikan realitas sosial yang merefleksikan ideologi yang dianut di dalam penggambaran televisi mengenai tabiat manusia, hubungan sosial dan norma-norma dan struktur masyarakatnya (Bryant and Zillman, 2002). Namun dalam konteks iklan televisi, perlu dicermati bahwa ideologi yang direfleksikan dalam iklan televisi adalah ideologi pencipta iklan dan pengiklan bukan televisi. Televisi dalam hal ini berperan sebagai medium penyampai pesan dan tidak mempengaruhi bagaimana iklan tersebut dibuat.
Dalam kehidupan masyarakat dan negara, media massa, termasuk televisi, cenderung diposisikan sebagai sarana dan alat legitimasi kekuasaan yang bersifat politis. Dengan demikian, media massa dijadikan sebagai sarana legitimasi ideologinya kepada masyarakat luas. Althusser dalam McQuail (1989) menyebutnya sebagai Aparat Ideologi Negara (Ideological State Apparatus atau ISA). Media massa cenderung dijadikan sebagai alat ideologi kelas dominan. Komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan (teks) berinteraksi dengan masyarakat bertujuan memproduksi makna tertentu (Sobur, 2001).
Iklan televisi diyakini sebagai sarana dalam melakukan representasi realita berupa simbol-simbol tertentu. Realita yang termakna dalam iklan tersebut bersifat ideologis. Ini berarti, adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik dalam media. Iklan televisi lebih dimiliki oleh kelompok berkuasa dan bermodal yang digunakan untuk mendominasi kelompok lainnya, seperti produsen dengan konsumennya, maupun antara produsen sebagai pesaing.
Efek ideologis dalam iklan televisi menciptakan suatu pengaburan realita, sehingga persepsi spontan yang muncul saat menyaksikan atau mendengar sebuah citra atau makna, sebenarnya didistorsi. Ini terjadi karena ada struktur dalam yang tidak tampak dan tidak disadari secara terus menerus membentuk kesadaran penonton. Oleh karena itu, pesan dalam sebuah iklan sifatnya ideologis.
Isi pesan sebuah iklan disebut sebagai medium ideologis, karena tidak semata-mata membentuk makna ideologis, namun juga karena makna yang ideologis itu dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru (Purwantari dalam Sobur, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa reproduksi sosial pada iklan televisi adalah refleksi realitas yang didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalam pesan iklan televisi. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realitas sosial melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Proses mengkonstruksi positioning iklan bersifat berkelanjutan dan direproduksi melalui kehidupan sosial. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui proses semiosis dengan melakukan praktek penandaan lewat kode-kode khusus yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.
2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi
Iklan televisi dapat dikatakan sebagai perwujudan suatu bentuk realitas sosial. Iklan televisi yang muncul di layar kaca mengalami proses panjang dalam pembuatannya. Pesan yang bermakna dalam iklan televisi dibentuk tidak sebatas pada diciptakan namun juga dikonstruksi secara terus menerus oleh pencipta iklan. Crotty (1998) mengatakan “we do not create the meaning. We construct meaning. We have something to work with. What we have to work with is the world and objects in the
world.” Sehubungan dengan itu, Bungin (2001) mengatakan bahwa dalam membangun sebuah realitas, seorang copywriter dan visualizer dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika dan bahkan oleh kliennya sendiri.
Pengaruh yang dialami oleh pencipta iklan ketika mengkonstruksi pesan iklan menurut Berger dan Luckmann (1990) disebabkan oleh realitas kehidupan sehari-hari yang memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Menurut Poloma (2000), Berger menegaskan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana mempengaruhinya melalui proses internalisasi (mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, di mana Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika, dan pengiklan. 2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi
Dalam proses mengkonstruksi realitas sosial, masing-masing pelaku melakukan interaksi terhadap realitas sosial yang terjadi. Demikian pula ketika melahirkan sebuah iklan televisi, pencipta iklan melakukan interaksi dengan individu lain di luar dirinya. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku individu yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi (Effendy, 1993). Proses interaksi tersebut tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, yang melibatkan lambang komunikasi nonverbal, namun juga melalui lambang-lambang verbal yang maknanya perlu dipahami. Apabila proses pemindahan diri perilaku meningkat ke terciptanya pertemuan yang menghubungkan orang per orang tersebut, maka interaksi sosial mulai berlangsung pada saat itu.
Soekanto (2002) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Misalnya, saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi, atau hanya bertemu muka tanpa berbicara. Artinya, interaksi
sosial termanifes dalam bentuk terjadinya pertukaran lambang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Oleh karena masing-masing sadar akan adanya kehadiran pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam diri orang bersangkutan. Hal demikian membangkitkan kesan dalam pikiran seseorang, hingga kemudian akan memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan.
Interaksi sosial mengandung dua (2) proses, yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Kedua proses ini saling mengkait satu sama lain. Dalam kontak sosial dapat dipastikan melibatkan komunikasi, yang disebut oleh Effendy (1993) sebagai proses pernyataan antar manusia. Kontak sosial berdasarkan komunikasi tersebut membentuk pola-pola interaksi di antara para pihak yang terlibat (partisipan). Menurut Soekanto (2002) proses interaksi sosial merupakan proses yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Proses tersebut membentuk pola-pola interaksi berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan pertentangan/pertikaian (conflict).
Dalam konteks komunikasi, terjadi proses pemaknaan dan penafsiran oleh masing-masing partisipan terhadap lambang-lambang komunikasi yang dipakainya. Hal ini menggambarkan bahwa dalam berinteraksi, masing-masing orang tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dan memiliki fakta subyektif meskipun memiliki batasan-batasan dengan konsekuensi-konsekuensi riilnya (Poloma, 2000).
Poloma (2000) mengatakan bahwa dalam pandangan interaksionis simbolis manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Pendekatan kaum interaksionis simbolis menekankan perlunya sosiologi memperhatikan definisi atau interpretasi subyektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus obyektif, bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.
Littlejohn (1989) yang mengutip Blumer mengawali interaksi simbolik dengan tiga (3) dasar pemikiran berikut :
a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya.
b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain.
c. Makna-makna itu dikelola dalam dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpainya.
Pendapat Blumer dalam Effendy (1993) tentang interaksi simbolik meliputi lima (5) konsep dasar berikut :
a. Konsep Diri. Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organisme yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena seorang diri, maka mampu memandang dirinya, sebagai obyek pikirannya dan berinteraksi dengan dirinya sendiri, yaitu mengarahkan dirinya ke berbagai obyek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri; mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, serta akhirnya merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Hal tersebut merupakan kekhasan manusia. b. Konsep Kegiatan. Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi
dengan diri sendiri, maka kegiatannya berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain. Manusia menghadapkan dirinya pada berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan dan harapan, serta bantuan orang lain, citra dirinya (self image), cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka dari itu, perancangan kegiatannya tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksi. Dalam hal ini manusia sendiri menjadi konstruktor perilakunya.
c. Konsep Obyek. Manusia hidup ditengah-tengah obyek. Obyek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Obyek bersifat konkret seperti kursi, dapat pula abstrak seperti kebebasan, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti hakiki obyek tidak ditentukan oleh ciri-ciri instriknya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada obyek tersebut, maka tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tetapi juga obyek.
d. Konsep Interaksi Sosial. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya yang memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan makna yang dikandungnya. Orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lainnya,
melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatannya menjadi apa yang barangkali dapat disebut transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembataninya.
e. Konsep Aksi Bersama. Aksi bersama berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Misalnya, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya. Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, di mana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur.
Poloma (2000) mengemukakan bahwa dalam interaksi simbolik mengandung sejumlah ide-ide dasar berikut :
a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, yaitu membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.
b. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup ”penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol berarti yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum.
c. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; tetapi makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3) kategori yang luas, yaitu (1) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (2) obyek sosial, seperti Ibu, Guru, Menteri, atau Teman; dan (3) obyek abstrak, seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Obyek dibatasi sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek ”diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis.
d. Manusia tidak hanya mengenai obyek eksternal, karena dapat melihat dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.
e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. f. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.
Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai ”organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.
2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi
Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis.
Menurut Peirce dalam Budiman (2004) sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan interpretan dari tanda pertama, yang pada gilirannya mengacu pada obyek. Sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan obyeknya. Apa yang dimaksud dengan proses semiosis merupakan proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi dengan entitas lain yang disebut sebagai obyek. Proses semiosis sering disebut sebagai signifikansi. Bagi pencipta iklan, proses semiosis yang dilakukannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Pencipta iklan bekerja berdasarkan tenggat waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja dengan pengiklan.
Bagaimana proses semiosis berlangsung dijabarkan oleh Budiman (2004) pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses Semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman (2004).
Klasifikasi sebuah tanda atau yang disebut sebagai representamen, menurut Peirce dalam Budiman (2004) dan Sobur (2003) sebagai berikut :
a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ”rupa” sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagi ”kesamaan dalam beberapa mutu”. Setiap tanda yang mengikuti sifat obyeknya disebut sebuah ikon. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas sebagian besar adalah ikon.
b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan obyeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan obyeknya bersifat konkret aktual dan biasanya melalui suatu cara sekuensial atau kausal. Setiap tanda yang menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan obyek individual, maka disebut sebuah indeks. Jejak telapak kaki di permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana.
Representamen interpretan …...Representamen obyek obyek obyek Representamen interpretan Interpretan….dst