• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

5

Coturnix coturnix japonica merupakan jenis puyuh yang populer dan banyak dipelihara di Indonesia. Puyuh jenis ini memiliki ciri bagian kepala, punggung dan sayap berwarna coklat tua dengan garis coklat muda berkombinasi totol-totol hitam. Bulu dadanya berwarna merah kombinasi totol-totol yang lebih jelas. Bagian perut berwarna coklat muda merah. Puyuh betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari pada puyuh jantan. Puyuh betina memiliki warna coklat yang lebih terang dengan warna coklat muda bergradasi putih ke bawah dan leher memiliki bulu berwarna putih yang lebih lebar (Marsudi dan Saparinto, 2012). Shanaway (1994) menyatakan bahwa puyuh dapat di klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Aves

Ordo : Galliformes Sub ordo : Galli

Famili : Phasianidae Subfamili : Odontophorinae Genus : Coturnix

Spesies : Coturnix coturnix japonica

Puyuh merupakan ternak berdarah panas. Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa rataan suhu tubuh puyuh betina dewasa adalah antara 41,8-42,4°C. Suhu lingkungan yang optimal untuk puyuh fully feathered adalah 24°C dan untuk anak puyuh (day old quail) adalah 35°C. Kelembaban lingkungan yang optimal untuk puyuh adalah antara 30-80%.

Puyuh merupakan ternak yang potensial sebagai penghasil telur. Keunggulan puyuh dari ternak unggas yang lain adalah laju produksi telur yang cepat dan tinggi (Harjanto, 2009). Puyuh berpotensi meningkatkan pendapatan

(2)

peternak karena biaya pemeliharaan yang ekonomis salah satunya kandang ini disebabkan oleh ukuran serta bobot badan yang kecil sehingga tidak memerlukan area yang luas untuk satu ekor per satuan luasnya (Faitarone et al., 2005). Puyuh sudah mulai berproduksi pada umur 41 hari dengan produksi telur rata-rata 200-300 butir/tahun dengan bobot rata-rata 10 g/butir (Harjanto, 2009). Bobot rata-rata seekor puyuh betina sekitar 150 g dan mencapai puncak produksi lebih dari 80% pada minggu ke-13. Produktivitasnya akan menurun dengan persentase bertelur kurang dari 50% di atas 14 bulan, kemudian berhenti bertelur saat berumur 30 bulan. Puyuh jantan dewasa memiliki bobot badan sekitar 100-140 g (Anggorodi, 1995).

B. Ransum

Ransum merupakan pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah dihitung (dikalkulasi) sebelumnya berdasarkan kebutuhan nutrien dan energi yang diperlukan. Berdasarkan bentuknya, ransum dibagi menjadi tiga jenis yaitu mash, pellet dan crumble. Ransum dengan masing-masing bentuk memiliki tingkat kecernaan yang berbeda (Alamsyah, 2005). Kebutuhan nutrien puyuh yang harus dipenuni pada fase starter, grower dan layer dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan nutrien puyuh petelur starter, grower dan layer

Nutrien Starter Grower Layer

Energi metabolis (Kkal/Kg) Min. 2800 Min. 2.600 Min. 2.700

Protein kasar (%) Min. 19 Min. 17 Min. 17

Lemak kasar (%) Maks. 7 Maks. 7 Maks. 7

Serat kasar (%) Maks. 6,5 Maks. 7 Maks. 7

Abu (%) Maks. 8 Maks. 8 Maks. 14

Ca (%) 0,90-1,20 0,90-1,20 2,50-3,50

Fosfor (%) 0,6-1,00 0,6-1,00 0,6-1,00

Lisin (%) Min.1,10 Min. 0,80 Min. 0,90

Metionin (%) Min. 0,40 Min. 0,35 Min. 0,40

Metionin + Sistin (%) Min. 0,60 Min. 0,50 Min. 0,60 Sumber: Standar Nasional Indonesia (2006).

(3)

Jumlah ransum yang diberikan kepada puyuh harus diperhatikan. Pemberian ransum ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat produksi. Ransum yang diberikan pada ternak harus disesuaikan dengan umur dan kebutuhannya. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan ransum. Anggorodi (1995) menyatakan bahwa jumlah ransum harus diberikan dalam jumlah yang mencukupi dan tersedia terus-menerus (Tabel 2.).

Tabel 2. Jumlah ransum yang diberikan per hari menurut umur puyuh

Umur Burung Puyuh Jumlah ransum yang diberikan per ekor (g)

1 hari - 1 minggu 2 1 minggu - 2 minggu 4 2 minggu - 4 minggu 8 4 minggu - 5 minggu 13 5 minggu - 6 minggu 15 diatas 6 minggu 17-19

Sumber : Listiyowati dan Roospitasari (2005).

C. Kepadatan Kandang

Kepadatan kandang menjadi faktor ekonomi yang sangat penting dalam industri perunggasan. Kepadatan kandang yang tinggi akan mengurangi biaya penyediaan kandang, tempat pakan dan minum. Pelaku industri perunggasan petelur cenderung menerapkan tingkat kepadatan kandang yang tinggi untuk meningkatkan laba dan memperbesar margin keuntungan (Faitarone, 2005). Sementara itu, kondisi kandang puyuh harus disesuaikan dengan jenis dan ukuran ternak (Ensminger, 1992).

Kepadatan dalam kandang yang tinggi akan mengakibatkan penurunan konsumsi pakan secara linier (Seker et al., 2009). Kandang yang terlalu sempit menyebabkan puyuh berdesak-desakan berebut pakan, sehingga konsumsi pakan tidak merata (Listyowati dan Roospitasari, 2005). Turunnya produksi telur dan bobot telur juga dipengaruhi kepadatan yang tinggi (Rodenburg, 2005). Luas lantai yang semakin sempit akan menurunkan pertumbuhan puyuh (Bobwhite) dan

(4)

dapat juga meningkatkan mortalitas. Mortalitas yang tinggi pada kandang yang padat disebabkan oleh faktor stres dan persaingan di dalam kandang (Wilson et al., 1978). Selain itu, beban radiasi internal yang dihasilkan oleh puyuh akan meningkatkan kelembaban kandang yang tinggi karena proses evaporasi (panting) seiring meningkatnya kepadatan kandang (Ahmad et al., 2006; Baziz et al., 2010). Hal tersebut akan menciptakan kondisi yang buruk yaitu menurunkan performa, kesuburan, kekebalan tubuh, peningkatan ammonia, kanibalisme dan mortalitas (Heckert et al., 2002; Askar dan Assaf, 2004; Dhaliwal et al., 2008).

Tabel 3. Standar kepadatan kandang puyuh yang disesuaikan dengan umur

Umur (minggu) Daya Tampung (ekor/m2)

0-1 100

1-3 80

3-6 50

6-dst 50

Sumber : Direktorat Perbibitan Ternak (2011)

Cekaman panas disebabkan oleh proses metabolik dan diimbangi dengan pelepasan panas (Hafez, 1968). Ternak harus membuang hasil produksi panas dari dalam tubuhnya untuk dapat mempertahankan suhu tubuh. Pelepasan panas dapat berupa sensible heat loss dengan cara konduksi, konveksi dan radiasi atau insensible heat loss dengan cara evaporasi (panting) melalui respirasi (Austic dan Nesheim, 1990). Unggas yang dipelihara pada suhu 23°C, 75% panas tubuh dibuang secara sensible, selebihnya 25% dikeluarkan secara insensible, sebaliknya bila suhu lingkungan meningkat sampai 35°C sebanyak 75% panas tubuh dibuang melalui proses insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible (Mohammad, 2014). Panting yang berlebihan akan menyebabkan tidak efisiennya penggunaan energi oleh ternak (Austic dan Nesheim, 1990). Morris (2004) menyatakan bahwa panting yang berkelanjutan akan menyebabkan tidak tersedianya energi metabolik yang cukup untuk mendukung produksi yang normal. Stres panas akan menurunkan efisiensi dari pencernaan, absorpsi dan transport nutrien yang berakibat pada penurunan produksi telur (Miles, 2001). Bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh konsumsi air akan meningkat untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Akibatnya adalah nafsu makan,

(5)

nutrien yang dikonsumsi dan efisiensi pakan menurun (Ozbey et al., 2004; Rahardjo, 2012). Menurunnya produksi telur dan bobot telur adalah respon awal menurunnya konsumsi pakan (Ali et al., 1991; Saki et al., 2012).

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh kepadatan yang tinggi terhadap performa ternak unggas. Hasil penelitian Asghar et al. (2012) menyatakan kepadatan kandang pada ayam White Leghorn fase layer dengan 4 tingkat kepadatan berbeda yaitu 0,2; 0,1; 0,0667 dan 0,05 ekor/m2 meningkatkan konsumsi, produksi telur, massa telur dan menurunkan nilai konversi pakannya. Menurut Faitaron et al. (2005) puyuh yang dipelihara dalam kepadatan kandang 36, 47, 57 dan 66 ekor/m2 mengalami penurunan konsumsi, produksi telur, massa telur dan meningkatkan nilai konversi pakan.

D. Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176 dengan rumus molekul C6H8O6 (Gambar 1.). Asam askorbat dapat dalam bentuk kristal

tidak berwarna dan memiliki titik cair 190-192°C. Vitamin C bersifat larut dalam air dan sedikit larut dalam aseton dan alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Vitamin C sukar larut dalam chloroform, ether dan benzene. Vitamin C pada pH rendah lebih stabil dari pada pH tinggi. Vitamin C mudah teroksidasi, lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim askorbat oksidase, sinar, temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih stabil apabila tidak ada katalisator (Sudarmadji et al., 1997).

Gambar 1. Rumus Bangun Vitamin C (Sudarmadji et al., 1997).

Vitamin C dapat dibentuk L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat,

keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam askorbat sangat mudah O O OH HO HO H OH

(6)

teroksidasi secara reversibel menjadi L-dehidroaskorbat. Asam L-dehidroaskorbat

secara kimia sangat stabil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keefektifan vitamin C lagi (Winarno,

1992).

Vitamin C atau asam askorbat dikenal sebagai antistres yang baik dan banyak dimanfaatkan pada unggas karena dibutuhkan dalam reaksi hidroksilasi pada sistem saraf dan medulla adrenal (Pardue et al., 1986). Vitamin C dapat mengaktivasi kelenjar tiroid untuk meningkatkan sekresi tiroksin yang mampu meningkatkan sintesis protein, sementara katabolisme protein yang banyak menghasilkan panas justru dikurangi, akibatnya ternak akan merasa lebih nyaman (tidak dalam kondisi tercekam) (Cooper dan Washburn, 1998). Suplementasi vitamin C digunakan dalam pakan puyuh karena sifat antioksidan yang mampu menetralkan radikal bebas yang dihasilkan selama stres panas (Ramnath et al., 2008).

Menurut Sahin et al. (2002) sintesis vitamin C dapat terjadi di dalam tubuh unggas karena adanya enzim gulonolakton oksidase, tetapi saat kondisi cekaman panas produksi vitamin C akan menurun sehingga kebutuhan vitamin C meningkat. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya pembentukan vitamin C akibat gangguan pada organ tubuh penghasil vitamin C tersebut sehingga untuk memenuhi kebutuhannya perlu ditambahkan dari luar (Aengwanich, 2008a).

Ketika ternak menderita stres, maka sistem neurogenik langsung diaktifkan (Virden dan Kidd 2009). Fase alarm stres ditandai dengan peningkatan tekanan darah, otot, sensitivitas saraf, gula darah dan respirasi. Bila upaya ini gagal untuk mengatasi stres, maka tubuh akan mengaktifkan hypothalamic-pituitary-adrenal cortical system. Ketika sistem ini diaktifkan, hipotalamus menghasilkan corticotrophin-releasing factor, yang pada gilirannya merangsang pituitari untuk pelepasan adreno kortikotropik hormon (ACTH). Sekresi ACTH menyebabkan sel-sel jaringan korteks adrenal berproliferasi mengeluarkan kortikosteroid. Hormon ini kemungkinan difasilitasi oleh aksi katekolamin yang menyebabkan katekolamin merangsang corticotrophin-releasing factor yang

(7)

dibebaskan dari hipotalamus sehingga sirkulasi hormonal ini terus menerus terjadi (Siegel 1995; Virden dan Kidd 2009).

Peningkatan hormon glukokortikoid yang dihasilkan adrenal kortek akan menurunkan Triiodotironin (T3) yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dalam sirkulasi darah (Hilman et al., 2000; Sahin et al., 2001; Downing dan Bryden, 2002; Aengwanich, 2008a). Kehadiran kortikosteroid ini dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan jaringan limfoid (Virden dan Kidd, 2009). Terganggunya fungsi kekebalan tubuh tersebut ditandai dengan peningkatan rasio heterofil-limfosit dalam darah (Davis et al., 2008; Tamzil et al., 2013). Mitzler (1977) menyatakan bahwa aktivitas tiroid adalah pembentukan norepineprin sehingga kemampuan ternak untuk membuang panas dengan memacu denyut jantung dan dilatasi pembuluh darah perifer dapat ditingkatkan. Tolok ukur lain yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat stres pada unggas adalah konsentrasi kortikosteron dalam darah (Sohail et al., 2010; Tamzil et al., 2013). Pemberian vitamin C dapat mengaktivasi kelenjar tiroid untuk meningkatkan sekresi tiroksin karena sesuai dengan pernyataan Cooper dan Washburn (1998) bahwa telah terbukti pula suplementasi vitamin C mampu meningkatkan sintesis protein, sementara katabolisme protein yang banyak menghasilkan panas justru dikurangi, akibatnya ternak akan merasa lebih nyaman (tidak dalam kondisi tercekam). Kenyamanan akan merangsang pusat lapar yang berada di hipotalamus sementara pusat haus dihambat. Selanjutnya kenyamanan pun akan merangsang thyroid stimulating hormone (TSH) di hipotalamus, sehingga kelenjar tiroid akan meningkatkan sekresi hormon tiroid baik tiroksin (T4) maupun triiodotironin. Akibatnya, ayam yang nyaman akan meningkatkan konsumsi ransum, metabolisme secara umum melalui peningkatan konsumsi oksigen serta pertambahan bobot hidup.

Menurut penelitian Syahruddin (2013) suplementasi vitamin C dalam kulit buah nanas 500 ppm pada ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi (suhu 27 dan 33°C) dapat meningkatkan hormon tiroksin, karena vitamin C memiliki gugus hidroksil yang mudah teroksidasi sehingga dengan mudah mampu mendonorkan elektron dan hidrogen terhadap radikal bebas. Akibatnya radikal

(8)

bebas yang semula memiliki elektron yang tidak berpasangan menjadi stabil. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ichsan (1991) bahwa peran vitamin C dalam aktivitas tiroid mungkin terkait dengan fungsi vitamin C sebagai transport elektron, sehingga dapat memberikan elektron dalam reaksi penggabungan dengan iodium dalam pembentukan tiroksin, hal ini dapat menaikkan kadar tiroksin dalam plasma darah. Sesuai dengan fungsi hormon tiroksin yang dihasilkan kelenjar tiroid memegang peranan penting dalam mempercepat pertumbuhan dan metabolisme energi (Sahin et al., 2001). Kusnadi et al. (2006) menyatakan bahwa vitamin C berperan baik sebagai antioksidan, sehingga mampu mengatasi turunnya konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan pada kondisi cekaman panas. Aengwanich (2008b) kenaikan berat badan yang terjadi pada ayam yang diberi vitamin C sebagai akibat dari pengaruh vitamin C pada fungsi kelenjar tiroid, yaitu penyerapan iodium lebih besar pada ayam yang diberi 100 mg/kg vitamin C. Suplementasi vitamin C sebanyak 800 mg/kg pakan dapat meningkatkan imunitas humoral pada ayam broiler yang diberi cekaman panas (Aengwanich, 2008a).

E. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi seekor ternak dalam 1 hari atau selisih antara jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa selama 24 jam (Anggorodi, 1995). Ransum pada unggas digunakan untuk ketahanan tubuh, pertumbuhan, pertumbuhan bulu dan produksi telur (North dan Bell, 1990). Pemberian ransum pada ternak puyuh harus memperhatikan tingkat efisiensinya agar tidak terjadi pemborosan dan pembuangan ransum (Marsudi dan Saparinto, 2012).

Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi ransum adalah bobot badan, galur, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktivitas ternak, mortalitas, kandungan energi dalam ransum dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1990). Semakin tinggi kandungan energi ransum, semakin sedikit ransum yang dikonsumsi. Puyuh dapat menyesuaikan konsumsinya untuk memperoleh cukup energi, oleh karena itu

(9)

puyuh cenderung mengurangi konsumsi bila energi dalam tubuhnya telah tercukupi dari ransum yang dikonsumsinya (Daulay et al., 2007).

Salah satu yang menurunkan konsumsi ransum adalah suhu lingkungan. Teori dikenal dengan nama teori termostatik. Menurut Ferkert dan Gernat (2006) saat suhu lingkungan tinggi nutrien yang dibutuhkan ternak untuk pertumbuhan akan dialihkan untuk mendukung sistem kekebalan tubuh. Ternak yang mengkonsumsi ransum saat kondisi suhu lingkungan tinggi akan mengalami kelebihan panas akibat metabolik basal sehingga ternak untuk mengatasi kondisi tersebut mengurangi konsumsi ransum.

Hasil penelitian Asghar et al. (2012) menyatakan kepadatan kandang pada ayam White Leghorn fase layer yang meningkat kepadatan kandangnya memberiakan hasil semakin rendah menurun konsumsi ransum. Hal tersebut didukung Faitaron et al. (2005) menyatakan kepadatan kandang yang meningkat akan mengalami penururunan konsumsi serta meningkatkan nilai konversi pakan. Hasil penelitian Kusnadi (2006) menyatakan suplementasi vitamin C dengan level 250, 500 dan 750 ml/kg pada ransum dapat meningkatkan konsumsi ayam broiler dengan kondisi cekaman panas.

F. Produksi Telur

Produksi telur merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pada peternakan puyuh. Beberapa faktor dapat memengaruhi produksi telur antara lain adalah ransum. Pemanfaatan ransum yang dikonsumsi ternak unggas adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, setelah itu baru untuk pertumbuhan, produksi dan sebagian dari ransum tersebut dikeluarkan sebagai sisa metabolisme (Tugiyanti, 2005).

Listyowati dan Roospitasari (2009) menyatakan bahwa beberapa hal yang menyebabkan puyuh tidak bertelur yaitu kandang yang terlalu gelap, pengaruh pakan, minum dan suara gaduh. Cekaman kepadatan kandang yaitu panting akan mempengaruhi produksi telur. Panting akan menurunkan proses kadiovaskuler di dalam tubuh ternak mulai dari pencernaan hingga reproduksi,

(10)

serta aliran darah lain seperti ke tulang kaki sebagai penghasil kalsium (Miles, 2001). Hasil penelitian menunjukkan semakin meningkat temperatur akan berakibat juga pada menurunnya produksi telur (Sterling et al., 2003). Menurut Subekti (2005) peningkatan rerata produksi telur puyuh per hari yang semakin meningkat dengan suplementasi vitamin C sebanyak 150 dan 300 mg/kg.

G. Massa Telur

Massa telur adalah hasil hitung perkalian antara bobot telur dengan persentase produksi telur (Senkoylu et al., 2004). Massa telur dipengaruhi oleh produksi telur dan bobot telur. Bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh (Santos et al., 2011). Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan juga dapat memengaruhi bobot telur. Peningkatan temperatur lingkungan dapat menurunkan ukuran telur dan kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1992). Telur puyuh memiliki bobot sekitar 10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) (Woodard et al., 1973). Bobot telur semakin meningkat secara gradual seiring pertambahan umur puyuh (Nagarajan et al., 1991).

Hasil penelitian Sloan dan Harms (1984) menunjukkan bahwa penurunan bobot telur adalah respon produksi pertama yang diakibatkan oleh penurunan konsumsi ransum. Menurut Faitarone et al. (2005) dengan tingkat kepadatan kandang 38 hingga 47 ekor/m2 dapat menurunkan massa telur puyuh. Hasil penelitian Hemid et al. (2010) menyatakan bahwa terjadi peningkatan massa telur yang disuplementasi vitamin C sebesar 200 mg/kg pada ayam petelur.

H. Konversi Ransum

Konversi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi (pertambahan bobot badan, telur dan produksi lainya). Semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka semakin buruk ransum tersebut (Tillman et al., 1991).

(11)

Konversi ransum yang terbaik dicapai pada saat puyuh berumur 21-28 minggu hari saat produksi telur mencapai puncak (Tiwari dan Panda, 1978).

Konversi ransum dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti umur, bangsa, kandungan energi dan protein ransum, temperatur dan kesehatan unggas (Leeson dan Summers, 1991). Semakin rendah angka konversi ransum berarti efisiensi penggunaan ransum semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi angka konversi ransum berarti tingkat efisiensi semakin rendah (Ensminger, 1992). Menurut penelitian Faitaron et al. (2005) dan Asghar et al. (2012) menyatakan kepadatan kandang yang semakin meningkat pada ayam White Leghorn fase layer dan puyuh mengalami kenaikan nilai konversi pakan. Avci et al. (2005) menyatakan bahwa suplementasi vitamin C sebanyak 500 mg/kg mampu menurunkan nilai konversi pakan dan suplementasi vitamin C sebanyak 1000 mg/kg memberikan respon lebih baik untuk penurunan nilai konversi ransum.

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan nutrien puyuh petelur starter, grower dan layer
Tabel 2. Jumlah ransum yang diberikan per hari menurut umur puyuh
Tabel 3. Standar kepadatan kandang puyuh yang disesuaikan dengan umur

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dipaparkan oleh salah satu calon legislatif PKB Dapil Kota Semarang 3 Bapak Ahmad Syafi’i bahwa dalam proses maping wilayah ini beliau melakukan proses

Penerapan melalui pendekatan metode dan asumsi yang sesuai dengan distribusi dari data return akan menghasilkan pengukuran Value at Risk ( VaR ) yang akurat untuk

Masyarakat Desa Bandung merupakan masyarakat yang produktif, meskipun sebagian besar masyarakat berprofesi buruh, namun tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk membuka

silikat yang berbentuk isomorfis yang memiliki dua jenis yaitu yang pertama kaya magnesium forsterite (Mg 2 SiO 4 ) dan yang kedua olivine yang kaya akan besi

Dalam penyajian data, penulis mendeskripsikan hasil wawancara dengan setiap informan berdasarkan tema-tema yang akan dibahas, yaitu strategi yang di lakukan LFCIAss yaitu

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua cara, yaitu Penelitian Lapangan (Field Research) danPenelitian Kepustakaan (Library

Berdasarkan hasil pada uji regresi linier berganda menunjukkan nilai Sig-F 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa variabel independensi auditor, kepemilikan institusional,