• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerahasiaan Data Wajib Pajak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kerahasiaan Data Wajib Pajak"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENDAHULUAN

Masalah kerahasiaan di bidang perpajakan nampaknya terus menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik, baik di kalangan akademik maupun di kalangan praktisi dalam mencari solusi yang terbaik sehubungan dengan pemenuhan kepentingan berbagai pihak. Masalah kerahasiaan ini hingga kini masih menjadi sebuah dilema, apakah kerahasiaan data wajib pajak harusnya diindungi atau dibuka?

Kerahasiaan mengenai data Wajib Pajak yang harus dijaga oleh pejabat pajak telah diatur dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Argumen yang mendukung bahwa rahasia Wajib Pajak memang harus dilindungi adalah merupakan kewajiban dari aparatur pajak untuk menaati ketentuan kewajiban menjaga rahasia jabatan. Sementara di sisi lain bagi Wajib Pajak juga akan membawa dampak tertentu apabila sampai merasa rahasianya tidak dilindungi dan dijaga. Dampak yang mungkin akan timbul antara lain keengganan Wajib Pajak untuk menyampaikan data atau keterangan berupa apa saja menyangkut diri, kekayaan dan kegiatan usahanya secara terbuka, jujur, dan tanpa perasaan was-was.

Sementara pihak lain yang menuntut agar kerahasiaan wajib pajak dibuka mendasarkan argumentasi pada adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai Ditjen Pajak serta mafia pajak yang mulai ramai terungkap sejak beberapa tahun yang lalu. Terkait dengan kasus penggelapan, pencucian uang dan korupsi penerimaan pajak, oleh pegawai Ditjen Pajak, menjadi sangat relevan mempertanyakan kembali kerahasiaan data wajib pajak, agar dapat diakses oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka melaksanakan audit penerimaan pajak secara utuh dan menyeluruh.

Implikasi dari kerahasiaan data wajib pajak, adalah menjadi titik kritis/trigger point terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan aparat pajak, dalam bentuk persekongkolan dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat pajak dengan/ bersama wajib pajak, yang tentu saja membawa "keuntungan" berupa "keringanan pajak" bagi wajib pajak, sedangkan bagi aparat pajak, adalah diperolehnya uang suap/gratifikasi, karena melakukan pemalsuan/manipulasi data wajib pajak, dengan tujuan memperkecil nilai pajak, dari yang seharusnya disetorkan. Disitulah terjadi tindak pidana korupsi, dan kolusi, yang mengakibatkan kerugian negara.

Bertolak dari hal tersebut, paper ini akan membahas mengenai aspek hukum dari kerahasiaan wajib pajak ini serta pendapat pribadi kelompok kami apakah kerahasiaan wajib pajak seharusnya dilindungi ataukah dibuka demi kepentingan publik.

(3)

SEJARAH

Perihal kewajiban untuk merahasiakan data perpajakan atau data yang diperoleh dari Wajib Pajak ini sesungguhnya telah ada sejak undang-undang KUP pertama kali diterbitkan, yaitu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Seiring perubahannya, ketentuan Pasal 34 dan 35 dalam undang-undang KUP tersebut hanya mengalami sedikit penyempurnaan, terutama pada penambahan Pasal 34 ayat (2a) serta Pasal 35A yang mengatur mengenai kewajiban instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi perpajakan kepada DJP. Dengan pengaturan yang ada saat ini, kerahasiaan data perpajakan tidak lagi dibatasi seluruhnya, tetapi ada beberapa pengecualian yang diatur di Penjelasan Pasal 34 ayat (2a). Dengan begini telah terdapat batasan yang jelas antara mana data perpajakan yang sifatnya rahasia, dan mana sifatnya umum atau tidak rahasia.

Hal yang paling mencolok perbedaannya pada perubahan undang-undang KUP ialah sanksi atas pelanggaran kewajiban yang diatur di Pasal 34 dan 35 itu sendiri. Terdapat peningkatan jumlah sanksi pidana yang diterapkan kepada setiap bentuk pelanggaran terhadap kewajiban menjaga rahasia jabatan. Peningkatan tersebut digambarkan pada tabel berikut ini. Sanksi: UU No 6 Tahun 1983 UU No 9 Tahun 1994 UU No 16 Tahun 2000 UU No 28 Tahun 2007 Pasal 34 Kealpaan Sengaja Kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak

Rp1.000.000,-

Penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000,- Kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000,- Penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000,- Kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000,- Penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,- Kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,- Penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,-

Pasal 35 - Penjara paling

lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000,- Penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,- Kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,-

(4)

Hal tersebut di atas menggambarkan betapa besar perhatian Pemerintah terhadap pentingnya menjaga kerahasiaan data Wajib Pajak ini. Telah diatur hukum yang jelas dan padu seputar penanganan kerahasiaan jabatan dan sanksi atas pelanggaran terhadap kerahasiaan jabatan. Pelaksanaannya pun dapat dilakukan selama DJP memperoleh tuntutan berupa pengaduan orang/pihak yang kerahasiaannya dilanggar.

KETENTUAN HUKUM

Masalah kerahasiaan secara umum sebenarnya telah diatur secara umum dalam pasal 322 dan pasal 323 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Isi selengkapnya dari kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

 Pasal 322 Ayat (1):

“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah”.

Ayat (2):

“Jika kejahatan dilakukan seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tua”.

 Sedangkan Pasal 232 ayat (1) berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan, atau pertanian, dimana ia bekerja atau dahulu bekerja, yang olehnya atau dahulu dirahasiakan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah”.

Dan ayat (2)-nya berbunyi:

“Kejahatan ini hanya dituntut atas pengaduan perusahaan itu”.

Sementara itu secara khusus masalah kerahasiaan di bidang perpajakan telah diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang isi selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

 Pasal 34 Ayat (1):

“Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(5)

“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Ayat (2a):

“Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:

1. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau

2. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

Ayat (3):

“Untuk kepentingan negara, Menteri keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya”.

Ayat (4):

“Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.”

Ayat (5):

“Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.”

 Selanjutnya, Pasal 35 berbunyi: Ayat (1):

“Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan, atau bukti dari bank, Akuntan Publik, Notaris, Konsultan Pajak, Kantor Administasi dan pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik atas permintaan tertulis dari Direktur jendral Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta”.

(6)

“Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditaidakan, kecuali untuk Bank kewajiban merahasikan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri keuangan.“

Interpretasi Undang-Undang:

Pertanyaan besar yang muncul sekarang adalah, siapa yang dimaksud dengan pejabat dalam kutipan pasal-pasal tersebut di atas? Pejabat dapat diartikan sebagai seorang Pegawai Negeri yang memangku suatu jabatan tertentu dalam lingkungan jabatan di suatu pemerintahan. Hal ini dapat dimengerti karena memang hanya pejabat-pejabat dalam pemerintahannya yang mengeluarkan kebijakan tertentu.

Akan tetapi, jika dilihat bunyi pasal 34 dan 35 UU KUP, ternyata yang dimaksud dengan pejabat dalam hal ini sangat luas cakupannya, yaitu setiap petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Bahkan para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan pada hakekatnya adalah sama juga dilarang untuk mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak.

Sedangkan yang dimaksud dengan rahasia adalah segala sesuatu yang tersembunyi (hanya boleh diketahui oleh seorang atau beberapa saja); ataupun yang sengaja disembunyikan supaya orang lain jangan mengetahuinya. Dengan demikian kerahasiaan data perpajakan dapat didefinisikan sebagai setiap data wajib pajak yang sifatnya tersembunyi (rahasia) dan hanya diketahui oleh seseorang atau beberapa orang saja.

Kerahasiaan Wajib Pajak ini perlu dilindungi oleh setiap pejabat yang menangani masalah perpajakan. Minimal 2 alasan yang dapat dikemukakan, yaitu:

1. Pertama, untuk mencegah adanya persaingan dengan antara satu Wajib Pajak dengan Wajib Pajak lainnya, dan

2. Kedua, untuk mencegah dalam hal mengungkapkan asal usul kekayaan atau penghasilan yang diperoleh Wajib pajak, yang pada hakekatnya merupakan rahasia pribadi sesuai dengan asas hukum pajak.

Karena soal pajak ini merupakan soal pribadi seseorang yang tidak perlu diketahui orang lain, maka soal harta harta kekayaan, penghasilan atau utang adalah merupakan masalah pribadi yang harus dijamin oleh undang an oleh para pelaksana undang-undang. Pejabat yang menangani masalah perpajakan tidak diperbolehkan menceritakan atau memberitahukan hak kekayaan dan sebagainya dari Wajib Pajak kepada pihak lain. Kewajiban ini telah ditegaskan dalam pasal 34 seperti dijelaskan diatas, melalui apa yang disebut Rahasia Jabatan.

Jika Wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakannya dan keterangan lainnya kepada pejabat yang menangani masalah perpajakan. Wajib Pajak harus merasa aman bahwa informasinya tidak akan diketahui secara sengaja atau tidak akan diketahui oleh puhak lain. Bila pejabat secara sengaja atau tidak sengaja (lalai, tidak hati-hati dan tidak

(7)

memperdulikan kewajibannya) menceritakan lebih lanjut perihal pajak kepada pihak lain, maka tindakan pejabat dimaksud dapat dituntut hakim, karena Wajib Pajak merasa dirinya telah dirugikan.

Hal mengenai rahasia jabatan juga dapat kita lihat dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti ditegaskan dalam pasal 2 PP Nomor 30 tahun 1980 yang mewajibkan setiap Pegawai negeri untuk menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Sementara pasal 13 juga menegaskan bahwa setiap pegawai negeri dilarang membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.

Kerahasiaan Wajib Pajak yang Perlu Dilindungi

Dari penjelasan pasal Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa Data Wajib Pajak merupakan rahasia. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :

1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak,

2. Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan,

3. Dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia, 4. Dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkenaan.

Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (2a), yang termasuk dalam pengecualian yang bisa diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib Pajak meliputi:

1. Nama Wajib Pajak

2. Nomor Pokok Wajib Pajak 3. Alamat Wajib Pajak 4. Alamat kegiatan usaha 5. Merek usaha; dan/atau 6. Kegiatan usaha Wajib Pajak

7. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi: 8. Penerimaan pajak secara nasional ;

9. Penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak ;

(8)

11. Penerimaan pajak per klarifikasi lapangan usaha ;

12. Jumlah Wajib Pajak dan/atau pengusaha kena pajak terdaftar ; 13. Register permohonan Wajib Pajak ;

14. Tunggakan pajak secara nasional; dan/atauTunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.

Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana tersebut di atas, supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. Yang dimaksud untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Demikian pula untuk pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat.

Kewajiban menjaga rahasia itu memang tetap memiliki pengecualian, dalam arti untuk kepentingan tertentu, maka rahasia itu dapat dibuka. Akan tetapi pengecualian itu harus jelas dan ditentukan secara tegas. Seperti misalnya untuk kepentingan pemeriksaan perkara perpajakan di depan persidangan di Pengadilan Pajak, atau juga untuk kepentingan lain yang dibenarkan Undang-Undang. Akan tetapi pengecualian ini bersifat sangat terbatas. Untuk itu Menteri Keuangan mestinya juga meneliti dengan seksama sebelum memberikan izin tersebut. Dalam surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan juga harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Ayat (2a) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak mengatur mengenai pembatasan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap penerimaan negara dari sektor pajak. Ketentuan tersebut merupakan pengaturan mengenai pengecualian terhadap larangan bagi pajabat dan tenaga ahli pajak untuk memberitahukan data dan informasi mengenai Wajib Pajak apabila data dan informasi tersebut ditujukan untuk kepentingan negara atau pengadilan. Dengan adanya ketentuan tersebut, para pejabat dan tenaga ahli pajak yang akan memberikan data dan informasi mengenai perpajakan kepada BPK untuk keperluan audit, tidak akan terkena ketentuan sanksi pidana. Namun demikian, ketentuan pada UU KUP tersebut mensyaratkan pejabat pajak dapat memberikan informasi mengenai Wajib Pajak setelah mendapatkan ijin berupa ketetapan dari Menteri Keuangan.

(9)

Konsep Kerahasiaan Data Perpajakan Dalam OECD

OECD (Organtization for Economic Co-operation and Development) juga mengatur mengenai perlindungan terhadap kerahasiaan informasi perpajakan, terutama yang berkaitan dengan pertukaran inforamsi (Exchange of Information) untuk tujuan perpajakan. Pengaturan ini mempersyaratkan adanya perlindungan yang memadai terhadap kerahasiaan informasi yang diperoleh oleh otoritas pajak suatu negara yang diperoleh baik dari Wajib Pajak (domestik) maupun dari otoritas pajak lainnya (global). Ini dimuat dalam dokumen OECD Model Agreement on Exchange of Information on Tax Matters dan commentary.

Menurut OECD, kerahasiaan data/informasi Wajib Pajak (taxpayer) selalu menjadi landasan (cornerstone) yang fundamental dalam sistem perpajakan. Bagaimana bisa Wajib Pajak mau mematuhi peraturan perpajakan dan menjalankan sistem perpajakan yang diatur apabila Wajib Pajak tersebut tidak memiliki kepercayaan yang memadai akan keterjaminan keamanana informasi keuangan yang mereka sampaikan kepada otoritas pajak? Sudah barang tentu, mereka perlu mendapatkan jaminan ini terlebih dahulu, baru mereka melaporkan data dan informasi keuangan dalam bentuk laporan pajak mereka. Maka dari itu, OECD mempersyaratkan negara-negara yang tergabung dalam OECD agar mengatur dalam peraturan perundang-undangan pajak masing-masing terkait kewajiban merahasiakan data perpajakan ini. OECD mempersyaratkan adanya legal framework yang termuat dalam sistem dan prosedur yang tersedia untuk menjamin pelaksanaan jaminan atas kerahasiaan data dan informasi perpajakan, dan sanksi yang tegas terhadap setiap bentuk pengungkapan data dan/atau informasi perpajakan yang sifatnya rahasia.

Maka untuk menjamin itu, OECD mengeluarkan best practices sehubungan dengan perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan. Best Practices ini memuat cara bagaimana memenuhi tingkat yang diharapkan atas pengamanan data dan informasi perpajakan yang dapat diterapkan pada lingkungan otoritas pajak yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan definisi OECD terhadap kerahasiaan data perpajakan sebagai cornerstone pada setiap fungsi operasional dan administrasi perpajakan, OECD menjelaskan hubungan antara kecanggihan administrasi perpajakan dengan praktik perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan. Menurut OECD, hubungan di antara keduanya adalah berbanding lurus, yaitu semakin tinggi kecanggihan dan kerumitan administrasi perpajakan suatu negara, maka akan semakin tinggi tuntutan bagi otoritas pajak negara tersebut untuk melindungi kerahasiaan data dan informasi perpajakannya dari pihak yang tidak terotorisasi. Ini dibuktikan melalui penerapan Exchange of Information (EoI) antara dua otoritas pajak. Penggunan instrumen EoI sebagai media perpajakan adalah hal yang canggih dan rumit bagi kedua otoritas pajak terkait. Oleh karena itu, ini menuntut peningkatan peran otoritas pajak terkait untuk menjaga dan melindungi kerahasiaan pajak yang termuat dalam EoI tersebut.

Seputar Kerahasiaan Data dan Informasi Perpajakan dalam dokumen OECD dimuat pada Pasal 8 TIEA, sebagai berikut.

“Any information received by a Contracting Party under this Agreement shall be treated as confidential and may be disclosed only to persons or authorities (including courts and administrative bodies) in the jurisdiction of the Contracting Party concerned with the assessment or collection of, the enforcement or prosecution in respect of, or the determination of appeals in relation to, the taxes covered by this

(10)

Agreement. Such persons or authorities shall use such information only for such purposes. They may disclose the information in public court proceedings or in judicial decisions. The information may not be disclosed to any other person or entity or authority or any other jurisdiction without the express written consent of the competent authority of the requested Party.”

Dan Pasal 22 Multilateral Convention, sebagaimana dimuat berikut ini.

1. Any information obtained by a Party under this Convention shall be treated as

secret and protected in the same manner as information obtained under the domestic law of that Party and, to the extent needed to ensure the necessary

level of protection of personal data, in accordance with the safeguards which may be specified by the supplying Party as required under its domestic law. 2. Such information shall in any case be disclosed only to persons or authorities

(including courts and administrative or supervisory bodies) concerned with the assessment, collection or recovery of, the enforcement or prosecution in respect of, or the determination of appeals in relation to, taxes of that Party, or the oversight of the above. Only the persons or authorities mentioned above may use the information and then only for such purposes. They may, notwithstanding the provisions of paragraph 1, disclose it in public court proceedings or in judicial decisions relating to such taxes.

Kedua pasal tersebut di atas menjelaskan kewajiban pihak yang menerima data dan informasi perpajakan untuk menjaga dan melindungi kerahasiaan informasi yang diterima, serta kewajiban pihak penerima untuk menggunakan informasi yang diterima dengan sebagaimana mestinya.

Di samping itu, OECD juga memberikan tiga hal penting yang perlu diperhatikan seputar pelaksanaan perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan:

1. Domestic laws must be in place to protect confidentiality of tax information; 2. Treaty obligations regarding confidentiality must be binding in countries;

3. Effective pelanties must be in place for unauthorized disclosures of confidential information exchanged.

Maka berdasarkan kriteria yang dipersyaratkan oleh OECD tersebut, sesungguhnya undang-undang KUP kita telah mengatur mengenai pemenuhan ketiganya, yaitu terkait kerahasiaan jabatan di Pasal 34, korelasi dengan tax treaty di ketentuan peralihan, dan hukuman yang efektif atas setiap pelanggaran kerahasiaan jabatan pada ketentuan pidana di Pasal 41.

(11)

STUDI KASUS

1. Kerahasiaan Wajib Pajak: BPK vs Kementerian Keuangan

BPK Keluhkan Izin Menkeu terkait Pemeriksaan Pajak

Meski sidang uji materi UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) baru mengagendakan pemeriksaan pendahuluan. Namun, besarnya interest terhadap persidangan ini cukup tinggi.

Hal ini terlihat dari hadirnya wajah-wajah cukup populer di masyarakat. Sebut saja di antaranya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Sekjen Depkeu Mulia P Nasution, dan Dirjen Pajak Darmin Nasution. Mereka bertiga hadir sebagai wakil dari pemerintah guna mempertahankan UU KUP dari gugatan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution.

Dalam persidangan, Anwar mengatakan, ketentuan Pasal 34 ayat 2A huruf B UU KUP dinilai menghambat kinerja BPK di dalam memeriksa Ditjen Pajak. Pasal tersebut menegaskan bahwa untuk bisa mengaudit penerimaan pajak, BPK mesti mendapat restu dari Menkeu melalui sebuah penetapan. Restu Menkeu ini terkait dengan upaya untuk menjaga kerahasiaan wajib pajak.

Bahkan, restu Menkeu itu baru bisa turun jika Ketua BPK mengajukan permohonan tertulis. Jika tidak, restu itu nggak bakalan turun. Padahal kedudukan Ketua BPK sebagai lembaga negara adalah lebih tinggi daripada Menkeu, kritik Anwar sambil menekankan bahwa permintaan BPK itu seringkali tak digubris oleh Menkeu.

Anwar menilai ketentuan Pasal 34 ayat 2A huruf b itu memang bertujuan untuk mengatur Departemen Keuangan secara internal. Namun, Anwar mempersoalkan implementasi aturan itu yang sering disalahgunakan, salah satunya untuk menghambat tugas BPK, yakni memeriksa Ditjen Pajak.

Kuasa hukum pemohon, Bambang Widjojanto mengungkapkan beberapa frase dalam Pasal 34 ayat 2A huruf b yang digugat oleh kliennya. Salah satunya adalah frase 'yang ditetapkan Menteri Keuangan'. Pemohon menafsirkan pasal tersebut bahwa pejabat dan/atau tenaga ahli yang dapat memberikan keterangan tersebut adalah yang 'ditetapkan Menteri Keuangan'.

Pasal 34 ayat (1)

Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal yang diuji, Pasal 34 ayat 2A huruf b

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang

(12)

melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

Tidak Tepat

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Patrialis Akbar mengkritik permohonan BPK yang dinilainya sedikit kabur. Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagai hak konstitusionalnya. Ketentuan tersebut menyatakan, Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

Patrialis menilai penggunaan dalil ini tidak tepat. Yang bebas dan mandiri itu adalah kelembagaannya. Bukan cara kerjanya, ujarnya. Ia menilai, BPK seakan mengartikan bebas dan mandiri itu adalah cara kerjanya.

Politisi dari Fraksi PAN ini juga menyampaikan penafsiran berbeda terkait izin Menkeu. Menkeu menetapkan pejabat agar keterangannya pas dengan yang diingini BPK. Bukan membatasi BPK, tetapi untuk memberi aba-aba, jelasnya. Meski demikian, ia menyambut baik langkah BPK ini. Kalau ada perbedaan penafsiran UU memang di bawa ke MK, ujarnya.

Sayangnya, Menkeu menolak berkomentar di persidangan. Ini kan masih pemeriksaan pendahuluan. Keterangan pemerintah akan disampaikan pada sidang selanjutnya, tandas Sri Mulyani kepada Majelis Hakim Konstitusi. Namun, usai persidangan, Ani--sapaan akrabnya-- memberi sedikit komentar. Secara prinsip, tujuan kita tidak ada bedanya, ujarnya.

Selama ini, lanjut Ani, baik Menkeu dan BPK menginginkan adanya pengelolaan keuangan negara yang mengikuti rambu-rambu internasional terkait pengelolaan yang baik. Namun, setiap institusikan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, ujarnya diplomatis.

Tanggapan:

Menurut pendapat kelompok kami, data dan informasi Wajib Pajak sudah selayaknya dirahasiakan dan dilindungi kerahasiaannya. Oleh karena itu, membuka rahasia Wajib Pajak adalah tindakan melanggar hukum, suatu kesalahan, dan undang-undang memberikan ancaman hukuman bagi yang melakukan. Ini juga selaras dengan guidance yang diterapkan OECD seputar kerahasiaan data dan informasi perpajakan.

Dalam konteks peraturan perpajakan kita, terutama sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, kerahasiaan data dan informasi perpajakan ini dapat ditiadakan melalui izin yang diberikan oleh Menteri Keuangan. Izin inilah yang dapat dimanfaatkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan pemeriksaan penerimaan pajak nasional. Hanya saja, berdasarkan studi kasus di atas, permohonan BPK terkait ini ternyata kebanyakan tidak digubris oleh Kementerian Keuangan. Atas hal ini, menurut kami Kementerian Keuangan perlu menindaklanjuti surat permohonan BPK sebagaimana mestinya. Apabila surat permohonan dipandang melebihi

(13)

batasan kerahasiaan yang dipersyaratkan, maka permohonan tersebut sebaiknya ditolak melalui surat keputusan. Jika, maka permohonan dapat diterima dan kerahasiaan data perpajakan untuk hal-hal yang dimohonkan dapat dibuka sebagai bentuk pengecualian. Di atas itu semua, Menteri Keuangan adalah pejabat yang diberi mandat untuk menentukan apakah akan membuka atau membiarkan tertutup data dan informasi dari Wajib Pajak tersebut.

Adapun, keinginan BPK untuk mengotomatisasi setiap permohonan pembukaan data dan informasi Wajib Pajak menurut kami tidak tepat. Bagaimanapun data dan informasi Wajib Pajak adalah informasi sensitive yang harus dijaga kerahasiaannya, sebab kerahasiaan tersebut berkenaan dengan kepercayaan Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak. Kerahasiaan dapat dibuka hanya atas izin dari Menteri Keuangan.

(14)

2. “Membuka” SPT Tahunan PPh OP Capres-Cawapres

Capres dan Cawapres Ditantang Buka SPT Pajak

JAKARTA, KOMPAS.com – Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ditantang untuk membuka Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi yang mereka laporkan. Transparansi SPT menunjukkan komitmen masing-masing pasangan untuk membenahi persoalan pajak yang selama ini kerap terjadi di Indonesia.

“SPT adalah sarana legal yang paling mudah dikonfirmasi dan dijadikan ukuran akuntabilitas public seorang capres dan cawapres. Pembukaan data pajak pribadi secara sukarela oleh wajib pajak juga tidak melanggar UU tentang Perpajakan,” kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas di Jakarta.

Menurut Ilyas, ada dua persoalan utama yang terkait dengan permasalahan pajak di Indonesia. Pertama, praktik permainan pajak oleh mafia pajak. Praktik tersebut dinilai sangat merugikan kepentingan publik. Pasalnya, sumber pendapatan negara dari sector pajak yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membangun fasilitas umum justru berkurang.

“Sehingga, pemimpin yang akan datang harus dipastikan memiliki komitmen dan keberanian utnuk menangkal praktik penghindaran pajak dan tegas menghukum para pengemplang pajak yang merugikan,” katanya.

Kedua, banyak sumber-sumber penerimaan pajak negara yang belum tergarap optimal. Hal itu dibuktikan dari rendahnya penerimaan pajak dari orang pribadi, dan rendahnya jumlah wajib pajak potensial yang terdaftar.

“Dengan tradisi baru tersebut maka kita mengawali tradisi sehat dan proses transparan dari diri calon pemimpin” ujar Ilyas.

Tanggapan:

Kami menilai untuk hal-hal tertentu keterbukaan informasi perpajakan dapat dilakukan, selama pihak yang pemilik informasi tidak keberatan. Contohnya adalah pada isu yang sedang panas sekarang ini yaitu tantangan kepada pasangan Capres-Cawapres untuk membuka laporan pajaknya. Berdasarkan paparan di atas, hal ini dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui akuntabilitas capres dan cawapres yang akan mereka pilih pada 9 Juli nanti. Seperti dijelaskan di atas SPT adalah sarana legal yang paling mudah dikonfirmasi dan dijadikan ukuran akuntabilitas publik seorang capres dan cawapres yang teruji validitasnya. Perlu diketahui, pembukaan data pajak pribadi secara sukarela oleh Wajib Pajak tidak melanggar UU tentang Perpajakan. Oleh karena itu, menurut kami. hal ini dapat dilakukan selama pasangan capres dan cawapres tidak keberatan melakukannya.

(15)

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan kami ini, kami menyimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Data dan informasi perpajakan adalah bersifat rahasia dan patut dijaga kerahasiaannya oleh setiap pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak secara khusus, dan di lingkungan Kementerian Keuangan secara umum. Ini penting untuk dilakukan, sebab sesuai dengan guidance yang diberikan OECD, data dan informasi perpajakan itu sifatnya sensitif dan dapat mempengaruhi kepercayaan Wajib Pajak (taxpayers) kepada otoritas pajak. Oleh karena itu, sebelum mengharapkan Wajib Pajak mau melaksakan kewajiban perpajakannya, adalah penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menjamin kerahasiaan data Wajib Pajak aman di tangan Direktorat Jenderal Pajak. Segala pelanggaran terhadap hal ini dapat dipidanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU KUP.

2. Atas keputusan Menteri Keuangan data dan informasi ini dapat dibuka kepada pihak-pihak yang disetujui, tentu dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan isi Pasal 34 Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menurut kami, dengan mekanisme seperti ini data dan informasi perpajakan akan dibiarkan tetap menjadi rahasia sebagaimana mestinya, kecuali dengan seizin Menteri Keuangan data tersebut dapat dibuka.

(16)

REFERENSI

1. OECD Global Forum Guide on The Protection of Confidentiality of Information Exchanged for Tax Purposes

2. http://social-pajak.blogspot.com/2008/04/aspek-hukum-kerahasiaan-pajak.html Diakses tanggal 2 Juli 2013

3.

http://jagadraya.over-blog.com/article-pentingnya-data-wajib-pajak-dalam-audit-penerimaan-pajak-sebagai-upaya-pencegahan-korupsi-47576228.htmlDiakses tanggal

2 Juli 2013

4.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18625/atas-nama-ham-bpkdepkeu-perdebatkan-kerahasiaan-data-pajakDiakses tanggal 2 Juli 2013

5. ht

tp://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2010/02/09/daftar-100-penunggak-pajak-sby-perintahkan-kejar-pengemplang-pajak-benarkah-politisasi-pajak/Diakses tanggal 2 Juli 2013

6.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18480/bpk-keluhkan-izin-menkeu-terkait-pemeriksaan-pajakDiakses tanggal 2 Juli 2013

7. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/2002107/Capres.dan.Cawapres.Ditantang

Referensi

Dokumen terkait

pertama di dapat variabel kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan kompetensi dengan nilai pengaruh langsung lebih kecil dari pengaruh tidak

Berkaitan dengan Evaluasi Renja Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Riau Tahun 2019 yang mempertimbangkan bahwa Dinas Komunikasi, Informatika dan

Dalam proses akuntansi diidentifikasikan berbagai transaksi atau peristiwa yang merupakan kegiatan ekonomi perusahaan, yang dilakukan melalui pengukuran, pencatatan, penggolongan,

Sistem Pendukung Keputusan (SPK) pemilihan lokasi gudang dengan menggunakan metode Brown Gibson ini memberikan hasil, yaitu alternatif akan menjadi prioritas tertinggi

Yang menghendaki profesi Notaris di Indonesia adalah pasal 1868 Kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta didalam bentuk yang

Fauzia (2006) menj elaskan bah- wa CSR adalah bentuk filantropi yang menj adi komit men kepedulian peru- sahaan t erhadap masyarakat. Filan- tropi yang bisa disepadankan

Hasil tersebut memperlihatkan juga bahwa, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan pada karakteristik keterampilan berpikir kreatif secara umum antara subjek

Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji hubungan antara motivasi, persekitaran kerja, kerja berpasukan dan kepimpinan terhadap kepuasan pekerja di kalangan pekerja