• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN GOAL PROGRAMMING UNTUK MENGANALISIS PEMBOROSAN LISTRIK DI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN GOAL PROGRAMMING UNTUK MENGANALISIS PEMBOROSAN LISTRIK DI DKI JAKARTA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN GOAL PROGRAMMING UNTUK MENGANALISIS PEMBOROSAN

LISTRIK DI DKI JAKARTA

Sri Listyarini

Jurusan Biologi – Program Studi Pengelolaan Lingkungan FMIPA - Universitas Terbuka

Jl. Cabe Raya - Pondok Cabe - Pamulang 15418 E-mail: listyarini@mail.ut.ac.id

Diterima 31 Juli 2008, disetujui untuk diterbitkan 19 September 2008 ABSTRACT

The economic growth in urban area may affect lifestyle which will increase the energy demand. Electricity is a kind of energy that is produced by burning the fossil fuel. Fossil fuel as the main source of energy emitts some pollutants to the ambient, two of them are SO2 and NO2 gases. In this research the

analysis of the optimum amount of electricity consume for Jakarta province is done by using the goal programming methods. GAMS (General Algebraic Modelling System) software is utilized to analyse the degree of wasting electricity in Jakarta Province by predicting the optimum amount of electricity required. The result of this research is the optimum amount of electricity for Jakarta only 39.18 percent of the electricity production in 2006, with abatement cost to reduce SO2 and NO2 gases is 1.4 million rupiahs. To save the

electricity consumption it is suggested to develop public policies based on the economic and environmental concerns, beside the social interest.

Keywords: ambient concentration of SO2 and NO2 gases, energy elasticity of electricity, GAMS (General

Algebraic Modelling System), goal programming 1. PENDAHULUAN

Manusia selalu ingin memperbaiki kualitas hidupnya, dan keinginan tersebut selalu diikuti dengan penambahan kebutuhan energi1). Listrik merupakan salah satu bentuk energi. Di Indonesia, dan di DKI

Jakarta khususnya, sebagian besar produksi listrik dipenuhi melalui pembakaran BBF (bahan bakar fosil). Selain menghasilkan energi, pembakaran BBF mengemisikan berbagai polutan ke udara ambien, antara lain berupa gas SO2 dan NO2 yang mengakibatkan hujan asam dan menyebabkan berbagai penyakit. Selama ini

penggunaan energi di DKI Jakarta, khususnya dalam bentuk listrik, dianggap boros. Di sisi lain, cadangan BBF semakin menipis dan harga BBF semakin melambung. Seberapa besar tingkat pemborosan tersebut dalam kaitannya dengan pencemaran gas SO2 dan NO2 di udara ambien akan dianalisis dalam penelitian ini.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat pemborosan energi yang dirumuskan secara kuantitatif.

Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jumlah optimal listrik yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber energi bagi penduduk DKI Jakarta agar pencemaran gas SO2 dan

NO2-nya minimal. Jumlah optimal penggunaan listrik bagi penduduk DKI Jakarta diperoleh melalui metode

goal programming, selanjutnya jumlah ini dibandingkan dengan produksi listrik untuk mengetahui tingkat pemborosan penggunaan listrik. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi perancangan kebijakan mengenai penghematan penggunaan listrik dan upaya pengembangan energi alternatif.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini diawali dengan perancangan model optimasi guna mengetahui jumlah optimum listrik yang idealnya digunakan oleh penduduk DKI Jakarta sebagai sumber energi. Model optimasi dikembangkan dengan metode goal programming menggunakan perangkat lunak GAMS2, 3). Bahan yang digunakan dalam

(2)

kebijakan yang berlaku di DKI Jakarta, rumus-rumus dan faktor konversi hasil penelitian terdahulu, serta beberapa asumsi.

Model optimasi dikembangkan dengan metode goal programming (GP), yaitu metode yang digunakan untuk menghubungkan antara tujuan (objective) dan hambatan (constraint) yang tidak seluruhnya lengkap5). Tujuan dari metode GP adalah untuk meminimalkan deviasi dari multi tujuan terhadap performans

relatifnya. GP dirumuskan dalam konteks masalah linier programming, tetapi prinsip-prinsipnya dibangun melalui masalah yang bersifat non linier. Linier GP dapat dirumuskan sebagai (Persamaan 1)3):

− + = − + =

i i i k i j ijx g g g a 1 (1) dimana: ij

a = jumlah unit input

j

x = jumlah unit produk

gi = goal atau target dari variabel yang ingin dicapai, misalnya target emisi atau

konsentrasi polutan yang dinyatakan dalam baku mutu emisi (BME) +

i

g = ekses performans relatif terhadap goal, misalnya penalti akibat kelebihan polutan yang diemisikan

gi− = defisit performans relatif terhadap goal, misalnya penalti karena

kekurangan produksi listrik akibat adanya pembatasan jumlah emisi polutan i dan j = bilangan bulat yang menyatakan tujuan ke i dan j

Dalam penelitian ini, Persamaan (1) di atas dapat disederhanakan untuk menyatakan jumlah penalti minimal yang akan diperoleh, menjadi seperti Persamaan (2):

− + + + Mg Ng x qA Min( ) (2) dimana: qA = jumlah input

x = biaya per satuan input

M = biaya penalti per satuan kelebihan polutan N = biaya kerugian per satuan kekurangan produk dengan batasan:

0

.

=

+

g

g

yang berarti kedua deviasi tidak boleh positif secara bersamaan

0

,

,

g

+

g

x

yang berarti jumlah produk dan kedua deviasi tidak boleh bernilai negatif

Tabel 1 memperlihatkan jenis data yang digunakan dalam model optimasi untuk menganalisis jumlah listrik optimal yang dapat digunakan sebagai sumber energi agar biaya abatemen gas SO2 dan NO2-nya

minimal. Pengembangan model optimasi dilakukan dengan metode Goal Programming, menggunakan perangkat lunak GAMS2, 6).

Tabel 1. Matriks data sebagai acuan model optimasi

Produk X g -1 g-2 g-3 Target Satuan Listrik 1 1 0 0 11,650184 MkWh SO2 4880000 0 -1 0 1058432 Ton NO2 4810000 0 0 -1 1323040 Ton Harga 495000 8.25 *10-6 17,23*10-6 Juta Rupiah Keterangan tabel:

(3)

1. Produk (X): Listrik sebesar 1 Milyar kWh (MkWh) akan mengemisikan gas SO2 dan NO2 seberat X Ton

per tahun7).

2. Target: Listrik yang dibutuhkan penduduk DKI Jakarta pada kondisi ideal dan BME (Baku Mutu Emisi) gas SO2 dan NO2 per tahun

Listrik dihitung dari jumlah penduduk DKI tahun 2006 dikalikan kebutuhan listrik rata-rata, 1300 kWh/kapita/tahun8).

BME polutan yang berupa gas SO2 dan NO2 dihitung berdasarkan Keputusan Gubernur DKI No 670

tahun 20009) dikalikan dengan volume udara Provinsi DKI Jakarta.

3. Harga: menyatakan harga tiap penambahan satuan listrik (MkWh), dan biaya pengurangan polutan per Ton per tahun

Harga listrik 1 MkWh ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 104 tahun 200310).

Biaya abatemen polutan di konversi dari Belanda, Jerman, dan Jepang2, 11).

Berdasarkan data pada Tabel 1 dikembangkan persamaan matematik untuk mencari jumlah emisi maksimal berdasarkan Rumus (1) sebagai berikut:

listrik defisit emisi surplus BME maksimal emisi Jumlah = + − (3)

Jumlah emisi maksimal dari Persamaam (3) akan memberikan penalti (biaya abatemen polutan) minimal yang diturunkan dari Rumus (2), yaitu:

(

)

listrik defisit emisi kelebihan penalti Biaya listrik satuan per Biaya listrik Min Minimal Penalti + + ∗ = (4) Persamaan matematik yang dikembangkan dan nilai-nilai pada matriks Tabel 1 diolah dengan menggunakan perangkat lunak GAMS (General Algebraic Modelling System) untuk memperoleh nilai optimal dari listrik yang dapat digunakan, dengan emisi polutan di bawah nilai BME. GAMS merupakan bahasa pemrograman, sehingga untuk menggunakannya diperlukan penulisan program sebagai input file, dengan memasukkan nilai-nilai pada matriks data (Tabel 1) beserta persamaan matematiknya2, 6).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Input file diolah dengan perangkat lunak GAMS, dan hasil pengolahannya berupa output file, yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengolahan GAMS menyatakan bahwa total biaya penalti yang harus dibayarkan adalah Rp.1.403,033 Juta atau sekitar Rp. 1,4 Milyar, untuk menghasilkan listrik bagi DKI Jakarta sebesar 11,650 Milyar kWh. Biaya penalti ini dihitung berdasarkan biaya abatemen yang harus dikeluarkan agar emisi polutan berupa gas SO2 dan NO2 yang menyertai produksi listrik dan penggunaan energi tidak

melebihi BME yang telah ditetapkan oleh Pemda DKI Jakarta.

Dengan nilai jual 11,650 Milyar kWh listrik sebesar Rp.5,767 Triliun, tentunya biaya abatemen sebanyak Rp.1,4 Milyar bukanlah merupakan jumlah yang besar, karena biaya abatemen hanya 0,0243 persen dari nilai jual listrik. Namun demikian karena penggunaan listrik di DKI Jakarta selama ini lebih banyak digunakan untuk konsumsi, bukan untuk produksi, maka biaya abatemen yang harus dikeluarkan selama ini belum diperhitungkan dalam biaya produksi listrik.

Biaya untuk mereduksi emisi pencemar atau biaya abatemen tentunya tidak perlu dikeluarkan oleh produsen listrik, melainkan harus dibayar oleh institusi yang kegiatannya mengemisikan pencemar. Pembayaran tersebut bisa dalam bentuk penggunaan teknologi yang tepat maupun penggantian jenis bahan baku dan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Sayangnya sampai saat ini, sistem insentif bagi industri yang menurunkan emisi polutannya secara signifikan dan kontrol terhadap emisi industri belum diterapkan. Akibatnya hanya industri-industri besar yang memerlukan label ramah lingkungan untuk kepentingan pemasaran dan ekspor produknya yang berusaha untuk melakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini dilakukan lebih karena kebutuhan pasar dan bukan karena usaha untuk mentaati peraturan, apalagi kesadaran untuk menjaga kualitas lingkungan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perlu dikembangkan kebijakan lingkungan yang berbasis kebutuhan pasar berupa instrumen ekonomi.

Kegiatan ekonomi dapat dianggap sebagai pendorong meningkatnya pencemaran, karena pencemaran merupakan fenomena yang pervasive akibat adanya aktivitas ekonomi12). Karena itulah

(4)

Pada penelitian ini, hasil yang diperoleh dari model optimasi kemudian dibandingkan terhadap produksi listrik yang siap jual di DKI Jakarta pada tahun 20064) yaitu sebesar 29.736.446.945 kWh (29,736

Milyar kWh). Hasil pengembangan model menyatakan bahwa jumlah optimal listrik bagi penduduk DKI Jakarta adalah sebesar 11,650 Milyar kWh. Perbandingan kedua nilai ini menyatakan bahwa jumlah listrik optimal bagi penduduk DKI Jakarta hanya sekitar 39,18 persen dari produksi listrik pada tahun 2006. Jumlah produksi listrik sebesar lebih dari 2,5 kali lipat jumlah optimal merupakan gambaran tingkat pemborosan listrik.

Penggunaan listrik penduduk DKI Jakarta dapat dikatakan boros jika ditinjau dari jumlah optimal listrik dengan biaya abatemen minimal, berdasarkan output dari model optimasi menggunakan metode goal programming. Lebih jauh lagi, jika jumlah produksi atau penggunaan listrik ini dibandingkan dengan target sebesar 11,650 Milyar kWh, maka terdapat kelebihan produksi listrik sebanyak 18,09 Milyar kWh.

Meskipun penduduk di DKI Jakarta dikatakan boros dalam menggunakan listrik, namun ternyata konsumsi energi per kapita Indonesia masih relatif rendah dibanding negara lain. Perbandingan konsumsi energi per kapita antar negara dinyatakan dengan suatu indeks13). Jika negara Jepang diberi indeks 100

untuk menyatakan konsumsi energi per kapitanya, maka nilai indeks untuk Indonesia adalah 11, sementara itu Thailand dan Malaysia memiliki indeks 24 dan 49. Di lain pihak negara maju seperti negara-negara Eropa yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dan Amerika Serikat memiliki indeks 114 dan 197. Negara-negara maju yang konsumsi energi per kapitanya cukup besar memiliki kondisi lingkungan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang. Hal ini terjadi karena PDB negara maju cukup tinggi dan sebagian dari PDB digunakan untuk mereduksi emisi gas SO2 dan

NO2 dari penggunaan BBF sebagai sumber energi.

Selama ini pemerintah belum memiliki kebijakan untuk mengalokasikan sebagian dari PDB sebagai biaya mereduksi pencemaran udara yang diakibatkan oleh penggunaan BBF. Pemerintah bahkan memberikan subsidi kepada BBM (bahan bakar minyak), yang merupakan salah satu jenis BBF, agar masyarakat tidak terlalu dibebani oleh harga BBM yang terus meningkat. Tetapi subsidi BBM tidak mendorong masyarakat untuk menggunakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM, karena harga BBM bersubsidi relatif lebih rendah dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Subsidi BBM ini mengakibatkan masyarakat relatif boros dalam menggunakan BBM. Menyadari hal ini dan untuk mengurangi beban subsidi BBM pada akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM dan mulai menggiatkan pengembangan bahan bakar alternatif.

Dengan meningkatnya harga BBM dunia, maka pengembangan bahan bakar alternatif dirasakan semakin mendesak. Setelah dikeluarkannya Peraturan Presidan Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional14) pengembangan bahan bakar alternatif mulai digiatkan, terutama pengembangan bahan

bakar nabati. Sebenarnya selain bahan bakar nabati, Indonesia juga memiliki berbagai sumber energi yang ramah lingkungan dan bersifat reversible seperti tenaga surya, panas bumi, energi angin, dan tenaga air. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBF sudah saatnya digunakan sumber-sumber energi alternatif tersebut agar pencemaran udara tidak semakin meningkat. Penetapan harga BBF dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mendorong penggunaan energi alternatif.

Kebijakan penetapan harga energi seperti Kepres No. 104/2003 tentang Harga Jual Tenaga Listrik10)

dan Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri15) dapat digunakan

untuk mengatasi pemborosan penggunaan energi, ketergantungan terhadap BBF, serta mengurangi pencemaran udara. Kebijakan penetapan harga energi tentunya didahului dengan kajian akademik, yang salah satu dasar pemikirannya adalah perlunya dilakukan konversi sumber energi dari sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (irreversible) ke sumberdaya alam yang dapat pulih (reversible). Yang perlu diingat dalam kajian kebijakan penetapan harga energi adalah pentingnya memprioritaskan aspek lingkungan, karena kebijakan yang mengutamakan aspek ekonomi semata akan merugikan, akibat adanya degradasi lingkungan berupa emisi pencemar. Degradasi lingkungan akhirnya akan menurunkan kondisi sosial masyarakat, terutama dengan adanya berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh pencemaran udara.

Guna mereduksi emisi pencemar, instrumen ekonomi yang berupa pajak juga dapat dikenakan kepada setiap kegiatan yang mengemisikan pencemar ke udara. Pajak ini dapat dibebankan pada input produksi, baik berupa bahan baku maupun bahan bakar yang dianggap akan mengemisikan pencemar ke udara. Penerapan kebijakan berupa pajak relatif mudah, karena kontrolnya dapat dilakukan melalui jumlah penjualan bahan baku dan bahan bakar yang akan mengemisikan pencemar. Di Perancis, Polandia, Hunggaria, dan Rusia pajak lingkungan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk perbaikan lingkungan,

(5)

jenis pajak seperti ini disebut sebagai ear marked tax16, 17). Namun demikian struktur pajak di Indonesia belum

memungkinkan hasilnya untuk melakukan abatemen terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh emisi pencemar. Selama ini, hasil pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan untuk berbagai kepentingan, yang adakalanya tidak berhubungan dengan sumber pajak.

Selain melalui instrumen ekonomi, kebijakan penghematan penggunaan energi dapat dilakukan melalui himbauan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Kebijakan penghematan penggunaan energi nasional ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi18),

yang antara lain berisi tentang pembatasan terhadap siaran televisi dan penurunan intensitas pendingin ruangan. Namun pelaksanaan penghematan energi yang didasarkan pada Inpres ini dirasa belum efektif, karena Inpres ini belum mencantumkan penalti dan lebih ditujukan kepada kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Seyogyanya kebijakan penghematan penggunaan energi tidak hanya ditujukan pada instansi pemerintah, namun perlu diterapkan pada seluruh aktivitas masyarakat.

Semua bentuk penghematan penggunaan energi akan berhasil baik jika didahului dengan penelitian dan pengembangan, sehingga peningkatan kualitas SDM memegang peran penting dalam upaya mereduksi keborosan penggunaan energi. Hal ini menjadi krusial, karena meskipun masyarakat Indonesia dikatakan boros dalam menggunakan energi, namun ternyata konsumsi energi per kapita Indonesia masih relatif rendah dibanding negara lain. Kondisi tersebut merupakan dilema bagi Indonesia dan khususnya provinsi DKI Jakarta, karena di satu pihak penggunaan energinya dinyatakan boros, sementara di pihak lain sebenarnya konsumsi energi per kapita masih rendah. Hal ini menimbulkan pertanyaan: dapatkah perekonomian Indonesia tetap tumbuh dengan peningkatan konsumsi energi, terutama dalam bentuk listrik, yang minimal?

Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya merupakan esensi dari pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan yang dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih tetap dapat dilaksanakan tanpa merusak lingkungan, melalui penghematan sumberdaya alam, termasuk sumber energi. Apabila pembangunan seperti ini dapat diwujudkan, maka biaya pembangunan dari sisi penggunaan energi akan semakin kecil sehingga pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan menjadi semakin besar. Dengan kata lain tantangan pembangunan Indonesia dalam pemanfaatan energi adalah bagaimana meminimumkan elastisitas energi.

Elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin rendah nilai elastisitas energi maka semakin efisien penggunaan energi. Tahun 1985-2000 nilai elastisitas energi Indonesia berada pada kisaran 1,04–1,35, sedangkan nilai elastisitas energi negara-negara maju pada kurun waktu yang sama berada pada kisaran 0,55–0,65. Angka elastisitas rata-rata untuk energi listrik di Indonesia adalah 1,519), yang memperlihatkan bahwa penggunaan listrik disini masih tidak

produktif dan tidak efisien. Hal ini berarti kenaikan 1 persen pada pertumbuhan ekonomi membutuhkan kenaikan 1,5 persen konsumsi listrik. Nilai elastisitas energi listrik yang tinggi disebabkan karena penggunaan listrik di Indonesia lebih banyak untuk konsumsi dibandingkan untuk produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi relatif lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan penggunaan listrik.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan model optimasi dengan metode goal programming dalam penelitian ini menghasilkan bahwa jumlah optimal listrik bagi DKI Jakarta adalah sebesar 11,650 Milyar kWh. Perbandingan nilai tersebut terhadap produksi listrik yang siap jual di DKI Jakarta pada tahun 2006 yaitu sebesar 29.736.446.945 kWh (29,736 Milyar kWh), menyatakan bahwa jumlah listrik optimal bagi DKI Jakarta hanya sekitar 39,18 persen dari produksi listrik pada tahun 2006. Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan listrik di DKI Jakarta sangat boros. Untuk itu perlu dilakukan penghematan penggunaan listrik, terutama bagi kegiatan yang bersifat konsumtif.

Untuk menghasilkan listrik pada jumlah optimal dibutuhkan biaya abatemen untuk mereduksi gas SO2 dan NO2 sebanyak Rp. 1,4 Milyar. Biaya abatemen ini hanya 0,0243 persen dari nilai jual listrik. Upaya

mereduksi pencemaran udara dapat dijadikan pijakan bagi upaya penghematan penggunaan listrik. Kebijakan berupa pajak dan penetapan harga listrik merupakan instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk menghemat penggunaan listrik, yang pada akhirnya diharapkan dapat mereduksi tingkat pencemaran udara. Jika kedua kebijakan tersebut tidak dilakukan secara cermat, maka pemborosan penggunaan listrik akan terus berlangsung dan biaya untuk mereduksi pencemaran yang diakibatkan oleh emisi polutan dari

(6)

Selain melalui instrumen ekonomi, penghematan penggunaan listrik juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat melalui himbauan dan peningkatan pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM memegang peran penting dalam upaya mereduksi keborosan penggunaan listrik. Di lain pihak, pemerintah perlu menetapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan yang dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tidak merusak lingkungan, antara lain melalui penghematan penggunaan listrik. Tantangan pembangunan Indonesia dalam pemanfaatan listrik adalah bagaimana meminimumkan elastisitas energi listrik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stern, D.I. 2004. The Rise and Fall of the Environmental Kuznets Curve, World Developmet, 32(8): 1419-1439.

2. Dellink, R. 2004. GAMS for environmental-economic Modelling, Wageningen University, http://www.sls.wau.nl/enr/gams/GAMSreader1.pdf, 12 April 2006.

3. Thompson, G.L, dan Thore, S. 1992. Computational Economics: Economic Modeling with Optimation Software, The Scientific Press, South San Francisco.

4. BPS Jakarta. 2007. Jakarta Dalam Angka, http://bps.jakarta.go.id/JDA/JDA2006/JDA2007.pdf, 30 Juni 2008.

5. Trick, M.A. 1996. Goal Programming, http://mat.gsia.cmu.edu/mstc/multiple/node2.html, 20 Juli 2005.

6. Rosenthal, R.E. 2007. GAMS: A User’s Guide,

http://www.gams.com/docs/gams/GAMSUsersGuide.pdf, 5 Sept 2007.

7. Sugiyono, A. 2005. Biaya Eksternal dari Pembangkit Listrik Batubara, www.geocities.com/athens/academy/1943/paper/p0502.pdf, 30 Juni 2008.

8. Ibrahim, H.D., dan Sakya, I.M.R. 2007. Perkembangan Kelistrikan Indonesia dan Kebutuhan Sarjana Teknik Elektro, http://www.te.ugm.ac.id/~lilik/seminar/materitgl6/1_DirTNDPLN_anI

%20MADE%20RO%20SAKYA.pdf, 2 Mei 2008.

9. Keputusan Gubernur DKI No 670 tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi DKI Jakarta, http://bplhd.jakarta.go.id/uupp/KEPGUB_NO_670_TH_2000.pdf, 7 Juni 2006.

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 104 Tahun 2003 Tentang Harga Jual Tenaga Listrik Tahun 2004 Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (persero) PT. Perusahaan Listrik Negara. 11. Oka, T., Ishikawa, M., Fujii, Y., dan Huppes, G. 2005. Calculating cost-effectiveness for activities with

multiple environmental effects using the maximum abatement cost method, Journal of Industrial Ecology, 9(4): 97-103.

12. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

13. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006, KLH, Jakarta. 14. Peraturan Presidan Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional,

(7)

15. Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/perpres/2005/055-05.pdf, 15 Juli 2008.

16. Millock, K., dan Nauges, C. 2006. Ex Post Evaluation of an Earmarked Tax on Air Pollution, Land Economics, 82: 68–84.

17. World Bank Group. 1998. Pollution Prevention and Abatement Handbook, Environmental Fund, http://www.ifc.org/ifcext/enviro.nsf/AttachmentsByTitle/p_ppah_finanEnviroFunds/$FILE/HandbookEnviron mentalFunds.pdf, 12 Des 2007.

18. Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/inpres/2005/10-05.pdf, 15 Juli 2008.

19. [PE-UI] Pengkajian Energi Universitas Indonesia. 2004. Indonesia Energy Outlook and Statistics 2004, PE-UI, Depok.

LAMPIRAN 1. Data Peneltian dari buku Jakarta Dalam Angka 2007

Data tahun 2006 Jumlah Satuan

Penduduk 8961680 jiwa

Produksi listrik 29736446945 kWh

PDRB 501584807 juta rupiah

LAMPIRAN 2. Output dari General Algebraic Modeling System (GAMS) GAMS Rev 138 MS Windows 07/18/08 09:41:35 Page 1 G e n e r a l A l g e b r a i c M o d e l i n g S y s t e m

C o m p i l a t i o n

1 * Model optimasi listrik: pembakaran BBF selain menghasilkan listrik (energi) 2 * juga mengemisikan gas-gas SO2 dan NO2

3 4 SETS

5 I goals / listrik,SO2,NO2/;

6

7 PARAMETERS

8 MPENALTY(I) penalti atau denda jika melebihi BME (Juta Rupiah) 9 /listrik 0

10 SO2 0.00000825

11 NO2 0.00001723/

12 NPENALTY(I) penalti atau kerugian jika listrik yg dihasilkan kurang dr target 13 /listrik 495000

14 SO2 0

15 NO2 0/

16 B(I) output per 1 MkWh listrik mengemisikan polutan (ton) 17 /listrik 1

18 SO2 4880000

19 NO2 4810000/

20 GOAL(I) target listrik yg ingin diperoleh dan emisi yg tdk melebihi BME 21 /listrik 11.650184

22 SO2 1058432

(8)

26 COSTS total biaya penalti 27

28 POSITIVE VARIABLES

29 X listrik yang dihasilkan

30 GPLUS(I) kelebihan relatif thd goal 31 GMINUS(I) defisit relatif thd goal;

32

33 EQUATIONS

34 OBJECTIVE fungsi untuk menghitung total biaya penalti 35 DEFGOAL(I) definisi tiap-tiap goal I;

36

37 OBJECTIVE.. COSTS =E= SUM(I,MPENALTY(I)*GPLUS(I)+ 38 NPENALTY(I)*GMINUS(I));

39 DEFGOAL(I).. B(I)*X-GPLUS(I)+GMINUS(I) =E= GOAL(I); 40

41 MODEL OPTIMASILISTRIK /ALL/;

42 SOLVE OPTIMASILISTRIK USING LP MINIMIZING COSTS;

COMPILATION TIME = 0.000 SECONDS 3.2 Mb WIN213-138 Feb 03, 2004 GAMS Rev 138 MS Windows 07/18/08 09:41:35 Page 2

G e n e r a l A l g e b r a i c M o d e l i n g S y s t e m

Equation Listing SOLVE OPTIMASILISTRIK Using LP From line 42 ---- OBJECTIVE =E= fungsi untuk menghitung total biaya penalti OBJECTIVE.. COSTS - 8.25E-6*GPLUS(SO2) - 1.723E-5*GPLUS(NO2) - 495000*GMINUS(listrik) =E= 0 ; (LHS = 0)

---- DEFGOAL =E= definisi tiap-tiap goal I

DEFGOAL(listrik).. X - GPLUS(listrik) + GMINUS(listrik) =E= 11.650184 ; (LHS = 0, INFES = 11.650184 ***)

DEFGOAL(SO2).. 4880000*X - GPLUS(SO2) + GMINUS(SO2) =E= 1058432 ; (LHS = 0, INFES = 1058432 ***)

DEFGOAL(NO2).. 4810000*X - GPLUS(NO2) + GMINUS(NO2) =E= 1323040 ; (LHS = 0, INFES = 1323040 ***)

GAMS Rev 138 MS Windows 07/18/08 09:41:35 Page 3 G e n e r a l A l g e b r a i c M o d e l i n g S y s t e m

Column Listing SOLVE OPTIMASILISTRIK Using LP From line 42 ---- COSTS total biaya penalti

COSTS

(.LO, .L, .UP = -INF, 0, +INF) 1 OBJECTIVE

---- X listrik yang dihasilkan X

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) 1 DEFGOAL(listrik) 4880000 DEFGOAL(SO2) 4810000 DEFGOAL(NO2) ---- GPLUS kelebihan relatif thd goal GPLUS(listrik)

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) -1 DEFGOAL(listrik) GPLUS(SO2)

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) -8.250000E-6 OBJECTIVE -1 DEFGOAL(SO2)

(9)

GPLUS(NO2)

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) -1.723000E-5 OBJECTIVE -1 DEFGOAL(NO2) ---- GMINUS defisit relatif thd goal GMINUS(listrik)

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) -495000 OBJECTIVE

1 DEFGOAL(listrik) GMINUS(SO2)

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) 1 DEFGOAL(SO2)

GMINUS(NO2)

(.LO, .L, .UP = 0, 0, +INF) 1 DEFGOAL(NO2)

GAMS Rev 138 MS Windows 07/18/08 09:41:35 Page 4 G e n e r a l A l g e b r a i c M o d e l i n g S y s t e m

Model Statistics SOLVE OPTIMASILISTRIK Using LP From line 42 MODEL STATISTICS

BLOCKS OF EQUATIONS 2 SINGLE EQUATIONS 4 BLOCKS OF VARIABLES 4 SINGLE VARIABLES 8 NON ZERO ELEMENTS 13

GENERATION TIME = 0.030 SECONDS 3.9 Mb WIN213-138 Feb 03, 2004 EXECUTION TIME = 0.030 SECONDS 3.9 Mb WIN213-138 Feb 03, 2004 GAMS Rev 138 MS Windows 07/18/08 09:41:35 Page 5

G e n e r a l A l g e b r a i c M o d e l i n g S y s t e m

Solution Report SOLVE OPTIMASILISTRIK Using LP From line 42 S O L V E S U M M A R Y

MODEL PTIMASILISTRIK OBJECTIVE COSTS TYPE LP IRECTION MINIMIZE

SOLVER CPLEX FROM LINE 42

**** SOLVER STATUS 1 NORMAL COMPLETION **** MODEL STATUS 1 OPTIMAL

**** OBJECTIVE VALUE 1403.0325 RESOURCE USAGE, LIMIT 0.190 1000.000 ITERATION COUNT, LIMIT 0 10000

GAMS/Cplex Jan 19, 2004 WIN.CP.NA 21.3 025.027.041.VIS For Cplex 9.0 Cplex 9.0.0, GAMS Link 25

Optimal solution found. Objective : 1403.032509

LOWER LEVEL UPPER MARGINAL ---- EQU OBJECTIVE . . . 1.000

OBJECTIVE fungsi untuk menghitung total biaya penalti ---- EQU DEFGOAL definisi tiap-tiap goal I

LOWER LEVEL UPPER MARGINAL listrik 11.650 11.650 11.650 123.136

SO2 1.0584E+6 1.0584E+6 1.0584E+6 -8.250E-6 NO2 1.3230E+6 1.3230E+6 1.3230E+6 -1.723E-5 LOWER LEVEL UPPER MARGINAL ---- VAR COSTS -INF 1403.033 +INF .

(10)

X listrik yang dihasilkan

---- VAR GPLUS kelebihan relatif thd goal LOWER LEVEL UPPER MARGINAL listrik . . +INF 123.136 SO2 . 5.5794E+7 +INF . NO2 . 5.4714E+7 +INF . ---- VAR GMINUS defisit relatif thd goal

LOWER LEVEL UPPER MARGINAL listrik . . +INF 4.9488E+5 SO2 . . +INF 8.2500E-6 NO2 . . +INF 1.7230E-5 **** REPORT SUMMARY : 0 NONOPT 0 INFEASIBLE

0 UNBOUNDED

EXECUTION TIME = 0.000 SECONDS 2.2 Mb WIN213-138 Feb 03, 2004 USER: GAMS Development Corporation, Washington, DC G871201:0000CA-ANY Free Demo, 202-342-0180, sales@gams.com, www.gams.com DC9999 **** FILE SUMMARY

INPUT D:\My Documents\artikel jurnal\JMST-2008\GAMS optlistrik.gms OUTPUT C:\WINDOWS\gamsdir\GAMS optlistrik.lst

Gambar

Tabel 1 memperlihatkan jenis data yang digunakan dalam model optimasi untuk menganalisis jumlah  listrik  optimal  yang  dapat  digunakan  sebagai  sumber  energi  agar  biaya  abatemen  gas  SO 2   dan  NO 2 -nya  minimal

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa Penelitian Tindakan Kelas (action research) dari Kemmis dan Taggart ( dalam Wardhani, 2014)

Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah (KPAD) Kabupaten Bandung Barat merupakan pusat informasi daerah untuk membantu merumuskan kebijakan teknis dibidang

Jumlah Pokok Obligasi dan jumlah Pokok masing-masing seri Obligasi adalah Rp346.000.000 (tiga ratus empat puluh enam miliar Rupiah) untuk Seri A dan

emasangan in&us dilakukan untuk men#egah syok. ada penderita dewasa, resusitasi #airan dapat diberikan pada luka bakar derajat 2 atau % yang mengenai  20< luas

Pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi (1328- 1350 M) hingga Wikramawardhana (1390-1428 M) terdapat lambang Surya Majapahit yang cirinya terdapat 9 dewa di dalam sinar

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dengan menggunakan alat analisis SEM dapat diketahui bahwa diantara indikator-indikator lainnya, indikator rumah sakit memberikan biaya

Rancangan desain bangunan dengan fungsi sebagai sarana dan prasarana untuk pasien rumah sakit umum daerah dengan menggunakan konsep Healing architecture sebuah

Puji Syukur Kehadirat Allah S.W.T yang tak henti-hentinya melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyusun penulisan skripsi ini dengan judul