• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Phytophthora palmivora Butl. Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao (Theobroma cacao L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Phytophthora palmivora Butl. Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao (Theobroma cacao L.)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

59

Uji Antagonis

Trichoderma

spp. Terhadap

Phytophthora palmivora

Butl. Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao (

Theobroma cacao

L.)

Denisa Cikita

1

, Siti Khotimah

1

, Riza Linda

1

1Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak

email: cikitadenisa@gmail.com

Abstract

Cocoa (Theobroma cacao L.) is one of the plantation crops and major export commodity in Indonesia, but its development is widely still face barriers that their pests and diseases. Rotten fruit is the most dominant disease because it causes a large loss, one of the causes fruit rot disease is a fungal pathogen attack named

Phytophthora palmivora (Butl.). This research aims to examine the ability of the fungus Trichoderma spp. in suppressing the growth of P. palmivora. Isolation and identification of fungi were calculated using direct planting method and dilution method, also the antagonists were tested in vitro. The results showed that three types of fungus Trichoderma found on cocoa plantations that Trichoderma sp. 1, Trichoderma harzianum, and Trichoderma viride. Based on the research results, T. viride most capable of inhibiting the growth of the fungus P. palmivora antagonist with highest percentage of 71.95%.

Kata kunci: fruit rot disease, Theobroma cacao, Phytophthora palmivora, Trichoderma, antagonist.

PENDAHULUAN

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan dan komoditas ekspor penting di Indonesia, namun pengembangannya secara luas masih menghadapi hambatan yakni adanya serangan hama dan penyakit. Kalimantan Barat merupakan salah satu sentra produksi kakao terbesar di Kalimantan, akan tetapi beberapa tahun terakhir produktivitas kakao mengalami penurunan yang berkisar antara 10-30% yang diakibatkan oleh serangan jamur patogen. Luas perkebunan kakao pada tahun 2008 sekitar 9.583 ha dengan produksi 2.081 ton dan rata-rata produktivitasnya hanya 0,2 ton/ha (BPS Kalimantan Barat, 2008).

Walaupun kakao telah lama dibudidayakan secara komersil, namun produksi yang diperoleh masih belum optimal. Menurut Sulaiman (2002), salah satu faktor utama penyebab produksi kurang optimal dan kehilangan hasil adalah adanya gangguan hama dan penyakit. Beberapa jenis penyakit dapat menyerang tanaman kakao, akan tetapi yang penyebarannya sangat luas adalah penyakit busuk buah (pod rot) yang disebabkan oleh jamur dari genus Phytophthora. Terdapat tujuh spesies Phytophthora yang teridentifikasi di lapangan, akan tetapi saat ini diketahui empat spesies utama yang menginfeksi kakao yaitu

Phytophthora palmivora, P. megakarya, P. capsici dan P. citrophthora (Evan & Priori, 1987).

Phytophthora adalah penyebab penyakit penting pada kakao, antara lain penyakit busuk buah,

kanker batang, hawar daun, hawar bibit, dan layu tunas air. Busuk buah merupakan penyakit paling dominan karena menyebabkan kerugian yang besar (McMahon & Purwantara, 2004). Gejala serangan yang ditimbulkan oleh jamur ini berupa adanya bercak hitam kecoklatan yang dimulai dari pangkal buah kemudian menyebar hampir menutupi seluruh permukaan buah dan timbul lapisan dengan warna putih bertepung. Perkembangan bercak cukup cepat, sehingga dalam waktu beberapa hari seluruh permukaan dan isi buah menjadi busuk.

Pengendalian biologi (hayati) merupakan alternatif pengendalian yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya, caranya adalah dengan pemanfaatan agen hayati seperti virus, jamur, dan bakteri. Penggunaan agen hayati bertujuan untuk mengurangi serangan penyakit dengan mengurangi jumlah inokulum patogen, menekan kemampuan patogen menginfeksi inangnya dan mengurangi keganasan patogen tersebut. Salah satu syarat suatu organisme dapat dikatakan sebagai agen hayati adalah mempunyai kemampuan antagonisme yaitu kemampuan menghambat perkembangan atau pertumbuhan organisme lainnya (Cook & Baker, 1989). Trichoderma merupakan jamur antagonis yang berpotensi sebagai agen hayati karena mampu menekan pertumbuhan patogen melalui proses mikoparasitisme, antibiotik, dan kompetisi (Djatmiko & Rohadi, 1997).

(2)

60 Penelitian yang telah dilakukan oleh Sunarwati &

Yoza (2010) dengan menggunakan Trichoderma

menunjukkan hasil bahwa T. harzianum dan T.

virens memiliki daya hambat yang sangat baik terhadap pertumbuhan P. palmivora pada busuk akar durian di Sumatera Barat. Selain itu, penelitian Aeny et al. (2011) juga menunjukkan kemampuan beberapa isolat Trichoderma spp. dalam menghambat pertumbuhan P. palmivora pada busuk buah kakao di Bandar Lampung. Penelitian Hakkar et al. (2014) juga menunjukkan potensi penggunaan Trichoderma asperellum sebagai agen pengendali biologi P. palmivora pada busuk buah kakao di Makassar. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan Trichoderma sp. dalam menghambat pertumbuhan P. palmivora penyebab busuk buah pada kakao khususnya di Kalimantan Barat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura Pontianak pada bulan November 2014 hingga Mei 2015. Pengambilan sampel tanah untuk mengisolasi Trichoderma spp. dan buah kakao yang terserang penyakit busuk buah sebagai sumber isolat Phytophthora palmivora dilakukan di perkebunan kakao milik petani desa Sungai Duri, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kalimantan Barat.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu:

Kontrol negatif: Phytophthora palmivora

Perlakuan 1: Trichoderma sp. 1 dan P. palmivora

Perlakuan 2: Trichoderma harzianum dan P.

palmivora

Perlakuan 3: Trichoderma viride dan P. palmivora

Pembuatan media PDA dilakukan dengan cara kentang dikupas dan dibersihkan lalu ditimbang bersama dextrose, agar dan kloramfenikol dengan berat kentang 200 g, dextrose 15 g, agar 20 g, dan kloramfenikol 0,01 g. Kentang yang telah ditimbang dipotong berbentuk dadu lalu direbus dalam 500 ml akuades hingga empuk dan disaring dalam bentuk larutan. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam gelas beaker dan ditambahkan akuades hingga volume tepat 1.000 ml lalu diletakkan di atas hot plate pada suhu 150˚C. Larutan diaduk hingga mendidih searah jarum jam agar larutan homogen. Lalu larutan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup dengan kapas dan aluminium foil kemudian disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121˚C dan tekanan 2 atm selama 15 menit. Kemudian didiamkan hingga media dingin dan dimasukkan ke dalam kulkas (Samson et al., 2010).

Pembuatan media CYA dilakukan dengan cara sukrosa sebanyak 30 g dimasukkan ke dalam gelas beaker bersama ekstrak yeast 5 g, agar 15 g, K2HPO4 1 g dan konsentrat CYA sebanyak 10 ml, kemudian ditambahkan akuades hingga 1000 ml serta kloramfenikol sebanyak 0,01 g. Larutan tersebut diaduk dan dipanaskan di atas hot plate

hingga mendidih dan berwarna bening. Setelah larutan homogen, larutan tersebut dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian ditutup dengan kapas dan aluminium foil lalu disterilisasi ke dalam otoklaf pada suhu 121˚C dan tekanan 1 atm selama 15 menit (Samson et al., 2010).

Isolasi jamur Trichoderma sp. dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran (dilution method). Sampel tanah diambil dari sekitar tanaman kakao, tanah dicangkul sedalam 5-10 cm pada 3 titik, kemudian ditimbang sebanyak 1 g lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml akuades, kemudian dihomogenkan menggunakan

vortex dan dilakukan pengenceran hingga 10-3. Hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 ml lalu dimasukkan ke dalam media PDA dengan metode tuang (pour plate) dan diinkubasi selama 3x24 jam di dalam inkubator kemudian dilakukan pemurnian dan diidentifikasi (Ernawati, 2003 dalam Rianti et al., 2010).

Isolasi P. palmivora menggunakan metode tanam langsung (direct planting method) dengan cara permukaan buah dibersihkan terlebih dahulu secara keseluruhan menggunakan alkohol, kemudian dibilas dengan akudes steril. Jaringan kulit buah yang terinfeksi dan berbatasan dengan jaringan sehat dipotong menggunakan scalpel dengan ukuran 1x1 cm kemudian ditanam pada media PDA dan diinkubasi selama 3x24 jam. Setelah tumbuh miselium berwarna putih pada media PDA, dilakukan pemurnian pada media PDA yang baru. Kemudian diidentifikasi berdasarkan kriteria pengamatan morfologi koloni pada medium PDA dan pengamatan di bawah mikroskop (Agrios, 2005).

Trichoderma spp. diidentifikasi secara makroskopis meliputi warna dan tekstur koloni

(3)

61 serta secara mikroskopis yang meliputi struktur

hifa, bentuk konidiofor dan fialid. Sedangkan P.

palmivora diidentifikasi secara makroskopis meliputi warna dan tekstur koloni serta secara mikroskopis meliputi struktur hifa, bentuk sporangium dan klamidospora. Identifikasi jamur mengacu pada buku identifikasi Introductory Mycology (Alexopoulos & Mims, 1979) dan

Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnett, 1960; Barnett & Hunter, 1973).

Uji antagonis dilakukan secara in vitro dengan cara menyiapkan media PDA dalam cawan petri seperti gambar berikut (Santoso & Sumarmi, 2008 dalam

Aldjas, 2010):

Gambar 1 Penempatan jamur Trichoderma

terhadap Phytophthora palmivora

pada cawan petri

Tanda (●) adalah titik peletakan jamur. Jarak peletakan antar jamur adalah 3 cm antarjamur dan 3 cm dengan bagian tepi cawan petri (Gambar 1). Pengukuran diameter pertumbuhan P. palmivora

mulai hari ke-1 setelah inokulasi sampai dengan hari ke-7. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Pengukuran diameter jamur dilakukan dengan membuat garis horizontal (AA’), vertikal (BB’) dan diagonal (CC’ dan DD’) pada permukaan luar cawan petri yang terlihat pertumbuhan jamur P. palmivora (Gambar 2).

Gambar 2 Pengukuran rata-rata diameter pertumbuhan P. palmivora

Rata-rata diameter pertumbuhan (d) P. palmivora

dihitung dengan rumus sebagai berikut: d = (AA

) + (BB′)+ (CC)+ (DD)

4

(Davis, 1965 dalam Nawawi, 2001)

Perhitungan persentase antagonis jamur P.

palmivora yang bersinggungan dengan agen antagonis hingga hari ke-7, menggunakan rumus sebagai berikut:

PA = d1−d2

d1 x 100%

(Skidmore, 1976 dalam Sudantha et al., 2011) Keterangan:

PA = Persentase Antagonis (%)

d1= Rata-rata diameter pertumbuhan P. palmivora sebagai kontrol (mm)

d2 = Rata-rata diameter pertumbuhan P. palmivora pada perlakuan uji antagonis (mm)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Jamur Trichoderma Isolat Lokal Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)

Hasil isolasi dan identifikasi dari tanaman kakao ditemukan 3 jenis jamur antara lain Trichoderma harzianum, Trichoderma viride, dan Trichoderma

sp. 1 (Gambar 3).

(A) (B)

(C)

Gambar 3 Koloni jamur Trichoderma spp. (A)

Trichoderma sp. 1 (B) Trichoderma harzianum (C) Trichoderma viride

Patogen ● Antagonis ● 3 cm 3 cm 3 cm

B

B’

A

C

A’

C’

D’

D

(4)

62

Jamur Phytophthora palmivora

Hasil isolasi buah kakao yang memiliki gejala busuk buah ditemukan jamur Phytophthora palmivora (Gambar 4).

Gambar 4 Koloni jamur Phytophthora palmivora

Uji Antagonis

Hasil uji antagonis jamur Trichoderma sp. terhadap

Phytophthora palmivora pada hari ke-7 dapat dilihat pada Gambar 5.

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 5 Hasil uji antagonis jamur hari ke-7 (A) Kontrol negatif (B) Phytophthora palmivora vs

Trichoderma sp.1 (C) Phytophthora palmivora vs

Trichoderma harzianum (D) Phytophthora palmivora vs Trichoderma viride

Koloni jamur antagonis menunjukkan adanya diameter pertumbuhan yang berbeda antara masing-masing jamur. Pertambahan diameter jamur T. harzianum dan T. viride lebih cepat dibandingkan dengan jamur Trichoderma sp. 1. Koloni jamur T. harzianum dan T. viride mencapai diameter pertumbuhan 90 mm pada hari ke-7 (Tabel 1).

Tabel 1 Diameter pertumbuhan Trichoderma spp.

Jenis Jamur

Diameter Pertumbuhan hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 Trichoderma sp. 1 6.28 13.56 19.25 23.72 25.13 39.50 45 Trichoderma harzianum 5.31 20.00 28.25 47.63 49.81 77.44 90 Trcihoderma viride 9.59 24.72 31.75 50 52 78.06 90

Hasil pengukuran rerata diameter pertumbuhan jamur Phytophthora palmivora yang diuji dengan jamur antagonis Trichoderma dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 2).

Tabel 2 Rerata persentase uji antagonis jamur

Trichoderma terhadap Phytophthora palmivora

Perlakuan Persentase Antagonis (%) Phytophthora palmivora vs Trichoderma sp. 1 42.38 Phytophthora palmivora vs Trichoderma harzianum 67.63 Phytophthora palmivora vs Trichoderma viride 71.95

Berdasarkan persentase uji antagonis, jamur T. viride memiliki persentase hambat tertinggi dibandingkan jenis Trichoderma lain sedangkan jamur Trichoderma sp. 1 memiliki persentase antagonis terendah.

Pembahasan

Hasil isolasi tanah pada perkebunan kakao ditemukan 3 jenis jamur yaitu Trichoderma sp. 1,

Trichoderma harzianum, dan Trichoderma viride

(Gambar 3). Keberadaan jamur tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain pH tanah, aerasi, dan sumber nutrisi. Pada pH rendah dan keadaan yang lembab,

Trichoderma sp. akan berkembang dengan baik (Calvet et al., 1990 dalam Berlian et al., 2013).

Trichoderma merupakan jamur antagonis yang dapat tumbuh di hampir semua jenis tanah dan habitat yang berbeda-beda. Jamur ini paling mudah dibiakkan sehingga mudah diisolasi dan ditumbuhkan di laboratorium pada media buatan (Mishra et al., 2011 dalam Aeny et al., 2011).

Suhu optimum untuk tumbuhnya Trichoderma

berbeda-beda setiap spesiesnya. Ada beberapa spesies yang dapat tumbuh pada temperatur rendah, ada pula yang tumbuh pada temperatur cukup tinggi, kisarannya sekitar 7-41˚C. Trichoderma

P

P

P

A

A

(5)

63 yang dikultur dapat tumbuh cepat pada suhu

25-30˚C, namun pada suhu 35˚C jamur ini tidak dapat tumbuh (Chalimatus, 2013). Hasil pengukuran pH tanah menunjukkan kisaran 5-7. Di udara, pH optimum bagi Trichoderma berkisar antara 3-7.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

Trichoderma sp. 1 memiliki koloni yang berwarna hijau pucat (Gambar 3). Dari ketiga isolat

Trichoderma yang diteliti, isolat Trichoderma sp. 1 menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat (Tabel 4.1). Diduga hal ini berkaitan dengan kerapatan atau ketebalan lapisan miselia dalam koloni yang tidak sama sehingga jumlah spora yang dihasilkan juga berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan, ciri khas mikroskopis jamur ini adalah memiliki konidiofor yang hialin dan bercabang banyak, konidia berbentuk oval, dan memiliki fialid yang pendek dan tebal.

Trichoderma harzianum memiliki koloni yang berwarna hijau pekat (Gambar 3). Pertumbuhan jamur ini sangat cepat hingga memenuhi cawan petri pada hari ke-7. Menurut Suwahyono (2010)

dalam Azmi (2011), T. harzianum memiliki aktivitas antifungal yang tinggi dibanding

Trichoderma jenis lain. Jamur ini dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal, serta dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat membantu pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan, ciri khas mikroskopis jamur ini adalah konidiofor yang hialin, tegak lurus dan bercabang banyak, memiliki konidia berbentuk globose (bulat), serta fialid tunggal, pendek dan tebal. Ciri ini sesuai dengan penelitian Gusnawaty

et al. (2014) yang mengacu pada buku identifikasi Watanabe (2002) dimana T. harzianum memiliki bentuk konidiofor tegak, bercabang yang tersusun vertikal, fialid pendek dan tebal, konidia hijau dan berbentuk oval.

Trichoderma viride memiliki koloni yang berwarna hijau kekuningan (Gambar 3). Di antara ketiga

Trichoderma yang diteliti, T. viride merupakan jenis Trichoderma yang memiliki pertumbuhan paling cepat dan persentase hambat yang tinggi. Hal ini diduga karena T. viride merupakan salah satu jenis fungi yang bersifat selulolitik karena dapat menghasilkan selulase sehingga pertumbuhannya cepat (Gani, 2013). Berdasarkan hasil pengamatan, ciri khas mikroskopis jamur ini adalah konidiofor yang hialin, bercabang banyak dan membentuk anyaman, konidia berbentuk oval dengan fialid yang pendek. Karakteristik jamur ini

sesuai dengan penelitian Dewi et al. (2015) dimana T. viride memiliki hifa berwarna hijau muda, miselium berseptat, konidiofor bercabang banyak dan membentuk anyaman, konidia berbentuk semibulat dan berdinding kasar.

Uji antagonis Trichoderma spp. terhadap P.

palmivora menunjukkan pertumbuhan diameter koloni jamur patogen yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter koloni jamur antagonis (Tabel 2). Pertumbuhan jamur patogen yang terhambat diduga karena adanya penghambatan pertumbuhan P. palmivora oleh

Trichoderma spp. melalui mikoparasitisme, antibiosis, dan kompetisi. Menurut Darmono (1994) dalam Asrul (2009), mekanisme penekanan oleh Trichoderma spp. terutama melalui mikoparasitisme (menimbulkan lisis pada hifa P.

palmivora) dan agresivitas pertumbuhan (laju pertumbuhan yang paling cepat) dibanding patogen. Tingkat kompetisi Trichoderma spp. yang tinggi menyebabkan penguasaan terhadap ruang/tempat, gas dan nutrisi lebih cepat sehingga patogen akan tersisih dan selanjutnya akan mengalami kematian.

Mikoparasitisme pada uji antagonis jamur terjadi selama pertumbuhan jamur antagonis yang cepat dan tumbuh ke arah P. palmivora serta adanya enzim yang dihasilkan oleh jamur antagonis sehingga menekan atau menghambat pertumbuhan jamur patogen. Umrah et al. (2009) menyatakan bahwa Trichoderma mempunyai kemampuan menghasilkan enzim kitinase yang lebih efektif dibandingkan kitinase yang dihasilkan oleh organisme lain untuk menghambat berbagai jamur patogen tanaman. Selain itu, Trichoderma

memiliki sifat hiperparasit yang mampu mengendalikan pertumbuhan P. palmivora. Menurut Purwantisari & Hastuti (2014) dalam

Dewi et al. (2015), jamur yang tumbuh cepat mampu mengungguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya bisa menekan pertumbuhan lawannya.

Pengamatan penghambatan pertumbuhan P.

palmivora dilakukan sejak inkubasi hingga hari ke-7. Pada uji antagonis terdapat zona bening pada

Trichoderma spp. (Gambar 5). Menurut Purwantisari & Hastuti (2009), mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonis ini adalah antibiosis dan hiperparasit yang ditandai dengan terbentuknya zona bening yang merupakan zona penghambatan pertumbuhan P. palmivora

(6)

64 (antibiosis) dan pertumbuhan miselium

Trichoderma spp. yang menutupi seluruh permukaan koloni termasuk koloni P. palmivora

(hiperparasit). Selain itu diduga karena selulase yang dimiliki Trichoderma spp. akan merusak dinding sel selulosa P. palmivora.

Adanya kompetisi antara jamur patogen dengan jamur antagonis dalam penelitian ini terlihat pada pertumbuhan P. palmivora yang cukup lambat pada saat uji antagonis, dimana pertumbuhan jamur

Trichoderma yang sangat cepat dalam waktu 7 hari sehingga pertumbuhannya mengakibatkan pertumbuhan jamur P. palmivora terhenti (Gambar 5). Menurut Soesanto (2008) dalam Asrul (2009), bila pertumbuhan antagonis berlangsung cepat maka dapat menyebabkan pengurangan kepadatan populasi atau produksi inokulum patogen, yang disebabkan oleh beberapa jenis mekanisme antagonis. Kemungkinan lain juga disebabkan bahwa penekanan populasi P. palmivora oleh

Trichoderma spp. sudah terjadi di dalam sampel tanah (di dalam cawan petri) pada waktu masa inkubasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sunarti, SP selaku pembimbing lapangan dari Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pontianak serta semua pihak terkait yang banyak membantu penelitian dan penulisan skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aeny, TN, Juariyah, S, dan Maryono, T, 2011, ‘Potensi Antagonis Beberapa Isolat

Trichoderma Terhadap Phytophthora palmivora, Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao’, Seminar Nasional Sains dan Teknologi–IV, Bandar Lampung.

Agrios, GN, 2005, ‘Plant Pathology’. Departement of Plant Pathology University of Florida, Elsevier Academic Press, New York, 5th ed, page 398-399.

Aldjas, FH, 2010, ‘Uji Antagonis Jamur Rizosfer Isolat Lokal Rasau Jaya Terhadap Fusarium moniliforme (Sheldon) Penyebab Penyakit Busuk Buah Nenas (Ananas comosus (L) Merr.)’, Skripsi, Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Alexopoulos, CJ, dan CW, Mims, 1979, ‘Introductory Mycology’, Third Edition,

John Wiley and Sons, hal. 632.

Asrul, 2009, ‘Uji Daya Hambat Jamur Antagonis

Trichoderma spp. Dalam Formulasi Kering Berbentuk Tablet Terhadap Luas Bercak

Phytophthora palmivora Pada Buah Kakao’,

Agrisains, vol. 10, no. 1, hal. 21-27.

Azmi, SR, 2011, ‘Efektivitas Trichoderma harzianum Rifai Sebagai Biofungisida Terhadap Jamur Patogen pada Umbi Talas Jepang’, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Badan Pusat Statistik, 2008, ‘Statistik Perkebunan Kakao’, Kalimantan Barat.

Barnett, HL, dan Hunter, BB, 1973, ‘Illustrated Genera of Imperfect Fungi’, Fourth Edition,

West Virginia.

Barnett, HL, 1960, ‘Illustrated Genera of Imperfect Fungi’, Second Edition, West Virginia.

Berlian, I, Budi S, dan Hadi, H, 2013, ‘Mekanisme Antagonisme Trichoderma spp. Terhadap Beberapa Patogen Tular Tanah’, Warta Perkaretan, vol. 32, no. 2, hal. 74-82. Chalimatus, HSC, 2013, ‘Efektivitas Jamur

Trichoderma harzianum dan Mikroba Kotoran Sapi Pada Pengomposan Limbah

Sludge Pabrik Kertas’, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Cook, JR, dan FK Baker, 1989, ‘The Nature and Practice of Biological Control of Plant Patogen’. APS Press. The American

Phytopatological Society, St. Paul, Minnesota.

Dewi, AL, Oktavianingsih, L, dan Sudrajat, 2015, ‘Identifikasi Cendawan Mikroskopis yang Berasosiasi dengan Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada (Piper nigrum L.) di Desa Batuah Kecamatan Loa Janan Kutai Kertanegara’, Prosiding Seminar Tugas Akhir, Universitas Mulawarman.

Djatmiko, HA, dan Rohadi, SS, 1997, ‘Efektivitas

Trichoderma harzianum Hasil Perbanyakan dalam Sekam Padi dan Bekatul Terhadap Patogenesitas Plasmodiophora brassicae

Pada Tanah Latosol dan Andosol’, Majalah Ilmiah UNSOED, Purwokerto, vol. 2, no. 23, hal. 10-22.

(7)

65 Evan, HC, & C, Priori, 1987,‘Cocoa Pod Diseases

Causal Agents and Control’, Outlock on Agricul., vol. 16, no. 1, hal. 35-41.

Gani, RK, ‘Kecernaan In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik Jerami Jagung (Zea mays) yang Diinokulasi Dengan Trichoderma sp. Pada Lama Inkubasi yang Berbeda’, Skripsi, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Gusnawaty, HS, M, Taufik, Triana L, dan Asniah, 2014, ‘Karakterisasi Morfologis

Trichoderma spp. Indigenus Sulawesi Tenggara’, Agroteknos, vol. 4, no. 2, hal. 87-93.

Hakkar, AA, Rosmana, A, dan M. Danial, R, 2014, ‘Pengendalian Penyakit Busuk Buah

Phytophthora pada Kakao dengan Cendawan Endofit Trichoderma asperellum’, Fitopatologi, vol. 10, no. 5, hal. 139-144.

McMahon, P, dan A, Purwantara, 2004,‘Phytophthora on Cocoa’, Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia, ACIAR Monograph, vol. 2, no. 114, hal. 104–115.

Nawawi, G, 2001, ‘Mengukur Jarak dan Sudut, Modul Program Keahlian Mekanisasi Pertanian’, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta, diakses pada 12

November 2013,

http://mirror.unpad.ac.id/orari/pendidikan/m

aterikejuruan/pertanian/mekanisasi-pertanian/mengukurjarak_dan_sudut.pdf Purwantisari, S, dan Hastuti, RB, 2009, ‘Uji

Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal’, BIOMA, Vol. 11, no. 1, hal. 24-32.. Rianti, R, Mukarlina dan Siti Khotimah, 2010, ‘Uji

Antagonis Trichoderma harzianum

Terhadap Fusarium spp. Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum) Secara In Vitro’, Fitomedika, vol. 7, no. 2, hal. 80-85.

Samson, RA, Houbraken, J, Thrane, JC, Frisvad, dan Andersen, F, 2010, ‘Food and Indoor Fungi’, Fungal Biodiversity Centre Utrecht,

Netherland.

Sudantha, IM, Kusnarta, IGM dan Sudana, IN, 2011, Uji Antagonisme Beberapa Jenis Jamur Saprofit Terhadap Fusarium oxysporum f. sp. Cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang Serta Potensinya Sebagai Agen Pengurai Serasah,

Agroteksos, vol 21, no. 2, hal. 106-119, diakses pada 14 Maret 2014, http://lemlit.uho.ac.id/jtt/359.pdf

Sulaiman, G, 2002, ‘Penggunaan Semut Hitam Dolichoderus thoracicus Dalam Pengendalian Hama Tanaman Kakao,

Theobroma cacao’, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, University Putra, Malaysia.

Sunarwati, D, dan R, Yoza, 2010, ‘Kemampuan

Trichoderma dan Penicillium Dalam Menghambat Pertumbuhan Cendawan Penyebab Penyakit Busuk Akar Durian (Phytophthora palmivora) Secara In Vitro’, Seminar Nasional Program dan Strategi Pengembangan Buah Nusantara, Solok, Sumatera Barat, hal. 176-189.

Umrah, T, Anggraeni, Rizkita RE, dan I Nyoman P, Aryantha, 2009, ‘Antagonisitas dan Efektivitas Trichoderma sp. Dalam Menekan Perkembangan Phytophthora palmivora Pada Buah Kakao’, Agroland, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah, vol. 16, no. 1, hal. 9-16. Watanabe, T, 2002, ‘Pictorial Atlas of Soil and

Seed Fungi Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species’, CRC Press LLC, USA.

Gambar

Gambar  1  Penempatan  jamur  Trichoderma  terhadap  Phytophthora  palmivora  pada cawan petri
Tabel  2  Rerata  persentase  uji  antagonis  jamur  Trichoderma terhadap Phytophthora palmivora

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Keragaman genetik Phytophihora palmivora penyebab busuk buah pada kakao di Indonesia.. Di bawah bimbingan Meity Suradji Sinaga sebagai ketua, Sarsidi

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul : “ Aplikasi Konsentrasi Bubur California dalam Biocoating terhadap Tingkat Serangan Busuk Buah

Skripsi berjudul: Aplikasi Konsentrasi Bubur California dalam Biocoating terhadap Tingkat Serangan Busuk Buah ( Phytophthora palmivora Butl.) Pada Tiga Klon Kakao

Gejala infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao dengan waktu awal muncul gejala infeksi pada hari ke 3 sampai hari ke 7 setelah inokulasi, ditandai

Untuk mendapatkan kakao Aceh yang tahan terhadap penyakit busuk buah maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap karakter-karakter kakao baik secara

Sifat fisika dan kimia tanah yang mempunyai pengaruh langsung meningkatkan intensitas busuk buah kakao adalah fraksi pasir, kadar lengas, pH, kandungan K, dan kejenuhan

Hama dan penyakit yang banyak ditemukan pada tanaman kakao seperti Penyakitvascular streak dieback, penyakit busuk buah, penyakit kanker batang, penyakit jamur

Penyakit busuk buah yang disebabkan oleh patogen Phytophthora palmivora adalah salah satu penyakit penting pada tanaman kakao.. Busuk buah merupakan penyakit