• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. maupun online.berbagaipermasalahan silih berganti dan tak kunjung menemukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. maupun online.berbagaipermasalahan silih berganti dan tak kunjung menemukan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberitaanmengenai buruh selalu menghiasimedia kita, baik media cetak maupun online.Berbagaipermasalahan silih berganti dan tak kunjung menemukan titikterang.Permasalahan yang menyangkut kesejahteraan, sistem kontrak dan

outsourching, PHK, dan masih banyak masalah lain yang terkesan bahwa kaum buruh menjadi obyek termarjinalkan, walaupun mereka adalah penopang perekonomian negara.Kontribusi yang besar tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah.Setiap tahunnya selalu muncul permasalahan buruh terutama berkaitan dengan kesejahteraan.Kondisi ini diperparah dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang juga tidak memihak kaum buruh. Seperti pada kutipan artikel media online suaramerdeka.com1

“SEMARANG - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan yang tak lama lagi disahkan DPR diprotes kalangan buruh. Pasalnya, dalam penyusunan rancangan peraturan yang merupakan pengganti PP No 8/1981 itu tidak melibatkan kalangan buruh.

Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng Slamet Kaswanto mengatakan, penyusunan draft RPP Pengupahan yang tidak melibatkan unsur dari buruh atau pekerja seakan dipaksakan. Ia menilai, RPP itu sarat kepentingan pengusaha dan pemerintah yang ingin investor asing sehingga menjadikan buruh sebagai objek pencari keuntungan semata.

1

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/06/18/264763/RPP-Pengupahan-Tak-Memihak-Buruh# diakses pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 19:23.

(2)

2 Kesejahteraan merupakan hal yang sensitif dan selalu dibicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang.Permasalahan klasik yang ada adalah keinginan buruh untuk mendapatkan kenaikan upah. Mereka merasa bahwa upah yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan mereka harus memutar otak tatkala harga kebutuhan pokok naik, tetapi upah mereka masih sama. Bentuk ketidakseimbangan itu yang memyebabkan mereka selalu mengadakan protes kepada pemerintah.

Salah satu media online kompasiana.com2yang memberitakan bahwa pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2014 lalu, buruh memberikan 10 tuntutan, yaitu kenaikan upah minimal sebesar 30% pada tahun 2015, buruh menolak penangguhan upah minimum, menjalankan jaminan pensiun bagi buruh di perusahaan swasta, menjalankan jaminan kesehatan pada buruh, penghapusan

outsoucing BUMN, mengesahkan RUU Pekerja Rumah Tangga dan revisi Undang- Undang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, mencabut Undang- Undang Ormas dan ganti dengan RUU Perkumpulan, mengangkat pegawai dan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil serta memberikan subsidi Rp 1.000.000,00 per orang setiap bulan dari APBN untuk pegawai honorer, menyediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh, dan menjalankan wajib belajar 12 tahun dan menyediakan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.

2

http://politik.kompasiana.com/2014/05/05/10-tuntutan-buruh-di-indonesia-653928.htmldiakses pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 20:18.

(3)

3 Gambaran di atas berlaku untuk buruh yang bekerja di perusahaan dengan perjanjian kontrak yang jelas atau sektor formal. Lain cerita denganburuh di sektor informal yang mendapat upah harian atau mingguan, tanpa jaminan kesehatan, dan mengandalkan kekuatan, seperti kuli panggul, atau buruh gendong. Mengutip tulisan dari Saptari (1997:358) bahwa sektor informal adalah di mana pekerjaan tidak didasarkan kontrak kerja yang jelas bahkan sering sipekerja bekerja untuk dirinya sendiri, penghasilan sifatnya tidak tetap, dan tidak permanen. Sektor informal mudah dimasuki oleh orang karena tidak membutuhkan persyaratan ketat dan keterampilan.

Adapun yang menjadi topik dalam penulisan ini adalah buruh gendong.Kita tidak perlu ke luar kota untuk menemukan buruh gendong. Coba kita pergi ke pasar besar yang ada di Yogyakarta, seperti Pasar Gamping, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo, dan Pasar Giwangan. Kita dapat menjumpai buruh gendong yang sedang menggendong barang dengan ukuran yang besar dan berat atau menawarkan jasa pada konsumen yang membawa banyak barang belanja.

Dikutip dari Yasanti (2003:76) penjual jasa angkat barang secara mikul yang biasa dilakukan laki-laki disebut manol, endong-endong adalah sebutan bagi kaum perempuan penjual jasa angkat barang secara menggendong di Pasar Beringharjo Jogjakarta. Keduanya sama-sama penjual jasa mengangkat barang, yang membedakan mereka kecuali jenis kelamin adalah penampilan, peralatan, dan cara mengangkatnya.

Permasalahan mengenai marginalisasi buruh perempuan menjadi sorotan dari berbagai kalangan di luar pemerintah.Hal ini dapat dilihat darikemunculan

(4)

4 organisasi-organisasi masyarakat yang memperjuangkan hak buruh, terutama buruh perempuan, baik ditingkat internasional, nasional maupun lokal.Di Indonesia muncul gerakan-gerakan dan perkumpulan-perkumpulan perempuan yang berjuang untuk menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak mereka dan membebaskannya dari belenggu kaum laki-laki (Angeningsih, 2005).

Sebagai reaksi dari kebangkitan kaum perempuan, muncul satu organisasi bernama Yasanti di Jogjakarta. Usaha yang dilakukan Yasanti untuk membantu perempuan kelas bawah keluar dari keterpurukan adalah melakukan kegiatan-kegiatan di antaranya, melalui pendidikan, pelatihan serta segala upaya dalam arti yang seluas-luasnya demi pengembangan swadaya dan swakarsa perempuan terutama di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, kesehatan, lingkungan, dan lain sebagainya (Yasanti, 2011).

Kelompok perempuan yang mendapatkan perhatian Yasanti salah satunya adalah buruh gendong. Sebagai cara untuk memperkuat kapasitas, baik individu maupun kelompok, Yasanti melakukan kegiatan penyadaran melalui pendidikan dan pelatihan. Pelatihan diisi dengan materi seperti gender, organisasi, HAM, perburuhan, dan keshatan. Yasanti juga melakukan penguatan di bidang keagamaan dengan diadakannya latihan baca Iqra‟ dan pengajian.

Agar materi yang diberikan kepada buruh gendong dapat diserap dan diterapkan dalam kehidupannya, Yasanti bekerja sama dengan pihak yang memiliki visi dan misi yang sama, seperti lembaga atau organisasi yang fokus di bidang hukum, Yasanti menjalin kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum, untuk bidang perburuhan dan perempuan pekerja Yasanti bekerjasama dengan

(5)

5 ILO (International Labour Organization) dan IWE (Institute for Women’s Empowerment).

Tahun 2013 Yasanti bersama IWE merancang program penguatan kapasitas buruh gendong dengan model sekolah. Seperti kutipan yang diambil dari Modul “Sekolah Buruh Gendong Berkelanjutan” tujuan program tersebut adalah memperkuat kapasitas pribadi buruh gendong sebagai representasi dirinya dalam kehidupan buruh gendong, baik di dalam keluarganya, komunitas, maupun tempat kerjanya. Diharapkan dalam proses jangka panjang terjadi peningkatan kapasitas kepemimpinan buruh gendong sehingga mampu berkapasitas mengakses sumber-sumber ekonomi melalui pekerjaan yang layak untuk memenuhi kehidupan lebih baik dan bermartabat.

(6)

6 B. Rumusan Masalah

Sekolah buruh gendong dirancang untukmemperkuat kapasitas buruh gendong dalam kehidupan keluarga, komunitas maupun di tempat kerjanya. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai ialah terjadinya peningkatan kapasitas kepemimpinan sehingga buruh gendong mampu mengakses sumber-sumber ekonomi dan fasilitas publik serta mendapatkan perlindungan atas pekerjaan yang layak dan hidup yang lebih baik. Maka diajukan pertanyaan besar sebagai berikut: bagaimana sekolah buruh gendong memberi pengaruh pada kehidupan buruh. Berdasarkan uraian di atas, untuk membatasi kajian, peneliti merumuskan ke dalam tiga pertanyaan, yaitu

1. Bagaimana desain sekolah kepemimpinan buruh gendong?

2. Bagaimana penyelenggaraan sekolah kepemimpinan buruh gendong? 3. Bagaimana perubahan perilaku peserta sekolah pasca mengikuti

(7)

7 C. Tinjauan Pustaka

Sejauh ini sudah ada tulisan yang membahas mengenai buruh gendong atau endong-endong,tetapi peneliti belum pernah menemukan tulisan yang membahas mengenai dampak sekolah kepemimpinan buruh gendong yang diselenggarakan oleh Yasanti.

Yuliawati (2006) dalam skripsinya mengenai upaya pemberdayaan ekonomi melalui usaha kecil yang dilakukan oleh Yasanti untuk meningkatkan pendapatan buruh gendong dengan memfasilitasi usaha tersebut melaluicarapemberian bantuan modal usaha agar buruh gendong dapat terentas dari kemiskinan. Menurut Yuliawati, hasil yang dicapai dalam pemberdayaan ekonomi melalui usaha kecil dapat dilihat dari partisipasi dan kemandirian buruh gendong dalam menjalankan usahanya. Bentuk partisipasidalam pemberdayaan ekonomi buruh gendong yaitu dalam pengambilan keputusan selalu melibatkan buruh gendong, seperti menentukan jenis usaha apa yang akan dijalankan sesuai dengan kemampuan dan keahliannya, besarnya modal untuk menjalankan usaha dan kebebasan dalam menjalankan usaha berikut pengelolaan dan pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing buruh gendong.

Yunita (2008) memfokuskan penelitiannya di bidang kesadaran gender serta penguatan hak-hak politik perburuhan. Bentuk-bentuk program yang dilakukan Yasanti bagi buruh gendong adalah pelatihan dan diskusi rutin dengan beberapa tema antara lain: pemberdayaan dalam hal politik, pemberdayaan hak dan kesetaraan gender, serta pemeriksaan dan konsultasi kesehatan. Pelatihan pendidikan dan penyadaran tentang hak buruh ditujukan pada buruh gendong

(8)

8 yang mengikuti kegiatan paguyuban.Pelatihandilakukan melalui diskusi dan pengarahanyang menyangkut masalah perburuhan.Materi dan metode pelatihan yang diberikan sesuai dengan pola pikir dan kehidupan mereka, misalnya dalam menjelaskan menggunakan Bahasa Jawa, dan kata yang sederhana, karena sebagian besar dari mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia.

Pratiwi (2008) mengangkat fenomena kehidupan buruh gendong muslimah yang ada di Pasar Beringharjo yang merupakan kelompok dampingan Yasanti.Penguatan gender diwujudkan melalui kegiatan pendampingan bersifat sosial keagamaan. Kegiatan sosial dilakukan melalui pembentukan paguyuban dengan tujuan mengembangkan kesadaran organisasi di kalangan buruh gendong dan penyadaran kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan reproduksi (pap smear). Sementara dalam hal keagamaan diwujudkan melalui pelaksanaan pengajian rutin minggu pon.

Fajaryatun (2008) menuliskan mengenai peran Yasanti dalam mengatasi permasalahan buruh gendong dengan cara pemberian status berupa pembentukan paguyuban buruh gendong “Sayuk Rukun”; pemberian perlindungan secara fisik maupun psikologis berupa pelayanan kesehatan, penguatan kelompok dan individu, penguatan jaringan; melakukan advokasi kepentingan buruh gendong berdasarkan aspirasi yang berasaldari buruh gendong; menampung seluruh kegiatan kelompok.

Tulisan yang dibuat oleh Yuliawati, Yunita, Pratiwi, dan Fajaryatun membicarakan mengenai pemberdayan ekonomi melalui usaha kecil, kesadaran gender dan penguatan hak-hak politik perburuhan, penguatan gender melalui

(9)

9 kegiatan yang sifatnya sosial keagamaan, dan peran yang dilakukan Yasanti dalam mengatasi peramasalahan buruh gendong. Sementara permasalahan yang akan diteliti pada tulisan ini mengenai penguatan kapasitas buruh gendong melalui program sekolah kepemimpinan berkelanjutan yang dipersiapkan dan disusun dengan matang oleh Yasanti dan IWE. Fokus penelitian ini dirasa penting pada era sekarang ini untuk melihat kesejahteraan buruh informal, termasuk buruh gendong.

Program sekolah kepemimpinan buruh gendong merupakan lanjutan dari kegiata pendampingan yang dilakukan Yasanti melalui penguatan di berbagai bidang seperti diskusi dan pelatihan. Seperti tulisan yang sudah dibuat oleh Yuliawati, Yunita, Pratiwi, dan Fajaryatun. Perbedaanya adalah materi sekolahdisusun berdasarkan kebutuhan buruh gendong untuk memperkuat organisasi dan advokasi, peserta sekolah adalah buruh gendong yang sama untuk setiap materi, waktu sekolah pun lebih teratur, dan pengisi materi baik narasumber dan fasilitator dipersiapkan dengan baik dan merupakan orang-orang yang ahli di bidangnya.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui desain sekolah kepemimpinan buruh gendong yang dirancang oleh Yasanti dan IWE.

2. Mengetahui penyelenggaraan sekolah kepemimpinan buruh gendong. 3. Mengetahui perubahan perilaku dan dampak yang munculpasca

(10)

10 E. Kerangka Teori

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi salah satu bagian penting dalam agenda pemberdayaan masyarakat karena ia menjadi gerakan yang dapat memperkuat masyarakat sipil melalui program-program yang bertujuan untuk menyeimbangkan posisi masyarakat di hadapan negara. Menurut Adisasono dalam Anggara (2008) menjelaskan tiga peranan LSM, yaitu advokasi kebijakan terhadap negara, mengupayakan agar sektor swasta mengembangkan kemitraan sosial, dan mengembangkan kapasitas kelembagaan kelompok civil society dan masyarakat pada umumnya, juga produktivitas dan kemandirian mereka.

Gerakan dan perkumpulan perempuan yang berjuang untuk menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak mereka dan membebaskannya dari belenggu laki-laki juga muncul di Indonesia. Bukti kebangkitan gerakan perempuan ditandai dengan lahirnya Yayasan Annisa Swasti (1982), Kalyanamitra (1985), Yayasan Perempuan Mahardika (1986), dan Yayasan Solidaritas Perempuan (1990) yang sekarang berganti menjadi Perserikatan Solidaritas Perempuan (Darwin, 2004).

Sebagai organisasi yang fokus terhadap pemberdayaan perempuan, Yasanti melakukan kegiatan pendampingan, salah satunya padakelompok buruh gendong. Yasanti melakukan pendampingan terhadap buruh gendong karena mereka menanggung pekerjaan berat yang rawan mengganggu kesehatan. Upah yang mereka terima tak jarang hanya cukup untuk makan dan ke toilet. Sementara mereka harus membiayai keluarga di rumah. Selain itu, buruh gendong kurang mendapatkan perhatian dari komunitas pasar sehingga membuat mereka kesulitan untuk mengakses fasilitas publik.

(11)

11 Sejak awal mendampingi buruh gendong, Yasanti menugaskan petugas lapangan (PL) untuk melakukan fasilitasi. Mulai dari baca tulis, simpan pinjam, hingga pelatihan. Petugas lapangan datang ke pasar untuk menyampaikan informasi danmemfasilitasi kegiatan/pertemuan. Program yang ditujukan bagi kelompok dampingan diharapkan dapat menyadarkan anggota kelompok agar dapat memperjuangkan hak-haknya, sebagai perempuan dan pekerja.

Baehaqi (2008) menuliskan arti pendampingan menurut Mayeroff seperti dikutip oleh Suyanto bahwa kata “pendampingan” dipakai untuk menerjemahkan kata carring. Kata ini berasal dari kata to care, yang berarti merawat, mengasuh atau memperdulikan. Namun sejak tahun 1983 kata carring diterjemahkan menjadi kata “pendampingan”. Tujuan pendampingan adalah pemberdayaan atau penguatan (empowerment) masyarakat (Aritonang, 2001), yang berarti mengembangkan kekuatan, kemampuan (daya), dan potensi sumber daya masyarakat agar mampu membela dirinya, sehingga pada gilirannya masyarakat mampu memformulasikan secara mandiri kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring atas penyelenggaraan aktivitas kehidupan mereka (Chambers, 1987).

Suharto (2005:93-97) mendefinisikan pendampingan sebagai satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar membantu dirinya sendiri”. Dalam konteks ini peranan pekerja sosial seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Lebih lengkapnya, ia menjelaskan

(12)

12 bahwa kegiatan serta proses pendampingan berpusat pada empat bidang tugas atau fungsi, yaitu pemungkinan/ fasilitasi (enabling) atau fasilitasi, penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting).

Fasilitasi(enabling)merupakan fungsi yang berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat.Beberapa tugas pekerja sosial yang berkaitan dengan fungsi ini antara lain menjadi model (contoh), melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber.

Penguatan(empowering)berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building).Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan fungsi penguatan.

Perlindungan (protecting) berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas namadan demi kepentingan masyarakat dampingannya.Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat dan membangun jaringan kerja. Fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pekerja sosial sebagai konsultan, orang yang bisa diajak berkonsultasi dalam proses pemecahan masalah.

(13)

13 Pendukungan (supporting)mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis yang dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi manajer perubahan yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, berorganisasi, berkomunikasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.

Menurut “Women Leading Change: Experiences Promoting Women’ Empowerment, Leadership and Gender Justice- Oxfam Novib dalam Aripurnami (2013), berbicara tentang kepemimpinan (leadership), seringkali dikaitkan dengan upaya penguatan (empowerment). Sementara penguatan kapasitas berkaitan dengan upaya membangun kapasitas individu atau kelompok. Kepemimpinan selalu berkaitan dengan mambangun kapasitas personal dan percaya diri serta kapasitas memobilisasi pihak lain.

Hal ini sejalan dengan pendapat Saatchi dan Saatchi (1998) bahwa pemberdayaan/ penguatan perempuan yang dimaksudkan adalah mengembangkan inisiatif perempuan untuk dapat merubah struktur tradisional dan ideologi yang menekan perempuan dan bagaimana merubah pandangan perempuan dari kelompok marjinal ke kelompok mayoritas. Apa yang kita lakukan dalam hal ini adalah melihat berbagai cara bagaimana menanamkan kesadaran, pengetahuan, dan mendidik perempuan agar dapat memudahkan mereka untuk mencapai tujuannya. Sebab dengan mendidik perempuan itu berarti kita medidik satu generasi (Saatchi dan Saatchi, 1998). Dengan memberdayakan perempuan, kita

(14)

14 dapat merubah keluarga, masyarakat dan bahkan negara atau bangsa (Angeningsih, 2005).

Program sekolah kepemimpinan buruh gendong dirancang dengan tujuan memperkuat kapasitas buruh gendong agar mampu untuk memperjuangkan hak-hak yang harusnya diperoleh sebagai perempuan dan pekerja. Tentunya harapan Yasanti dan IWE sebagai penyelenggara sekolah, buruh gendong yang diberi kesempatan untuk menjadi leader memperlihatkan perubahan sikap untuk berjuang besama-sama dengan buruh gendong yang lain dengan materi yang sudah diberikan, terutama menyangkut pengorganisasian dan advokasi yang akan membuka akses terhadap sumber sekonomi dan pekerjaan yang layak.

Untuk mengukur keberhasilan program pemberdayaan perempuan, Longwe (1991) menyusun level pemberdayaan perempuan yang harus diperhatikan yakni kesejahteraan, akses, konsentasi/penyadaran, partisipasi dan kontrol. Kelima level pemberdayaan perempuan tersebut tersusun secara hierarkis dimana tingkatan yang tertinggi adalah kontrol. Semua level tersebut harus dipenuhi dalam upaya pemberdayaan perempuan (Widianto, 2014:41). Dikutip dari McChesney (2003:20) bahwa pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, secara total hanya dapat dicapai secara bertahap. Dituntut juga tersedianya berbagai sumber dan waktu. Semua hak asasi manusia saling berhubungan satu sama lain dan merupakan faktor penting untuk mempertahankan martabat manusia (McChesney,2003:22).

(15)

15 Secara lebih rinci, Longwe meguraikan poin yang ditekankan dalam mengukur keberhasilan pemberdayaan perempuan.

a. Kesejahteraan

Mengutip dari Prihatin (2009) aspek kesejahteraan dapat dikatakan menjadi aspek penting dalam upaya pemberdayaan perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam akses terdapat kesejahteraan, perempuan menempati posisi yang tidak menguntungkan. Claros dan Zahidi dalam Prihatin (2009) membagi tiga unsur utama kesejahteraan. Pertama, partisipasi ekonomi perempuan merupakan hal yang penting tidak hanya mengurangi level kemiskinan pada perempuan, melainkan pula sebagai langkah penting untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan mendorong pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan. Kedua, pencapaian pendidikan merupakan aspek paling fundamental dalam kegiatan pemberdayaan perempuan, tanpa memperoleh pendidikan yang memadai, perempuan tidak mampu mengakses pekerjaan sektor formal, mendapatkan upah yang lebih baik, berpartisipasi dalam pemerintahan dan mencapai pengaruh politik. Ketiga, kesehatan dan kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang terkait dengan perbedaan substansial antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses nutrisi yang cukup, kesehatan, fasilitas reproduksi, dan untuk mengemukakan keselamatan fundamental dan integritas seseorang.

Amartya Sen (1999, dalam Prihatin 2009) menyatakan bahwa pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan hak perempuan memberikan pengaruh yang kuat untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menguasai lingkungan mereka dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi. Partisipasi ekonomi

(16)

16 tidak hanya berhenti pada meningkatnya jumlah perempuan bekerja, melainkan pula kesetaraan dalam pemberian upah.

b. Akses

Akses menurut Longwe adalah kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran, tenaga kerja dan semua pelayanan publik. Argumen utama level pemberdayaan ini adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya. Dengankata lain, rendahnya produktivitas perempuan disebabkan oleh minimnya akses perempuan terhadap sumber daya produktif seperti peluang, permodalan, informasi, pendidikan, pelatihan dll. Sumber daya menurut ICRW (2011:5) tidak hanya terkait finansial melainkan mencakup human capital (pendidikan, skill, dan pelatihan), financial capital (modal, tabungan), social capital (jaringan sosial, mentor), physical capital (tanah, mesin).

Dengan memberikan akses terhadap permodalan dan pelatihan serta keuangan mikro dapat membantu meningkatkan kapasitas perempuan (Maholtra, 2002). Begitu juga dengan akses yang besar terhadap informasi akan membantu perempuan memperoleh akses pada kekuasaan (Narayan, 2002:18). Untuk meningkatkan akses perlumelakukan penyadaran terhadap perempuan agar dapat mencari akar penyebab kesenjangan akses yang mereka alami. Menurut Winati (2002) akses dapat dilihat dari (1) sumberdaya yang diperoleh individu, (2) kegiatan yang dikerjakan individu dalam usaha memperoleh beragam sumber

(17)

17 daya. Dalam hal ini metode alokasi waktu dapat dipakai untuk mengukur kegiatan tersebut, (3) siapa yang menikmati hasil kegiatan.

c. Menumbuhkan Kesadaran Kritis Perempuan

Longwe mendefinisikan konsientasi sebagai kesadaran dalam memahami perbedaan peran berdasarkan pembagian seks dan gender.Pada level ini, pemberdayaan dituntut mampu menumbuhkan sikap kritis perempuan terhadap berbagai akar permasalahan yang menimpanya seperti diskriminasi, subordinasi, stereotipe sehingga menciptakan kesetaraan gender di segala aspek kehidupan. Dengan kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran hendaknya dimulai dari individu, kelompok hingga komunitas (Freire, 2000).Kesadaran kritis dapat dicapai melalui proses dialog untuk mendefinisikan dan memecahkan permasalahan bersama (Freire 2000:81).

d. Partisipasi

Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks pemberdayaan, perempuan harus terlibat dalam penetapan kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Sejalan dengan pemikiran Longwe, menurut Craig dan Mayo, partisipasi pada dasarnya merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Individu-individu harus terlibat dalam proses pemberdayaan sehingga mereka dapat menumbuhkan rasa percaya diri, memiliki

(18)

18 harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2001:3). McArdle (1989) bahkan menyatakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan (Hikmat, 2001:6). Partisipasi dapat dilihat dari peran serta perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara.

e. Kontrol

Pada level puncak pemberdayaan ini, perempuan harus memiliki kontrolsetara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sehingga tidak ada lagidominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Pentingnya kontrol sebagai salah satuunsur analisis pemberdayaan perempuan adalah perempuan mempunyai kekuasaan untuk mengubah kondisi dan posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Konsep kontrol berhubungan dengan aspek kekuasaan seseorang untuk menentukan segalasesuatu yang menyangkut pelbagai kepentingan termasuk memperoleh beragam sumber daya bagi dirinya (Winati, 2002). Konsep kontrol menurut Winati dapatdianalisis melalui bagaimana pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu untuk melakukan sesuatu baik dalam rumah tangga maupun masyarakat luas.

Meskipun setiap level pemberdayaan tersusun secara hirarkis, namun sebenarnya setiap intervensi pemberdayaan tidak harus dimulai dari level kesejahteraan. Oleh karena itu, pemberdayaan bisa saja di mulai dari level akses, konsientasi/ kesadaran kritis, partisipasi untuk mencapai level puncak yaitu “kontrol” (Widianto, 2014:45).

(19)

19 F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yasanti sebagai tempat utama penyelenggaraan kegiatan sekolah kepemimpinan buruh gendong, terutama materi in class.Kantor Yasanti beralamatkan di Jalan Puntodewo DK No.1, Jomegatan RT.11 RW.22, Ngestiharjo,Kasihan, Bantul,Yogyakarta. Selain itu, penelitian dilakukan di Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan di mana buruh gendong lebih mudah dijumpai dibandingkan dengan dua pasar yang lain.

Peserta sekolah berasal dari daerah yang berbeda-beda. Peserta yang berasal dari Kulon Progo berjumlah 12 orang, peserta yang berasal dari Bantul berjumlah 4 orang, tiga orang berasal dari Sleman, dua orang berasal dari Sukoharjo, dan empat peserta lainnya masing-masing berasal dari Boyolali, Purworejo, Gunungkidul dan Klaten. Dari 25 orang peserta sekolah, tidak semua bermalam di pasar. Mereka lebih memilih untuk pulang ke rumah. Pada saat kegiatan kelas, peserta ada yang berangkat dari pasar atau dari rumah. Untuk pergi ke sekolah, peserta membawa motor sendiri, diantar anggota keluarga, atau naik bus.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah wawancara dan observasi. Wawancara mendalam digunakan untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dari informan. Untuk mendapatkan data yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, wawancara tidak hanya dilakukan

(20)

20 terhadap satu informan. Wawancara dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara yang sengaja dipersiapkan terlebih dahulu pertanyaannya sebelum bertemu dengan informan. Wawancara yang kedua adalah wawancara saat sedang mengobrol dengan informan. Observasi dipakai untuk mengamati berlangsungnya sekolah dan keseharian informan di pasar.

Selain itu, data didapat dari studi pustaka berupa buku, jurnal, atau sumber informasi yang berasal dari internet. Tentunya yang berkaitan denganfokus yang diteliti oleh penulis yaitu penguatan/ pemberdayaan kapasitas perempuan (dalam hal ini buruh gendong) melalui program sekolah kepemimpinan.

3. Pemilihan Informan

Penulis menggali informasi dari staf Yasanti yang secara langsung terlibat dalam kegiatan sekolah, Mbak Imma sebagai kepala sekolah dan staf pendidikan dan kajian. Bu Mar dan Bu Asih yang bertugas sebagai wakil kepala sekolah dan petugas lapangan. Informan yang berasal dari peserta berjumlah empat orang dari 25 peserta sekolah yang dipilih berdasarkan umur termuda dan tertua. Keempat peserta sekolah yaitu Bu Sumari (39 tahun), Bu Yatni (39 tahun), Bu Bandiyah (54 tahun), dan Mbah Giyaah (72 tahun). Sementara informan yang memberikan informasi mengenai Yasanti adalah Bu Amin, selaku direktur Yasanti.

(21)

21 4. Sistematika Penulisan

Pada tulisan ini, bab pertama berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori dan metode penelitian. Bab kedua berisi tentang profil Yayasan Annisa Swasti, kelompok dampingan, struktur organisasi, dan jaringan kerjasama dan pendanaan lembaga. Latar belakang sekolah akan diuraikan pada bab tiga. Selain latar belakang, bab ini akan menjelaskan mengenai proses keseluruhan kegiatan sekolah, peserta sekolah, dan empat profil dari pesera sekolah.

Selanjutnya pada bab empat, akan dijelaskan mengenai program pendampingan buruh gendong melalui kegiatan sekolah. Selain itu,bab empat akan membahas perubahan sikap yang terlihat dari peserta sekolah terkait dengan penguatan materi, serta dampak yang muncul pasca sekolah. Tulisan ditutup dengan bab lima yang berisi kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap objek pada Visual Basic dapat ditambahi dengan kode-kode program untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, misalnya menutup aplikasi, membatalkan perintah, memanggil form dan

Nilai residual yang besar ini kemungkinan disebabkan karena akurasi yang rendah dari picking waktu tiba gelombang P. Tampak pula pada histogram bahwa residual positif sedikit

Hasil penelitian ini Responden Ibu Menyusui Di Desa Kemadu Kecamatan Sulang Kabupaten Rembang yaitu yang melakukan teknik menyusui dengan sempurna dan tidak mengalami

Bimbingan 4 3 2 1 Pengetahuan Peserta didik menunjukkan pemahaman materi yang sangat baik dalam tahapan pengamatan Peserta didik menunjukkan pemahaman materi yang baik

4) Jika sumber itu merupakan karya tulis seseorang dalam suatu kumpulan tulisan banyak orang. Cara penulisan urut dimulai dari nama pengarang, tahun., judul kumpulan tulisan,

RUBIK penuh kebijaksanaan serta menjadikan keberagaman budaya dan tradisi ini sebagai kelebihan dan keunikan Agama Buddha di Indonesia, maka hal ini akan sangat bermanfaat

Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan

berfokus pada anak yang dalam proses pembelajarannya berpusat di sentra main dan saat anak dalam lingkaran dengan menggunakan 4 jenis pijakan (scaffolding) untuk mendukung