• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perilaku

1.1. Pengertian perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).

Skinner (1938 dalam Setiawati dan Dermawan, 2008) mengemukakan bahwa perilaku adalah hasil dari hubungan antara stimulus dan respons pada diri seseorang. Dengan demikian Skinner membedakan perilaku menjadi dua antara lain:

1. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

(2)

2. Perilaku terbuka (overt behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Perilaku kesehatan adalah tindakan atau kegiatan baik yang bisa diobservasi secara kasat mata ataupun tidak terhadap stimulasi atau rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, dan lingkungan (Setiawati dan Dermawan, 2008).

Becker (1979 dalam Notoatmodjo, 2007) memberikan batasan tentang perilaku sehat dengan kesehatan yaitu: perilaku hidup sehat, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga kesehatannya. Batasan berikutnya adalah perilaku sakit, yaitu respons individu terhadap kondisi sakit yang dialaminya meliputi persepsi, keyakinan, pendapat penyakitnya, perawatan, dan pengobatan yang dilakukan. Batasan terakhir adalah perilaku peran sakit, yaitu respons yang dihasilkan karena adanya ketidakseimbangan antara pendorong dan penahan pada diri individu terkait dengan kesehatan.

Green (1980 dalam Notoatmodjo,2005)mengatakan faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku ada 3 macam yaitu:

(3)

1. Faktor predisposisi (disposing factors)

Faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku dan tindakan. Yang dimaksud adalah fasilitas, sarana, dan prasarana. 3. Faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan di dalam diri seseorang (Maulana, 2009).

Secara teori pembentukan perilaku diawali oleh domain kognitif. Individu terlebih dahulu mengetahui stimulus untuk menimbulkan pengetahuan, selanjutnya timbul domain afektif dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya, setelah objek diketahui dan disadari

(4)

sepenuhnya, timbul respons berupa tindakan (domain psikomotor). Pada kenyataannya perilaku baru yang terbentuk tidak selalu mengikuti urutan tersebut. Tindakan individu tidak harus didasari oleh pengetahuan dan sikap. Artinya, seseorang telah berperilaku positif, meskipun pengetahuan dan sikapnya masih negatif (Maulana, 2009).

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang, misalnya lingkungan sosial, situasi, dan kesempatan. Sehingga apa yang diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa yang muncul dalam perilakunya dan seseorang yang memiliki sikap positif terhadap sesuatu hal, tetapi dalam kenyataannya perilakunya tidak sesuai dengan sikapnya (Dariyo,2004).

1.2. Domain perilaku

Bloom (1908 dalam Noatmodjo, 2007) membagi perilaku manusia ke dalam tiga wilayah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Tetapi pada perkembangannya teori Bloom dimodifikasi menjadi:

1.2.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan dapat diperoleh seseorang secara alami atau diintervensi baik langsung maupun tidak langsung. Perkembangan teori pengetahuan telah berkembang sejak lama. Filsuf pengetahuan yaitu Plato mengatakan pengetahuan sebagai kepercayaan sejati yang dibenarkan atau valid (Budiman dan Riyanto, 2013).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

(5)

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2007).

Budiman dan Riyanto (2013) mengatakan jenis pegetahuan ada 2 yaitu pengetahuan implisit dan pengetahuan eksplisit. Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan seseorang biasanya sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak disadari. Sedangkan pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata bisa dalam wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

Notoatmodjo (2007) mengatakan pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. Tingkatan pertama tahu (know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

(6)

Tingkatan kedua yaitu memahami (comprehension) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Kemudian tingkatan ketiga yaitu aplikasi (aplication) yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

Tingkatan selanjutnya analisa (analysis) yang merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemudian sintesis (synthesis) yang merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Tingkatan terakhir adalah evaluasi (evaluation), yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2007).

(7)

Arikunto (2006 dalam Budiman dan Riyanto, 2013) membuat kategori tingkat pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang didasarkan pada nilai persentase yaitu:

1. Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya ≥ 75% 2. Tingkat pengetahuan kategori cukup jika nilainya 56-74% 3. Tingkat pengetahuan kategori kurang jika nilainya < 55% Notoatmodjo (2003) mengemukakan ada 2 faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari intelegensi, pendidikan, pengalaman, dan umur. Intelegensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.Seseorang yang memiliki taraf intelegensi yang tinggi akan lebih mudah menerima suatu pesan.Pendidikan mempunyai pengaruh pada pengetahuan, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Sedangkan pengalamanmerupakan satu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu.Umur juga dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, semakin cukup umur tingkat kemampuan dan pengetahuan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan lebih mudah menerima informasi.

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pengetahuan terdiri dari informasi, sosial budaya, status sosial ekonomi, dan lingkungan.

(8)

Informasi mempunyai peranan penting terutama dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik dalam tatanan masyarakat, kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial dimana informasi akan mempengaruhi fungsi kognitif, afektif, dan perilaku.

Sosial budaya dapat mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai keagamaan untuk memperkuat ego. Sosial budaya termasuk di dalamnya pandangan agama dan kelompok etnis.Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Individu yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik lebih memiliki sikap positif dalam memandang diri dan masa depan dibandingkan individu yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah.Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

1.2.2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah sesorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu

(9)

perilaku. Sikap itu masih merupakan suatu reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).

Dayakisni dan Hudaniah (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan melainkan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis. Interaksi tersebut akan membentuk pengalaman yang akan mempengaruhi keyakinan, perasaan, dan kecendrungan berperilaku. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap.

Kholid (2014) mengatakan bahwa sekalipun diasumsikan sikap merupakan predisposisi yang menentukan cara individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan sering kali jauh berbeda. Hal ini karena tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap, akan tetapi oleh berbagai faktor eksternal lainnya.

Tidak semua sikap adalah sama dalam kemampuannya memprediksi perilaku. Cara bagaimana sikap itu pada awalnya terbentuk mempengaruhi hubungan sikap dan perilaku. Sikap yang pada dasarnya terbentuk dari pengalaman interaksi secara langsung dengan obyek sikap akan cenderung lebih konsisten dengan perilaku daripada sikap yang terbentuk melalui cara yang lain. Sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman secara langsung akan tersedia dan

(10)

dapat diakses secara kognitif dan lebih mungkin menjadi pedoman perilaku seseorang (Dayakisni dan Hudaniah, 2009).

Allport (1954 dalam Setiawati dan Dermawan, 2008) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen antara lain, kepercayaan, emosional, dan kecendrungan untuk bertindak.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari 4 tingkatan. Tingkatan pertama adalah menerima yang diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikanstimulus yang diberikan (objek). Tingkatan kedua merespons yang merupakan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

Tingkatan selanjutnya menghargai yang merupakan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi tingkat tiga. Tingkatan terakhir adalah bertanggung jawab yang merupakan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap menurut Azwar (2005) ada 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal terdiri dari pengalaman pribadi dan faktor emosional. Pengalaman

(11)

pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Sikap akan lebih mudah untuk terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Faktor emosional berpengaruh terhadap sikap seseorang karena kadang kala suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sikap yaitu pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, serta lembaga pendidikan dan agama. individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecendrungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. Kemudian pengaruh kebudayaantanpa disadari telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

Media massa juga sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap. Pemberitaaan dalam surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan

(12)

secara objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

Pengukuran sikap berbeda dengan pengukuran pengetahuan karena dalam ranah sikap kemampuan yang diukur adalah: menerima (memperhatikan), merespons, menghargai, mengorganisasi, dan menghayati. Skala yang digunakan untuk mengukur ranah afektif seseorang terhadap kegiatan suatu objek diantaranya menggunakan pernyataan sikap. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengandung ungkapan terhadap suatu objek. Pernyataan bisa bersikap positif (favourable) dalam artian pernyataan sikap menunjukkan dukungan terhadap suatu objek, tetapi bisa juga bersifat negatif (unfavourable), dimana pernyataan menggambarkan tidak mendukung atau kontra terhadap suatu objek (Budiman dan Riyanto, 2013).

Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah Skala

Likert. Dalam Skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju (Budiman dan Riyanto, 2013).

(13)

1.2.3. Tindakan atau praktik (Practice)

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilainya baik). Inilah yang disebut praktik (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2007).

Notoatmodjo (2007) mengatakan suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktordukungan dari pihak lain. Praktik ini mempunyai 4 tingkatan yaitu praktik, respons terpimpin, mekanisme, dan adopsi. Tingkatan pertama adalah persepsi yang merupakan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. Tingkatan kedua respons terpimpin yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

Tingkatan selanjutnya mekanisme yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Tingkatan terakhir adalah adopsi yang merupakan suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

(14)

Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

Setiawati dan Dermawan (2008) mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, dan emosi. Kecerdasan merupakan tingkatan kualitas proses pikir seseorang yang dipengaruhi banyak faktor diantaranya hereditas, nutrisi, dan latihan.

Faktor selanjutnya persepsiyaitu pengalaman yang dihasilkan melalui indra penglihatan, pendengaran, dan penciuman. Motivasi yang dapat merubah perilaku dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang yang akan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kegiatan. Setelah motivasi akan timbul minat, minat merupakan keinginan yang tumbuh dari dalam diri individu untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam mencapai satu tujuan. Faktor yang terakhir adalah emosi, emosi sangat mempengaruhi dilakukan atau tidak dilakukannya suatu kegiatan. Emosi individu memerlukan manajemen, sehingga akan menghasilkan emosi yang stabil. Emosi yang labil akan menghasilkan perilaku yang destruktif.

Faktor Eksternal yang dapat mempengaruhi sikap yaitu ketergantungan dengan orang lain dan budaya. Manusia memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya, oleh karena itu perubahan perilaku bisa dipengaruhi manusia yang ada disekitarnya. Sedangkan

(15)

budaya merupakan wujud nyata dari hasil proses pembelajaran. Budaya tumbuh seiring dengan perkembangan manusia. Budaya ada yang dipertahankan dan ada yang lambat laun ditinggalkan dengan berbagai alasan.

Suryani dan Widyasih (2010) mengatakan bahwa pembentukan tindakan dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan dan orang tua merupakan model seorang anak untuk berperilaku. Perilaku kebiasaan sering mempunyai kaitan erat dengan kesehatan atau peningkatan status kesehatan. Kebiasaan- kebiasaan kesehatan terbentuk pada masa kanak-kanak dibawah pengaruh sikap dan tingkah laku orang tua.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengamati tindakan dari subjek dalam rangka memelihara kesehatannya (observasi). Namun dapat juga dilakukan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan oleh subjek (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu (Notoatmodjo, 2005). 2. Konsep remaja

Remaja merupakan periode perkembangan dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara 13 sampai 20 tahun. Istilah adolescence biasanya menunjukkan maturasi psikologis individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat

(16)

terjadi. Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada orang muda, dan perkembangan mental mengakibatkan kemampuan untuk menghipotesis dan berhadapan dengan abstraksi (Potter dan Perry, 2005).

Saat masa remaja terjadilah suatu perubahan organ-organ fisik (organobiologik) secara cepat dan perubahan tersebut tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mental emosional). Terjadinya perubahan besar tersebut menyebabkan perlu adanya pengertian, bimbingan, dan dukungan dari lingkungan di sekitarnya agar dalam sistem perubahan tersebut terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat sedemikian rupa sehingga kelak remaja tersebut menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani, rohani, dan sosial (Widyastuti, Rahmawati, dan Purnamaningrum, 2009).

Perubahan fisik remaja yaitu terjadinya perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer dan organ seks sekunder yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual. Hormon seks pada remaja putri disebut hormon estrogen (Dariyo, 2004).

Menurut Berk (1993 dalam Dariyo, 2004) perubahan seks primer adalah perubahan-perubahan organ seksual yang semakin matang sehingga dapat berfungsi untuk melakukan proses reproduksi dimana seorang individu dapat melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis dan dapat memperoleh keturunan anak, misalnya vagina, ovarium, dan uterus.

Tanda kematangan organ reproduksi primer pada perempuan adalah datangnya menstruasi. Menstruasi adalah permulaan dari serangkaian pengeluaran darah, lendir, dan jaringan sel yang hancur dari uterus secara berkala yang akan

(17)

terjadi kira-kira setiap 28 hari. Menstruasi terjadi pada usia 8 tahun sampai usia 16 tahun. Meskipun pada awalnya menstruasi tidak teratur dan ovulasi mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama (Potter dan Perry, 2005).

Papilia, Olds dan Felmen (1998 dalam Dariyo, 2004) mengatakan perubahan seks sekunder adalah perubahan tanda-tanda identitas seks seseorang yang diketahui melalui penampakan postur fisik akibat kematangan seks primer. Pada perempuan perubahan seks sekunder seperti kulit halus, bentuk tubuh (9,5-14,5 tahun), suara melengking tinggi, pertumbuhan payudara (7-13 tahun), kelenjar keringat, rambut kemaluan pada vagina (7-14 tahun), dan bulu ketiak (1-2 tahun setelah tumbuhnya rambut pubis).

Perubahan emosi selama masa remaja sama dramatisnya dengan perubahan fisik. Masa ini adalah periode yang ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi pengharapan masyarakat. Remaja dihadapkan pada keputusan dan dengan demikian membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas seksual, penyakit yang ditularkan melalui hubungan sesual, dan kehamilan (Potter dan Perry, 2005).

3. Kebersihan alatgenitalia

Kebersihan diri merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis. Pemenuhan perawatan diri dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya budaya, nilai sosial pada individu atau keluarga, pengetahuan terhadap perawatan diri, serta persepsi terhadap perilaku (Hidayat, 2009).

(18)

Sistem reproduksi wanita terdiri dari organ genitalia interna yang terletak di dalam rongga pelvis dan di topang oleh lantai pelvis dan organ genitalia eksterna yang terletak di perineum. Perawatan diri alat genitalia yang dimaksud yaitu perawatan diri pada organ eksterna, dengan menjaga kebersihan alat genitalia eksterna otomatis akan menjaga kesehatan alat genitalia interterna. Struktur genitalia eksterna secara berurutan (arah anterior ke arah posterior) terdiri dari: Mons pubis (mons veneris), labia mayora dan minora, klitoris, prepusium klitoris, vestibulum, fourchette, dan perineum (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2004).

Kebersihan alat genitalia adalah membersihkan sekret (cairan yang dikeluarkan dari organ reproduksi) dan bau dari perineum untuk mencegah terjadinya infeksi dan meningkatkan kenyamanan (Kozier, Erb, Berman, dan Snyder, 2004). Perawatan area genitalia yang dilakukan dengan benar dapat mengurangi jumlah kuman yang masuk melalui saluran reproduksi sehingga tidak terjadi infeksi dan masalah kesehatan pada organ reproduksi. Perawatan area genitalia merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh setiap perempuan.

Kebersihan alat genitalia yang tidak maksimal dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem vagina, sehingga meneyebabkan keluarnya lendir berlebihan yang biasa disebut keputihan. Oleh karena itu, untuk menghindari komplikasi yang serius dari keputihan sebaiknya penatalaksanaan dilakukan sedini mungkin karena keputihan merupakan tanda dari terjadinya gangguan pada organ reproduksi (Sibagariang, Pusmaika, dan Rismalinda, 2010).

Infeksi dapat terjadi pada setiap struktur organ reproduksi. Anatomi sistem reproduksi wanita memunginkan menyebabkan naiknya organisme dari saluran

(19)

bagian bawah ke atas dan dapat mencapai rongga peritoneal, demikian pula infeksi dapat turun dari saluran bagian atas jika terjadi penyebaran hematogen organisme dan tempat primernya dalam tubuh. Vaginistis merupakan infeksi pada vagina yang merupakan keluhan ginekologi yang paling sering. Vaginistis bisa disebabkan oleh penggunaan cairan pembersih kelamin atau deodoran, sabun mandi, dan pakaian dalam. Infeksi radang panggul juga terjadi karena tidak menjaga kebersihan sehingga menyebabkan naiknya organisme ke traktus genitalia bagian atas hingga ke ovarium. Perilaku tidak menjaga kebersihan alat genitalia bisa sampai mengakibatkan terjadinya keadaan keganasan pada organ reproduksi, seperti kanker vulva, kanker serviks, kanker endometrium, dan kanker ovarium (Price dan Wilson, 2006).

Kebersihan Alat genitalia harus dijaga setiap hari. Pada remaja putri, membiasakan diri untuk membersihkan vagina setiap setelah buang air kecil atau buang air besar dan mengeringkan sampai benar-benar kering sebelum mengenakan pakaian dalam adalah perilaku yang benar. Tehnik membersihkan vagina adalah dari depan ke belakang. Vagina dapat dibersihkan menggunakan air bersih yang hangat. Vagina tidak boleh dibersihkan menggunakan cairan antiseptik secara berlebihan, karena akan merusak flora normal, yaitu bakteri

Doderlein. Kuman ini memecah glikogen pada lendir vagina menjadi asam (pH ± 4,5) yang bersifat bakterisida (membunuh kuman). Penggunaan antiseptik berlebihan akan membunuh flora normal dan memberi kesempatan bagi berkembang biaknya kuman patogenik, sehingga tubuh akan rentan terhadap infeksi (Poltekkes Depkes, 2012).

(20)

Hal-hal yang perlu diketahui dan diperhatikan dalam menjaga kebersihan alat genitalia yaitu:

1. Alat genitalia perlu dijaga kebersihannya. Area genitalia sebaiknya dibasuh setelah buang air kecil, buang air besar dan ketika mandi dengan cara mencuci tangan sebelum menyentuh vagina, kemudian membasuh dengan air bersih dari arah depan (vagina) ke arah belakang (anus). Hal tersebut untuk menghindari perpindahan kuman dari anus ke vagina yang dapat menyebabkan infeksi. Air yang digunakan sebaiknya menggunaan air yang mengalir dari keran, karena air yang berada di ember atau bak dapat mengandung bakteri dan jamur.

2. Area genitalia harus selalu dalam keadaan kering. Setelah membasuh daerah genitalia dengan air bersih, kemudian daerah genitalia dikeringkan dengan menggunakan tisu maupun handuk bersih sebelum memakai celana dalam dan setelah itu jangan lupa mencuci tangan. Area genitalia yang dibiarkan basah akan menimbulkan suasana lembab yang dapat memicu perkembangan patogen dari luar. Pemakaian tisu sebaiknya yang tidak mengandung parfum dan bewarna putih agar tidak menyebabkan iritasi pada vagina dan penggunaan handuk secara bergantian sebaiknya dihindari karena bisa menjadi media penularan penyakit kulit dan kelamin. 3. Area genitalia harus selalu dalam kondisi kering. Oleh karena itu, celana harus diganti secara teratur untuk menjaga kebersihan. Jika celana dalam terasa basah, maka celana dalam segera diganti dengan celana yang bersih dan kering. Celana dalam sebaiknya diganti minimal 2 kali sehari.

(21)

Sebelum menggunakan celana dalam tidak dianjurkan untuk menaburkan bedak di vagina dan daerah sekitarnya karena bedak tersebut akan mengumpul disela-sela lipatan vagina yang sulit terjangkau tangan ketika membersihkan. Jika tumpukan bedak dibiarkan, maka akan mengundang kuman.

4. Pakaian dalam yang digunakan juga menentukan kesehatan alat genitalia. Celana dalam yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan katun karena dapat menyerap keringat. Celana dari bahan satin ataupun bahan sintetik lainnya justru menyebabkan area genitalia menjadi panas dan lembab. Kondisi ini akan menimbulkan ketidaknyamanan dan sangat kondusif bagi pertumbuhan jamur. Pakaian dalam yang digunakan juga harus dalam kondisi bersih dan ukuran yang tepat. Jika celana dalam terlalu ketat, maka akan mengganggu kenyamanan kulit dan menimbulkan rasa gatal. Pakaian luar yang digunakan juga perlu diperhatikan. Celana luar yang digunakan sebaiknya berukuran longgar. Celana luar yang sempit tidak dianjurkan karena memiliki pori-pori yang sangat rapat sehingga tidak memungkinkan udara untuk mengalir secara leluasa. Celana luar dianjurkan terbuat dari bahan kain.

5. Produk pembersih vagina tidak boleh digunakan secara rutin dan berlebihan. Hal ini disebabkan karena vagina sudah mempunyai mekanisme alami untuk mempertahankan keasamannya. Keseringan menggunakan pembersih tersebut dapat mengubah keseimbangan asam basa vagina sehingga menyebabkan iritasi dan infeksi pada vagina.

(22)

6. Saat menstruasi, kondisi vagina menjadi lebih lembab daripada biasanya. Oleh karena itu remaja putri harus memperhatikan lebih cermat dibandingkan hari biasanya. Saat menstruasi, remaja putri harus memakai pembalut yang bersih. Sebaiknya memilihpembalut yang berbahan lembut, dapat menyerap dengan baik, dan tidak mengandung bahan yang dapat menimbulkan alergi seperti parfum dan gel.Setelah buang air kecil atau buang air besar sebaiknya pembalut diganti dengan yang baru. Saat menstruasi dianjurkan mengganti pembalut setiap 3 sampai 4 jam sekali dalam sehari atau 6 sampai 8 kali sehari ketika darah menstruasi dalam kondisi banyak. Jika pada hari menstruasi terakhir, maka pembalut diganti setiap 3 kali sehari untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan jamur. 7. Pantyliner sebaiknya tidak digunakan setiap hari dan pantyliner digunakan

sesuai dengan kebutuhan artinya ketika mengalami keputihan yang banyak sekali. Beberapa hari menjelang menstruasi dan sesudah menstruasi, biasanya wanita akan mengalami keputihan normal akibat pengaruh hormon. Pemakaian pantyliner digunakan untuk mengurangi kelembaban disekitar alat genitalia. Pantyliner yang digunakan sebaiknya tidak mengandung parfum dan sering diganti untuk mencegah iritasi.

8. Rambut yang tumbuh di daerah genitalia sebaiknya dipotong ketika sudah panjang dan lebat. Jika dibiarkan terlalu panjang rambut di daerah genitalia dapat menjadi sarang mikroorganisme patogen (Pribakti, 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Nomor 5: Pembeli B karena dengan gaya dorong yang sama antara pembeli A dan B, faktor yang mempengaruhi besarnya akselerasi kereta adalah massa benda. Pembeli A membawa kereta

Akhir sekali, terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung di dalam menjayakan penyelidikan ini. Semoga pengorbanan serta

Program bantuan pemagangan siswa MA di Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI) tahun anggaran 2011 merupakan kelanjutan dari program bantuan serupa yang telah mulai dilaksanakan pada

Potensi keterpulihan lahan pasca tambang dapat diindikasikan dari tanaman revegetasi (tanaman penutup tanah dan cepat tumbuh mampu tumbuh dan bertahan serta tajuk

Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan terlihat bahwa untuk sampel ikan asin yang diperoleh dari pasar Berimam Tomohon dan pasar Pinasungkulan semua sampel

Akan tetapi jika ketahanan rotan tersebut dinilai berdasarkan persentase jumlah bubuk yang hidup (Lampiran 3), maka dari 16 jenis rotan yang diamati, sebanyak 4 jenis (25%),

Mulyono (2016 : 12) menyatakan bahwa ragam bahasa baku (bahasa baku) atau ragam bahasa standar (bahasa standar) dapat dibatasi dengan menggunakan tiga sudut pandang, yakni sudut

Pendorong kinerja, yang meliputi perspektif pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran serta pertumbuhan, diturunkan dari proses penerjemahan strategi