• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Strategi

Konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau konsep selama tiga dekade terakhir. Menurut Chandler (1962) dalam Rangkuti (2006) strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumberdaya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Sementara itu Fisher et al. (2001) menyebutkan bahwa strategi merupakan serangkaian langkah yang saling terkait secara logis ke arah seluruh tujuan, yang dapat diuji dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi.

Strategi yang digunakan dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah mewujudkan tujuan konservasi seperti tercantum dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990 yaitu melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga kegiatan ini saling berintegrasi, tidak ada yang lebih utama dari yang lainnya (Soemarwoto 2008). Artinya jika yang dilakukan hanya satu aspek, misalnya perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan pemanfaatan, maka akan menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat tinggi, dengan tanpa memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan tersebut hanya memfokuskan pada aspek pemanfaatan dengan tanpa memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan, maka yang akan terjadi tentu saja pemusnahan sumberdaya alam hayati tersebut.

Salah satu strategi pengelolaan TNKL dapat dilakukan dengan pengembangan konsep co-management. Co-management diperlukan dalam pengelolaan kawasan konservasi, karena menyangkut kompleksnya aspek ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing aspek tersebut.

2.2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2008). Munasinghe (1993) dalam Kassa (2009) mengemukakan bahwa konsep pembangunan akan berkelanjutan apabila memenuhi tiga dimensi yaitu: secara

(2)

ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari. Makna pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kualitas modal alam yang dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara eknomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan yang bermakna bahwa eksploitasi atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

Keraf (2002) menyebutkan bahwa gagasan terhadap tiga aspek pembangunan yaitu aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup, harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya. Soemarwoto (2008) menyebutkan bahwa pembangunan yang hanya memperhatikan faktor ekonomi tidak akan dapat berkelanjutan. Untuk itu perlu memperhatikan faktor sosial-budaya, seperti halnya sejarah menunjukkan, bahwa faktor sosial budaya telah menyebabkan tak berkelanjutannya pembangunan di banyak negara. Faktor sosial budaya berhubungan dengan keterikatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Perwujudan pengelolaan kawasan konservasi hanya dapat dicapai oleh masyarakat yang hidup dengan prinsip berusaha untuk tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi serta menghormati dan memelihara komunitas kehidupan (Djajadiningrat 2001). Prinsip ini mengandung arti bahwa orang atau sekelompok masyarakat harus peduli kepada orang atau kelompok masyarakat lain dimanapun, baik sekarang maupun di masa mendatang. Untuk mencapai hal tersebut perlu diciptakan dan dikembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dan dinamis semua unsur pelaku pembangunan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Dalam pasal 37 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan dalam pasal 68 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 meliputi: (1) masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan; (2) masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan

(3)

sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan; dan (3) masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses atau hak atas tanah miliknya.

2.3. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dalam suatu interaksi antara satu pihak dengan pihak lain dalam hal apa saja jika sudah menimbulkan ketidakcocokan atau ketidaksetujuan satu pihak dengan yang lainnya, maka pada saat itulah benih konflik mulai dapat berkembang (Suporahardjo 2000). Selanjutnya tinggal menunggu apakah akan menjadi konflik yang terbuka atau konflik tersembunyi yang belum muncul menjadi sengketa.

Pada dasarnya konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh ketidakpastian hak penguasaan (property right) (Basuni 2003), perebutan akses (Colfer et al.1999a), perbenturan nilai dan rasa keamanan (Kartodihardjo & Jhamtani 2006), serta perbedaan kepentingan (Fuad & Maskanah 2000).

Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak, ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak, di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komoditi yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Menurut Suparmoko (1989) ketidakpastian hak penguasaan akan memunculkan keputusan perorangan untuk mengambil sumberdaya tersebut secara boros, yang berarti bersifat deplisi.

Adapun bentuk-bentuk hak penguasaan (property right) sumberdaya alam menurut Hanna et al. (1996) seperti dikutip Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) adalah dikuasai oleh negara (state property), diatur bersama didalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), dan berupa hak individu (private property). Pengalokasian sumberdaya yang tidak efisien serta ketidakpastian property right dapat mengakibatkan terjadinya free access (Basuni 2003), yang mana dampak selanjutnya dimungkinkan terjadi konflik.

Akses merupakan kemampuan memperoleh manfaat dari sumberdaya alam (Ribot & Peluso 2003). Penekanan ini berarti bahwa akses bukan hanya hak penguasaan, melainkan juga hubungan sosial yang memampukan seseorang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikannya. Konflik yang terjadi yaitu ketika terjadi perubahan

(4)

terhadap akses sumberdaya. Hutan yang dialokasikan sebagai state property, pengelolaannya diatur berdasarkan regulasi negara demi tercapainya kemakmuran seluruh rakyat. Regulasi pengelolaan taman nasional yang berdasarkan zonasi dimaksudkan untuk meningkatikan efektifitas pengelolaan tersebut. Namun kenyataan yang ada bahwa masyarakat masih melakukan aktifitas ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Secara etis, akses masyarakat terhadap makanan merupakan pertimbangan penting. Secara praktis, masyarakat yang anaknya lapar karena mereka tidak diberi akses terhadap hutan mungkin tidak akan menghormati batas-batas hutan. Perubahan penguasaan dan akses pada sumberdaya alam dari common resources menjadi state property (milik negara) jelas akan menimbulkan berbagai masalah, mulai dari ketidakacuhan masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan hutan sampai pada peningkatan konflik (Colferet al.1999a).

Nilai-nilai spiritual dalam masyarakat menjalin ikatan batin dan emosional yang kuat dengan keberadaan sumberdaya alam. Keraf (2002) menyebutkan bahwa masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai hubungan antara semua penguhuni komunitas ekologis. Nilai-nilai dalam masyarakat ini dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari. Sementara itu, negara percaya bahwa pembangunan ekonomi adalah alat utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk itu negara akan menerapkan sistem ekonomi yang mengadopsi paradigma pasar untuk menghasilkan devisa sebesar-besarnya (Kartodihardjo & Jhamtani 2006). Demi mencapai tujuan pembangunan secara nasional, keberadaan masyarakat lokal sering diabaikan, tidak diakui, dan bahkan dipinggirkan atau dengan sengaja dimusnahkan hingga terjadi erosi nilai-nilai tradisional. Erosi ini berakibat lebih jauh pada degradasi perilaku, dan hilangnya rasa aman bagi masyarakat lokal yang ingin mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Tentu saja perubahan-perubahan nilai sosial itu akan memunculkan perlawanan dan menimbulkan konflik.

Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang salah arah (Kassa 2009). Hal ini disebabkan karena pengelolaan kawasan yang sentralistik dengan perencanaan dan

(5)

keputusan-keputusan yang bersifat top down mengakibatkan nilai dan kepentingan dari pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan denganstakeholderslainnya terutama komunitas–komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.

Akhir-akhir ini berbagai wujud konflik sumberdaya alam dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi, telah timbul menjadi konflik yang sulit terselesaikan. Tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak terhindarkan (Fuad & Maskanah 2000). Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan penjarahan masal atas sumberdaya di dalam kawasan konservasi merupakan indikasi meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi, serta melemahnya power yang dimiliki pihak pengelola kawasan. Pada akhirnya memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.

Dalam rangka menyelesaikan konflik dan berbagai permasalahan pengelolaan sumberdaya, diperlukan pendekatan logis melalui partnerships (kemitraan) yang disebut dengan co-management (Carlsson & Berkes 2005). Menurut Natcheret al.(2005)dalamBerkes (2009),co-managementtidak hanya pengelolaan sumberdaya saja, melainkan juga pengelolaan relationships. Lockwood (2010) menambahkan bahwa perubahan bentuk penguasaan kawasan konservasi, dari tanggung jawab pemerintah menjadi pengelolaan bersama antarastakeholders (pemerintah, swasta dan masyarakat), disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan ilmiah atas peran manusia dalam membentuk lingkungannya; kesadaran masyarakat lokal atas aspek sosial dan budaya, pengakuan terhadap hak asasi manusia, pengakuan hak masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhinya; demokratisasi dan peralihanpowerpemerintah pusat kepada pemerintah daerah; serta kebangkitan kekuatan ekonomi politik.

2.4. AnalisisStakeholders

Stakeholders merupakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman nasional, yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh tujuan pengelolaan taman nasional tersebut, baik individu, kelompok ataupun organisasi. Sementara itu, Eden and Ackermann dalam Bryson (2004)

(6)

menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi.

Dalam menentukan para stakeholders, harus dilakukan secara teliti. Hal ini dikarenakan berpotensi mengesampingkan kelompok yang sebenarnya relevan dengan permasalahan utama, yang berakibat pada biasnya hasil penelitian. Oleh karena itu Reed et al. (2009) menyebutkan bahwa analisis stakeholders perlu dilakukan dengan: 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Lebih lanjut, analisis stakeholders mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan suberdaya alam dengan cara memisahkan peranstakeholderske dalamrights(hak),responsibilities(tanggung jawab), revenues (pendapatan) sertarelationship (menilai hubungan antar peran tersebut) (Mayers 2005; Reedet al.2009).

Colfer et al. (1999a, 1999c) menyebutkan bahwa untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders, dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan faktor: kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan, kemiskinan, pengetahuan lokal, integrasi hutan/budaya, dan defisit kekuasaan. Faktor kedekatan dengan hutan merupakan jarak tinggal masyarakat yang berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan. Masyarakat yang memiliki akses yang mudah terhadap hutan akan menguntungkan jika dilibatkan dalam pengelolaan. Faktor hak-hak masyarakat yang sudah ada pada suatu kawasan hutan hendaknya diakui dan dihormati. Faktor ketergantungan merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya, sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan. Faktor kemiskinan mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia, sehingga masyarakat yang miskin sangat perlu dilibatkan dalam pengelolaan. Faktor pengetahuan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat lokal menjadikan pengelolaan hutan lebih baik. Faktor integrasi hutan/budaya berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan,

(7)

sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya, fungsi keamanan dari hutan selama musim paceklik, dan banyak sekali hubungan lainnya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri. Faktor defisit kekuasaan berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar, sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak.

2.5. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Partisipasi merupakan sikap kesediaan dan ikut serta untuk terlibat dalam kegiatan dan proses pengambilan keputusan dalam mencapai tujuan bersama, serta ikut bertanggung jawab atas hasil yang dicapai. Sementara itu Dephut (2006) mendefinisikan partisipatif sebagai keterlibatan dalam keseluruhan tahapan proses pembangunan kehutanan (pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dan pemanfaatan hasil pembangunan) dengan memberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dan dilaksanakan bersama masyarakat setempat.

Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004)dalamKassa (2009) mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa tingkat, yaitu:

 Tingkat 6. Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization) yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya, sedangkan pihak luar memfasilitasi mereka.

 Tingkat 5. Bermitra (partnership) yaitu masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan perencanaan, implementasi, evaluasi, dan lain-lain. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu, ini disebut “partisipasi interaktif”.

 Tingkat 4. Plakasi/berkonsiliasi (placation/consilliation) yaitu masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang dan lain-lain.

(8)

 Tingkat 3. Berunding (consultation) yaitu pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.  Tingkat 2. Memberi informasi (information gathering) yaitu masyarakat

menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.

 Tingkat 1. Mendapat informasi (informing) yaitu hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dan lain-lain) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.

Tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.

Banyak upaya partisipatif beranggapan bahwa para stakeholders lokal merupakan kelompok-kelompok homogen yang memiliki kepentingan bersama dalam mengelola hutan. Namun, sering kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perebedaan-perbedaan antar kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi, menurut Kusumanto et al. (2006) tantangan terbesar dalam upaya-upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi.

Upaya desentralisasi pemerintah dan meningkatnya kekuatan pasar menjadi faktor-faktor penting terjadinya pergeseran pengelolaan yang dulunya tidak mampu menghadapi perbedaan tuntutan atas hutan dan ketidakpastian, menjadi pengelolaan hutan bersama atau kolaboratif. Akibatnya diperlukan pelibatan berbagai kelompok kepentingan yang lebih luas. Disamping itu, munculnya kelompok-kelompok kepentingan baru dan berubahnya pola-pola hubungan antar kelompok, menjadikan kerjasama merupakan kebutuhan pokok.

(9)

2.6. Kolaborasi dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia merupakan salah satu tumpuan terakhir dalam upaya menyelamatkan biodiversitas tropika yang masih tersisa. Keberhasilan pengelolaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai perubahan situasi dan settingpolitik, pemerintahan serta sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Seringkali kebijakan pemerintah di bidang konservasi sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya tidak mampu mengimbangi kecepatan perubahan tersebut, sehingga banyak hal terkait dengan kebijakan dan paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang tidak lagi relevan dengan situasi terkini. Hal ini menyebabkan kondisi tidak menentu dalam pendekatan pengelolaan kawasan yang mengakibatkan ketidakpastian sistem manajemen di lapangan.

Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang masih kental dengan pengaruh pendekatan Yellowstone, terjadinya gap (kesenjangan) pemahaman terhadap konservasi bagi pelaku konservasi serta instrumen regulasi yang kurang relevan dengan perubahan situasi terkini, dapat mengakibatkan potensi kegagalan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini diindikasikan oleh semakin menurunnya apresiasi dan dukungan para pihak terhadap pengelolaan kawasan konservasi. Di sisi lain, degradasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi juga semakin memprihatinkan. Keraguan pengelola kawasan dalam melakukan tindakan manajemen di lapangan seringkali kontra-produktif terhadap upaya konservasi itu sendiri. Oleh karenanya, diperlukan pendekatan pengelolaan yang mampu mengakomodasikan kepentingan para pihak tanpa melupakan tujuan utama pengelolaan, yaitu keberlanjutan keberadaan, fungsi, dan manfaat sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya bagi kesejahteraan rakyat.

Departemen Kehutanan telah menanggapi permasalahan di atas dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kolaborasi pengelolaan ini bertujuan untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta terpenuhinya keinginan para pihak untuk mengakhiri konflik tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan (Dephut 2004). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Carlsson and Berkes (2005)

(10)

bahwa co-management merupakan pendekatan logis untuk menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumberdaya melalui kemitraan.

Istilah collaborative management atau kolaborasi pengelolaan dalam bahasa Inggris sering digunakan bergantian dengan berbagai istilah lainnya seperti co-management, participatory management, joint management (pengelolaan bersama), shared management, multistakeholder management, atau round-table management (Kusumanto et al. 2006). Di Indonesia istilah co-management diartikan sebagai pengelolaan kolaboratif, pengelolaan bersama, pengelolaan berbasis kemitraan atau pengelolaan partisipastif.

Borrini-Feyerabend et al. (2000, 2004) menyebutkan bahwa co-management merupakan suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholders bernegosiasi, menetapkan dan memberikan jaminan di antara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi manajemen, hak/wewenang dan tanggung jawab atas suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu.

Co-management dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara pemerintah dan masyarakat yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi dengan mempertimbangkan pembagian wewenang, manfaat dan tanggung jawab. Knigt and Tighe (2003) dalam Kassa (2009) menyebutkan bahwa konsep co-management antara masyarakat dan pemerintah merupakan mitra yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak.

Gambar 2 mengilustrasikan wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada di antara manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh stakeholders. Arah kerja co-management tersebut mencakup berbagai cara menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai dari konsultasi aktif, mencari konsensus, negosiasi, sharing otoritas dan transfer otoritas (Borrini-Feyerabend 1996 dalamPurwanti 2008).

Selanjutnya Borrini-Feyerabend et al. (2004) menyebutkan bahwa modal co-management adalah keberagaman pelaku sosial, dengan berbagai ragam tingkatan, bagian dan disiplin. Co-management didasarkan pada negosiasi dengan pengambilan keputusan dilakukan secara bersama, serta terjadi power sharing dan pembagian pendapatan diantara semua pelaku yang terlibat.

(11)

Co-management mencoba mencapai keadilan dalam pengelolaan sumberdaya. Keadilan disini bukan berarti kesamaan.

Kontrol penuh

pemerintah Kontrol bersama

Kontrol penuh stakeholders Sharing otoritas & tanggung jawab secara formal COLLABORATIVE MANAGEMENT Konsultasi secara aktif Mencari konsensus terbaik Negosiasi (keterlibatandalam pengambilan keputusan) dan mengembangkan kesepakatan Tidak ada interfensi

dan kontribusi stakeholders

Tidak ada interfensi dan kontribusi

pemerintah

Tingkat Keterlibatan

Stakeholders

Rendah Sedang Tinggi/ Kuat

Kontribusi, komitmen & akuntabilitasstakeholdersmeningkat Harapanstakeholdersmeningkat

Tingkat partisipasistakeholdersmeningkat

Transfer otoritas

dan tanggung

jawab

Sumber: Borrini-Feyerabend 1996dalamPurwanti 2008

Gambar 2 Arah kerjaco-management.

Kunci keberhasilan co-management (Kusumanto et al. 2006) yaitu bahwa para stakeholders kunci tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan yang meliputi pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan dan refleksi. Selain itu, pengembangan minat, keterampilan dan kemampuan lokal yang dapat membantu para stakeholders menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan para stakeholders dalam menanggapi perubahan adalah dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dirangkum beberapa faktor pendukung co-managementseperti Tabel 1.

Pada dasarnya konsep pengelolaan co-management berbeda dengan pengelolaan partisipatif lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat, karena ada mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan distribusi tanggung jawab pemerintah dan stakeholders. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa co-management di taman nasional merupakan kemitraan antara pemerintah dengan stakeholders yang berkomitmen dan konsisten dalam berbagi hak/wewenang dan tanggung jawab

(12)

pada tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan suatu kegiatan dalam kawasan taman nasional.

Tabel 1 Faktor pendukungco-management

No Indikator Dephut 2004 Borrini-Fayerabend 2000 Knigt and Tighe 2003 Kusumanto et al.2006 1 Kemitraan  

2 Pembagian wewenang dan tanggung jawab

 

3 Kesepakatan  

4 Kerjasama  

5 Partisipasi  

6 Pengakuan hak, sederajat  7 Saling percaya dan menghargai 

8 Berbagi keuntungan  

9 Peningkatan ketrampilan dan kemampuan lokal

Beberapa jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan dengan masyarakat dalam taman nasional (Dephut 2004) antara lain kegiatan rehabilitasi kawasan, wisata alam, pelaksanaan perlindungan dan pengamanan, serta program peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat. Pada kegiatan rehabilitasi kawasan, bentuk kemitraan bersama stakeholders bisa dilakukan dalam hal penyediaan jenis bibit sekaligus kegiatan penanamannya. Pada kegiatan wisata alam, bentuk kemitraan bersama stakeholders bisa dilakukan dalam hal penyusunan rencana aktivitas wisata alam yang dikaitkan dengan wisata adat budaya, beserta program interpretasinya. Selain itu, keterlibatan stakeholders dalam kegiatan wisata alam dapat dilakukan dengan pembentukan guide/pemandu wisata lokal yang menguasai interpretasi wisata alam taman nasional. Pada kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, kemitraan bersama stakeholders dilakukan dengan perencanaan dan pembentukan kelompok pengamanan swakarsa oleh masyarakat setempat. Di samping itu, pemerintah dan stakeholders juga mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus turut merencanakan program peningkatan kesejahteraannya. Kegiatan dalam hal ini berupa berbagai kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang direncanakan bersama masyarakat.

2.7. TeknikInterpretative Structural Modeling(ISM)

Teknik Interpretative Structural Modeling (ISM) merupakan suatu metodologi dengan menggunakan bantuan komputer yang dapat membantu suatu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan

(13)

struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks (Eriyatno & Sofyar 2007). Teknik ISM mengkaji kelompok dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat. ISM ini menyediakan suatu keadaan yang sangat baik untuk memperoleh keragaman dan sudut pandang yang berbeda dalam sebuah konsep kompleks yang lebih baik.

Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan struktur didalam suatu sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam teknik ISM, program yang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Studi dalam perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisa dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) dalam Marimin (2005) bahwa program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu:

1). Sektor masyarakat yang terpengaruh 2). Kebutuhan dari program

3). Kendala utama

4). Perubahan yang dimungkinkan 5). Tujuan dari program

6). Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan

7). Aktivitas yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan.

8). Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9). Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi sub elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara sub elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antara sub elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno (2003) dalam Adiprasetyo (2010) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub elemen dapat meliputi berbagai

(14)

jenis hubungan seperti perbandingan, pernyataan, pengaruh, keruangan, atau kewaktuan.

Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix(SSIM) dengan menggunakan simbol VAXO sebagai berikut: V ... hubungan dari elemen Eiterhadap Ej, tetapi tidak sebaliknya.

A... hubungan dari elemen Ejterhadap Ei, tetapi tidak sebaliknya. X... hubungan interrelasi antara Eidan Ej(dapat sebaliknya) O ..Eidan Ej tidak ada hubungan.

Marimin (2005) menguraikan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hirarki dan pengelompokan sub elemen. Untuk menentukan klasifikasi sub elemen digunakan nilai driver power dan dependence yang digolongkan dalam empat sektor yaitu:

- Sektor 1: weak driver – weak dependent variable(autonomous). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit. Walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat namun dalam penentuan strategi pengelolaan, sub elemen pada sektor ini dapat diabaikan.

- Sektor 2: weak driver – strongly dependent variables (dependent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas. Dalam strategi pengelolaan, sub elemen pada sektor ini didefinisikan sebagai akibat dari pengaruh sub elemen yang terdapat pada sektor IV dan III.

- Sektor 3: strong driver – strongly dependent variable (linkage). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Dalam strategi pengelolaan, sub elemen pada sektor ini dapat menyukseskan program atau bahkan menggagalkan program.

- Sektor 4: strong driver – weak dependent variables (Independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut juga peubah bebas. Dalam strategi pengelolaan, sub elemen pada sektor ini sangat mempengaruhi sub elemen pada sektor lainnya sehingga perlu dimaksimalkan pengelolaannya karena dapat menyukseskan program.

Gambar

Tabel 1 Faktor pendukung co-management

Referensi

Dokumen terkait

Berarti secara bersama-sama dapat berpengaruh yang signifikan antara Sales Growth, Return On Equity, Debt to Equity Ratio, Dividend Payout Ratio terhadap

9 Kecepatan pembayaran hasil panen kepada petani tebu mitra oleh PG Pakis Baru (dimensi kualitas pelayanannya adalah responsiveness dengan prinsip saling menguntungkan

Tujuan perawatan rambut adalah pasien akan memiliki rambut dan kulit kepala yang bersih dan sehat, pasien akan mencapai rasa nyaman dan harga diri, dan pasien dapat

 Guru mengajak siswa untuk menyimpulkan materi yang dipelajari hari ini dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan secara lisan kepada siswa.  Guru mengajak siswa untuk

Indonesia merupakan pengguna terbanyak media sosial facebook dan media sosial lainnya. Tentu hal ini pada saat sekarang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jiwa

Tujuan dari penulisan projek akhir PKL ini adalah untuk merancang dan membangan sebuah sistem Internet of Things sederhana dengan menggunakan sensor suhu , sensor

Pelaksanaan UKK di SMK dikelola BSNP, baik dalam pengadaan soal UKK, kriteria penilaian, maupun penguji.Berdasarkan pengamatan dalam pelaksanaan UKK tata busana di

ANALISIS HUKUM KINERJA PENYIDIK DALAM MENYELESAIKAN KASUS TINDAK PIDANA UMUM DI GORONTALO..