• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Autisme

2.1.1. Definisi

Autisme bukan suatu penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) terjadi penyimpangan perkembangan sosial, gangguan kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekelilingnya sehingga anak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, perilaku, intelektual, dan kemauan (Yatim, 2007).

Istilah autisme berasal dari bahasa Yunani. kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti paham. Ini berarti bahwa autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, pola bermain, dan perilaku emosi. Gejala autisme mulai terlihat sebelum anak-anak berumur tiga tahun. Keadaan ini akan dialami di sepanjang hidup anak-anak tersebut (Muhammad, 2008).

Menurut Huzaemah (2010), autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialis, sensoris, dan belajar. Biasanya gejala sudah mulai tampak sebelum usia anak 3 tahun.

Gulo (1982), menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri (Muhammad, 2008).

(2)

Autisme menurut para ahli dari National Society for Childrenand Adult with Autism adalah gejala kelainan perilaku yang manifestasinya muncul sebelum usia 30 bulan dengan karakteristik gambaran: 1) gangguan pola dan kecepatan perkembangan; 2) gangguan respon terhadap berbagai stimuli sensori; 3) gangguan bicara, bahasa, kognisi dan komunikasi nonverbal; dan 4) gangguan dalam kemampuan mengenal orang, kejadian dan objek (Tsai et al, 2001).

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan gejala kelainan perkembangan pada anak yang disebabkan karena kerusakan otak, sehingga menimbulkan gangguan dalam interaksi sosial, gangguan bicara dan berbahasa, komunikasi nonverbal, kognisi, dan gangguan perilaku yang cenderung stereotip. Gangguan ini sudah tampak pada anak di bawah usia 3 tahun.

Perilaku autistik menurut Handojo (2003), digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:

1. Perilaku yang eksesif (berlebihan) adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar dan memukul, dan juga sering menyakiti diri sendiri.

2. Perilaku yang defisit (berkekurangan) ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), bermain tidak benar, dan emosi tanpa sebab (misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab).

2.1.2. Penyebab

Penyebab terjadinya autisme adalah adanya kelainan pada otak (Handojo, 2003). Menurut Veskariyanti (2008), autisme disebabkan karena kondisi otak yang secara struktural tidak lengkap, atau sebagian sel otaknya tidak berkembang sempurna, ataupun sel-sel otak mengalami kerusakan pada masa perkembangannya. Penyebab sampai terjadinya kelainan atau kerusakan pada otak belum dapat dipastikan, namun ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab kelainan tersebut, antara lain faktor keturunan (genetika), infeksi virus

(3)

dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, obat-obatan serta akibat polusi udara, air, dan makanan;banyak mengandung Monosodium Glutamate (MSG), pengawet atau pewarna.

Gangguan atau kelainan otak tersebut terjadi sejak janin dalam kandungann, yaitu saat fase pembentukan organ-organ (organogenesis) pada usia kehamilan trimester pertama (0-4 bulan). Hal ini mengakibatkan neuro-anatomis pada bagian otak berikut ini: 1) lobus parietalis, menyebabkan anak autisme tidak peduli dengan lingkungan sekitar; 2) serebelum (otak kecil) terutama pada lobus VI dan VII menimbulkan gangguan proses sensoris, daya ingat, berpikir, berbahasa dan perhatian; 3) sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan pada hipokampus mengakibatkan gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi serta fungsi belajar dan daya ingat, sehingga anak autisme kurang dapat mengendalikan emosi, terlalu agresif atau sangat pasif, timbulnya perilaku atau gerakan yang diulang-ulang, aneh, dan hiperaktif serta kesulitan menyimpan informasi baru. Kelainan pada amigdala mengakibatkan gangguan berbagai rangsang sensoris (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan rasa takut).

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali berisiko lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autisme jika memiliki saudara kandung yang juga autisme sekitar 3%. Studi lain menunjukkan, saudara kembar dengan jenis kelamin yang sama tapi merupakan monozigotik, mempunyai risiko 300 kali lebih besar dari pada dizigotik (Yoder, 2004).

Beberapa kasus terjadinya anak autisme berhubungan dengan infeksi virus (rubella kongenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan), dan sindroma-x yang rapuh (kelainan kromosom). Abnormalitas yang paling sering terjadi yaitu duplikasi pada kromosom 15 dan kromosom seks. Bagian 15q dari kromosom yang didapat secara maternal ditemukan paling banyak berpengaruh pada individu yang menderita autisme. Bagian ini juga terlibat dalam basis genetik dari disleksia,

(4)

salah satu gambaran klinis spektrum autisme. Bahkan akhir-akhir ini, gen ini dilaporkan ikut berpartisipasi dalam pengkodean gen 3-gamma-aminobutyric acid (GABA)-A receptor subunits (Trottier, 1999).

Sedangkan menurut Budiman (2001), peningkatan kasus autisme selain karena faktor kondisi dalam rahim seperti terkena virus toksoplasmosis sitomegalovirus, rubella atau herpes dan faktor herediter, juga diduga karena pengaruh zat-zat beracun, misalnya timah hitam (Pb) dari knalpot kendaraan, cerobong pabrik, cat tembok, kadmium (Cd) dari batu baterai, serta air raksa (Hg) yang juga digunakan untuk menjinakkan kuman untuk imunisasi. Demikian pula antibiotik yang memusnahkan hampir semua kuman baik dan buruk di saluran pencernaan, sehingga jamur merajalela di usus. Logam-logam berat yang menumpuk di dalam tubuh wanita dewasa masuk ke janin lewat demineralisasi tulang lalu tersalur ke bayi melalui Air Susu Ibu (ASI).

Peresepan antibiotik yang berlebihan adalah masalah yang tidak dapat dipisahkan dari autisme dan sudah memicu timbulnya resistensi organisme terhadap antibiotik sehingga organisme semakin sulit untuk dieradikasi (Jepson, 2003). Selain itu, penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan mikroorganisme di tubuh (Herbert, 2002). Anak-anak autisme mempunyai masalah khusus pada keadaan ini karena pada penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa anak-anak autisme mempunyai aktivitas T-helper 1 Lymphocyte yang rendah (Jepson, 2003). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Warren (1995) dalam Trottier (1999), anak-anak autisme menunjukkan kelainan cell-mediated immunity termasuk kelainan aktivasi sel T dan penurunan jumlah helper-inducer lymphocytes. Keadaan ini menyebabkan rendahnya kemampuan untuk membersihkan organisme yang berbahaya dan mengembalikan keseimbangan flora normal intestinal. Ini dapat menghasilkan pertumbuhan jamur yang berlebihan dan bakteri yang persisten di saluran cerna mereka. Organisme tersebut dapat mengganggu proses pencernaan yang normal dan menghasilkan metabolit yang berbahaya yang berbahaya yang pada akhirnya berpengaruh pada kelakuan autisme (Jepson, 2003).

(5)

2.1.2. Manifestasi Klinik

Secara umum karakteristik klinik yang ditemukan pada anak autisme menurut Yatim (2007), meliputi:

1. Sangat lambat dalam perkembangan bahasa, kurang menggunakan bahasa, pola berbicara yang khas atau penggunaan kata-kata tidak disertai arti yang normal.

2. Sangat lambat dalam mengerti hubungan sosial, sering menghindari kontak mata, sering menyendiri, dan kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

3. Ditandai dengan pembatasan aktivitas dan minat, anak autisme sering memperlihatkan gerakan tubuh berulang, seperti bertepuk-tepuk tangan, berputar-putar, memelintir atau memandang suatu objek secara terus menerus.

4. Pola yang tidak seimbang pada fungsi mental dan intelektual, anak autisme sangat peka terhadap perubahan lingkungan, dan bereaksi secara emosional. Kemampuan intelektual sebagian besar mengalami kemunduran atau inteligensia yang rendah dan sekitar 20 persen mempunyai inteligensia di atas rata-rata.

5. Sebagian kecil anak autisme menunjukan masalah perilaku yang sangat menyimpang seperti melukai diri sendiri atau menyerang orang lain.

Ada 3 kelompok gejala yang harus diperhatikan untuk dapat mendiagnosis autisme, yaitu dalam interaksi sosial, dalam komunikasi verbal, dan nonverbal serta bermain dan dalam berbagai aktivitas serta minat. Namun demikian, anak-anak autisme kemungkinan sangat berbeda satu dengan yang lain, tergantung pada derajat kemampuan intelektual serta bahasanya. Baik anak yang mutisme (membisu) dan suka menyendiri maupun anak yang mampu bertanya dengan tata bahasa yang benar tapi tidak sesuai dengan situasi yang ada, keduanya mempunyai diagnosis yang sama, yaitu autisme. Dapat pula terjadi salah diagnosis pada keadaan fungsi intelektual yang ekstrem (sangat tinggi atau sangat rendah). Hilangnya tingkah laku yang khas autisme bersamaan dengan

(6)

meningkatnya usia, membuat diagnosis autisme yang dibuat setelah masa kanak-kanak lewat, menjadi kurang dapat dipercaya (Masra, 2002).

Sedangkan untuk diagnostik anak autisme yaitu berdasarkan kriteria diagnostik menurut ICD – 10 1993 (International Classification of Disease) dari WHO maupun DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994, dari grup Psikiatri Amerika (dalam Kaplan dan Sadock, 2010), keduanya menetapkan kriteria yang sama untuk anak autisme.

Kriteria DSM-IV untuk Autisme:

A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbul balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala ini:

a. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang setuju.

b. Tidak bisa main dengan teman sebaya.

c. Tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti, minimal 1 dari gejala-gejala di bawah ini:

a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (dan tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).

b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi. c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan, sedikitnya harus ada satu gejala dibawah ini:

(7)

a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan.

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik dan rutinitas yang tidak ada gunanya.

c. Ada gerakan-gerakan yang aneh, khas dan diulang-ulang. d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.

B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:

a. Interaksi sosial. b. Bicara dan berbahasa.

c. Cara bermain yang kurang variatif.

C. Bukan disebabkan oleh Sindrom Rett atau Gangguan Disintegratif masa kanak.

2.1.3.Penatalaksanaan Terapi

Tujuan terapi pada anak dengan gangguan autisme menurut Kaplan dan Sadock (2010), adalah mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam keterampilan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang komprehensif dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara merupakan komponen yang paling utama. Adapun program terapi meliputi: 1) pendekatan edukatif berupa pendidikan khusus dan latihan terstruktur; 2) Terapi perilaku dengan menggunakan prosedur modifikasi perilaku yang spesifik; 3) Psikoterapi secara individual, baik dengan atau tanpa obat; 4) Terapi dengan obat-obatan, khususnya bagi anak autisme dengan gejala-gejala seperti: tempertantrum, agresif, melukai diri sendiri, hiperaktifitas, dan stereotip.

Menurut Danuatmaja (2003), penatalaksanaan terapi anak autisme ada 5 jenis, diantaranya:

(8)

Terapi dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki komunikasi, respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh serta diulang-ulang.

2.1.3.2. Terapi biomedis

Terapi ini bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini didasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam berat.

2.1.3.3. Terapi wicara

Terapi ini umumnya menjadi keharusan bagi anak autisme karena mereka mengalami gangguan bicara dan kesulitan berbahasa.

2.1.3.4. Terapi perilaku

Terapi ini bertujuan agar anak autisme dapat mengurangi perilaku tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang diterima oleh masyarakat.

2.1.3.5. Terapi okupasi

Terapi ini diberikan pada anak yang memiliki gangguan perkembangan motorik kurang baik. Bertujuan untuk menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan keterampilan motorik halus.

Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial, dan perawat sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini serta memberi penanganan yang sesuai dan tepat waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal (Masra, 2002).

2.2 Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Saku Bahasa Indonesia (2010), pola adalah model, cara, sistem, kerja atau ragam sedangkan kata asuh adalah menjaga, merawat, dan mendidik anak. Pola asuh adalah interaksi sosial awal yang berguna untuk mengenalkan anak pada aturan

(9)

dan norma tata nilai yang berlaku pada masyarakat (Hurlock, 2008). Pengasuhan anak adalah bagian dari proses sosialisasi tata pergaulan keluarga yang mengarah pada terciptanya kondisi kedewasaan dan kemandirian anggota keluarga atau masyarakat (Godam, 2008).

Menurut Petranto (2006), pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Pola asuh anak akan mempengaruhi harga dirinya dikemudian hari. Harga diri seseorang bisa dikatakan baik bila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu, dan merasa berharga. Hal-hal ini adalah yang diinginkan oleh setiap orang tua pada anaknya. Setiap orang tua yang merasa memiliki anak-anak dengan perasaan tersebut di atas tentu bangga dan merasa tidak sia-sia membesarkannya dan merasa apa yang telah diperbuatnya kepada anak memang adalah hal yang benar. Jadi pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif.

Kreativitas anak tidak terlepas dari pengasuhan orang tua/pendidik dalam arti bahwa kreativitas anak erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orangtua/pendidik juga orang tua berperan membenahi mental hygiene anak, karena itu merupakan prasyarat utama bagi terbentuknya kepribadian yang mantap. Pada tahap selanjutnya kepribadian ini merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dengan lingkungannya yang memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Melalui pendidikan yang diberikan oleh orang tua, anak akan memenuhi sifat kemanusiaannya dan berkembang dari insting-insting biogenetik yang primitif untuk belajar terhadap respon-respon yang diterimanya (Aisyah, 2010).

Aspek-aspek asuhan dikemukakan oleh Bradley et al (2003), dengan pengukuran HOME Inventory (Home Observation Measurement Environment). HOME disusun untuk dapat mengkaji kualitas, kuantitas dukungan, dan stimulasi

(10)

secara fisik (mainan dan pembelajaran materi) dan sosial (dukungan emosi dan respon) yang diberikan kepada anak oleh pengasuhnya di lingkungan rumah dan orang yang memberi pengasuhan. Skala HOME meliputi 6 aspek, yaitu tanggap rasa dan kata, penerimaan terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan anak, penyediaan mainan untuk anak, keterlibatan orangtua terhadap anak, dan kesempatan variasi asuhan anak.

Instrumen HOME dapat digunakan untuk mengukur kualitas dan kuantitas dari perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak (Bradley et al, 2003). HOME Inventory memberikan informasi yang objektif, gambaran aktifitas yang dilakukan oleh anak, dan menawarkan aspek lingkungan positif dan negatif yang sesuai dengan kebutuhan anak (Mayes et al, 2012).

2.3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Hurlock (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: a. Pendidikan orang tua

Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan anak.

b. Kelas sosial dan Pekerjaan

Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding dengan orang tua dari kelas sosial bawah.

c. Konsep tentang peran orang tua

Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep nontradisional.

(11)

d. Kepribadian orang tua

Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.

e. Kepribadian Anak

Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan dengan anak yang introvert.

f. Usia anak

Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang memberikan dukungan dan dapat menerima sikap anak usia pra sekolah.

Referensi

Dokumen terkait

(Ambarita meminta kepada majelis untuk memperlihatkan rekaman video pada pemeriksaan saksi zondi berlangsung langsung sahabat munir tepuk tangan dan berteriak hidup munir,

Bagian Pembelian Toko Daftar pesanan Laporan produksi Laporan pemasukan Nota pelunasan Nota pesanan Daftar pesanan Input data detail pesanan D a ta b a s e Cetak nota ,

Sekolah yang memiliki program Boarding School yang akan ditingkatkan metode pembelajaran dan pengelolaan kelembagaan dengan menitikberatkan pada pembinaan dan pengembangan

ƒ Kebosanan dalam mengajar seringkali saya rasakan 8 ƒ Saya kurang senang dengan pekerjaan yang saya jalani 16 ƒ Saya kadang merasa malas jika hari senin datang lebih pagi

Hubungan Frekuensi Kemoterapi Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Kanker Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.. Latar Belakang : Kemoterapi merupakan suatu tindakan

vVTA User Agent bertugas untuk menerima file-file \fi./TA dari WTA server kemudian menjalankannya. Dalam WT A User Agent sudah termasuk fungsi untuk pengorganisasian buku

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.011/2014 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan