• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN MYASTENIA GRAVIS. Erlan YUdistira S.Kep NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN MYASTENIA GRAVIS. Erlan YUdistira S.Kep NIM"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN

MYASTENIA GRAVIS

Erlan YUdistira S.Kep NIM. 400 613 0002

PROGRAM PROFESI NERS (PPN) V111 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

DHARMA HUSADA BANDUNG 2014

(2)

1. Definisi

Myasthenia gravis merupakan penyakit dengan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuscular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunteer dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal), (Price dan Wilson, 1995). Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter).

Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunteer dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner dan Suddarth, 2002). Myasthenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromoskular yang disebabkan oleh hambatan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat di dalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Myasthenia Grafis adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuscular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah myasthenia berasal dari bahasa Latin yang berarti kelemahan otot, dan gravis yang berarti berat atau serius.

Myasthenia gravis merupakan salah satu penyakit autoimun. Dimana penyakir autoimun menurut kamus kedokteran merupakan suatu jenis penyakit ketika antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri.

2. Etiologi

Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini karena: 1. Respon autoimun.

2. Pelepasan asetilkolin yang tidak efektif.

3. Respon serabut otot yang tidak adekuat terhadap asetilkolin.

Myasthenia gravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke otot. Hal ini terjadi ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu di persimpangan neuromuskuler dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang dikontrol. Biasanya bila impuls menuju saraf, ujung saraf akan melepaskan zat neurotransmitter yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan dari sambungan neuromuskuler dan mengikat reseptor asetilkolin yang diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot.

(3)

Pada myasthenia gravis antibodi blok mengubah atau menghancurkan reseptor untuk asetilkolin pada sambungan neuromuskuler yang mencegah terjadinya kontraksi otot. Antibodi ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh.

3. Manifestasi Klinis

Miasthenia Gravisdapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan gejala:

1. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat kerusakan transmisi neuromuskuler pada nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot bola mata (mungkin menjadi satu-satunya gejala yang ada).

2. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah ketika hari semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien beristirahat (pada stadium awal MG dapat terjadi keadaan mudah lelah pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain. Kemudian, keadaan ini bisa menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).

3. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai menurut kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin parah pada saat haid dan sesudah mengalami stress emosi, terkena cahaya matahari dalam waktu lama, serta pada saat menderita demam atau infeksi.

4. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal hidung, yang semua terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot wajah.

5. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan mengunyah serta menelan akibat terkenanya nervus kranialis.

6. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan ekstraokuler. 7. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk

melihat (otot-otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa gerakan menyentak).

8. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas vital akibat kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan kesulitan bernapas. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi pneumonia dan infeksi saluran napas lain pada pasien myasthenia gravis.

9. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat sehingga diperlukan penanganan kedaruratan jalan napas dan pemasangan ventilator mekanis.

(4)

4. Patofisiologi/WOC

Myasthenia gravis merupakan gangguan neuromuskular junction yang disebabkan oleh gangguan transmisi asetilkolin (Ach) untuk berikatan dengan reseptornya di permukaan membran sel otot. Kelainan ini disebabkan oleh terbentuknya antibodi berupa IgG yang nantinya akan berikatan secara inhibitor kompetitif pada reseptor asetilkolin (AchR). Adanya antibodi yang terikat ini nantinya akan menyebabkan lisis fokal yang ditandai dengan rusaknya reseptor. Reseptor yang rusak akan mempercepat proses turn over dan mengurangi jumlahnya pada permukaan membran sel. Mekanisme pembentukan antibodi terhadap reseptor Ach ini masih belum dimengerti. Namun, mekanisme ini tergolong dalam proses autoantibodi tipe II (reaksi kompleks imun). Selain itu, antibodi yang terbentuk (IgG) dapat melewati plasenta. Sehingga, kelainan myasthenia gravis dapat ditularkan secara kongenital dari ibu yang menderita myasthenia gravis.

Pada myasthenia gravis, gangguan yang terjadi terletak pada bagian membran post sinaptik. Gangguan ini menyebabkan asetilkolin tidak akan berikatan dengan reseptor sehingga asetilkolin akan terlihat “berenang” didalam celah sinaptik. Kondisi asetilkolin bebas ini akan memudahkan asetilkolin dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase. Sehingga, jumlah asetilkolin yang terikat reseptor akan semakin sedikit dan hal ini menimbulkan depolarisasi membran sel otot yang sifatnya tidak sekuat normal. Depolarisasi berjenjang sel otot akan semakin menurun jumlahnya sehingga nantinya akan bermanifes pada kelemahan otot dalam kontraksi.

Kelainan myasthenia gravis ditandai pada kelemahan otot-otot volunter. Pada awalnya gejala ini timbul pada serat otot dengan satuan motorik terkecil seperti otot-otot penggerak bola mata. Dan seringkali kelainan ini menyerang otot yang dipersarafi nervus kranial. Pada skenario, penderita mengalami keluhan berupa kelopak mata sulit dibuka serta bila melihat cepat capai dan tampak double. Hal ini disebabkan oleh kelemahan otot-otot pada kelopak mata yaitu m. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak, yang berfungsi dalam menutup bola mata yang dipersarafi n. VII. Sedangkan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh n. III berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.

Selain itu, kelemahan akibat gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di berbagai otot volunter tubuh. Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan bermanifes pada kesulitan menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair ditandai dengan kesulitan menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan otot-otot ekstremitas ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya bila mengangkat tangan selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).

Keluhan pada myasthenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan membaik setelah istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan perangsangan yang timbul. Myasthenia gravis merupakan kelainan yang bermanifes pada otot volunter/ otot skelet. Dan otot skelet ini diinervasi pada persarafan somatik yang timbul oleh adanya rangsangan eksitatorik di otak. Pada keadaan istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan yang timbul sehingga produksi asetilkolin berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel. Dan pada saat memulai aktivitas (rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan dengan reseptornya masih dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan depolarisasi membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini tidak akan terkompensasi dengan

(5)

semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan karena terkait pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang banyak dihidrolisis.

Myasthenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik progresif lambat ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita. Akibatnya, keluhan yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di skenario, penderita belum mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada. Dalam hal ini, penderita masih belum mengalami gangguan pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan krisis miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini, maka penderita sudah berada dalam kondisi kritis yang memerlukan penanganan secepat mungkin.

Dalam myasthenia gravis, pemeriksaan darah menunjukkan hasil normal karena tidak terjadi kenaikan kadar kreatin kinase. Kadar kreatin kinase ini biasanya timbul bila terjadi kerusakan otot sedangkan pada myasthenia, tidak timbul kerusakan otot melainkan gangguan pada neurotransmiternya. Sehingga, otot pada pasien myasthenia tampak normal. Akan tetapi, bila otot pasien yang mengalami kelemahan tidak digunakan, lama kelamaan akan timbul disuse atrophy.

Sebenarnya, gangguan pada neurotransmiter dapat ditemukan pada myathenia gravis dan sindrom Eaton-Lambert. Pada myasthenia gravis, asetilkolin tidak dapat diterima oleh reseptor pada membran postsinaptik karena antibodi telah menduduki reseptor itu. Pada sindrom Eaton-Lambert, asetilkolin di dalam gelembung presinaptik tidak dapat dituangkan (eksositosis) di celah sinaptik karena membran presinaptiknya terganggu oleh adanya antibodi pada kanal kalsium.

Penanganan myasthenia gravis dapat dilakukan dengan terapi farmakologik berupa pemberian obat imunosupresif, kortikosteroid ataupun obat antikolinesterase. Selain itu, dapat pula dilakukan operasi pengangkatan timus karean sekitar 15% penderita myasthenia gravis mengalami hiperplasia kelenjar timus (timoma). Obat antikolinesterase memiliki spektrum kerja dalam menghambat efek kerja enzim asetilkolinesterase (enzim yang terlibat dalam penguraian asetilkolin/ Ach). Obat ini akan secara efektif meningkatkan konsentrasi Ach pada motor end plate dan memperpanjang masa kerjanya. Telah diketahui bahwa kerusakan reseptor karena antibodi bersifat reversibel, sehingga terjadi pengurangan jumlah reseptor dalam satu permukaan membran sel otot. Namun, dengan penggunaan obat antikolinesterase, Ach akan tidak langsung dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterae. Sehingga, Ach yang berada dalam celah sinaps akan memiliki waktu paruh panjang dalam menemukan reseptor yang sehat (tidak terikat antibodi) dan nantinya menimbulkan pembukaan saluran Na-K. Komplikasi yang dapat terjadi pada pada penderita myasthenia gravis sesudah mendapat pengobatan antikolinesterase yaitu krisis miastenik yang timbul karena underdose obat antiasetilkolinesterase sehingga gejala-gejala lebih memburuk, biasanya terjadi karena gangguan resorpsi obat antiasetilkolinesterase atau karena infeksi berat. Selain itu, dapat juga terjadi krisis kolinergik yang timbul karena obat antikolinesterase yang merusak sinaps sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja lagi sebagai neurotransmiter.

(6)
(7)

5. Pemeriksaan Diagnostik 1. Tensilon tes/endrofonium

Yaitu tes dengan pemberian obat antikolinesterase kerja singkat yang menghasilkan perbaikan segera pada kelemahan otot bila diberikan secara intravena. Injeksi ini merupakan medikasi yang memudahkan transmisi impuls sambungan mioneural (NMJ), yang digunakan untuk emnetukan diagnose (Brunner dan Suddarth, 2002). Dalam waktu 30 detik setelah injeksi intravena endrofonium tes, pada banyak pasien akan mengalami peningkatan namun hanya sementara waktu. Peningkatan kekuatan otot muncul setelah agen-agen menunjukkan hasil tes yang positif. Antibody anti-AChR muncul dalam serum pasien mendekati 90% pasien dengan sebagian besar myasthenia dan sekitar 70% dari gejala-gejala terbatas pada otot mata (bentuk okular).

2. Uji Klinin

Merupakan uji dimana diberikan 3 tablet kinina msing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Pada myasthenia gravis, gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

3. EMG (elektromiografi)

Merupakan alat tes uji dengan mempelajari aktivitas listrik yang timbul pada otot sewaktu istirahat dan sewaktu kontraksi. Pada penderita myasthenia gravis terlihat penurunan progresif amplitude potensial aksi otot ketika pasien melakukan kontraksi volunter berulang. Pemeriksaan ini tidak menunjukkan diagnostic khusus untuk myasthenia gravis (Brunner dan Suddarth, 2002).

4. Pemeriksaan serum

Pemeriksaan untuk antibody reseptor asetilkolin, merupakan pemeriksaan yang sangat baik karena bersifat spesifik terhadap 80% pada pasien myasthenia gravis. Ujinyang positif bersifat diagnostic untuk penyakit myasthenia gravis. Dan titer antibody yang tinggi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

5. CT chest

Sekitar 15% pasien myasthenia gravis memiliki thymoma (pembengkakan kelenjar thymus) CT scan pada dada bagian atas biasanya dilakukan untuk memeriksa apakah anda terkena myasthenia gravis atau tidak.

6. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.

7. Tes prostigmin

Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

(8)

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan myasthenia gravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi pengobatan pada obat antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi antibodi. Terapi mencakup agen-agen antikolinesterase dan terapi imunosupresif, yang terdiri dari plasmeferesis dan timektomi.

1. Agen-agen antikolinesterase

Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relative tersedia pada persimpangan neuromuscular. Mereka diberikan untuk meningkatkan respon otot-otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya mengurangi simtomatik.

2. Obat-obatan

Dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromide (Mestinon), ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin (Prostigmine).

Banyak pasien lebih suka pada piridostigmin karena obat ini menghasilkan efrk samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai hasil maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan, berkurangnya kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak tercapai dan pasien akan mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan.

Obat-obat antikolenesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi penyangga makanan lainnya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual, muntah dan diare. Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat menurunkan atau mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi antikolenesterase mencakup efek samping pada otot-otot skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot-otot dan kelemahan. Oengaruh terhadap system saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas, insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan), sinkope, atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan eksresi saliva dan keringat, meningkatnya sekresi bronchial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya juga dicatat.

Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk member obat-obat yang ditentukan menururt jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-gejala pasien. Penundaan pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien tidak mampu untuk menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah. Meningkatnya kekuatan otot dalam satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan.

Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang ditetapkan. Penyesuaian lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosionla dan terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan penyakit.

(9)

3. Terapi imunosupresif

Ditentukan untuk tujuan menurunkan produksi antibodi anti reseptor atau mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma (digambarkan di bawah ini). Terapi imunosupresif mencakup kortikosteroid, plasmaferesis dan timektomi. Terapi kortikosteroid dapat menguntungkan pasien dengan myasthenia yang pada umumnya berat. Kortikosteroid digunakan dengan efek terjadinya penekanan respon imun pasien, sehingga menurunkan jumlah penghambatan antibodi. Dosis antikolinesterase diturunkan sambil kemampuam pasien untuk mempertahankan respirasi efektif dan kemampuan menelan dipantau. Dosis steroid berangsur-angsur ditingkatkan dan obat antikolinesterasae diturunkan dengan lambat.

4. Prednisone

Digunakan dalam beberapa hari untuk menurnkan insiden efek samping, dan terlihat dengan sukses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang pasien memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi dimulai, tetapi ini biasanya hanya sementara.

5. Obat Sitotoksik

Obat sitotoksikjuga diberikan. Walaupun mekanisme aksi yang sepenuhnya muncul tidak dimengerti, namun obat-obat seperti azatioprin (imuran) dan siklofosfamid (Cytoxan) menurunkan titer sirkulasi asetilkolin pada reseptor antibodi. Efek samping yang muncul kadang-kadang terjadi dan hanya pasien dengan penyakit berat saja yang diobati dengan obat-obatan ini.

6. Pertukaran plasma (plasmaferesis)

Plasmaferesis adalah teknik yang memungkinkan pembuangan selektif plasma dan komponen plasma pasien. Sel-sel yang sisa kembali dimasukkan. Penukaran plasma menghasilkan reduksi sementara dalam titer sirkulasi antibodi. Proses ini mempunyai pengaruh yang hebat pada pasien tetapi tidak mengobati keadaan abnormal (meghasilkan antireseptor antibodi) sampai waktu yang panjang.

7. Penatalaksanaan pembedahan

Pada pasien myasthenia gravis timus tampak terlibat dalam proses produksi antibodi AChR. Timektomi (pembedahan mengangkat timus) menyebabkan pengurangan penyakit substansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hyperplasia kelenjar timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh timus harus dibuang.

Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan penyakit adalah terapi spesifik, sehingga tindakan ini mencegah pembentukan antireseptor antibodi. Setelah pembedahan, pasien dipantau di ruang perawatan intensif untuk memberikan perhatian khusus dalam fungsi pernapasan.

7. Komplikasi

Krisis miasnetik, yang ditandai dengan perburukan beratfungsi otot rangka yang memncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh, dapat

(10)

terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti penyakit, gangguan emosiaonal, pembedahan, atau selama kehamilan.

Krisis kolinergik adalah respon toksisk yang kadang dijumpai pada penggunaan obat antikolinesterase yang terlalu banyak. Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan peningkatan motilitas usus, kontrisksi pupil, dan bradikardi. Individu dapat mengalami mual muntah, berkeringat, dan diare.

Gawat napas dapat terjadi: 1. Gagal nafas 2. Disfagia

3. Krisis miastenik 4. Krisis cholinergic

5. Komplikasi sekunder dari terapi obat Penggunaan steroid yang lama:

1. Osteoporosis, katarak, hiperglikemi 2. Gastritis, penyakit peptic ulcer 3. Pneumocystis carinii

8. Pengkajian 1. Anamnesa 1. Identitas klien:

Nama (X), umur (th), alamat, pekerjaan, jenis kelamin (laki-laki) 2. Keluhan utama:

Sesak, kelopak mata kiri sulit terbuka, kedua kaki terasa lemah saat berjalan jauh. 3. Riwayat penyakit saat ini:

Myasthenia garvis menyerang otot-otot wajah dalam hal ini di daerah mata sehingga kelopak mata kiri sulit terbuka. Penyakit ini menyerang otot-otot pernapasan yang ditandai dengan dispnea yang dialami pasien. Kemudian terjadi serangan pada otot ekstremitas bawah yang mengakibatkan kedua ekstremitas bawah sulit untuk digerakkan.

4. Riwayat penyakit dahulu:

Mengkaji faktor yang memperberat myasthenia gravis seperti hipertensi dan diabetes mellitus.

5. Riwayat penyakit keluarga:

(11)

6. Sosio psikospiritual

Klien dengan penyakit myasthenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan otot apabila berada dalam situasi tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis), dilopia, dan kesulitan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.

2. Pemeriksaan Fisik 1. Review of system:

B1 (Breathing) :Sesak napas, takipnea B2 (Blood) :Hipertensi ringan

B3 (Brain) :Kelemahan otot ekstraokuler yang menyebabkan mata sebelah kiri klien sulit terbuka

B4 (Bladder) :Penurunan fungsi kandung kemih, retensi urin, dan hilangnya sensasi saat berkemih

B5 (Bowel) :Kesulitan mengunyah, menelan, disfagia, penurunan peristaltic usus, hipersalivasi dan hipersekresi.

B6 (Bone) :Gangguan aktivitas/mobilitas fisik dan kelemahan otot yang berlebih kedua extremitas bawah semakin sulit digerakkan.

1. Tingkat kesadaran: Komposmentis

2. Fungsi serebral: Aktivitas motorik mengalami perubahan yaitu kedua ekstremitas sulit digerakkan.

3. Pemeriksaan saraf cranial: 1. Saraf I: tidak ada kelainan

2. Saraf II: penurunan pada tes tajam penglihatan dan sering megeluh adanya penglihatan ganda

3. Saraf III, IV dan VI: adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari

pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motoirik pada saraf VI.

4. Saraf V: didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah

5. Saraf VII: persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah 6. Saraf VII: persepsi pengecapa ternganggu

7. Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduksi dan tuli persepsi

8. Saraf IX dan X: ketidakmampuan menelan

(12)

10. Saraf XII: lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah.

4. System motorik: Adanya kelemahan pada otot rangka yaitu otot ekstremitas bawah yang memberikan manifestasi pada hembatan mobilitas (berjalan).

3. Pengkajian Diagnostik

1. Tes serum antibodi reseptor AChR bernilai positif pada 90 % pasien

2. Tes tensilon: injeksi IV dapat memperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala pada krisis miasteni untuk sementara waktu namun efeknya dapat memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.

3. Tes elketrofisiologis yang digunakan untuk menunjukkan penurunan respon rangsangan saraf berulang

4. CT scan dada dapat menunjukkan hyperplasia timus (timoma) yang dianggap menyebabkan respon autoimun.

9. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH

DS : klien mengeluh sesak DO : takipnea, RR 35x/mnt Penurunan hubungan neuromusku ler yang mengakibat kan kelemahan otot pernafasan Ketidak efektifan pola nafas DS : klien sukar berkomunik asi verbal Terjadi kelemahan pada otot wajah, laring, Resiko aspirasi Ketidakseimbangan nutrisi kurang

(13)

DS : klien tidak mampu makan melalui oral, menunjukka n ketidakmam puan berkata-kata faring yang menyebabka n regursitasi makan ke hidung saat menelan dan ketidakmam puan menutup rahang dari kebutuhan hambatan komunikasi verbal DS : klien mengeluh mata kiri sulit dibuka DO : asimetris pada palpebra, Kelemahan otot terjadi pada otot palpebra sehingga menyebabka n otot elevator terganggu dan menyebabka n ptiosis Gangguan citra tubuh DS : kaki terasa lemah saat berjalan jauh, kedua ekstremitas bawah semakin sulit digerakkan DO : klien tidak mampu berjalan, Tes elketrofisiol ogis menunjukka n kelemahan saraf Penurunan hubungan neuromosku ler menyebabka n kelemahan otot volunteer, rangka Hambatan mobilitas fisik

(14)

10. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan. 2. Resiko aspisrasi berhubungan dengan penurunan kontrol tersedak.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan pelemahan sistem

musculoskeletal.

6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi verbal.

11. Intervensi dan Rasional

Diagnosa Tujuan, Kriteria

Hasil

Intervensi Rasional

Ketidak efektifan pola

nafas berhubungan

dengan keletihan otot pernafasan Tujuan : klien menunjukkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan

pertukaran gas pada paru

KH : irama, frekuensi dan kedalaman

pernapasan dalam batas normal, bunyi napas terdengar dengan jelas, respiratori terpasang dengan optimal Kaji kemampuan ventilasi Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi Baringkan klien dalam posisi yang

Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman dan bungi napas, pantau tes hasil fungsi paru dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah paru-paru sebelum perubahan gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik Dengan mengkaji kualitas , frekuensi, dan kedalaman pernapasan kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien

Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi

(15)

nyaman atau dalam posisi duduk

Observasi TTV

Beri alat bantu napas

paru bisa maksimal Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru Dengan bantuan alat bantu napas

diharapkan suplay oksigen akan membaik

Resiko aspisrasi berhubungan dengan penurunan control tersedak Tujuan : tidak terjadinya aspirasi KH : klien tidak mengalami aspirasi, klien menunjukkan sikap mengerti pada instruksi untuk menghindari aspirasi

Pertahankan posisi miring jika tidak ada kontra indikasi

Kaji posisi lidah, pastikan jika lidah tidak jatuh ke belakang

menyumbat jalan nafas

Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi

Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorokan dengan tissue atau penghisap secara perlahan Kaji kembali dengan seringadanya obstruksi benda Bila klien memposisikan

tubuhnya secara miring otomatis akan

mencegah masuknya benda asing dari mulut ke tenggorokan

Sekresi air liur yang berlebih bias masuk ke tenggorokan dan menyebabkan aspirasi akibat menurunnya reflek epiglottis

(16)

dalam mulut dan tenggorokan

Ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh

berhubungan dengan

ketudakmampuan menelan makanan

Tujuan : Masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic KH : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien tidak mengalami penurunan berat badan signifikan, klien kooperatif dengan pemberian makanan melalui NGT Kaji reflek gangguan

menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral Hentikan

pemberian makan per oral jika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan Pasang selang makan kecil dan berikan makan per-selang jika terdapat dysfagia. Catat intake dan output Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori Timbang pasien setiap hari.

Untuk mengkaji sejauh mana tingkat reflek agar memberikan patokan pada

intervensi selanjutnya Agar pasien tidak teersedak

Memberikan nutrisi yang adekuat sesuai jumlah kebutuhan pasien Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot Tujuan : terjadi peningkatan kekuatan dan ketahanan anggota gerak KH : klien mampu Ajarkan untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat Posisi dalam kesejajaran tubuh untuk mencegah

Menjaga ketahanan dan kekuatan anggota gerak sehat

Posisi sejajar akan meninbulkan titik berat tepat berpusat di

(17)

menggunakan alat-alat adaktif untuk menunjang mobilitas, mampu menggunakan tindakan keamanan untuk meminimalkan kemungkinan cidera, menguraikan rasional intervensi, menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas komplikasi Beri mobilisasi progresif Ajarkan kewaspadaan keamanan tengah sehingga diharapkan tidak terjadi komplikasi berkelanjutan Tingkatkan mobilisasiklien secara bertahab agar klien mampu melakukan aktifitas minimmal, bila perlu ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak Mencegah cidera tambahan yang

mungkin dialami klien

Hambatan komunikasi

verbal berhubungan

dengan

gangguanpelemahan neuromuscular

Tujuan : klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi untuk mengungkapkan perasaannya menggunakan bahasa isyarat Kaji Kemampuan komunikasi klien Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien Beri peringatan bahwa klien di ruang ini Kelemahan otot-otot bicara pada klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba

komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan kedipan mata mereka atau goyangan jari untuk menjawab ya atau tidak. Setelah periode krisis

miastenik dipecahkan, klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka

(18)

mengalami gangguan berbicara, sediakan bel bila perlu Antisipasi dan bantu kebutuhan klien Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak dan perhatikan respon klien Kolaborasikan konsultasi ke ahli terapi bicara yang berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulus komunikasi ingatan dan kata-kata Mengkaji kemampuan verbal individu, sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasi deficit dan kebutuhan terapi

Gangguan citra tubuh

berhubungan dengan

ketidakmampuan komunikasi verbal

Tujuan : citra diri klien meningkat KH : klien mampu menyatakan atau mengkomunikasika n dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situaswi, mengakul dan menggabungkan Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lainnya mempunyai kesulitan membandingkan, mengenal dan

(19)

perubahan ke dalam konsep dirir dengan cara yang akurat tanpa harga diri negatif Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan Anjurkan orang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sendiri sebanyak-banyaknyaDukun g perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi Monitor gangguan tidur, peningkatan kesuliatan konsentrasi, lelargi, dan withdrawal Kolaborasi : rujuk pada ahli neuopsikologi dan konseling bila ada indikasi

mengatur kekurangan Membantu

meningkatkan perasaan harga diri dan

mengontrol lebih dari satu area kehidupan Menghidupkan kembali rasa kemandirian dan membantu

perkembangan harga diri serta memengaruhi proses rehabilitasi Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang

Dapat mengindikasi terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke dimana

memerlukan intervensi lebih lanjut

Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk

perkembangan perasaan

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, E. J. (2009). Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC.

2. Devin Mackay, M. a. (2011). Ocular Myasthenia Gravis. North American: Division of Neuro-Ophthalmology Brigham and Women’s Hospital Harvard Medical School. 3. Dewanto, G. e. (2009). Panduan praktis diagnosa dan tatalaksana penyakit saraf.

Jakarta: EGC.

4. Dochtermar, J. M., & Bulechek, G. M. (2004). Nursing Intervention Classification (NIC). Missouri: Mosby.

5. Howard, J. (2013, May Friday). Myasthenia gravis, a summary. Retrieved March 2008, from ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myathenia gravis.htm: ninds.nih.gov

6. M.F. YAZDI1, M. B. (2012). Response to Plasmapheresis in Myasthenia Gravis Patients: 22 Cases Report. ROM. J. INTERN. MED , 245-247.

7. Mills, E. J. (2006). Handbook Of Medical-surgical Nursing. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

8. Ngoerah, I. (1991). Dasar-dasar ilmu penyakit saraf. Surabaya: Airlangga University Press.

9. Putra, S. (2009). Miastenia gravis. Jember: Universitas Jember.

10. Rosyid, F. N. (2010). Health sciene myasthenia gravis, and management. Surabaya: University Muhammadiyah Surabaya.

11. Rubenstein, D. e. (2007). Lecture notes: kedokteran klinis. Jakarta: Erlangga. 12. Smeltzer, S. C., & Bare, G. B. (2001). Suzanne. Jakarta: EGC.

13. Smeltzer, S., & Bare, B. (2002). Buku Ajar MedikalKeperawatanBedah Brunner &Suddarth. Jakarta: EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 7.4 Tuberkulosis kutis verukosa. Tampak papula dengan permukaan kasar... Gambar 7'5 Tuberkulosis kutis verukosa. Makula eritematosa, permukaan kasar,

[r]

(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan

[r]

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat

Dalam tesis ini akan dikaji berbagai pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha tentang penafsiran mereka pada ayat-ayat yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan, seperti

Friedman (1998 dalam Suprajitno, 2004) mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan

Berikut beberapa gejala ketidaklengkapan (incompleteness). Sebagian data dikembalikan ke pemakai karena sumber dokumennya atau isian formulirnya tidak lengkap. Pengawas