• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Daging itik petelur afkir adalah daging yang berasal dari ternak itik petelur yang telah melewati umur produktif sebagai penghasil telur yaitu 80-96 minggu (Srigandono, 1997). Daging itik petelur afkir memiliki potensi sebagai sumber protein hewani karena memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sebesar 20,35% (Kartikasari et al., 2003), namun daging itik kurang diminati konsumen karena tekstur dagingnya yang alot dan keras. Konsumen lebih menghendaki daging yang bermutu baik, terutama dalam hal keempukan daging (Soeparno, 2007), oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperbaiki kualitas daging itik petelur afkir sehingga bisa lebih diterima konsumen.

Menurut Lawrie (2003), kealotan daging pada ternak yang sudah tua diakibatkan karena kandungan kolagen dan jaringan ikat yang tinggi. Salah satu cara untuk memperbaiki kualitas daging yang alot adalah dengan menggunakan protease sebagai bahan pengempuk daging. Menurut Istika (2009), protease memiliki kemampuan untuk menghidrolisis protein pada jaringan ikat, kolagen dan miofibril daging. Hidrolisis protein tersebut mengakibatkan pemecahan serat daging menjadi lebih pendek akibat pemotongan rantai polipeptida protein daging menjadi ikatan-ikatan peptide yang lebih sederhana, sehingga ikatan antar serat daging menjadi longgar serta serat daging menjadi renggang dan mudah terpisah. Hal tersebut dapat menjadikan daging yang alot menjadi lebih empuk.

Salah satu bahan yang berpotensi untuk dieksplorasi untuk peningkatan kualitas daging itik yaitu dengan penambahan ekstrak jahe merah (Zingiber

officinale Roscoe). Jahe merah mengandung enzim proteolitik proteinase thiol

(Lee et al., 1986) dan Zingibain (Haldin Pasific Semesta, 2001) yang dapat digunakan untuk melunakkan daging sebelum dimasak. Enzim proteolitik tersebut sangat menentukan kualitas daging. Berdasarkan uraian diatas dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perendaman dalam larutan jahe merah dengan konsentrasi dan waktu perendaman yang berbeda terhadap kualitas fisik dan organoleptik daging itik afkir.

(2)

2

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah aras konsentrasi perendaman jahe merah yang berpengaruh terhadap nilai pH, daya ikat air, susut masak, keempukan dan organoleptik daging itik petelur afkir?

2. Berapakah lama waktu penyimpanan yang berpengaruh terhadap pH, daya ikat air, susut masak, keempukan dan organoleptik daging itik petelur afkir?

3. Bagaimana pengaruh interaksi antara aras konsentrasi perendaman larutan jahe merah dengan lama waktu penyimpanan terhadap nilai pH, daya ikat air, susut masak, keempukan dan organoleptikdaging itik petelur afkir? C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh pemberian larutan jahe merah terhadap kualitas fisik daging itik petelur afkir, dan mengetahui aras optimal dari pemberian larutan jahe.

2. Mengetahui pengaruh lama perendaman dalam larutan jahe merah terhadap kualitas fisik daging itik petelur afkir.

3. Mengetahui interaksi antara aras konsentrasi larutan jahe merah dan lama perendaman dalam larutan jahe merah terhadap kualitas fisik daging itik petelur afkir.

4. Mengetahui pengaruh konsentrasi larutan jahe merah terhadap kualitas organoleptik daging itik petelur afkir.

(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Itik

Menurut tujuan utama pemeliharaannya ternak itik dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu : (1) itik tipe pedaging; (2) itik tipe petelur; dan (3) itik tipe ornamen (hiasan). Penggolongan tersebut didasarkan antar produk atau jasa utama yang dihasilkan oleh ternak itik tersebut untuk kepentingan manusia. Taksonomi itik menurut Srigandono (1997) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Anseriformes Family : Anatidae Genus : Anas

Species : Anas Platyhryncos

Salah satu yang termasuk genus Anas adalah itik Jawa. Itik Jawa disebut juga itik lokal. Itik lokal Indonesia hampir seluruhnya merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner, yang merupakan bangsa itik yang terkenal sebagai penghasil telur yang baik. Ciri khas yang dimiliki itik Indian Runner adalah postur tubuhnya yang hampir tegak dan bila dilihat dari arah depan seperti botol anggur, serta paruh dan kakinya berwarna hitam (Srigandono, 1998). Itik lokal dapat dibedakan menjadi berbagai macam, sesuai dengan daerah tempat penyebarannya misalnya itik Tegal dan Pekalongan yang banyak dijumpai didaerah Tegal, Semarang, Kendal, Pekalongan, dan Cirebon. Itik Mojosari banyak terdapat didaerah Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur. Itik Magelang banyak dijumpai didaerah Magelang dan sekitarnya (Setioko, 2012).

B. Daging Itik

Daging itik dapat diperoleh dari betina afkir yang sudah tidak berproduksi lagi. Prihatman (2000) menyatakan bahwa ternak itik petelur

(4)

4

yang telah berusia 18-24 bulan tidak layak lagi dipelihara sebagai itik petelur karena sudah tidak produktif (afkir) dan biasanya mempunyai nilai ekonomis yang rendah karena dagingnya yang sudah alot sehingga menyebabkan konsumen kurang menyukainya. Menurut Setioko (2012) daging itik yang berasal dari itik petelur afkir mempunyai proporsi perdagingan yang lebih

kecil dan daging yang alot. Daging yang dihasilkan oleh ternak tua cenderung

keras dan tidak empuk karena semakin bertambahnya umur ternak, maka semakin meningkat jumlah dan kekuatan kolagen (Soeparno,2007). Daging itik umumnya mempunyai tekstur warna agak sedikit gelap jika dibandingkan daging ayam baik sebelum atau sesudah dimasak. Kandungan gizi daging itik adalah sebagai berikut: mengandung air 54,3%, protein 16%, lemak 28,6 %, abu 1%, vitamin B 100 (IU), berbeda agak jauh pada sisi kandungan vitamin B pada daging ayam yang hanya sekitar 30 (IU).

C. Jahe Merah

Jahe merupakan rempah-rempah beraroma, mempunyai rasa pedas dan hangat, dan umumnya digunakan sebagai bahan penambah citarasa pada produk-produk seperti daging. Tanaman jahe termasuk Famili Zingiberaceae yang merupakan tanaman herba menahun, berakar serabut, dan termasuk kelas monokotil atau berkeping satu. Menurut Harmono dan Andoko (2005), sistematika dari tanaman jahe adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Musales Family : Zingiberaceae Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale Roscoe

Morfologi jahe secara umum terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga dan buah. Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi 30-100 cm. Akarnya berbentuk rimpang dengan daging akar berwarna kuning hingga

(5)

kemerahan dengan bau menyengat. Daun menyirip dengan panjang 15-23 mm dan panjang 8-15 mm (Wardana 2002). Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe yang dikenal, yaitu: jahe gajah (Zingiber officinale var. Roscoe) atau jahe putih, jahe putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah (Zingiber

officinale var. Rubrum) atau jahe sunti (Wardana dkk, 2002). (Hapsari, 2000)

bahkan membunuh (bakterisidal dan fungisidal) bakteri Bacillus subtilis,

Micrococcus varians, dan Leuconostoc sp. (Jenie et al. 1992), kapang dan

khamir tertentu. Jahe juga mengandung enzim proteolitik proteinase thiol dan Zingibain yang dapat digunakan untuk melunakkan daging sebelum dimasak. Kedua senyawa tersebut, baik senyawa antimikroba ataupun enzim proteolitik, sangat menentukan kualitas daging (Lee et al., 1986).

Penambahan jahe berpengaruh terhadap keempukan dan total mikroba pada daging. Savitri (2011), menyatakan bahwa kadar air dengan penambahan larutan jahe dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, dan 20% memberikan perbedaan keempukan pada daging itik. Tingkatan keempukan pada daging, menurut Soeparno (1992), dapat dihubungkan dengan tiga

katagori protein otot yaitu protein jaringan ikat, miofibril, dan sarkoplasma

.

D. Enzim Proteolitik dan Zingibain

Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas daging bisa dilakukan dengan proses pengawetan dan peningkatan keempukan dengan penambahan enzim proteolitik. Penambahan enzim proteolitik akan meningkatkan keempukan dan penerimaan daging oleh konsumen menurut (Komariah et al., 2004). Enzim proteolitik pada jahe diduga seperti halnya dengan enzim proteolitik lain seperti papain, bromelin, dan fisin, menghasilkan keempukan awal pada serabut-serabut jaringan ikat (Soeparno, 1992). Menurut Lawrie (1995), enzim proteolitik mula-mula merusak mukopolisakaridadari matriks subtansi dasar, kemudian secara cepat menurunkan serat-serat tenunan pengikat menjadi massa yang amorf.

(6)

6

Enzim tersebut merusak protein tenunan pengikat menjadi molekul-molekul yang mengandung hidroksiprolin yang larut. Lee et al. (1986) menyatakan, bahwa proteinase jahe adalah proteinase thiol yang efektif dalam meningkatkan keempukan daging melalui fragmentasi dari miofibril oleh perlakuan degradasi dari filamen tipis pada Ibands. Seiring dengan meningkatnya lama penyimpanan kerja dari enzim proteolitik jahe juga meningkat. Interaksi terjadi pada lama penyimpanan 6 hari dengan nilai keempukan rata-rata 4,43 kg/cm2. Laju penurunan nilai pH mempengaruhi keempukan daging. Thompson et al. (1986) menyatakan bahwa kisaran pH optimal untuk aktivitas proteolitik adalah 5,0 sampai dengan 6,0. Terlihat bahwa keempukan daging yang ditambahkan jahe semakin meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH pada daging yang masih berada dalam kisaran nilai pH optimal untuk kerja enzim proteolitik dalam mengempukan daging. Semakin tinggi konsentrasi jahe yang ditambahkan dengan masa

penyimpanan yang lama maka keempukan daging akan semakin meningkat.

E. Parameter Penelitian 1. pH Daging

pH (Power of Hidrogen) adalah nilai keasaman suatu senyawa atau nilai hidrogen dari senyawa tersebut, kebalikan dari pOH yaitu nilai kebasaan. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Penurunan nilai pH akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob Menurut Hidayat (2006) asam laktat dihasilkan melalui glikolisis anaerob pada manusia dan hewan. Asam laktat daging sangat mempengaruhi nilai pH daging, dimana daging dengan asam laktat yang tinggi mempunyai pH yang rendah (Dewi, 2012). Salah satu cara dalam memperbaiki nilai pH adalah penambahan ekstrak jahe merah. Jahe merah mengandung enzim proteolitik diduga dapat menggunakan ion h+ untuk penyediaan sumber energi pada proses glikolisis sehingga bisa menghambat pembentukan asam laktat dan nilai pH bisa meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yadnya et al (2010)

(7)

yang menyatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh ion hidrogen. Daging itik yang mempunyai pH normal kisaran antara 5,10-6,10 mempunyai struktur jaringan otot yang terbuka dan warna yang cerah dan aroma yang khas sehingga layak dikonsumsi (Edward et al, 1978). Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Menurut Bouton et al. (1986) dan Harjono ( 2008) keaalotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. Nilai pH daging berhubungan dengan DIA, jus daging, keempukan susut masak, warna, dan sifat mekanik daging (daya putus dan kekuatan tarik). Nilai pH akhir daging akan menentukan karakteristik kualitas daging lainnya seperti struktur otot, DIA, pertumbuhan mikroorganisme, denaturasi protein, enzim, dan keempukan daging.

Menurut Obuz et al. (2004), meningkatnya susut masak ada hubungannya dengan serat otot dan penyusutan kolagen. Peningakatan susut masak juga dipengaruhi oleh laju penurunan pH daging. Bulent et al. (2009) Banyak penelitian melaporkan bahwa peningkatan susut masak di dalam daging ada kaitan dengan kecepatan penurunan pH postmortem atau rendahnya nilai pH ultimat daging

2. Daya Ikat Air

Daya ikat air (DIA) merupakan parameter kualitas daging yang sangat terkait dengan kemampuan air, oleh karena itu daya ikat air berhubungan dengan parameter kualitas. Daya ikat air juga menunjukkan seberapa besar kemampuan daging untuk mengikat air dalam persen. Kapasitas mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan dari daging untuk mengikat atau menahan air selama mendapat tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan Daging dengan kapasitas mengikat air yang rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar. Kapasitas mengikat air merupakan faktor mutu yang penting karena berpengaruh langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, juiceness, serta

(8)

8

pengerutan daging. DIA daging ayam broiler pada umur 6 dan 7 minggu yaitu sekitar 22,19% dan 28,54% (Suradi, 2007)

3. Susut Masak

Susut masak (cooking loss) merupakan fungsi dari suhu dan lama pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging, dan penampang lintang daging (Hartono et al., 2013). Nilai susut masak merupakan nilai massa daging yang berkurang setelah proses pemanasan atau pengolahan masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan nutrisipun akan sedikit yang keluar atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.

Daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot. Jus daging yaitu banyaknya komponen dari tekstur yang ikut menentukan keempukan daging. Pada umumnya makin tinggi suhu pemasakan, makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat konstan (Soeparno, 2005)

4. Keempukan

Keempukan adalah salah satu sifat mutu yang penting pada daging. Konsumen pada umumnya menyukai daging yang empuk. Salah satu cara untuk mendapatkan daging yang empuk adalah dengan penambahan jahe merah yang mengandung enzim proteolitik yaitu enzim yang mampu memecah atau mengurai protein (Lee et al., 1986) dan (Haldin Pasific Semesta, 2001). Enzim proteolitik pada jahe merah diduga seperti halnya dengan enzim proteolitik lain seperti papain, bromelin, dan fisin, menghasilkan keempukan awal pada serabut-serabut jaringan ikat (Soeparno, 1992).

(9)

Tingkatan keempukan pada daging, menurut Soeparno (1992), dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein otot yaitu protein jaringan ikat, miofibril, dan sarkoplasma. Keempukan dan tekstur daging memegang peranan penting dalam menentukan kualitas daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor ante-mortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stres, serta faktor post-mortem yang diantaranya meliputi metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk (Soeparno,1994).

Lawrie (1995) menyatakan, bahwa jaringan ikat merupakan faktor terpenting dalam menentukan keempukan daging. Selanjutnya dikatakan bahwa, makin banyak jaringan ikat pada daging maka keempukannya makin rendah. Soeparno (1994) menyatakan, bahwa pada prinsipnya keempukan dapat ditentukan secara subjektif dan obyektif. Penentuan keempukan daging dengan metode subjektif dapat dilakukan dengan cara uji panel cita rasa yang disebut panel taste. Pengujian secara objektif dapat dilakukan secara mekanik termasuk pengujian kompresi (indikasi kealotan daging), dan daya putus. Semakin rendah nilai daya putus, semakin empuk daging tersebut (Tambunan, 2009).

5. Uji Organoleptik

Uji organoleptik merupakan pengujian berdasarkan tingkat kesukaan. Pengujian organoleptik penting karena berkaitan dengan selera konsumen. Menurut Suryati et al. (2006) biasanya konsumen memilih daging melalui penampilan secara fisik yang meliputi warna, tekstur, kekilapan, kebasahan serta intensitas aroma daging segar. Salah satu bentuk pengujian uji organoleptik adalah uji hedonik. Uji hedonik merupakan suatu kegiatan pengujian yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang panelis yang mana memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan atau ketidaksukaan konsumen tersebut terhadap suatu produk tertentu. Jenis panelis yang bisa digunakan untuk melakukan uji hedonik ini adalah panelis yang agak terlatih dan panelis tidak terlatih. Jumlah panelis semi terlatih berkisar antara: 20-25

(10)

10

orang, sedangkan panelis tidak terlatih berkisar antara: 80 orang. Parameter yang digunakan adalah sifat fisik daging yang dapat diamati, dirasa, diraba, dicium aromanya. Dalam menentukan rasa suatu makanan diperlukan penunjang lain diantaranya adalah penciuman (Winarno, 1995).

Penilaian skala hedonik terhadap parameter warna, aroma, rasa,

flavor dan overall acceptability dari produk yang diujikan (Rahayu, 1998).

Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis secara statistik. Pada uji hedonik skale menggunakan

nine point hedonic scale (1: dislike extremly, 2: dislike very much, 3: dislike moderately, 4: dislike slightly, 5: neither like or nor dislike, 6: like slightly, 7: like moderately, 8: like very much and 9: like extremely). terhadap peubah

yang diuji pada format uji. Deskripsi data dilakukan dengan nilai modus dan persentase penerimaan panelis. Penerimaan adalah kumpulan panelis yang memberi kesan like extremely, like very much, like moderately, like slightly, dan neither like or nor dislike, sedangkan penolakan adalah kumpulan panelis yang memberi kesan dislike extremly, dislike very much, dislike moderately, dan dislike slightly. (SNI, 2006)

(11)

HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah peningkatan aras konsentrasi pemberian larutan jahe dan lama waktu perendaman akan meningkatkan kualitas fisik dan organoleptik daging itik afkir.

(12)

12

MATERI DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dimulai dari bulan April sampai dengan Juli 2014 yang penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan

Bahan penelitian meliputi daging itik lokal (Indian runner) umur 104 minggu, jahe yang digunakan adalah jenis jahe merah (Zingiber officinale

Roscoe) diperoleh dari pertanian Desa Karanganyar Jumantono, aquadest,

dan kertas saring. 2. Alat

Alat-alat yang digunakan meliputi pisau, sendok, kertas label, pH meter, plat kaca, beban 35 kg, oven, timbangan, blender, gelas beker, desikator, panci, termometer, kompor, termometer bimetal, waterbath.

C. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 4x3,untuk mengetahui kualitas fisik dan RAL pola searah untuk mengetahui kualitas organoleptik. Faktor pertama perlakuan terdiri dari 4 aras konsentrasi larutan jahe (0, 7, 14 dan 21%) dan faktor kedua 3 lama waktu perendaman (0, 25 dan 50 menit). Setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu daging dada itik afkir. Peubah yang diamati dalam uji fisik yaitu pH, daya ikat air (DIA), susut masak dan keempukan daging. Uji organoleptik menggunakan 25 panelis semi terlatih sebagai ulangan. Peubah yang diamati dalam uji organoleptik yaitu warna, aroma, rasa, flavour dan overall. Data di analisa dengan Analysis of Variance (ANOVA) Apabila analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple

Range Test (DMRT) (Steel and Torrie, 1995).

(13)

D. Persiapan Sampel

1. Pembuatan larutan Jahe

Gambar 1. Skema pembuatan pasta jahe yang telah dimodifikasi (Komariah et al., 2004).

2. Persiapan sub sampel

Pengambilan sampel dari 36 ekor itik petelur betina afkir yang diproses menjadi karkas dan dipotong menjadi bagian-bagian karkas. Pengambilan sampel daging pada bagian dada sesuai dengan pendapat Soeparno (2005). Daging dada bagian luar (Pectoralis superfisialis) diambil dan dikelompokan sesuai perlakuan.

Bagian dada dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebelah kanan dan sebelah kiri. Sampel pada daging dada sebelah kiri digunakan untuk uji kualitas fisik daging (uji obyektif) yang meliputi pH, susut masak, DIA dan keempukan (Soeparno, 1992). Sample daging dada bagian kanan digunakan untuk uji organoleptik.

E. Pelaksanaan Penelitian

Larutan jahe merah dipersiapkan dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu 0% (P0), 7% (P1), 14% (P2), dan 21% (P3). Daging itik afkir pada bagian dada berjumlah 36 sample yang sudah dibersihkan, direndam secara individual dalam larutan jahe. perendaman sampel dada pada larutan jahe dibedakan dengan lama waktu yang berbeda yaitu 0 (W0), 25 (W1) dan 50

Rimpang jahe dibersihkan dan dikeringkan

Dipotong dengan ukuran kecil ukuran 0,5 cm

Di-blender dengan penambahan aquades dengan kons. tertentu

Larutan jahe Dikupas dari kulit luarnya

(14)

14

(W2) menit. Masing-masing sampel yang sudah direndam sesuai perlakuan diambil dan diproses untuk pengujian kualitas fisik.

F. Pengujian Kualitas Fisik 1. Uji pH

Sampel daging seberat 10 g dicacah, ditambah 10 ml aquades, diaduk homogen. Sampel diukur pH nya dengan pH meter yang telah dikalibrasi dengan buffer pH 7,0. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata (Gunawan, 2000 dan Sulistiarto, 2012). 2. Uji susut masak

Penetapan susut masak menggunakan metode Soeparno (2005) dengan melihat berat yang hilang selama pemasakan. Sampel daging ditimbang 10 g dimasukkan dalam plastik PP, dan ditutup dengan rapat,

kemudian direbus dalam penangas air dengan temperatur 800 C selama 30

menit. Selanjutnya daging diambil dan serap permukaan daging menggunakan tissue kemudian ditimbang. Susut masak adalah nilai dari selisih berat sebelum dimasak dan sesudah dimasak dibagi berat sampel sebelum dimasak dikalikan 100 persen.

Ket: x: berat awal sebelum dimasak

y: berat akhir setelah dimasak

3. DIA

Pengujian daya mengikat air daging menggunakan metode Hamm (Soeparno, 2007) dilakukan dengan sampel dipotong kecil hingga beratnya mencapai 1gram(a), agar mendapatkan hasil yang akurat timbang potongan daging pada timbangan analitik. Daging 0,3 g tersebut ditaruh pada kertas saring yang telah ditimbang beratnya (b), lalu di jepit menggunakan 2 buah kaca dan diberi beban 35 kg selama 5 menit. Daging pada kertas saring sudah menjadi pipih seperti lempengan, ukur luasan daging tersebut dengan mencetak pola yang ada pada plastik mika. Luas

(15)

area basah daging diukur dengan mencetak lingkaran tersebut pada kertas

millimeter blok dengan luas 100 cm2 yang sebelumnya telah ditimbang

beratnya (Y). Mengambil luas pola cairan yang terbentuk dengan memotong pola yang terbentuk oleh daging dan bagian sisi luar yang tidak terkena air, sehingga terbentuk pola yang berlubang ditengah kemudian ditimbang (X) . Menghitung luas area basah dengan cara:

Keterangan:

X = Berat pola area basah yang terbentuk pada kertas milimeter

Y = Berat kertas millimeter 100 cm2

Setelah mendapatkan luas area basah, menghitung mg H2O yang

terkandung dengan cara:

Persen air bebas yang ada menunjukan daya ikat air (DIA) dalam daging, selanjutnya menghitung persentase Kadar Air Bebas dengan cara:

DIA = KAT%- KAB%

Menghitung Kadar Air Total% dengan mengoven sampel dan kertas

saring pada suhu 105 0C selama 8-24 jam kemudian timbang beratnya (c)

dihitung dengan Rumus:

Keterangan:

a = Berat sampel awal b = Berat kertas saring

(16)

16

4. Keempukan

Pengujian keempukan daging, dimulai dengan memotong sampel daging sebanyak 80 g kemudian dimasukkan ke dalam plastik polietilen dan ditutup rapat agar pada saat perebusan, air tidak masuk ke dalam

kantong plastik. Sampel direbus dalam waterbath sampai suhu internal

mencapai 80oC dengan waktu 60 menit. Setelah perebusan, sampel daging

didinginkan dengan memasukkan ke dalam beaker glass yang berisi air

dingin dengan temperatur 10oC selama 15 menit, sampel dikeluarkan dari

kantong plastik, dikeringkan dengan kertas tisu. Pengukuran keempukan

daging dilakukan untuk mengukur daya putus daging dengan metode Person and Dutson (Murtini dan Qomarudin, 2003) yaitu memotong daging berbentuk balok dengan ukuran sampel tebal 1x2x1 cm. Sampel daging diletakkan di bawah pisau penekan, sehingga arah penekan tegak lurus dengan arah serat daging, Lloyd instrument diaktifkan dan pisau akan menekan daging. Keempukan daging diekspresikan dengan penurunan gaya maksimal yang diperlukan hingga daging putus dalam satuan Newton.

G. Pengujian Organoleptik

Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen dilakukan uji hedonik (uji kesukaan) dengan 25 orang panelis semi terlatih . Daging yang akan diuji adalah daging yang mendapat perlakuan dengan lama waktu perendaman 50 menit. Persiapan sampel daging untuk uji organoleptik mengikuti prosedur Kartikasari et al. (2013) dengan modifikasi pada pemasakan. Daging dada itik dibungkus dengan alumunium foil dan dikukus dengan waktu sekitar 60 menit sampai suhu

internal daging dada mencapai 800C. Parameter yang diuji meliputi warna,

aroma, rasa, flavor dan overall acceptability. Pada pengujian ini masing-masing sampel diberi kode tiga angka acak yang di letakkan diatas piring. Sebelum melakukan pengujian, panelis di berikan penjelasan bagaimana melakukan penilaian. Air mineral dan crackers tanpa rasa (original

(17)

crackers) disediakan untuk tiap-tiap panelis. Panelis diminta untuk minum air mineral dan makan crackers setelah mengevaluasi satu sampel untuk menetralisir. Uji organoleptik mengacu pada SNI 01-2346-2006 (BSN, 2006) tentang pengujian organoleptik atau Sensori. Penilaian uji organoleptik berdasarkan penerimaan konsumen menggunakan nine point

hedonic scale (1: dislike extremly, 2: dislike very much, 3: dislike moderately, 4: dislike slightly, 5: neither like or nor dislike, 6: like slightly, 7: like moderately, 8: like very much and 9: like extremely).

(18)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. pH

Hasil uji rerata pH pada daging itik petelur afkir dengan aras konsentrasi larutan jahe (0, 7, 14 dan 21%) dan waktu perendaman 0, 25 dan 50 menit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Nilai pH dengan perendaman larutan jahe merah

Ekstrak Jahe (%) Lama Perendaman (menit) Rerata

W0 W1 W2 P0 6,23 5,9 5,73 5,96 P1 6,17 5,85 5,74 5,92 P2 6,17 5,93 5,84 5,98 P3 6.17 5,84 5,73 5,91 Rerata 6,18a 5,88b 5,76b

Keterangan : a,b, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan

perbedaan yang nyata (p< 0,01).

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi yang berbeda pada perendaman dalam ekstrak jahe merah tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pH daging itik. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi sampai aras 21% tersebut jumlah enzim proteolitik yang bekerja belum bisa menggunakan ion h+ untuk penyediaan sumber energi pada proses glikolisis sehingga nilai pH tidak meningkat. Ekstrak jahe belum mampu meresap ke dalam daging itik dan enzim proteolitik belum bisa menggunakan ion h+ sehingga tidak terjadi pengaruh terhadap pH daging itik. Hal ini sesuai dengan pendapat Yadnya et al. (2010) yang menyatakan bahwa konsentrasi ion hidrogen yang lebih tinggi menghasilkan nilai pH yang lebih rendah, dengan demikian nilai pH di pengaruhi oleh ion hidrogen. Hasil yang dicapai ini sesuai dengan penelitian Khasrad et al. (2010), level pemberian sari jahe tidak berpengaruh pada daging. Menurut Buckle et al. (1987) pH tinggi (6.2-7.2) menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup dan padat. Struktur tertutup pada daging menyebabkan penetrasi air ke dalam daging tidak

(19)

sempurna, sehingga tidak merubah keseimbangan hydrogen (Arnella, 2012). Hal ini tidak mengakibatkan perubahan nilai pH pada daging itik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama waktu perendaman berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH daging itik. Semakin lama waktu perendaman nilai pH semakin menurun. Hal ini dikarenakan ekstrak jahe merah yang mengandung enzim proteolitik belum mampu masuk ke pori-pori daging dan menggunakan ion h+ sehingga belum bisa menahan terjadinya proses glikolisis pada daging itik. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan pendapat Risnajati (2010) yang menyatakan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap pH karkas. Proses glikolisis akan menghasilkan asam laktat, semakin tinggi asam laktat maka pH semakin rendah. Menurut Hidayat (2006) asam laktat dihasilkan melalui glikolisis anaerob pada manusia dan hewan. Asam laktat daging sangat mempengaruhi nilai pH daging, dimana daging dengan asam laktat yang tinggi mempunyai pH yang rendah (Dewi, 2012).

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama waktu perendaman 25 dan 50 menit mempunyai nilai pH lebih rendah (P<0,01) dibandingkan dengan waktu perendaman 0 menit. Hal ini dikarenakan terjadinya proses glikolisis yang menghasilkan asam laktat terjadi selama satu jam pertama setelah proses pemotongan, oleh karena itu penurunan pH terjadi satu jam pertama setelah ternak dipotong Forrest et al. (1975). Menurut Soeparno (1992), pH daging akan mengalami penurunan sesuai dengan waktu penyimpanan, semakin lama penyimpanan akan semakin rendah pH daging sampai tercapai pH akhir pada kisaran 5,4.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadinya interaksi antara konsentrasi pemberian ekstrak jahe merah terhadap waktu perendaman. Hal ini dikarenakan enzim proteolitik yang terdapat dalam jahe belum mampu bekerja optimal sampai waktu perendaman 50 menit. Enzim proteolitik masih dalam fase lag. Fase lag adalah fase adaptasi bakteri. Enzim yang masih berada dalam fase lag belum mampu bekerja mengambil air bebas sehingga

(20)

20

Gibson (1996) yang menyatakan bahwa enzim membutuhkan air untuk pertumbuhan, pengambilan air bebas yang belum sempurna mengakibatkan belum terjadinya keseimbangan hidrogen dan tidak mengakibatkan terjadinya perubahan pH. Hermansyah (2008) menambahkan bahwa pH merupakan logaritma negatif dari aktifitas ion hidrogen. Sejalan dengan penelitian Arnella (2012), pelumuran pasta jahe dengan konsentrasi sampai 12% dengan waktu sampai 5 jam tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pH daging itik. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi jahe merah dengan aras 0, 7, 14, dan 21% belum bisa memperbaiki nilai pH

B. DIA

Rerata nilai DIA pada daging itik petelur afkir terhadap aras konsentrasi larutan jahe (0, 7, 14 dan 21%) selama perendaman 0, 25 dan 50 menit tampak pada Tabel. 2.

Tabel 2. Rerata Nilai Daya Ikat Air dengan perendaman larutan jahe merah ekstrak jahe

(%)

Lama Perendaman (menit)

Rerata W0 W1 W2 P0 73,18 71,24 70,04 71,49 P1 73,78 71,85 69,96 71,86 P2 73,63 71,96 69,83 71,81 P3 74,08 72,07 70,07 72,07 Rerata 73,67a 71,78b 69,97c

Keterangan : a,-c, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan

perbedaan yang nyata (p< 0,01).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi penambahan ekstrak jahe tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap daya ikar daging itik. Hal ini dikarenakan kondisi daging itik petelur afkir sudah tidak mampu untuk melakukan penyerapan air sehingga tidak terjadi perubahan ion H+ akibat pemberian kombinasi ekstrak jahe sehingga tidak terjadi perubahan nilai daya ikat air. Enzim protease yang tidak bisa masuk ke dalam jaringan miofibril daging maka tidak terjadi proses hidrolisis dan tidak terjadi peningaktan kadar asam amino sehingga nilai daya ikat air tidak meningkat .

(21)

Lestariana (2006) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi daya ikat air daging adalah umur ternak, semakin tua umur ternak maka kapasitas memegang air daging lebih sedikit. Uci (2005) menyatakan bahwa Enzim proteolitik membantu pemutusan ikatan peptida pada rantai protein dan dapat meningkatkan kadar protein terlarut, semakin tinggi kadar protein maka semakin tinggi nilai daya ikat air.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap daya ikat air daging itik afkir. Hal ini dikarenakan nilai daya ikat air dipengaruhi oleh pH. Daya ikat air akan menurun seiring terjadinya penurunan pH. Daya ikat air akan terus menurun pada titik pH isoelektrik yaitu pada pH 5,2, selain itu daya ikat air dipengaruhi oleh protein dalam daging yang mengikat air. Penurunan pH menyebabkan protein terdenaturasi sehingga air yang diikat oleh protein kurang optimal yang berdampak pada nilai daya ikat air. Penurunan pH juga aada kaitannya jumlah asam laktat. Selama terjadi proses glikolisis asam laktat semakin meningkat sehingga protein miofibril ikut rusak dan kemampuan protein dalam mengikat air menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Bouton et al. (1971) yang menyatakan bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. Lawrie (2003) menambahkan bahwa semakin banyaknya asam laktat yang terakumulasi mengakibatkan banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air. Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara konsentrasi penambahan ekstrak jahe dan lama perendaman daging itik afkir. Hal ini dikarenakan kandungan minyak astiri pada jahe pada waktu perendaman sampai 50 menit belum mampu masuk kedalam jaringan miofibril daging. Kandungan minyak astiri yang masuk akan meningkatkan kandungan lemak intramuscular daging. Lemak intramuscular dalam daging

(22)

22

berpengaruh terhadap peningkatan nilai daya ikat air dengaan cara melonggarkan mikrostruktur daging sehingga member kesempatan protein lebih banyak dalam mengikat air sehingga daya ikat air meningkat. Zulkifar (2008) Rimpang jahe mengandung minyakl astiri 2,5 -3,3%.

C. Susut Masak

Rerata nilai susut masak pada daging itik petelur afkir terhadap aras konsentrasi larutan jahe (0, 7, 14 dan 21%) selama perendaman 0, 25 dan 50 menit tampak pada Tabel.3

Tabel 3. Rerata Susut Masak dengan Perendaman larutan jahe merah ekstrak jahe

(%)

Lama Perendaman (menit)

Rerata W0 W1 W2 P0 33,39 33,83 36,59 34,60 P1 31,92 38,15 38,98 36,35 P2 38,05 37,14 37,30 37,49 P3 34,27 38,79 41,26 38,11 Rerata 34,41a 36,98b 38,53b

Keterangan : a,b, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan

perbedaan yang nyata (p< 0,01).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi penambahan ekstrak jahe merah memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap susut masak daging. Hal ini dikarenakan enzim proteolitik pada jahe belum mampu bekerja sehingga tidak terjadi pengaruh. Enzim protease yang tidak mampu masuk kedalam daging dan menambah jumlah protein terlarut akan menyebabkan tidak terjadinya perubahan yang nyata terhadap susut masak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu perendaman berpengaruh sangat nyata (p< 0,01) terhadap susut masak daging itik afkir. Nilai susut masak meningkat secara signifikan dengan peningkatan lama perendaman dari 0 sampai waktu 50 menit. Perlakuan perendaman dengan lama waktu 25 dan 50 menit berbeda nyata dengan waktu 0 menit. Hal ini dikarenakan menurunnya nilai daya ikat air daging. Susut masak daging dipengaruhi oleh nilai daya ikat air, dimana semakin menurun nilai daya ikat air maka nilai susut masak akan semakin meningkat. Proses glikolisis menyebabkan daging

(23)

mengalami kerusakan protein, protein yang rusak kemampuan mengikat airnya menurun sehingga daya ikat air menurun dan susut masak meningkat. Susut masak dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pada daging yaitu protein. Protein yang terdenaturasi menyebabkan meningkatnya nilai susut masak daging. Menurut Shanks et al. (2002), besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air. Menurut Obuz et al.(2004), meningkatnya susut masak ada hubungannya dengan serat otot dan penyusutan kolagen. Peningakatan susut masak juga dipengaruhi oleh laju penurunan pH daging. Bulent et al. (2009) Banyak penelitian melaporkan bahwa peningkatan susut masak di dalam daging ada kaitan dengan kecepatan penurunan pH postmortem atau rendahnya nilai pH ultimat daging

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara penambahan ekstrak jahe merah dengan lama perendaman sampai 50 menit. Hal ini dikarenakan enzim yang dihasilkan jahe belum mampu bekerja optimal dalam menahan peningkatan asam laktat sehingga susut masak tidak menurun. Semakin meningkat jumlah asam laktat maka semakin banyak protein terdenaturasi sehingga susut masak meningkat dikarenakan kadar air semakin hilang disebabkan protein tidak mampu mengikat air. Lawrie (2003) Daging yang mengalami penyusutan pada saat proses pemasakan disebabkan berubahnya stuktur dan komposisi protein, lemak dan air dalam daging karena banyak cairan daging yang hilang.

(24)

24

D. Keempukan

Rerata nilai Keempukan pada daging itik petelur afkir terhadap aras konsentrasi larutan jahe (0, 7, 14 dan 21%) selama perendaman 0, 25 dan 50 menit tampak pada Tabel.4

Tabel 4. Rerata Nilai Keempukan dengan perendaman larutan jahe merah ekstrak jahe

(%)

Lama Perendaman (menit)

Rerata W0 W1 W2 P0 1,25 1,19 1,11 1,18 P1 1,24 1,18 1,12 1,18 P2 1,25 1,17 1,11 1,18 P3 1,25 1,18 1,12 1,18 Rerata 1,25a 1,18ab 1,12b

Keterangan : a,b, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan

perbedaan yang nyata (p< 0,01).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak jahe sampai aras 21% berpengaruh tidak nyata terhadap nilai keempukan daging. Hal ini dikarenakan daging itik afkir bertekstur alot/keras. Sehingga enzim proteolitik dalam jahe sampai aras 21% belum mampu bekerja optimal dalam memutus ikatan peptida dalam daging sehihingga belum mampu mengempukkan daging.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu perendaman

menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap keempukan daging. Terjadi penurunan nilai keempukan selama perendaman. Hal ini dikarenakan selama proses perendaman terjadi proses glikolisis yang menyebabkan daging kehilangan air sehingga keempukan menurun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu perendaman 0 sampai 25 dan 50 menit berpengaruh sangat nyata terhadap keempukan daging itik afkir. Hasil nilai keempukan semakin menurun dengan semakin lamanya waktu perendaman. Hal ini dikarenakan niai daya ikat air yang semakin menurun. Nilai keempikan daging dipengaruhi oleh nilai daya ikat air daging, dimana semakin rendah nilai daya mengikat air, maka semakin rendah keempukan daging. Selama perendaman terjadi proses glikolisis anaerob, proses glikolisis anaerob menyebabkan terbentuknya asam laktat. Semakin banyak asam laktat yang terakumulasi maka protein semakin banyak terdenaturasi sehingga

(25)

tidak mampu mengikat air. Semakin sedikit air bebas yang diikat oleh protein didalam daging maka semakin rendah nilai keempukan daging. Marlin (2006) menyatakan bahwa Keempukan daging mempunyai hubungan dengan daya mengikat air daging. Soeparno (1994) daya mengikat air oleh protein daging rendah sehingga berat yang hilang pada saat penyimpanan akan lebih banyak dan akan meyebabkan penurunan keempukan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara waktu perendaman 0-50 menit dan penambahan ekstrak jahe sampai aras 21% berpengaruh tidak nyata terhadap nilai keempukan daging. Hal ini dikarenakan sampai aras 21% dengan waktu sampai 50 menit enzim proteolitik masih dalam fase lag. Enzim masih dalam fase adaptasi sehingga belum mampu bekerja optimal dalam memutus ikatan-ikatan peptida di dalam daging sehingga menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai keempukan daging. Protein terdiri dari gabungan antar peptida. Semakin banyak enzim proteolitik maka semakin banyak yang memutus ikatan antar peptida sehingga semakin meningkatkan nilai keempukan daging. Hal ini sesuai dengan pendapat koswara (2007) yang menyatakan bahwa jika enzim protease bekerja pada daging maka protein daging dapat diuraikan sehingga daging menjadi empuk. Lawrie (2003) menambahkan bahwa enzim protease yang masuk akan menghidrolisis mukopolisakarida dari matriks substansi dasar, kemudian secara cepat menurunkan tenunan pengikat menjadi massa yang amorf dan menghidrolisis protein jaringan pengikat menjadi molekul yang lebih sederhana. Istika (2009) menyatakan bahwa enzim protease menyebabkan pemecahan serat menjadi lebih bendek, menjadikan sifat serat otot lebih mudah terpisah sehingga daging semakin empuk.

(26)

26

E. Kualitas Organoleptik

Tabel. 5 Rerata Nilai Organoleptik dengan perendaman larutan jahe merah

Kualitas Organoleptik Aras larutan jahe

P0 (0%) P1 (7%) P2 (14%) P3 (21%) Warna 6,64 6,56 6,4 6,28 Aroma 6,64 6,48 6,28 6,08 Rasa 6,36a 6,52a 6,56a 7,04b Flavor 6,28a 6,44ab 6,64ab 6,88b Overall acceptability 6,28a 6,48ab 6,68ab 6,88b

Keterangan : a,b, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (p< 0,05). 1. Warna

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan ekstrak jahe sampai aras 21% menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap warna daging itik afkir. Hal ini disebabkan karena penambahan ekstrak jahe sampe taraf 21% belum mempengaruhi mioglobin. Kandungan mioglobin daging merupakan faktor utama yang memengaruhi warna daging, semakin banyak kandungan mioglobin daging maka warna daging akan tampak semakin merah. Menurut Arbele et al. (2001) menyatakan warna daging sangat dipengaruhi dengan kandungan mioglobinnya. Menurut Forrest et al. (1975) warna daging dipengaruhi oleh pigmen daging, pigmen daging tersusun atas dua macam protein, yaitu hemoglobin dan mioglobin. Menurut Zulfahmi et al. (2013) Kadar mioglobin bervariasi jumlahnya tergantung spesies, umur, seks, dan aktivitas fisik hewan.

Hasil yang menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada perlakuan konsentrasi terhadap warna daging juga disebabkan oleh nilai pH yang menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Warna daging dipengaruhi oleh pH. Penambahan ekstrak jahe merah selama proses perendaman daging sampai aras 21% belum mampu menaikkan nilai pH. Enzim proteolitik dari jahe belum mampu bekerja menghidrolisis asam laktat yang dihasilkan oleh glikolisis daging sehingga tidak mempengaruhi nilai pH sehingga tidak terjadi perubahan warna pada daging itik afkir. Soeparno (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging adalah pH.

(27)

2. Aroma

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan ekstrak jahe sampai aras 21% menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap aroma daging itik afkir. Hal ini dikarenakan daging itik mempunyai ciri khas aroma yang amis. Aroma amis yang kuat yang menjadi ciri khas daging itik sehingga penambahan ekstrak jahe sampai aras 21% belum mampu mempengaruhi aroma daging. Jahe mempunyai kandungan minyak astiri dalam menciptakan aroma, namun aroma yang berasal dari minyak astiri dengan ekstrak jahe merah taraf 21% masih kalah dengan aroma amis daging itik. Indra penciuman manusia mempunyai kemampuan terbatas sehingga aroma minyak astiri yang dihasilkan jahe masih kalah dengan aroma khas dari daging itik. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuhra (2006) menyatakan bahwa indera penciuman yaitu hidung memiliki kemampuan yang terbatas, evaluasi bau masih tergantung pada testing panel atau secara sensori. Menurut kataren (1987) yang menyatakan bahwa jahe mempunyai bau yang khas aromatik karena mengandung minyak astiri dengan komponen utamanya zingiberene dan zingiberol yang menyebabkan jahe berbau harum.

Hasil yang berpengaruh tidak nyata diduga disebabkan karena tidak adanya proses pemasakan seperti penggorengan daging. Daging sampel hanya direbus, sehingga aroma minyak atsiri dari jahe tidak keluar. Aroma produk pangan seperti halnya daging itik sangat dipengaruhi oleh pemasakan. Proses pemasakan menyebabkan timbulnya berbagai macam aroma daging. Tidak adanya proses pemasakan (penggorengan) menyebabkan aroma jahe tidak bisa muncul sehingga aroma yang tercium oleh panelis masih berupa aroma daging itik. Puspitasari (2008), selama pemasakan akan terjadi reaksi antara bahan pengisi dan daging, sehingga aroma yang khas pada daging akan berkurang selama pengolahan produk.

3. Rasa

Hasil analisis statistik menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap rasa daging itik dengan penambahan ekstrak jahe selama perendaman. Hal ini

(28)

28

dikarenakan rasa pedas yang ditimbulkan oleh jahe. Rasa pedas jahe merah diduga mampu mengurangi rasa khas pada daging sehingga dengan penambahan ekstrak jahe merah maka daging akan lebih disukai panelis. Koswara (1995) menyatakan bahwa jahe merah mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Kikuzaki et al. (1991) menyatakan bahwa rimpang jahe berasa pedas karena adanya komponen 6- gingerol dan 6-shogaol yang memiliki aktivitas antioksidasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang paling disukai panelis yaitu pada perlakuan perendaman daging itik afkir dengan ekstrak jahe pada aras 21%. Hal ini dikarenakan daging yang digunakan adalah daging rebus. Daging rebus masih mempunyai rasa amis yang cukup kuat sehingga penambahan ekstrak jahe sampai aras 14% belum mampu menandingi rasa amis daging. Penambahan ekstrak jahe pada aras 21% dalam daging itik lebih disukai panelis dikarenakan pada aras itu rasa amis daging sudah mulai dikalahkan oleh rasa pedas dari jahe sehingga rasanya menjadi enak. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (2002) konsumen akan memilih makanan yang mempunyai rasa yang enak. Paimin (1991) menyatakan bahwa jahe mengandung oleoresin yang terdiri dari komponen zingerol, shogaol dan resin yang menyebabkan rasa pedas dari jahe.

4. Flavour

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan ekstrak jahe sampai aras 21% menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap flavour daging itik afkir. Hal ini dikarenakan pada saat daging dikunyah daging yang diberi ekstrak jahe akan terasa pedas dan aroma dari minyak astiri akan mulai terasa harum. Hal tersebut menyebabkan panelis lebih suka. Jahe mempunyai aroma yang tajam apabila sudah didalam mulut. Aroma tersebut berasal dari kandungan minyak atsiri yang terkandung dari dalam jahe. Jahe juga mempunyai rasa pedas didalam mulut yang menyebabkan panelis lebih suka. Penambahan ekstrak jahe sampai aras 14% belum mampu

(29)

meningkatkan flavour namun meningkat pada penambahan ekstrak jahe 21%. Hal ini dikarenakan pada aras sampai 14% flavour jahe belum terasa karena masih kalah dengan rasa amis daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1990) yang menyatakan bahwa jahe memiliki aroma tajam dan rasa yang sangat pedas. Flavour yang muncul diduga karena proses perebusan daging, sehingga ekstrak jahe mampu meresap kedalam daging dan mempengaruhi flavor daging, sehingga daging diterima oleh panelis. Setiati et al. (2013) menyatakan bahwa Pemasakan daging dapat menyebabkan hilangnya lemak volatil serta terbentuknya flavor yang enak, perubahan pada stuktur protein juga dapat mempengaruhi jenis flavor yang terbentuk selama pemasakan. 5. Overall acceptability

Hasil analistis statistik menunjukkan bahwa penambahan ekstrak jahe sampai aras 21% menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap

overall acceptability daging itik afkir. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa P0

berbeda tidak nyata dengan P1 dan P2, P2 berbeda tidak nyata dengan P3, P0 berbeda nyata dengan P3. Hasil yang berbeda nyata disebabkan oleh dengan penambahan jahe menyebabkan daging lebih hangat dan mempunyai aroma didalam mulut sehingga panelis lebih menyukai. Penerimaan umum terhadap daging itik dengan penambahan ekstrak jahe pada aras 21% yang dihasilkan berdasarkan pada kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, dan flavour. Pada penambahan ekstrak jahe pada aras 21% lebih diterima panelis dikarenakan pada aras itu aroma harum dan rasa hangat pada jahe mampu mengalahkan flavour daging itik. Soekarto (1985) Penerimaan umumnya adalah penilaian secara keseluruhan terhadap produk yang berkaitan dengan tingkat kesukaan dan bukan mengukur penerimaan terhadap sifat sensorik tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apakah produk dapat diterima atau tidak. Menurut Soewarno (1985) faktor utama yang akhirnya mempengaruhi total penerimaan terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan.

(30)

30

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ditinjau dari aspek uji kualitas fisik perendaman dalam larutan ekstrak jahe merah dengan konsentrasi sampai taraf 21% dalam waktu 50 menit belum mampu memperbaiki nilai pH, daya ikat air, susut masak, dan keempukan. Ditinjau dari aspek organoleptik perendaman dalam larutan ekstrak jahe merah dengan konsentrasi sampai taraf 21% dalam waktu 50 menit dapat memperbaiki rasa, flavour dan overall acceptability daging itik afkir.

B. Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai penambahan konsentrasi ekstrak jahe pada daging itik petelur afkir baik dengan perlakuan waktu atau penambahan konsentrasi agar dapat diperoleh hasil terbaik.

Gambar

Gambar  1.  Skema  pembuatan  pasta  jahe  yang  telah  dimodifikasi   (Komariah et al., 2004)
Tabel 1. Rerata Nilai pH dengan perendaman larutan jahe merah  Ekstrak Jahe (%)  Lama Perendaman (menit)
Tabel 2. Rerata Nilai Daya Ikat Air dengan perendaman larutan jahe merah  ekstrak jahe
Tabel 3. Rerata Susut Masak dengan Perendaman larutan jahe merah  ekstrak jahe
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 1 butir 14 adalah Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau

Pengamatan sebelum penyampain materi terkait pengetahuan peternak bahwa sebagian besar peternak belum pernak mendengar penyakit cacing hati pada sapi (73,3%), belum tahu

Dari analisis yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu dapat disimpul- kan bahwa kata sapaan bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam dapat dikelompokkan atas dua sapaan,

[r]

Hasil tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Gulzar dan Wang (2011) yang menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris dan komite

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa kurva I-V DSSC yang dimodelkan dengan rangkaian ekuivalen satu dioda dan memiliki nilai hambatan seri (R s ) yang selanjutnya sebut kurva

Dalam bab ini akan disajikan analisis terhadap kinerja koordinasi rele arus lebih digital menggunakan algoritma genetika dan sistem adaptif pada koordinasi rele

Data primer yang dimaksud oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan langsung dengan cara menemui subjek penelitian dengan wawancara langsung kepada remaja