• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

DUA JENIS SANDIWARA BONEKA:

BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK

STUDI KOMPARATIF TENTANG SANDIWARA BONEKA JEPANG

DAN SUNDA

Okke K.S. Zaimar

(Ringkasan penelitian yang telah dilakukan dengan biaya Sumitomo Foundation oleh Prof. Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar dengan Kolaborator Darsimah Mandah MA)

Okke Kusuma Sumantri Zaimar

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK

STUDI KOMPARATIF TENTANG SANDIWARA BONEKA JEPANG DAN SUNDA

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang masalah

Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks sastra memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat modern. Tampaknya, kehidupan modern tidak banyak memberikan kesempatan pada semua yang berbau tradisi. Kini televisi dan video telah mengambil alih peran pertunjukan tradisional.

Meskipun demikian, di Jepang, misalnya di Tokyo dan Osaka, masih ada beberapa kelompok professional teater Bunraku yang dapat hidup dari pertunjukan mereka. Banyak turis, baik turis asing maupun domestik, berusaha untuk menyediakan waktu mereka yang terbatas untuk melihat pertunjukan tradisional Sedangkan di desa-desa jug beberapa kelompok tradisional Bunraku (Ningyo Joruri) dapat hidup hanya berkat bantuan pemerintah.

. Di Indonesia pun keadaannya tidak menggembirakan. Sebenarnya, sebagai ibukota Indonesia dan sebuah kota internasional, Jakarta mempunyai tempat-tempat khusus untuk pertunjukan tradisional , seperti Bharata untuk pertunjukan tradisional Jawa dan Miss Cicih untuk pertunjukan tradisional Sunda (keduanya dimainkan oleh manusia). Namun, sama sekali tidak ada tempat khusus untuk pertunjukan boneka secara teratur. Kelompok wayang ini hanya main atas undangan, terutama dalam acara-acara khusus seperti perkawinan, khitanan, upacara desa, dan sebagainya. Undangan seperti ini datangnya makin jarang saja, karena sekarang ada bermacam-macam saingan wayang, seperti orkes dangdut, dan lain-lain. Maka banyak grup wayang yang tidak atau jarang sekali mengadakan pertunjukkan, sulit bagi mereka untuk melanjutkan keberadaan mereka. Lebih menyedihkan lagi, sedikit sekali, hamper dapat dikatakan tidak ada dana penunjang dari pemerintah agar kehidupan grup-grup wayang ini

(3)

dapat berlanjut. Meskipun demikian, masih beberapa grup wayang yang cukup beruntung, karena mereka mempunyai dalang yang popular. Grupgrup semacam ini masih sering mendapat undangan dan mereka mendapat bayaran yang cukup baik. Pada umumnya, dalang-dalang yang popular itu tinggal di kota-kota besar, sedangkan di desa, pertunjukan wayang golek cenderung menghilang.

2. Masalah.

Melihat adanya beberapa persamaan antara kedua pertunjukan boneka Jepang dan Sunda Ini (antara lain kedua boneka terbuat dari kayu dan kedua pertunjukan ini bersifat tradisional), maka timbul pertanyaan tentang ada tidaknya persamaan dan perbedaan yang lain dari kedua jenis pertunjukan tersebut. Apabila ada, apa saja persamaan dan perbedaan tersebut.

3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan kedua jenis pertunjukan boneka, Bunraku dari Jepang dan wayang golek dari Sunda, salah satu suku bangsa Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat mempererat saling pengertian antara kedua bangsa.

4 Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang dilakukan baik dengan penelitian pustaka maupun penelitian lapangan. Teori-teori yang digunakan adalah teori sastra bandingan teori sastra lisan (untuk wayang golek), dan beberapa teori semiotik.

5. Kerangka teori

5.1 Teori sastra bandingan

Tidak mudah memilih definisi sastra bandingan, karena para ahli masih tidak sefaham tentang hal ini. Sastra bandingan tidak mempunyai metodologinya sendiri, melainkan harus dipandang sebagai cabang khusus dari Sejarah Sastra. Jean-Marie Carré menyatakan bahwa: “Comparative literature is a branch of literary history: it is the

study of international spiritual relations, of rapports de fait between Byron and Pushkin, Goethe and Carlyle, Walter Scott and Alfred de Vigny and between the works, the inspirations and even the lives of writers belonging to different literature.” Terjemahan:

“Sastra bandingan adala cabang dari sejarah sastra: hal itu ada- lah studi tentang hubungan spiritual international, studi tentang rapports de fait (hubungan fakta) antara Byron dengan Pushkin,

(4)

karya-karya, inspirasi, bahkan kehidupan para penulis yang ter- masuk sastra yang berbeda.”

(Weisstein, Ulrich 1973, h.. 3)

Memang, penelitian ini adalah “studi tentang hubungan spiritual internasional”, yaitu rapports

de fait antara sandiwara boneka jepang dan sunda (Indonesia).

Selanjutnya, Ulrich Weisstein memperluas konsepnya. Menurut pendapatnya, sastra bandingan mengakui fakta bahwa meskipun fine arts menggunakan media dan tehnik yang berbeda, seni dan sastra merupakan aktivitas yang sama. Dalam penelitian ini, teater boneka dianggap sebagai hasil seni sastra, karena di dalamnya unsur-unsur sastra sangat menonjol, sedangkan boneka digunakan sebagai media untuk menampilkan karya sastra.

Penelitian ini agak kompleks, karena dibuat dalam beberapa tahapan. Pertama-tama ada perbandingan antara sejarah kedua sandiwara boneka ini. Kemudian, perbandingan antara kedua teks sastra, dan akhirnya perbandingan antara kedua boneka dan pertunjukannya.

5.2 Teori sastra lisan:

Dalam makalah ini tidak ditampilkan karena tulisan akan menjadi terlalu panjang.

5.3 Teori semiotik

Semiotik menaruh perhatian pada semua yang dapat dianggap sebagai tanda. Tanda ada- lah sesuatu yang dapat menggantikan sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Sesuatu ini tidak perlu ada atau benar-benar hadir di sesuatu tempat pada saat tanda menggantikannya (Eco, Umberto. 1979. h. 7). Di sini hanya akan ditampilkan dengan singkat, teori semiotik, yang berkaitan dengan penelitian..

5.3.1 Roland Barthes

Roland Barthes (1915-1980) adalah salah seorang strukturalis yang memegang peranan penting dalam perkembangan dari strukturalisme kearah semiotik. Berdasarkan gagasan Saussure tentang semiologi, ia berjasa mengembangkan teks semiotik pada komunikasi visual (arsitektur, gambar, lukisan, film, iklan, dan sebagainya). Berikut ini teorinya yang disebut teori mitos.

(5)

Dalam bukunya Mythologies, Barthes mengemukakan gagasannya tentang perluasan semiotik. Mitos adalah suatu jenis wicara, suatu system komunikasi, jadi merupakan sesuatu yang memberi pesan. Mitos bukanlah suatu objek, konsep, atau gagasan, melainkan suatu cara komunikasi, suatu bentuk. (…), karena mitos merupakan suatu jenis wicara, maka semua dapat menjadi mitos, asal saja hal itu dikemukakan dalam wacana. Mitos, bukan hanya teks lisan atau tulisan, melainkan juga “foto, film, laporan, olah raga, pertunjukan, iklan, dan sebagainya; semua ini dapat menunjang suatu wicara mitos. sport, shows, publicity, all these can serve as a support to mythical speech. Mitos tidak dapat ditentukan oleh objek atau materinya, karena materi apa pun dapat secara semena, mengandung makna: anak panah yang diletakkan dengan maksud untuk menyatakan suatu tuntutan, juga merupakan suatu ujaran. Barthes, Roland, 1972: pp. 109-110) Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis teater boneka.

Semiotik digunakan untuk mempelajari budaya. Pemikiran ini memberikan kepada kita kesempatan untuk mempelajari, bukan hanya bahasa, melainkan juga hal-hal lain dalam kebudayaan. Kedua teater boneka ini penuh dengan tanda. Ceritera (termasuk tokoh dan latar) dan pertunjukan (termasuk rupa, sikap, pakaian boneka) termasuk hal yang dianalisis.

5.3.2 Charles Morris

Charles Morris adalah salah seorang pengikut Peirce. Ia mengemukakan tiga hubungan yang dianggap sebagai tiga dimensi semiosis dan semiotic. (Noth, Winfried: 1990, p. 50). Sejajar dengan hal itu, dalam bukunya Structuralsme 2. Poetique, Tzvetan Todorov mengutarakan adanya tiga aspek dari karya naratif (Todorov, 1968: pp.29-91). Ketiga aspek karya naratif tersebut adalah:

5.3.2.1 Aspek sintaksis

Aspek ini mengemukakan alur, yaitu hubungan logis antara unsur-unsur teks yang fungsional. .Urutan sekuen, yaitu satuan isi teks, menampilkan pengalurannya. Alur adalah kerangka teks naratif, sedangkan pengaluran adalah susunan satuan teks, yaitu bagaimana teks ditampilkan. Beberapa ahli semiotik mengemukakan teori tentang aspek naratif ini, antara lain Roland Barthes dan Greimas. Yang terakhir ini mengemukakan tata naratif (the narrative grammar). Penelitian ini menggunakan teori Greimas tentang kelas aktan. “Aktan adalah seseorang atau sesuatu yang melakukan tindakan” (Ronald Schleifer, 1987: p.88). Greimas menggambarkan skema aktan sebagai berikut:

Pengirim objek Penerima

(6)

Penolong subjek Penentang

Pengirim adalah seseorang atau sesuatu yang mempunyai karsa untuk mencapai sesuatu (objek). Pengirim dapat berupa manusia (atau bagian dari manusia, misalnya sifat atau perasaan), binatang, bahkan juga benda. Ia mendorong subjek untuk mencapai objek. Dan yang menerima objek disebut penerima. Dalam proses pencarian objek, seringkali subjek menemukan penentang atau penghalang, dan ia dibantu oleh seorang penolong. Dalam teori ini, aktan mempunyai peran dalam tataran sintaksis. Hal ini sangat berbeda dengan analisis tentang tokoh, yang berada dalam tataran semantik.

5.3.2.2 Aspek semantik

Dalam aspek semantik ini, dibahas tokoh, latar, tema dan nilai-nilai yang dikandung dalam cerita. Roland Barthes menyebutnya sebagai unsur-unsur yang mempunyai hubungan paradigmatik. Untuk penelitian tentang aspek ini, digunakan teori sinyifikasi.

- Teori sinyifikasi (teori tentang system tanda)

Teori ini menampilkan konsep konotasi. Hal ini merupakan kunci untuk masuk ke dalam analisis semioltik tentang budaya yang dikemukakan oleh Bathes. Dikatakannya bahwa tanda adalah suatu system yang terdiri dari E yaitu Ekspresi (atau Penanda), dalam relasinya (R) dengan C, yaitu isi, konsep (atau petanda): E R C. Sistem tanda tahap pertama dapat menjadi unsur dari suatu system tanda yang lebih komprehensif. Apabila ada perluasan petanda, tanda pada tahap pertama (E1, R1, C1) menjadi Ekspresi dari tanda pada tahap ke dua: E2(=E1,R1,C1), R2,C2. Dalam hal ini, tanda tahap pertama menampilkan makna denotative, sedangkan tanda tahap ke dua mengemukakan makna konotatif. Barthes mengemukakan hubungan ini dalam model system yang bertingkat.. (Noth, Winfried, 1990: pp 310-311). Contoh: /mawar merah/, yaitu Ekspresi (E1) dalam hubungannya (R1) menampilkan isi (C1) “sejenis bunga”, yaitu makna denotatif. Kemudian ekspresi pada tataran pertama ini bersama dengan relasi dan isinya (E1,R1,C1) menjadi ekspresi pada tataran ke dua (E2), yang dalam hubungan lain (R2) memberikan isi (C2) tataran ke dua, yaitu “cinta” yang merupakan makna konotatif.

Sr = signifier (penanda) Sd = signified (petanda) Sr Sd Sd Sr Sd

(7)

Sign (Tanda)

Perluasan system tanda tahap pertama ini, dapat pula terjadi dalam pembentukan ekspresi yang baru. Dalam hal ini, tataran pertama disebut bahasa objek dan tataran ke dua disebut metalinguistik. (Noth, Winfried, 1990: pp.311). Contoh: Apabila ekspresi pada tataran pertama adalah /bunga ros/, maka E1, R1 dan C1 dapat membentuk ekspresi baru, yaitu /mawar/. Berikut ini saya ambilkan contoh dari mitos: salah satu tokoh wayang adalah Gatotkaca. Meskipun terbuat dari kulit (dalam wayang kulit) atau kayu (dalam wayang golek), tokoh itu tetap saja Gatotkaca, anak Bima, seorang tokoh pahlawan yang gagah berani..

Sd: signified

Sign Sr:signifier

Sebagaimana kita lihat, teori ini berlandaskan teori Ferdinand de Saussure tentang tanda. Dengan dasar teori ini, dapat dianalisis makna tataran ke dua, yang merupakan sinyifikasi teks.

5.3.2.3 Aspek pragmatik.

Sebagaimana dikatakan oleh Morris, dalam aspek ini dipelajari hubungan antara tanda dengan pengujar dan penerimanya. Pusat penelitiannya adalah penggunaan bahasa. Dalam penelitian ini, bahasa tidak dianalisis karena kedua teater boneka ini menggunakan bahasa yang berbeda. Meskipun demikian, dengan adanya teori mitos bahasa dalam penelitian ini adalah komunikasi antara narrator dengan penikmat teater boneka, baik dilakukan melalui gerakan boneka, musik pengiring maupun unsur-unsur lainnya.

5.3.3. Anne Ubersfeld : Teori ruang dalam teater.. Sr Sd

Sd Sr Sd

(8)

Tidak akan lengkap menganalisis teater tanpa membahas ruang. Teori yang akan dikemukakan ini berasal dari teori teater Eropa dan tidak ditujukan untuk teater boneka, karena itu penggunaannya akan disesuaikan dengan data..

5.3.3.1 Panggung

a. Dalam teater, apa yang disebut panggung ruang teater yang harus dibentuk, karena tanpa hal ini teater akan kehilangan eksistensinya yang konkrit.

b. Unsur-unsur yang membangun ruang teater didapat dari:Didascalies (petunjuk pemanggungan), sedangkan dalam teater boneka hal ini didapat dari penjelasan narrator). Di dalamnya termasuk:

- Petunjuk ruang yang kurang lebih mendetil dan tepat. - Nama-nama tokoh dan cirri-ciri ruang.

- Petunjuk tentang sikap tokoh dan gerakan-gerakan yang menyebabkan para penonton dapat membayangkan ruang, misalnya “boneka tak bergerak” atau “boneka bergerak ke arah kanan”

c. Pengaturan ruang dapat pula didapat dari dialog.

5.3.3.2 Karakteristik panggung.

a. Pertama-tama, panggung itu bersifat terbatas.

b. Panggung mempunyai ruang ganda: dikotomi panggung – ruang yang ditempati para penonton, yang tidak ada keterangannya dalam teks, dapat menjadi sangat penting dalam hubungan antara aktor (dalam hal ini narrator dan bonekanya) dan para penonton pertunjukan.

c. Panggung mempunyai kode khusus, yang ditentukan oleh kebiasaan yang tergantung pula dari waktu dan tempat di mana pertunjukan dilangsungkan. Panggung selalu meniru sesuatu. Para penonton terbiasa menganggapnya sebagai reproduksi dari tempat yang nyata, Meskipun demikian, gagasan yang menyatakan bahwa panggung meniru ruang yang nyata dan konkrit dengan batas-batasnya dan benda-benda yang berada di panggung sebagai bagian dari dunia yang dipindahkan ke panggung , merupakan gagasan teater Barat, terutama teater borjuis. Gagasan mimesis tentang ruang yang konkrit ini mengemukakan aspek kehidupan yang sebenarnya, baik diubah maupun tidak, baik realistis maupun simbolis. Meskipun demikian, yang terpenting adalah bahwa panggung mengemukakan the air de jeu. Di sini terjadi sesuatu yang tidak mempunyai acuan di

(9)

mana pun, ruang dikemukakan dengan hubungan tubuh para actor, dengan aktivitas fisik, dengan cara merayu, tarian, atau pun peperangan (Ubersfeld, Anne: 1978, pp.154-157)

Teori-teori ini akan digunakan untuk menganalisis aspek pertunjukan. Proses penelitian tidak dapat dikemukakan di sini karena tempat dan waktu tidak

memungkinkannya. Berikut ini akan dikemukakan hasil penelitiannya.

HASIL PENELITIAN:

PERBANDINGAN ANTARA KEDUA JENIS PERTUNJUKKAN BONEKA

Dalam analisis telah dikemukakan secara terperinci perbandingan antara kedua pertunjukan boneka, baik dari aspek kesejarahan, aspek kesastraan (aspek sintaksis dan semantiknya), maupun aspek pertunjukannya (termasuk bonekanya). Aspek pragmatik kebahasaan tidak diteliti, karena keduanya menggunakan bahasa yang berbeda, namun di sini aspek pertunjukkan dianggap mewakili aspek pragmatik, karena hal ini juga menjalin komunikasi antara pengirim (sutradara) dengan penerimanya (publik). Pertama-tama akan dikemukakan persamaan kedua pertunjukkan boneka ini, kemudian baru perbedaan-perbedaannya..

1. Persamaan antara kedua pertunjukan boneka: 1.1 Aspek kesejarahan

1.1.1 Asal-usul

Bunraku mulai dikenal sejak zaman dahulu (600 SM). Tidak ada catatan yang jelas tentang asal-usulnya, meskipun demikian, diperkirakan bahwa Bunraku berasal dari Cnina atau Korea. Pada masa kini, Bunraku dianggap sebagai pertunjukan tradisional Jepang, tradisi ini dimulai dengan adanya permainan boneka yang berjalan berpindah-pindah tempat, berkeliling di seluruh negri. Si pemain boneka menggerakkan bonekanya yang pada awalnya hanya mampu menampilkan gerakan-gerakan yang sangat sederhana. Setelah melalui perkembangan selama berabad-abad, boneka dibuat secara lebih canggih, sehingga para “dalang” mampu mempertunjukkan gerakan-gerakan dan sikap boneka yang sulit, bahkan seringkali rumit.

Sebagaimana juga Bunraku, wayang berasal dari zaman dahulu, yaitu pada masa animisme dan dinamisme (sekitar 1500 tahun SM). Pada awalnya, beberapa orang ahli wayang

(10)

menyatakan bahwa wayang berasal dari India, namun tidak ada bukti-bukti yang menguatkan hipotesis tersebut. Memang beberapa sumber ceriteranya yang terkenal, seperti Mahabharata dan Ramayana, datang dari India. Meskipun demikian, setelah dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli berkesimpulan bahwa wayang adalah kreasi asli orang Indonesia, karena tidak ada pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain.

1.1.2 Pemujaan terhadap arwah nenek moyang

Pada awalnya, Bunraku menampilkan kepercayaan rakyat. Di wilayah perkampungan di Jepang, bahkan juga hingga masa kini, sebahagian rakyat masih percaya bahwa boneka-boneka digunakan sebagai representasi dewa, atau pembawa amanat dari dewa, yang turun ke dunia untuk mengusir kejahatan dan bahaya. Penggunaan boneka yang dipakai untuk tujuan keagamaan sangat popular, dan pertunjukan itu tidak dianggap sebagai pertunjukan seni yang berdiri sendiri. Dahulu, pertunjukan boneka ini juga merupakan bagian dari upacara keagamaan dan pendiri dari aliran Awaji adalah pendeta agama Shinto. Itulah sebabnya pertunjukan boneka pada masa itu merupakan pertunjukan di tempat keagamaan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pada mulanya, para “dalang” mempunyai fungsi social, yaitu menampilkan pertunjukkan suci. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian, sandiwara boneka ini dianggap sebagai pertunjukkan seni. Dahulu, agama atau kepercayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah mengherankan apabila pada awalnya – seperti juga pertunjukkan boneka Jepang – wayang diciptakan sebagai pertunjukan arwah nenek moyang. Bahkan pada masa kini pun, banyak orang yang masih percaya akan keberadaan arwah nenek moyang dalam benda-benda tertentu, yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural. Benda-benda tersebut, yang pada umumnya disebut jimat, terdiri dari keris, cincin, kalung, atau benda-benda sakti lainnya. Dalam usahanya untuk menghindarkan bahaya yang dibawa oleh arwah yang jahat, rakyat percaya bahwa mereka dapat mengandalkan pertolongan dari arwah nenek moyang dengan mengundang mereka dan memberikan tempat khusus, yang disebut unduk, sebuah boneka yang dibuat dari batang padi. Orang yang mempunyai keahlian mengundang arwah nenek moyang, disebut dukun. Sebenarnya, boneka inilah asal usul wayang. Beberapa orang ahli menyatakan bahwa kata wayang berasal dari wa (wadah) yang berarti tempat dan yang atau hyang, yang berarti dewa.

(11)

1.2.1 Alur ceritera / aspek sintaksis

Bunraku, seperti juga wayang golek, dapat dianggap sebagai bagian dari karya sastra,

karena keduanya mengandung ceritera yang akan dipentaskan. Pada awalnya. Kedua pertunjukan boneka ini merupakan tradisi lisan, namun dalam perkembangannya, Bunraku menjadi karya sastra tertulis, dan mempunyai beberapa penulis teater yang terkenal, seperti Chikamatsu Monzaemon; sedangkan di lain pihak, wayang , hingga kini masih tetap berstatus tradisi lisan, meskipun memang berlandaskan sumber yang tertulis.

Penelitian tentang alur / aspek sintaksis (dengan teori Greimas) tidak begitu banyak menemukan persamaan maupun perbedaan, meskipun demikian beberapa temuan yang menarik akan dikemukakan di sini. Penelitian ini menemukan bahwa hubungan antara subjek dan objek sangat bervariasi. Baik ceritera-ceritera dari Bunraku maupun ceritera wayang yang berupa cerita sempalan (bagian dari ceritera sumber) atau carangan (yang merupakan kreasi dalang pada waktu pertunjukan) pada umumnya mempunyai empat atau lima alur, sedangkan ceritera-ceritera yang digunakan sebagai sumber (seperti Ramayana dan Mahabharata) mempunyai alur yang lebih kompleks dan dapat memiliki sepuluh alur atau lebih. Penelitian ini pun menunjukkan bahwa satu subjek dapat memiliki beberapa objek, sebaliknya, objek yang sama dapat pula dijangkau oleh beberapa subjek. Sebagai contoh, dapat dikemukakan

Sonezaki Shinju, yaitu suatu drama percintaan yang berakhir dengan bunuh dirinya sepasang

kekasih. Dalam drama ini, tokoh utamanya yang bernama Tokubei berusaha untuk mendapat objeknya, yaitu kekasihnya yang bernama Ohatsu. Di samping itu, dia juga berusaha untuk mendapatkan kembali objeknya yang lain, yaitu kehormatannya yang hilang karena fitnahan seseorang. Sebagai contoh lain, dapat dikemukakan Mahabharata, salah satu sumber cerita wayang, suatu epos besar yang mengemukakan konflik keluarga Bharata yang berakhir dengan pertempuran dan musnahnya keluarga itu. Salah seorang tokoh yang penting, yaitu Bhisma muncul beberapa kali sebagai subjek. Pertama-tama objeknya adalah kebahagiaan sang ayah, sehingga dia rela bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup. Objeknya yang ke dua adalah tiga orang putri yang disayembarakan, dan dia melakukannya untuk kebahagiaan adiknya. Objeknya yang ke tiga adalah pemenuhan kewajiban sebagai seorang ksatria, sehingga dia terpaksa berperang dengan kemenakan yang dikasihinya. Sebaliknya, tentu saja satu objek dapat digapai oleh banyak subjek, bahkan subjek dan objek yang sama, dapat muncul dalam dua alur yang berbeda. Sebagai misal, dapat dikemukakan di sini salah satu sumber cerita wayang yang lain, yaitu Ramayana, yang mengemukakan drama kegagahan seorang ksatria, Rama, dalam menggempur kebathilan, yang menjelma pada seorang raksasa, Rahwana. Tokoh utama, Rama, berusaha untuk mencapai objek yang sama, yaitu Shinta, sebanyak dua kali,

(12)

pertama ketika Rama ingin menikahi Shinta, dan kedua kalinya setelah Shinta diculik oleh Rahwana. Hasil penelitian alur yang menarik adalah penelitian atas drama Sugawara Denju

Tenarai Kagami, suatu drama yang menampilkan kesetiaan seorang menteri pada rajanya.

Dalam drama ini, Sugawara menjadi objek dari empat alur lainnya, namun dia sendiri tidak pernah bergerak untuk mencapai objek. Itulah sebabnya mengapa pada awalnya peneliti mengira bahwa ia tidak pernah menjadi subjek semasa hidupnya, kecuali setelah meninggal, dia sebagai dewa petir, memburu dan membunuh musuh-musuhnya. Namun setelah pemikiran lebih lanjut, peneliti sampai pada kesimpulan bahwa subjek bisa saja tidak bergerak, karena sebenarnya mencapai objek dapat dilakukan tanpa bergerak, dalam hal ini objeknya adalah kesetiaan kepada kaisar. Justru tindakannya yang tidak melawan, meskipun dia difitnah dan dihukum secara tidak adil, menunjukkan usahanya untuk tetap setia kepada raja. Hal ini berkaitan erat dengan budaya Jepang yang mendukung drama ini. Berikut ini akan dikemukakan persamaan yang sangat menonjol antara teater boneka Jepang dan teater boneka Sunda, hasil dari penelitian aspek semantik, yaitu nilai-nilai ideologis.

1.2. 2 Nilai-nilai ideologis

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian aspek semantik menghasilkan gambaran tentang tokoh, sifat-sifat maupun kedudukannya di dalam masyarakat. Namun, yang paling menarik perhatian adalah nilai-nilai ideologis yang ditemukan tersembunyi di dalam karya, di antara kata-kata yang diucapkan. Hal ini menunjukkan bahwa teater boneka Indonesia dan Jepang mengungkapkan nilai-nilai ideologis yang sama,. karena nilai-nilai itu adalah bagian dari tradisi, bagian dari budaya. Persamaan budaya ini menggambarkan adanya persamaan dalam jiwa masyarakatnya masing-masing.. Salah satu contoh yang perlu diutarakan adalah pentingnya kesetiaan yang sangat diagungkan dalam kedua masyarakat. Kesetiaan ini dapat ditampilkan dengan berbagai cara, dan dapat ditujukan kepada orang maupun objek yang berbeda, antara lain: misalnya kesetiaan pada kekasih, kepada pasangan hidup, kepada majikan, kepada kaisar, dan kepada sumpah. Kesetiaan kepada kekasih tampak dalam Sonnezaki Shinju: untuk membuktikan kesetiaannya Ohatsu bersedia melakukan bunuh diri ganda (berdua). Kesetiaan kepada suami tampak dalam Ramayana, dengan kesediaan Shinta untuk terjun ke dalam api yang menyala-nyala demi membuktikan kesetiaannya kepada suami. Dalam Sugawara Denju Tenarai Kagami, dapat kita lihat pernyataan kesetiaan seseorang kepada majikannya dalam diri Matsûomaru yang tetap setia kepada majikannya meskipun hal itu berlawanan dengan nuraninya dan dia harus memutuskan hubungan dengan

(13)

keluarganya, selain itu dia dianggap sebagai seseorang yang tidak mempunyai hati nurani. Juga Sugawara tetap setia kepada kaisarnya, meski dia telah difitnah orang dan diperlakukan tidak adil oleh kaisarnya. Dan akhirnya, dalam Mahabharata, Dewabrata atau Bhisma tetap setia pada sumpahnya hingga akhir hayatnya, meskipun ibu tirinya, Setyawati yang memintanya bersumpah, memohon kepadanya agar dia mau memecahkan sumpahnya.

(14)

Prinsip lain yang sangat penting adalah perasaan hutang budi. Suatu pertolongan, bantuan atau tindakan lainnya yang telah diterima dari orang lain, seharusnya dianggap sebagai suatu hutang yang, cepat atau lambat, harus dilunasi. Melupakan hutang budi ini dapat dianggap sebagai tidak adil dan bertentangan dengan moral etis. Drama Sugawara denju

tenarai kagami mengemukakan dengan gamblang betapa pentingnya perasaan hutang budi

ini.Hal ini tampak dalam sikap dan tindakan si kembar tiga, Sakuramaru, Matsuômaru, dan Umeômaru, yang berhutang budi kepada lord Sugawara. yang telah menolong ayah mereka, Shiradayu, untuk mengatasi kesulitan ekonomi dalam membesarkan kembar tiga ini.Ia memberi bea siswa tahunan kepada anak-anak, dan kepada bapaknya dia memberi sebidang tanah, sehingga dia dapat hidup dengan senang. Untuk membayar kemurahan hati Sugawara, ketiga saudara kembar ini melakukan segala yang dapat mereka lakukan. Sakuramaru membunuh diri, Umeômaru tetap mengabdi pada keluarga Sugawara dan menjaga mereka pada waktu Sugawara berada dalam pengasingan. Matsuômaru bahkan mengorbankan jiwa satu-satunya putra yang dimilikinya, untuk menyelamatkan jiwa putra Sugawara. Dalam

Mahabharata, perasaan hutang budi ini tampak pada sikap Karna yang merasa berhutang budi

pada Kurawa. Ketika sebelum perang saudara ini meletus, Dewi Kunti (ibu Karna dan juga ibu Pandawa), memintanya untuk meninggalkan Kurawa dan bergabung dengan Pandawa, Karna menolaknya dan lebih memilih mati di dalam perang melawan saudara-saudaranya.

Prinsip lain yang juga dipandang penting adalah kehormatan. Saya kira, di seluruh dunia kehilangan kehormatan di dalam masyarakat, tak dapat diterima dan dengan segala daya harus dihindari. Meskipun demikian, kehormatan yang dikemukakan dalam cerita-cerita ini berbeda dengan kehormatan yang dianut oleh masyarakat modern. Menurut cerita-cerita yang menjadi data penelitian ini, orang yang kehilangan kehormatan harus siap untuk mengorbankan segalanya, bahkan juga jiwanya. Sangat menarik untuk memperhatikan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengembalikan kehormatan seseorang. Dalam cerita-cerita ini, pengembalian kehormatan tidak ditekankan pada pembalasan dendam, melainkan pada tindakan bunuh diri. Sebagaimana kita lihat dalam Sonnezaki Shinju, Tokubei ditipu oleh Kuheiji, seorang yang tak berhati nurani dan pembohong besar yang menghalalkan segala cara meskpun tindakannya sangat merugikan orang lain. Di hadapan umum, dia menuduh Tokubei sebagai pembohong dan pencuri. Karena tidak dapat membuktikan ketidakbersalahannya untuk menentang tuduhan ganda ini, tak ada yang dapat dilakukannya kecuali menerima hilangnya kehormatan. Untuk mengembalikannya, Tokubei tidak memilih pembalasan dendam, melainkan bunuh diri. Tindakannya ini mengherankan saya, karena biasanya,

(15)

seseorang yang kehilangan kehormatannya akan bereaksi dengan membalas dendam kepada orang yang menyebabkan dia kehilangan kehormatan itu. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam Mahabharata. Dalam karya ini, Yudistira putra Pandu yang tertua dihianati, direbut kekuasaan dan kekayaannya sehingga dia kehilangan kehormatannya. Namun, alih-alih membalas dendam, Pandawa lebih memilih menjalankan hukumannya, yaitu pergi ke hutan untuk mengasingkan diri.

Selain melaksanakan nilai-nilai ideologis, teater boneka ini bahkan juga menampilkan tindakan-tindakan yang berrlawanan dengan nilai-nilai tersebut, yaitu tindakan atau sifat yang menghalangi seseoran untuk melaksanakan nilai-nilai ideologis tersebut. Yang terpenting adalah perasaan cemburu atau iri hati yang dalam berbagai kasus, merupakan penyebab dari tindakan negative yang dilakukan seorang tokoh. Memang, rasa iri hadir dalam kelima cerita yang dikemukakan dalam penelitian ini.

1.3 Pementasan / Pertunjukkan

Bunraku, seperti juga as wayang golek, menampilkan sejenis boneka di pentas. Boneka-boneka tersebut terbuat dari kayu dan dimainkan oleh manusia yang disebut “dalang”. Dalam pertunjukan tersebut, cerita dikemukakan oleh narrator dengan iringan musik. Dahulu, pertunjukkan ini dimainkan dengan tujuan keagamaan, kini pementasan tersebut dianggap sebagai seni pertunjukkan, karena para penonton datang menghadiri pertunjukan ini, untuk hiburan, dan tidak lagi demi pemujaan dalam ritual keagamaan.

2 Perbedaan antara kedua teater boneka 2.1 Aspek kesejarahan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Bunraku dan wayang, kedua teater ini merupakan tradisi kuno. Sebenarnya, tradisi wayang kulit bahkan lebih tua lagi, namun, tidak seperti Binraku or Wayang Golek, pertunjukan wayang kulit hanya dapat dilakukan pada malam hari, dan dahulu memakai cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak tanah). Di lain pihak, wayang golek, berusia jauh lebih muda (1583). Sunan Kuduslah yang pertama-tama memperkenalkan boneka kayu sebagai alat pertunjukkan, karena boneka ini dapat dimainkan pada siang hari. Dalam perkembangannya, pertunjukkan boneka kayu dari Jawa Barat ini, dikenal sebagai wayang golek, yang berasal dari wayang

kulit, teater bayang-bayang dari Jawa . (Supandi, Atik. 1988:Tetekon Padalangan Sunda).

(16)

2.2.1 Sastra tulis dan sastra lisan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Bunraku termasul sastra tulis, karena penuturnya (naratornya) membacakan teks. Beberapa penulis Bunraku yang terkenal adalah Chkamatsu Monzaemon (1653-1724), Takeda Izumo II (1691-1756), Namiki Sosuke (1695-1751), Miyake Shòraku (1696-1775), dan Chikamatsu Hanji (1725-1783). Namun, pada masa kini, tak ada lagi penulis yang dianggap sukses. Karena tak banyak lagi perhatian pada penulisan teater ini, maka teater tersebut hanya menampilkan karya-karya lama yang masih tetap disukai para penonton.

Di lain pihak, wayang goleki , merupakan sastra lisan, karena naratornya (dalang), menyusun ceriteranya sendiri dalam pertunjukkan cerita-cerita yang disebut sempalan (bagian dari cerita sumber) dan terutama dalam cerita-cerita carangan (karya dalang sendiri yang tentu saja berlandaskan cerita sumber) Sebenarnya, banyak cerita yang menjadi sumber cerita wayang ( seperti cerita panji, cerita tentang asal usul seuatu daerah, dan lain-lain), namun yang paling popular adalah Mahabharata. Biasanya para penonton telah mengenal cerita sumbernya, sehingga mereka tidak akan begitu canggung apabila sebahagian dari cerita sumber hilang. Demikianlah, apabila kadang-kadang alur cerita tidak begitu utuh susunannya, hal itu tidak menjadi masalah bagi para penonton, karena sebagai tradisi lisan, ceritanya telah dikenal oleh penonton.

2.2.2 Alur cerita

Pada umumnya, dalam Bunraku kita temukan cerita-cerita yang menampilkan kehidupan

sehari-hari. Meskipun demikian, beberapa cerita menampilkan kehidupan yang bersumber pada cerita tentang samurai, raja beserta lingkungannya, dan kadang-kadang juga kehidupan rakyat kebanyakan. Beberapa tema sering muncul, seperti tema cinta, kesetiaan, pengkhianatan, dan sebagainya. Ceritanya cenderung bersifat dramatik, sehingga penonton dapt menangis tersedu-sedu melihat penderitaan para tokoh. Dram itu dapat begitu memikat, sehingga penonton tidak sadar bahwa yang mereka lihat itu hanyalah sebuah drama.

Sebaliknya, dalam wayang golek, meskipun ceriteranya dapat juga betul-betul mengharukan, namun penonton tidak terlalu lama terbawa arus kesedihan, karena sebenarnya penonton telah mengenal ceritanya.. Mereka datang unatuk melihat pertunjukkannya, terutama untuk menyaksikan gerakan-gerakan boneka, beberapa adegan yang mengandung kritik terhadap pemerintah atau masyarakat, juga terhadap kondisi social yang dirasakan sendiri oleh penonton. Selain itu, mereka datang untuk melihat adegan-adegan lucu yang biasanya

(17)

dipersiapkan untuk malam hari (pertunjukan wayang berlangsung semalam suntuk) agar penonton tidak mengantuk. scenes. Mereka juga sangat menyenangi agegan-adegan yang heroik, yaitu adegan perang atau perkelahian antar pahlawan. Dengan demikian, penonton tetap terjaga, meskipun waktu telah larut malam..

2.3 Pertunjukan teater. 2.3.1 Tempat pertunjukan

Bunraku dipertunjukkan dalam gedung teater dengan suasana yang resmi. Orang yang

ingin menonton pertunjukkan teater itu, harus membayar sejumlah uang (di kota besar harga karcis pertunjukkan bisa sangat mahal), mereka berpakaian resmi, dan suasananya sama dengn suasana pertunjukkan di teater Eropa..

Sebaliknya, dalam pertunjukkan wayang golek play, suasata sama sekali berbeda. Tidak ada tempat tertentu bagi pertunjukkan wayang golek, karena wayang golek hanya dipertunjukkan apabila ada permintaan dari individu atau suatu organisasi. Wayang golek dapat diperttunjukkan di rumah pribadi, di gedung pemerintah atau gedung resmi lainnya, bahkan juga di lapangan terbuka. Undangan pada kelompok wayang golek dilakukan apabila ada pesta perkawinan, sunatan, atau kesempatan lain seperti ruwatan (upacara untuk mengusir roh jahat) atau pun untuk perayaan 17 Agustus, peresmian gedung baru, dan lain-lain. Tak diperlukan uang pembayaran untuk menonton dan selama pertunjukkan, penonton bebas keluar masik tempat pertunjukkan. Penonton berpakaian bebas, banyak yang hanya memakai sarung dan baju kaos, meskipun demikian hal ini juga tergantung dari tempat pertunjukkannya. Di sekitar tempat pertunjukkan, banyak para pedagang makanan dan minuman yang datang untuk menjual dagangannya. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung dari tempat pertunjukannya. Apabila diadakan di tempat yang resmi seperti di kantor pemerintah atau di gedung pertunjukan, para penonton akan berpakaian rapi.

2.3.2 Tempat pertunjukkan a. Peran pencerita.

sDalam Bunraku, pencerita (kadang-kadang hadir lebih dari seorang pencerita), bercerita sambil membaca teks, diiringi oleh suatu instrumen musik yang disebut samisen. Samisen ini sebenarnya adalah alat musik Cina, namun telah “dinaturalisasikan” sebagai instrumen musik dari Jepang. Para pencerita, pemain boneka, dan pemain samisen harus mempunyai kerjasama yang baik, mereka harus tampil sebagai satu tim yang utuh. (“Sangyo

(18)

Dalam wayang golek, hanya satu orang, yaitu dalang yang bertindak sebagai pencerita (narrator) maupun sebagai pemain boneka. Selain itu, dia juga penembang (penyanyi), penulis cerita, bahkan juga manajer pertunjukkan. Mengenai pemain musik, banyak pemain musik yang terlibat dalam pertunjukkan wayang golek, mereka membentuk suatu orkestra yang memainkan kurang lebih 17 instrumen.

b. Komunikasi

In Bunraku, the communication between characters are verbalized by the narrator, since it is a direct communication from the two sides. The narrator needs to change his voice adapting to the character in play. Sometimes, the narrator tells something directed to the audience, but the audience can not make any response since it is a one sided communication.

Dalam wayang golek, komunikasi antar tokoh, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam Bunraku. Si pencerita berbicara sebagai tokoh yang berbeda-beda, sehingga dia harus mengubah-ubah suaranya, tergantung dari tokoh yang dimainkannya. Salah seorang dalang bahkan membanggakan dirinya dengan mengatakan bahwa dia dapat mengubah suaranya sebanyak 50 macam suara. Perbedaannya adalah bahwa dalam pertunjukkan wayang goleka, dalang dapat berkomunikasi baik dengan para nayaga (pemain musik), maupun dengan para penonton, dengan menanyakan sesuatu hal atau meminta komentar mereka tentang suatu peristiwa atau suatu hal. Para nayaga dan penonton dapat menjawab pertanyaan si dalang dan memberi komentar. Justru hal inilah yang sering menarik perhatian penonton, karena percakapan dan komentar-komentar itu sering mengenai hal-hal yang mereka kenal bersama, misalnya tentang keadaan di daerah tempat pertunjukan atau keadaan politik dan ekonomi negara, bahkan juga tentang peristiwa mancanegara. Jadi di sini tampak beberapa lapisan komunikasi dua arah, yaitu komunikasi antar tokoh, antara dalang dengan nayaga dan antara dalang dengan penonton. Kadang-kadang, penonton dapat meminta lagu khusus kepada para penembang (penyanyi, biasanya ada dua atau tiga penyanyi) dan peminta lagu itu akan melemparkan sejumlah uang ke panggung. Komunikasi seperti ini menjadikan pertunjukkan lebih hidup

c. Boneka

Sebagaimana telah dikemukakan terlebih dahulu, boneka dalam pertunjukkan Bunraku terbuat dari kayu dan berukuran sebesar setengah tubuh manusia. Boneka terdiri dari kepala, tubuh, lengan dan kaki. Namun, pada masa lalu, kimono wanita panjangnya sampai menutupi kaki, sehingga boneka wanita dibuat tanpa kaki. Kepala, lengan dan kaki dapat dilepas-lepas,

(19)

dan ujung kayu tempat kepala dimasukkan melalui badan boneka. Yang paling mengagumkan adalah bagian kepala yang halus, konstruksinya sangat tepat dan hal ini menyebabkan kepala boneka Bunraku itu sangat hidup. Boneka yang lebih kompleks dapat membuka dan menutup matanya, memutar matanya, menaikkan atau menurunkan alis matanya, dan membuka atau menutup mulutnya menurut kehendak si pemain boneka. Boneka dapat memperlihatkan perasaan sedih atau marah. Dengan satu atau dua gerakan yang dilakukan si pemain boneka, boneka “manusia” dapat berubah menjadi binatang, misalnya menjadi ular. Sangat menarik setelah diketahui, bahwa untuk menggerakkan satu boneka saja, diparlukan tiga pemain boneka. Salah satunya menggerakkan kaki, yang lain memegang tangannya dan yang lain lagi menggerakkan kepala dan tubuhnya. Untuk menggerakkan boneka, mereka harus bekerjasama dengan sempurna. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun (lebih dari duapuluh tahun) untuk dapat menjadi seorang pemain boneka yang handal. Saya kira, memang kerjasama adalah cirri masyarakat jepang.

Pada awalnya, sama seperti Bunraku, wayang memiliki bentuk manusia. Namun, setelah kedatangan agama Islam, wayang berubah bentuk, sesuai dengan aturan agama Islam; karena Islam, melarang pemeluknya menciptakan sesuatu yang sangat mirip dengan manusia. Itulah sebabnya maka bentuk wayang berubah menjadi bentuk mahluk yang toh masih sangat mirip dengan manusia, meskipun segera tampak bahwa wayang itu bukan representasi manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat langsing, sedangkan tangannya tidak menampilkan proporsi yang baik dengan bagian tubuh yang lain. Meskipun demikian, setiap boneka merepresentasikan tokoh khusus. Karena boneka tidak dapat menggambarkan perasaan tokoh, maka peran dalang dalam memainkan boneka, dalam mengemukakan ceritera dan dalam berkomunikasi dengan penonton sangat penting. Perasaan para tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para

nayaga (pemain musik). Dalam bahasa sunda, ada ungkapan yang berasal dari kepercayaan

agama Islam, dan menyatakan “Wayang sakotak, dalangna ngan hiji” (“wayangnya sekotak, hanya memerlukan seorang dalang”) yang berarti bahwa begitu banyak manusia di dunia hanya memerlukan satu Tuhan.

2 .4 Kondisi masa kini.

Di Jepang, kelompok teater professional Bunraku terus hadir, seperti di Tokyo dan di Osaka. Banyak wisatawan baik yang domestik maupun yang dari mancanegara masih meluangkan waktu untuk menghadiri pertunjukan ini, meskipun mereka sangat sibuk.

(20)

Sebaliknya, di desa-desa, beberapa kelompok tradisional Bunraku (Ningyo Joruri) hanya dapat hidup berkat bantuan dari pemerintah.

Di Indonesia, kelompok tradisional wayang golek menghadapi situasi yang lebih buruk. Tidak ada tempat khusus untuk pertunjukan wayang golek sehingga mereka tidak dapat mengadakan pertunjukan secara teratur. Pertunjukan hanya mungkin dilakukan atas permintaan dalam menghadapi kesempatan-kesempatan khusus, seperti perkawinan, sunatan atau selamatan lainnya. Jarangnya ada permintaan untuk manggung menyebabkan keberadaan kelompok-kelompok ini terancam gulung tikar. Lagi pula, wayang golek terpaksa menghadapi saingan yang berat, yaitu pertunjukkan musik Dangdut, yang pada masa kini makin menarik perhatian. Masyarakat makin lama makin tertarik pada Dangdut, dan mengabaikan yang lain, sehingga kehidupan kelompok wayang golek makin lama makin sulit. Terlebih lagi karena hampir tidak ada bantuan dari pemerintah pada kelompok seni tradisional ini. Apabila keadaan ini berlangsung terus, maka tidak heran apabila kelompok pertunjukan tradisional ini menghilang dari kehidupan seni di daerah sunda.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa penelitian ini “selesai” dilakukan. Sebenarnya masih banyak yang perlu diteliti, namun waktu penelitian yang sempit menyebabkan hal ini tidak sempat dilakukan. Sebenarnya, penelitian yang berfokus pada perbandingan antara berbagai aspek budaya Asia, masih sangat jarang dilakukan. Dengan penelitian ini, tentu saja saya tidak berpretensi melakukan penelitian tentang pengaruh. Meskipun demikian saya menemukan banyak persamaan antara budaya Jepang dan budaya Sunda, salah satu suku bangsa di Indonesia. Mudah-mudahan penelitian ini dapat memberi sumbangan pada saling pengertian antara kedua bangsa. Juga diharapkan penelitian semacam ini dapat digalakkan.

(21)

PUSTAKA ACUAN

Adachi, Barbara C. 1978. The voices and Hands of Bunraku Introduction by Donald Keene. New York:Harper and Rows Publisher.

________________. 1985. Backstage at Bunraku. Tokyo. John West.

Ando, Tsuruo. 1970. Bunraku, The Puppet Theater.k Performing Art Of Japan: I. New York & Tokyo: A Weatherhill Book. In collaboration with Tankosha, Kyoto.

Barthes, Roland. 1957. Mythologies.

Paris: Editions du Seuil.

Claudon, Francis & Karen Haddad Wotling. 1992. Précis de Littérature Comparée. Paris: Nathan Université.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics First Midland Book Edition. Bloomington: Indiana University Press.

Guritno, cs. 1989. Lordly Shades. Wayang Purwa Indonesia. Jakarta: Jayakarta Agung Offset.

i Herbert, Mimi cs. 2002. Voices of the Puppet Masters. The Wayang Golek Theater of

Indonesia.

The Lontar Foundation. Honolulu: University of Hawaii Press.

Jajang Suryana, Drs. M. Sn. 2002. Wayang Golek Sunda. Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Keene, Donald. 1990. No and Bunraku, Two forms Japanese Theatre. New York: Columbia University Press.

Law, Jane-Marie. 1997. Puppet of Nostalgia. The life, death and Rebirth of the Japanese

Awaji Ningyo Tradition.

Princenton: Princenton University Press. n Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics

(22)

Mandah, Darsimah.1999.Bunraku, teater tradisional Jepang. Bogor: Maharini Press

Ong, Walter J. 1983. Orality and Literacy. The technologizing of the word. London and New York: Mathuen. Ed. Terence Hawkes.

Orlani, Benito. 1995. The Japanese Theatre.u “From Shamanistic Ritual to Contemporary Pluralism”.

Princenton : Princenton University Press. Scott, A.C. 1963. The Puppet Theatre of Japan.

Publisher: Charles E. Tuttle Company Inc. Japan.

Shoko, Kodama, 2000. Eigo de Hanasu I Nihon No Dentou Geinou (The Complete Guide to

Traditional Japanese Perdorming Arts).

Tokyo: Kodansha International Ltd.

Schleifer, Ronald. 1987. A.J. Greimas and the Nature of Meaning: Linguistics, Semiotics and

Discourse Theory.

London & Sidney: Croom Helm. Supandi, Atik. 1988. Tetekon Padalangan Sunda.

Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Todorov, Tzvetan. 1968. Structuralisme. 2. Poétique.

Paris: edition: Seuil

Toshio, Kawatake. 1971. A History of Japanese Theater II. “Bunraku and Kabuki”. Japan: Kokusai Bunka Shinkokai (Japan Cultural Society) mUbersfeld, Anne. 1978. Lire Le Théâtre.

Paris: Editios Sociales.

Weisstein, Ulrich. 1973. Comparative Literature and Literary Theory. Bloomington & London: Indiana University Press. Wickert, Utta and Tizar Purbaya. 1985. Wayang.

Jakarta: Intermasa.

Zoest, Aart van 1993 Semiotika (diterjemahkan oleh Ani Soekowati dari Semiotiek,

Overteken hoe ze werken en wat we ermee doen, 1978)

(23)

Sumber data:

Chikamatsu. 1964. Four Major Plays of Chikamatsu.b Translated by Donald Keene. New York: Columbia University Press.

Izumo Takeda, 1985. Sugawara and the Secrets of Calligraphy. Edited and translated by Stanleigh H. Jones. New York: Columbia University Press. No Name. Recreated by Njoman S. Pendit. 1970. Mahabharata.e Djakarta: Bhatara.

lNo name. Recreated by Sunardi, 1979. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap tanaman padi di Lubuk Ruso Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil

Esta serie de carteles y los folletos asociados, así como las accio- nes desarrolladas en Japón en el ámbito de la popularización de las Matemáticas está en el origen de este

Berbagai lembaga pengawas eksternal yang kini aktif di Indonesia pada umumnya memiliki tugas yang serupa yakni melakukan penanganan pengaduan masyarakat (public complaint

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) Mengetahui peran guru MI dalam meningkatkan minat belajar IPA siswa kelas IV di MIS Nurul Fadhilah, 2) Mengetahui minat siswa

Begitu pula halnya dengan proses penyidikan tindak pidana illegal logging yang tidak hanya melibatkan POLRI sebagi penyidik tetapi juga melibatkan Penyidik Pegawai Negri

[r]

68-507, and that the application of Senegalese Standard NS 03 036 (August 1994) concerning the production and marketing of tomato concentrate is obligatory.. This decree supports

Dengan melakukan riset analisis terhadap kedua metode sebuah jaringan intranet diharapkan mampu meningkatkan kualitas bandwith management yang diterapkan pada