• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Surimi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Surimi"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Surimi

Surimi merupakan konsentrat dari protein myofibrilar yang diperoleh dari daging ikan. Sifat-sifat utamanya adalah membentuk gel yang elastis dan kuat melalui perlakuan panas. Selain itu, disamping sebagai bahan gel, sifat-sifat protein surimi yang baik yaitu sebagai bahan pengikat, dan bahan pengemulsi. Oleh karena itu, surimi terutama digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi seafood analog (Suzuki 1981).

2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya

Menurut Okada (1992), surimi merupakan istilah Jepang yang menunjukkan pasta dari gilingan daging ikan yang dibentuk selama proses pembuatan kamaboko yakni suatu produk tradisional Jepang berbasis surimi. Saat daging ikan dipisahkan dari kulit dan duri secara mekanis dinamakan hancuran daging ikan yang merupakan bahan awal untuk produksi surimi. Apabila hancuran daging ikan dicuci dengan air, untuk menghilangkan lemak dan komponen-komponen larut air, ini akan dihasilkan surimi. Surimi merupakan konsentrat dari protein miofibrilar ikan dan mempunyai kemampuan dan pembentukan gel, pengikatan air, pengikatan lemak dan sifat-sifat fungsional dibandingkan hancuran daging ikan. Perkembangan produk baru yang berbasis surimi yaitu produk analog seperti analog daging, analog kepiting dan surimi kering.

Surimi beku adalah daging ikan yang dihaluskan yang telah dicuci dengan air, dicampur dengan gula dan polifosfat, dan kemudian dibekukan. Selanjutnya dari surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan diantaranya adalah baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya, yang spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Menurut Ramirez

et al. (1999), surimi adalah konsentrat protein miofibrilar yang bermutu tinggi yang diperoleh dari otot ikan. Aplikasi dari protein surimi terutama karena sifat-sifat yang lebih baik sebagai bahan pengikat, gel dan pengemulsi, dibandingkan protein tanaman yang saat ini digunakan dalam analog daging. Surimi terutama

(2)

digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi produk analog, sedangkan surimi yang dikeringbekukan berfungsi sebagai bahan pengemulsi pada produk sosis.

Menurut Suzuki (1981), terdapat 3 (tiga) tipe surimi yaitu : (1) Mu-en Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat, tanpa penambahan garam dan telah mengalami pembekuan; (2) Ka-en Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan, yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan fosfat dan telah mengalami proses pembekuan; (3) Na-ma Surimi yaitu surimi yang tidak mengalami pembekuan. Surimi komersial mempunyai kadar air 75 persen, protein 18 persen, lemak kurang dari 0,5 persen dan bahan-bahan lain 6,5 persen (Park et al. 1996). Komposisi proksimat surimi dari beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa

jenis ikan

Surimi Beku Air (%) Abu (%) Protein (%)

Lemak (%) Bahan dari ikan nila merah

(Oreochromis nilotica)* 78 0,42 15,1 0,48

Bahan dari ikan fat sleeper

(Dormitator maculatus)* 75 0,35 18,1 0,57

Bahan dari ikan Layang

(Decopterus sp)** 82,36 0,58 12,18 3,82

Bahan dari ikan Marlin

(Makaira sp)** 81,66 0,53 11,82 3,53

Keterangan:

* : Ramirez et al., 1999 ** : BPPMHP 2004 2.1.2 Sifat-sifat surimi

Ramirez et al. (2002), mengatakan bahwa salah satu sifat surimi adalah membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Gel yang fleksibel dan elastis tersebut terbentuk jika Surimi dicampur dengan garam, yang melalui proses pelumatan akan terbentuk sol, dan dengan pembentukan dan pemanasan akan terbentuk gel (Roussel dan Cheftel 1988). Gelasi dari protein larut garam

(3)

selama proses dengan panas terutama berperan pada stablisasi lemak dan air, pengikatan hancuran daging ikan, kemudian membentuk kembali produk (McCord et al. 1998). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel adalah bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan (Lan et al. 1995).

Penggunaan garam pada proses pembentukan gel yaitu sebagai bahan pelarut myofibril. Untuk kosentrasi kurang dari 2 persen miofobril tidak dapat terlarut, sementara pada konsentrasi lebih dari 12 persen myofibril terhidrasi yang disebabkan efek salting-out dari garam. Untuk konsentrasi 2 - 3 persen merupakan penggunaan yang umum pada beberapa spesies ikan dan jenis produk, karena pada kisaran yang lebih tinggi akan memberikan rasa asin (Tan et al. 1988; Shimizu dan Toyohara 1994).

Gelasi termal dari otot ikan terjadi dalam tiga tahapan proses yaitu: (1) disosiasi dari struktur myofibril oleh kelarutan protein dengan adanya garam; (2) terbukanya sabagian struktur protein yang disebabkan perlakuan panas; (3) agregasi dari protein yang terbuka melalui ikatan kovalen dan non kovalen untuk membentuk jaringan tiga dimensi (Stone and Stanley 1992 yang diacu

dalam Benjakul et al. 2001).

Perubahan dari sol menjadi gel tersebut melewati tiga tahap proses, yaitu

suwari, modori, dan ashi. Suwari (setting) terjadi pada suhu kurang dari 50°C, merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan-lahan berubah menjadi gel yang elastis (Tan et al. 1988; Roussel dan Cheftel 1988). Fenomena ini menurut Ramirez et al. (2002), berkaitan dengan endogenous calcium-dependent transglutaminase. Mexican flounder tidak menunjukan fenomena

setting ini; yang kemungkinan disebabkan rendahnya level kalsium akibat tahap pencucian pada saat proses pembuatan surimi (Ramirez et al. 2002).

Modori merupakan gejala degradasi gel, dimana gel menjadi tidak elastis dan fragile. Modori berarti ”kembali” yaitu kembali ke tekstur awal daging ikan. Gejala modori biasanya terjadi pada suhu 60-65°C (Roussel dan Cheftel 1990; Ramirez et al. 2002). Gejala modori bervariasi tergantung kondisi biologi yaitu kesegaran, umur, lokasi penangkapan dan musim. Ou et al. (2000), menemukan bahwa pada suhu 40°C terjadi gejala modori pada surimi dari paddle fish

(4)

(Polydon spathula), dimana degradasi miosin tersebut dapat dikurangi dengan menambahkan plasma sapi. Pada pembentukan gel surimi dari sardin, gejala modori terjadi pada pemanasan pada suhu 50- 60°C (Alvarez et al. 1999). Gejala modori tersebut berkaitan dengan adanya aktivasi dengan panas terhadap protein otot, terutama cathepsin (Ramirez et al. 2002), cathepsin-cysteine proteinase (An

et al. 1996); dan serine-proteinase (Cao et al. 2000). Ramirez et al. (2002), menemukan bahwa ekstrak biji legume mengandung protease inhibitir yang spesifik terhadap serine-proteinase, yang dapat menghambat aktivitas proteolitik pada gel surimi dari Mexican flounder dan Atlantic croacker, sehingga mengurangi hidrolisis miosin dan aktin. Oleh karena itu, kisaran suhu tersebut harus dilewati agar gel yang mulai terbentuk pada tahap setting tidak mengalami kerusakan atau degradasi.

Gel ashi terbentuk setelah melewati dua zone suhu tersebut. Oleh karena itu jika sol dipertahankan dalam waktu yang cukup lama pada zona suhu terjadinya gel suwari atau dengan cepat melewati zona suhu terjadinya gel

modori, akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Tan et al. (1988), melakukan prinsip pemanasan dua tahap yaitu setting pada suhu 40°C selama 20 menit dilanjutkan dengan pemanasan pada 90°C selama 20 menit; dimana pada pemanasan 90°C bertujuan untuk pemasakan dan sterilisasi. Ou et al. (2000), menemukan bahwa maksimum kekuatan gel dapat dicapai dengan pre-inkubasi pada 70°C diikuti dengan pemasakan pada 90°C.

Gel surimi yang terbentuk dapat diuji kekuatan gelnya dengan tekstur analyzer, atau diuji dengan Texture Profile Analysis atau secara subyektif dapat dilakukan dengan melakukan uji lipat dan uji gigit. Selain itu juga ditentukan dari warna yang menunjukan derajat putih, yang secara obyektif dapat diukur dengan

Whitenessmeter atau Chromameter. Menurut Tan et al. (1988), surimi komersial yang bermutu baik mempunyai nilai uji lipat AA dan masih dapat diterima jika mempunyai nilai uji gigit 5-6.

(5)

2.1.3 Bahan utama surimi

Bahan utama yang digunakan pada pembuatan surimi adalah daging ikan, sehingga perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan ikan segar sebagai bahan baku surimi. Awalnya surimi diolah dari ikan Alaska Pollack yang merupakan sumber bahan baku terbesar di Jepang dan mempunyai sifat fungsional yang baik (Suzuki 1981; Tan et al. 1988; Okada 1992).

Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meskipun begitu, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan mempunyai kemampuan pembentukan gel yang bagus yang akan memberikan hasil surimi yang lebih baik. Miyake et al. (1985), menyatakan bahwa surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai kemampuan membentuk gel, rasa dan penampakan yang baik. Umumnya ikan berdaging putih mempunyai kemampuan membentuk gel yang lebih baik dibandingkan dengan ikan berdaging merah. Ikan

marlin dan mackerel mempunyai kemampuan pembentukan gel baik. Ikan air tawar biasanya mempunyai kemampuan pembentukan gel yang kurang baik, demikian juga udang dan keong (Shimizu dan Toyohara 1994). Ikan berdaging merah seperti sardin dan bonito biasanya mempunyai gel yang kurang baik (Yu 1993). Untuk mendapatkan tekstur gel yang baik, ikan sardin yang pada saat mati mempunyai pH 5,6 – 5,8 perlu ditingkatkan menjadi pH 6,4 – 8,4 (Roussel dan Cheftel 1990).

Jenis ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi harus mempunyai nilai kesegaran yang tinggi, sebab tidak mungkin akan diperoleh mutu yang baik dari ikan yang tidak segar (Tan et al. 1988). Dengan berbagai alternatif jenis yang digunakan tersebut maka dimungkinkan untuk mencampur berbagai spesies ikan yang berbeda untuk mendapatkan sifat-sifat yang baik (Suzuki 1981; Shimizu dan Toyohara 1994).

2.2 Industri Pengolahan Surimi

Sejak dimulainya industri surimi beku di Jepang tahun 1960, penelitian, teknologi pengolahan dan peralatan mulai dikembangkan (Noguchi 1984). Teknologi pengolahan surimi yang saat ini paling banyak digunakan oleh industri

(6)

adalah teknologi dengan metode rotary rinser/screw press. Secara umum alir proses pengolahan surimi terdiri dari persiapan bahan baku, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan kadar air (pengepresan), penapisan (straining), penambahan bahan tambahan dan pembekuan (Gambar 2). Skema proses pengolahan dan peralatan yang digunakan pada industri surimi beku dijelaskan pada Gambar 3.

2.2.1 Penanganan bahan baku

Selain jenis, kesegaran bahan baku merupakan hal penting dalam proses pengolahan surimi. Surimi dengan mutu tinggi tidak akan dihasilkan bila digunakan bahan baku yang kurang segar, meskipun diolah dengan teknologi tinggi (Uno dan Nakamura 1958). Selain itu, protein ikan (aktin dan miosin) masih tinggi sehingga kemampuan mengikat air pun tinggi.

Pada umumnya, ikan di kapal trawl memiliki kesegaran yang sangat tinggi (ditangani < 24 jam setelah ditangkap), yang dapat diolah menjadi surimi dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku yang digunakan di kapal pengumpul atau di industri surimi di darat karena telah mengalami penyimpanan beberapa hari setelah penangkapan. Untuk kapal pengolah dapat dengan mudah berpindah tempat dari satu fishing ground ke fishing ground

lainnya, maka kebutuhan bahan baku dapat diatur sesuai dengan kapasitas produksi sehingga ikan yang digunakan selalu dalam kondisi sangat segar, karena ikan langsung diolah tidak lebih dari 12 jam setelah ditangkap (Lee 1986).

Jika ikan tidak langsung diolah maka harus disimpan pada suhu di bawah 5oC. Untuk penanganan ikan di atas kapal, refrigerated sea water (RSW) merupakan metode penyimpanan ikan yang sangat baik untuk mempertahankan mutu bahan baku surimi karena metode ini mampu mendinginkan ikan secara cepat dengan distribusi suhu yang merata dan tidak merusak ikan. Namun metode ini disarankan tidak lebih dari 2 hari karena garam yang terkandung dalam larutan akan masuk ke dalam daging ikan dan menyebabkan denaturasi protein (Lee 1986), sehingga perlu adanya pengawasan terhadap suhu dan waktu penyimpanan.

(7)

PROSES TUJUAN METODE SEMI

MODERN

MODERN IKAN SEGAR

Pencucian Cuci dalam air es

Mendinginkan ikan Rotary fish washer

Rotary fish washer

Penyiangan Membuang kepala dan isi perut

Pisau Mesin

Cuci dalam air es Menghilangkan sisik dan darah Rotary fish washer Rotary fish washer

Pemisahan daging Memisahkan daging dari tulang, duri dan kulit

Meat-bone separator

Meat-bone separator

HANCURAN / LUMATAN DAGING (MINCED MEAT)

Leaching Air es (1 : 4) + 0,3% garam (2 kali)

Menghilangkan protein larut air, darah, lemak dan bau

Tanki leaching Tanki leaching

Pengepresan Membuang air Mengepres

Membuang air cucian Mengatur kadar air

Rotary sieve Rotary sieve

kelebihan air Sampai 80-82% Hidraulic press Screw press

LUMATAN DAGING YANG TELAH DICUCI (LEACHED MEAT)

Straining Menghilangkan sisa

kulit, duri dan sisik

Strainer

Pencampuran 3-5% gula halus 0,2% poliposfat

Mengurangi freeze-denaturation dan meningkatkan WHC

Mixer silent cutter

Pengepakan Dalam plastik PE

Pengemasan Manual Filling machine

Pembekuan - 30oC Suhu pusat –20oC dalam waktu 4-6 jam

Contact/air blast freezer SURIMI BEKU Kotak karton –(18oC –20oC) Mengurangi dehidrasi selama penyimpanan beku Cold storage

(8)
(9)

Untuk penyimpanan jangka pendek, penyimpanan cukup di dalam peti berinsulasi. Dengan menyusun ikan secara berlapis dengan hancuran es sampai penuh dengan perbandingan antara ikan dan es adalah 1 : 3. Dengan cara seperti ini suhu ikan dapat dipertahankan rendah (sekitar 0oC) dan kesegaran ikan dapat dipertahankan hingga beberapa hari.

Dalam mengolah surimi, diperlukan daging ikan yang bermutu tinggi, karena itu segala cara yang ditempuh harus selalu disertai upaya mempertahankan mutu daging ikan. Dalam hal ini penggunaan suhu rendah merupakan suatu yang mutlak diperlukan, baik selama penyiangan, pembilasan, pelumatan hingga pengemasan.

2.2.2 Sortasi

Penanganan awal untuk ikan hasil tangkapan di kapal adalah memisahkan tangkapan utama dari jenis ikan lainnya. Bila bahan baku digunakan untuk surimi, sebaiknya pemisahan ikan dilakukan juga berdasarkan ukuran, sehingga bila diolah secara mekanis kecepatan mesin dan rendemen fillet dapat ditingkatkan. Sortasi juga dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan mesin sortir.

Jika kulit ikan tidak dibuang, harus dilakukan pembuangan sisik untuk mencegah terjadinya akumulasi dan penyumbatan pada mesin pemisah daging (meatbone separator) pada proses selanjutnya. Pencucian dan pembuangan sisik dilakukan secara simultan, menggunakan alat dengan sistem rotary (berputar) (Toyoda et al. 1992).

2.2.3 Pemfilletan

Pada tahap pemfilletan, dilakukan juga proses pemotongan kepala, pembuangan insang dan tulang. Penyiangan dilakukan dengan hati-hati agar isi perut tidak mencemari daging.

Pemotongan kepala berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas (rendemen) surimi, jika pemotongan terlalu ke depan maka isi perut masih tersisa dan menyebabkan mudah terjadi kemunduran mutu, tetapi jika pemotongan terlalu ke belakang maka rendemen yang dihasilkan akan kecil. Isi perut ikan harus

(10)

dibuang seluruhnya, karena banyak mengandung lemak dan enzim protease serta menjadi sumber bakteri yang dapat dengan cepat menurunkan mutu ikan yang mengakibatkan turunnya kemampuan pembentukan gel surimi (Suzuki 1981). Selain itu,isi perut ikan akan berpengaruh terhadap penampakan produk karena mengakibatkan warna surimi dan produk olahannya menjadi gelap.

Pemfilletan dapat dilakukan secara manual atau mekanis. Apabila ikan yang diolah dalam jumlah besar, jenis dan ukuran sama, penggunaan mesin penyiangan (gutting machine) akan lebih efisien. Namun apabila jumlah ikan sedikit, ukuran ikan tidak seragam atau dikerjakan dalam skala kecil, penyiangan secara manual lebih sesuai.

Ukuran, musim dan kondisi biologis ikan (bertelur atau tidak) sangat menentukan rendemen yang dihasilkan, namun yang paling penting adalah cara atau proses pengolahannya (Toyoda et al. 1992).

2.2.4 Pemisahan daging ikan

Pemisahan daging adalah kegiatan memisahkan daging ikan dari tulang, sirip dan kulit. Pemisahan daging dilakukan dengan menggunakan meat-bone

separator (Gambar 4). Dengan alat ini, ikan akan terpisah dari kulitnya. Prinsipnya, ikan dipres di antara silinder logam yang berlubang dan berputar.

Ikan yang telah disiangi dan dicuci bersih, diletakkan di antara sabuk (conveyor belt) dan silinder berlubang yang berputar dengan kedua sisi yang bergerak berlawanan arah sehingga ikan akan terjepit diantara keduanya. Daging ikan akan masuk ke dalam silinder melalui lubang sedangkan bagian tulang dan kulit mengikuti arah perputaran conveyor belt dan jatuh ke tempat pembuangan. Daging yang masuk ke dalam silinder dan telah terpisah dari kulit, tulang dan duri disebut daging lumat (minced fish). Selama proses pemisahan suhu ikan harus dipertahankan tetap rendah, demikian juga alat yang digunakan.

Diameter lubang silinder berpengaruh terhadap proses leaching dewatering, rendemen dan mutu surimi. Besarnya diameter lubang berkisar antara 4 – 7 mm disesuaikan dengan ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Untuk meningkatkan kapasitas produksi dan rendemen, digunakan lubang silinder yang lebih besar namun tetap disesuaikan dengan kekuatan alat.

(11)

Bila digunakan ikan berkulit, penempatan ikan di alat sangat penting. Bagian daging diletakkan menghadap silinder sehingga kulit tidak menghalangi masuknya daging ke silinder.

Gambar 4 Meat-bone separator.

2.2.5 Pembilasan (leaching)

Daging ikan lumat yang keluar dari alat pemisah daging biasanya berwarna gelap karena mengandung sisa darah, lemak dan kotoran lainnya. Pembilasan dengan air dingin merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan surimi.

Pembilasan daging ikan lumat dilakukan untuk mengeluarkan garam organik, protein larut air (water soluble protein), pigmen, bakteri, produk yang tidak dapat dihancurkan/terurai, dan mereduksi kadar lemak. Pembilasan daging ikan lumat juga melarutkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel. Secara umum dilakukan dengan air dingin, diikuti dengan

(12)

pengepresan (Grantham 1981). Larutnya protein sarkoplasma akan meningkatkan konsentrasi protein miofibril, yang berperan sangat penting dalam pembentukan gel. (Noguchi 1982).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas leaching dan mutu surimi, adalah :

1) Frekuensi dan waktu leaching

Frekuensi dan waktu leaching dipengaruhi oleh jenis, komposisi dan kesegaran ikan. Pada umumnya, komponen-komponen yang mudah larut dapat dengan mudah terbuang pada pembilasan pertama, tetapi diperlukan waktu tertentu untuk melarutkan water soluble component dari daging ikan. Ekstraksi

water soluble component daging ikan terjadi pada saat pembilasan yang disertai dengan pengadukan dan dipengaruhi oleh waktu serta perbandingan antara air dan

minced fish. Waktu optimal pencucian antara 9 – 12 menit, jumlah protein yang terlarut meningkat nyata seiring dengan bertambahnya waktu pembilasan, namun berhenti setelah waktu tersebut (Lee 1986). Jika waktu pembilasan terlalu panjang, minced akan menyerap banyak air sehingga akan mempersulit proses pengepresan. Meskipun waktu leaching bervariasi tergantung dengan kesegaran bahan baku, suhu air dan ukuran partikel daging ikan, tetapi 15 – 20 menit merupakan waktu yang disarankan untuk industri surimi (Toyoda et al. 1992).

Pada umumnya, gelstrength akan meningkat dengan peningkatan frekwensi pembilasan, terutama pada pencucian ke dua, namun dengan 2 kali pembilasan belum mampu menghilangkan bau dan memudarkan warna daging ikan dengan sempurna (Lee 1986).

2) Kualitas air

Air adalah faktor yang paling penting pada proses leaching. Faktor penting dalam efektivitas proses leaching adalah konsentrasi larutan garam, pH dan suhu.

3) Kekuatan ion/konsentrasi garam anorganik

Kekuatan ion pada larutan leaching menyebabkan daging ikan cenderung mengembang. Kekuatan ion larutan leaching yang lebih besar memudahkan pengeluaran air dari daging ikan. Oleh karena itu, sangat sulit mengeluarkan air

(13)

dari daging yang telah mengembang, akibatnya kandungan air pada surimi menjadi tinggi. Faktor penting yang terkait dengan kualitas air pada industri surimi adalah level garam anorganik. Level garam anorganik yang tinggi, khususnya Ca2+ dan Mg2+ akan mengganggu kemampuan pembentukan gel surimi, yang menyebabkan terjadinya denaturasi actomiosin selama penyimpanan.

4) pH

pH larutan leaching berdampak terhadap water retention selama proses leaching (Tokunaga dan Nishioka 1988; Lee 1986) dan water binding properties serta kemampuan pembentukan gel (Shimizu et al. 1994). pH produk akhir sangat tergantung dari pH bahan baku. Pembentukan gel optimal pada daging ikan berkisar antara 6,5 – 7,0 sedangkan pada kondisi asam, protein miofibril cenderung tidak stabil (Shimizu dan Toyohara 1994). Pada ikan berdaging merah, segera setelah ikan mati pH daging akan turun hingga 5,7 – 6,0 sehingga diperlukan perlakuan alkali (natrium bicarbonat) pada saat leaching untuk mengatur pH daging ikan.

5) Suhu

Suhu pencucian harus tetap dijaga antara 3 – 10oC untuk mencegah terjadinya denaturasi protein dan perkembangbiakan mikroorganisme. Selain itu, fungsi protein akan menurun dengan cepat bila terjadi peningkatan suhu dan protein miofibril akan kehilangan kemampuan pembentukan gel.

Pada awal dikembangkannya surimi, proses leaching dilakukan dengan sistem batch dengan penambahan sejumlah air, kemudian minced fish diaduk dan dibiarkan beberapa saat. Selanjutnya, endapan yang dihasilkan disaring. Proses

leaching dengan teknologi modern menggunakan sistem berkelanjutan, yang terdiri dari leaching tank dan rotary screen (Gambar 5). Leaching tank dilengkapi dengan pengaduk yang secara terus menerus dan secara otomatis berputar selama proses leaching. Minced fish yang telah dicuci selanjutnya disaring menggunakan

rotary screen sebelum menuju proses leaching selanjutnya. Proses leaching

(14)

Gambar 5 Rotary screen/sieve.

Keuntungan perlakuan leaching adalah (1) melarutkan protein larut air yang menganggu pembentukan gel sehingga kemampuan pembentukan gel menjadi meningkat (2) memperbaiki warna dan penampakan (3) menghilangkan bau yang tidak diinginkan (4) produk akhir mempunyai rasa tawar sehingga memungkinkan untuk memberikan rasa sesuai yang diinginkan (Tan et al. 1988).

2.2.6 Pengepresan

Proses pengurangan kadar air terakhir merupakan kegiatan pengepresan yang menggunakan alat screw press (Gambar 6). Pengepresan bertujuan untuk mengurangi kadar air setelah pembilasan karena pada pengolahan surimi diperlukan air yang cukup banyak selama proses pembilasan untuk melarutkan kotoran, pigmen dan protein larut air. Setelah proses refining, kadar air produk rata-rata sebesar 90% dan akan berkurang hingga 80 – 84% setelah pengepresan. Screw press yang terdiri dari screw yang berputar dan screen yang berbentuk silinder.

(15)

Kemampuan pengepresan screw press ditentukan dari ukuran lubang pada screen. Semakin besar lubang maka semakin besar kemampuan pengepresan tetapi kemungkinan daging keluar bersamaan dengan air juga besar. Ukuran lubang yang biasa digunakan adalah 0,5 – 1,0 mm pada bagian inlet dan 1,0 – 2,0 mm pada outlet.

Gambar 6 Screw press.

2.2.7 Penyaringan

Tahap penyaringan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang masih tertinggal. Proses ini biasanya dilakukan setelah pencucian dengan menggunakan alat strainer, dimana lumatan daging ikan ditekan melalui alat yang mempunyai filter dengan ukuran mesh 1– 3 mm. Lumatan daging yang telah dicuci dimasukkan ke dalam mesin, daging akan keluar melalui lubang dengan tekanan dari rotor. Daging yang putih dan lembut akan keluar dari bagian depan refiner, sedangkan bagian-bagian ikan seperti jaringan ikat, kulit, duri dan sisik yang tidak dapat keluar dari lubang tetapi melalui bagian ujung strainer (Gambar 7).

(16)

Gambar 7 Strainer (Toyoda et al., 1992).

2.2.8 Pencampuran bahan tambahan

Pencampuran adalah proses penambahan dan mencampur bahan-bahan krioprotektan, yaitu polifosfat, sorbitol dan gula untuk menstabilkan protein dan mencegah denaturasi selama penyimpanan beku. Penambahan gula berkisar 3 – 5%, sorbitol sebesar 4 – 5 % dan polifosfat sebesar 0,2 – 0,3 %. Penambahan cryoprotectant mampu meningkatkan tingkat N-aktomiosis dari 350 mg% menjadi 520 mg% (Lanier 1992). Dengan penambahan cryoprotectant, surimi belum mengalami kehilangan mutu yang berarti selama penyimpanan 3 – 6 bulan.

Polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain

dinatrium phosfat (disodium monophosphate), natrium hexametaphosphat dan

natrium tripolifosfat (sodium tripoliphosphate). Fungsi polifosfat pada surimi adalah untuk memperbaiki daya ikat air (water binding ability) dan memberikan pasta yang lembut pada produk olahan surimi.

Pencampuran dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter hingga didapatkan adonan yang benar-benar homogen (Gambar 8).

2.2.9 Pengepakan dan pembekuan

Setelah dicampur dengan bahan tambahan, surimi dikemas dalam plastik hingga berbentuk blok kemudian dibekukan dengan sistem pembekuan cepat

(17)

hingga suhu produk mencapai – 30oC. Untuk kebutuhan industri, biasanya blok surimi berukuran 10 kg/blok.

Gambar 8 Silent cutter.

Setelah beku, surimi dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam gudang beku. Surimi dapat bertahan hingga satu tahun bila disimpan pada suhu yang cukup baik (maksimal – 20oC), tanpa banyak mengalami perubahan sifat fungsional. Fluktuasi suhu yang terjadi selama penyimpanan dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel pada surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992).

Pembekuan dapat mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi produk dari kerusakan selama penyimpanan dalam jangka waktu lama (Sikorsi dan Pan 1994). Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan terhadap nilai protein produk (Desrosier 1988).

2.2.10 Rendemen surimi

Rendemen surimi sangat bervariasi tergantung dari jenis ikan, ukuran, musim dan jenis teknologi yang digunakan, namun untuk memperoleh rendemen yang tinggi diperlukan pengawasan pada tahap pemfilletan dan pemisahan daging dari tulang dan duri. Proses pemfilletan hanya direkomendasikan untuk ikan-ikan yang berukuran besar, sedangkan untuk yang berukuran kecil hanya diperlukan pemotongan kepala dan pembuangan insang.

(18)

2.3 Sumber Bahan Baku

Menurut Okada (1992), bahan baku mince dan surimi dapat digunakan dari berbagai jenis ikan, namun secara umum surimi di peroleh dari jenis ikan demersal. Menurut Eong et al. (2003), saat ini penggunaan ikan pelagis sebagai bahan baku surimi sudah mulai dikembangkan mengingat potensi ikan tersebut yang melimpah dan rendah pemanfaatannya.

Tan et al. (1988) mengemukakan bahwa surimi dapat dibuat dari spesies ikan tropis yang merupakan hasil sampingan trawl yaitu ikan kurisi (Nemipterus

sp), ikan mata besar (Priacanthus sp), ikan alu-alu (Sphypaena sp), ikan gulamah (Argyrosomus amoyensis), ikan pisang-pisang (Caesio sp), ikan dorab (Chirocentrus dorab), ikan beloso (Saurida sp), ikan kaca piring (Pentaprion longimanus), ikan merah (Lutjanus sp). Surimi itoyori yang diproduksi di Thailand terutama terbuat dari jenis ikan kurisi, cod, beloso, alu-alu, conger eel, wolf herring, gulamah,

jewfish, dan hiu. Beberapa jenis ikan di Indonesia yang menunjukkan kemampuan gel yang baik adalah ikan cunang-cunang (Congresox talabon), ikan manyung (Arius thalassinus), ikan pisang-pisang (Caesio chrysozonus), ikan ekor kuning (Caesio sp), ikan kurisi (Nemipterus sp), ikan gulamah (Pseudociena amoyensis), ikan nila merah (Oreochromis sp), dan ikan gabus (Ophiocephalus sp) (Istihastuti

et al. 1997). Demikian juga dengan ikan mujair dan ikan cucut sudah dicoba sebagai bahan baku pengolahan surimi.

Perairan Arafura dan sebagian Maluku merupakan salah satu daerah penangkapan udang dan ikan yang potensial dengan basis operasional kapal penangkapan terdapat di Sorong, Ambon, Tual dan Benjina. Beberapa tahun terakhir ini, basis penangkapan ikan berkembang ke daerah Merauke, Kendari dan Bitung. Armada kapal yang beroperasional di wilayah laut Arafura sebanyak + 503 buah pukat udang dengan operasional penangkapan 50 – 70 hari untuk sekali

trip. Untuk pukat ikan (fish net) beroperasional di ZEEI laut Arafura sebanyak 766 buah dengan operasional penangkapan 15 hari dan 30 – 60 hari untuk sekali

trip (Sumiono 2000).

Komposisi rata-rata tangkapan ikan dari pukat ikan terdiri dari ikan demersal sebanyak 38,45 persen, ikan rucah (trash fishes) 31,53 persen, ikan

(19)

pelagis 8,63 persen, udang 8,11 persen, cumi-cumi 2,06 persen, rajungan 4,59 persen dan lainnya 6,63 persen (Sumiono 2000). Di ZEE selatan Papua didominasi oleh famili kakap 20,53 persen, gulamah 15,86 persen dan beloso 10,26 persen (Budiharjo et al. 1993). Untuk penangkapan udang di laut Arafura didominasi udang jerbung (white shrimp) 45,4 persen, udang dogol (endeavour shrimp) 27,9 persen, udang windu (tiger shrimp) 22,8 persen dan udang krosok (mix shrimp) 17,1 persen (Sugianto 1998). Berdasarkan data produksi perikanan tahun 2000, ikan-ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua sebesar 525.728 ton yang didominasi oleh ikan pelagis yang dikarenakan penangkapan ikan disekitar pantai didominasi oleh alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, jaring, bagan apung, pancing tonda dan sero. Namun bila dilihat dari penangkapan di Laut Arafura dan ZEEI Laut Arafura ikan-ikan yang tertangkap didominasi ikan demersal (Tabel 2 dan Tabel 3).

Usaha penangkapan udang selalu memberikan hasil tangkap sampingan (HTS) yang volumenya jauh lebih besar dari hasil udangnya. Persentase HTS bervariasi menurut daerah penangkapan dan waktu. Menurus Allops (1981) di daerah tropis rata-rata rasio HTS terhadap udang berkisar 10:1. Sumiono (2002) menyatakan rasio udang dan ikan HTS pada penangkapan di laut Arafura adalah 1 : 12 dengan sebagian besar berupa ikan demersal.

Naamin dan Sumiono (1983) menyebutkan banyaknya HTS di Laut Arafura diperkirakan mencapai 80 persen dari hasil tangkapan atau rata-rata 19 kali lebih besar dari hasil tangkapan udang. Menurut Widodo (1998) menyatakan ikan HTS bervariasi antara 8 – 13 kali hasil tangkapan udang dengan estimasi produksi udang laut sebesar 40.000 – 170.000 ton per tahun. Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura dapat dilihat pada Tabel 4.

(20)

Tabel 2 Kelompok ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua

Jenis ikan Jumlah (ton) Persentase (%) Pelagis  Nomei Paperek Ekor kuning Layang Selar Tatengek Daun bambu/talang-talang Sunglir Ikan terbang Julung-julung Teri Tembang Japuh Lemuru Kembung Tuna Cakalang Tongkol Tenggiri 643 1.121 5.056 14.641 17.183 1.301 2.215 2.003 3.955 9.464 12.385 11.220 3.450 3.942 17.055 41.825 84.133 17.643 11.587 0,12 0,21 0,96 2,78 3,27 0,25 0,42 0,38 0,75 1,8 2,36 2,13 0,66 0,75 3,24 7,96 16,00 3,36 2,20 Jumlah 263.638 50,15 Demersal  Ikan sebelah Ikan lidah Manyung Beloso Biji Nangka/Kuniran Bambangan Karapu Lencam Kakap Kurisi Swangi Gulamah/Tiga Waja Cucut Pari Bawal Alu-alu Kuwe Kuro/Senangin Layur 186 209 10.466 5.694 2.362 8.195 6.625 5.555 21.363 5.714 1.334 7.636 8.707 1.764 6.924 2.066 6.250 9.868 3.772 0,03 0,04 1,99 1,08 0,45 1,56 1,26 1,06 4,06 1,09 0,25 1,45 1,66 0,33 1,32 0,39 1,19 1,88 0,72 Jumlah 119.464 22,72 Ikan lain 142.626 27,13 Jumlah total 525.728 100

(21)

Tabel 3 Jenis dan jumlah ikan dari hasil tangkapan pukat ikan/hauling

Jenis ikan Jumlah (kg) Persentase (%)

1.Kakap (Lutjanus sp) 2.Sebelah (Psettodes sp) 3.Biji Nangka (Openeus sp) 4.Selar Kuning (Selaroides sp) 5.Terubuk (Hilsa sp)

6.Alu-alu (Sphyraena sp) 7.Bawal (Formio dan Pampus) 8.Mata besar (Scolopsis sp) 9.Kakap (Lates calcarifer) 10. Kembung (Rastrelliger sp) 11. Bambangan (Lutjanus sp) 12. Ikan buntal (Lagocephalus sp) 13. Beloso (Saurida sp)

14. Lemuru (Sardinella sp) 15. Nomei (Harpodon sp) 16. Peperek (Leiognathus sp) 17. Kurisi (Nemiptherus sp)

18. Pisang-pisang (Caesio chrysozonus) 19. Ketang-ketang (Drepane sp) 20. Bulu Ayam (Thryssa sp) 21. Cendro (Triacanthus sp) 22. Layur (Trichiurus sp) 23. Swangi (Priacanthustayenus) 24. Japuh (Dusumieria sp) 25. Trompet (Fistularia sp) 26. Tenggiri (Scomberomorus sp) 27. Ekor kuning (Anthias sp) 28. Lencam (Lethrinus sp) 29. Pinjalo (Pristipomoides sp)

30. Gulamah (Argyrosomus amoyensissp) 31. Tiga waja (Johnius dussumieri)

32. Baronang (Siganus sp) 33. Kerong-kerong (Therapon sp) 34. Gerot-gerot (Pomadasys sp) 17,5 28 9,8 18,2 14 87,5 24,5 14 22,4 25,2 21 15,4 315 11,9 14 980 21 14 19,6 14,7 5,6 27,3 5,6 14 7 28 18,2 21 17,5 14 35 16,1 17,5 26,6 0,89 1,43 0,50 0,93 0,72 4,47 1,25 0,72 1,14 1,28 1,07 0,79 16,09 0,61 0,72 50,05 1,07 0,72 1,00 0,75 0,29 1,39 0,28 0,72 0,35 1,43 0,93 1,073 0,88 0,72 1,79 0,82 0,89 1,36 Jumlah 1957,9 100 Sumber : Sumiono (2002)

(22)

Tabel 4 Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura

Tahun Rasio HTS : Udang Wilayah Sumber

1991 1992 1993 1996 1997 1998 2000 8:1 – 13:1 9:1 12:1 7:1 – 8:1 24:1 29:1 13:1 11:1 8:1 13:1 12:1 Laut arafura Sele, Bintuni Dolak Bintuni Kaimana Aru Aru Sele Kaimana Laut Arafura Aru Kaimana Aru Aru Widodo (1991) Iskandar et al. (1993) Badrudin dan Karyana (1993)

Widodo (1997)

Suharyanto (1997)

Sumiono et al. (2000)

Latelay dan Malawat (1995), ikan HTS yang dibuang kembali ke laut dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun, sedangkan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen, dengan pemanfaatannya dalam bentuk produk beku (untuk ikan ekonomis) dan tepung ikan (fish meal) untuk ikan non ekonomis (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil penangkapan udang dan HTS (kg) di Laut Arafura oleh kapal trawl

yang berbasis di Sorong

Tahun Produksi Produksi HTS Produksi

Lain-lain Udang Di Manfaatkan Di Buang Jumlah

1997 950.436 34.039 31.008 65.047 32.505

1998 634.815 15.900 16.092 31.092 13.202

2.4 Hasil Tangkap Sampingan (“By-catch”)

Dalam bahasa Indonesia, by-catch diartikan sebagai hasil tangkap sampingan (HTS). Dalam FAO Technical Paper 470 (2005) dan Eayrs (2005), selain by-catch digunakan juga istilah target catch, incidental catch, discards dan

trash fish. Eayrs (2005) mendefinisikan sebagai berikut :

1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya

(23)

organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut. Hasil tangkap sampingan yang terangkat ke atas kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded) .

2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkap sampingan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau mati. Buangan ini tidak termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum disimpan di dalam ruang pendingin.

3) Trash fish, adalah jenis ikan yang berukuran kecil dan binatang lainnya yang dibuang kembali ke laut karena tidak memiliki nilai ekonomis.

FAO Fisheries technical Paper 470 (2005), mendefinisikan :

1) Target catch, adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau atau berbagai spesies yang merupakan sasaran utama kegiatan penangkapan. 2) Incidental catch, adalah hasil tangkap sampingan yang dimanfaatkan 3) Trash fish, adalah hasil tangkap sampingan yang tidak dimanfaatkan dan

dibuang kembali ke laut. Trash fish merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis yang sangat rendah.

5) By-catch, adalah semua hasil tangkapan yang bukan menjadi target operasi (discarded catch ditambah incidental catch).

2.5 Alat Tangkap Pukat Udang

Trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri dari atas dua lembar sayap (wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong ( cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan, hal ini dilakukan agar ikan maupun udang yang menjadi tujuan operasi masuk dan terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa 1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertical maupun secara horisontal digunakan otter board dan pelampung di bagian atas mulut jaring.

(24)

Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan Barus (1988) diidefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device

(BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan yang masuk ke dalam kantong. Pada prinsipnya, pukat udang terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali panarik (warp), bridle line dan BED (Gambar 9). Penjelasan masing-masing alat adalah sebagai berikut :

(1) Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masing-masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada kantong, sedangkan yang terbesar pada bagian sayap. Badan jaring adalah bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baitting dan

belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baitting

adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bagian bawah dan

baitting di bagian atas.

1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri. Masing –masing bagian tersebut terdari dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian kedua bagian tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah. Pada tali ris atas dipasang pelampung (float) agar sayap bagian atas terangkat pada saat jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan

otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan

square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan

belly.

2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan. Kantong ini memiliki ukuran mata jaring kecil yang bertujuan agar ikan yang telah tertangkap tidak lepas dan agar lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak.

(25)

(2) Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope). Tali ris atas adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayan tersebut. Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Pada tali ris bagian bawah ditempatkan pemberat (sinker).

(3) Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat adalah untuk membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal. Pelampung menarik atau mengangkat tali ris atas, sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus.

(4) Otter board, fungsi dari otter board adalah untuk membuka mulut jaring secara horizontal. Bentuk otter board bermacam-macam dan yang banyak digunakan adalah tipe rectanguler.

(5) Tali penarik (wrap), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali penarik ini biasanya terbuat dari serta-serta baja yang berbentuk cabled yarn. Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan tegangan yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus.

(6) Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring. Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu, juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang.

(7) Alat pereduksi ikan (API), API merupakan alat yang wajib dipasang pada pukat udang yang biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehingga disebut turtle excluder devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA-USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukan, alat ini telah mengalami perubahan konstruksi secara terus menerus. Sekarang ini, TED yang direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai performansi lebih baik di dalam mereduksi hasil tangkap sampingan dibanding yang diperkenalkan sebelumnya. Hasil penelitian penggunaan TED

(26)

di Laut Arafura yang dilakukan oleh Monintja dan Sudjastani (1985) membuktikan bahwa penggunaan pukat udang dapat meloloskan 42,5% hasil tangkapan samping yang biasanya tertangkap dengan trawl dan pukat udang memiliki kemampuan yang sama dengan trawl biasa dalam penangkapan udang. Gambar 10 (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini banyak dipasang pada pukat udang.

Sumber : NOAA Library Centre (2004)

Gambar 9 (a) Turtle Excluder Device. (b) By-catch Excluder Ddevice.

(b)

(a) (c)

Sumber : Eayrs (2005)

Gambar 10 (a) Pukat udang sedang hauling. (b) Hasil tangkap sampingan. (c) Proses pemisahan

(27)

2.6 Pengelolaan By-catch

Hasil tangkap sampingan telah menjadi permasalahan dan isu perikanan penting dunia sejak tahun 1990-an, hal ini karena peningkatan jumlah hasil tangkap sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan dunia. Secara umum diketahui hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan hasil tangkap sampingan. Industri penangkapan dengan alat tangkap pukat udang memberikan kontribusi hasil tangkap sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya.

Menurut Allops (1981), hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan. Untuk dapat mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkap sampingan secara ekonomis, maka pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerjasama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkap sampingan menjadi produk yang laku di pasar dengan harga kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kepedulian dan intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkap sampingan melalui peraturan atau kemudahan-kemudahan yang diperlukan.

Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 7, merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan,

2) ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdya,

3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan turunnya keanekaragaman hayati, serta

(28)

4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai biologinya.

CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan pelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik dideseminasikan kepada masyarakat.

2.7 Pemasaran Surimi

Perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, yakni surimi digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular di negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya. Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish jelly products) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi komoditas internasional (Gapindo 2000).

Total produksi surimi dunia diperkirakan antara 850.000 – 1,2 juta ton per tahun. Negara produsen surimi terbesar di dunia adalah Jepang, tetapi Amerika Serikat dan Thailand juga mempunyai sejarah sebagai produsen surimi. Pada tahun 2005, produksi surimi Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang, yakni mencapai 140.000 ton, sedangkan produksi surimi Jepang sebesar 100.000 ton (FAO 2007).

Amerika Serikat adalah negara pengekspor surimi yang terbesar di dunia, yang menguasai hampir 35% pasar surimi dunia (FAO 2007). Produsen surimi terbesar di Asia Tenggara adalah Thailand, dengan jumlah produksi sebesar 65.000 ton per tahun, yang hasilnya 90 persen diekspor ke Jepang, Eropa, Amerika dan 10 persen dikirim ke Malaysia dan Singapura (Gapindo 1999). Pada beberata tahun terakhir ini muncul negara-negara lain yang menjadi produsen surimi seperti China, Vietnam, India, Malaysia dan Indonesia.

(29)

Uni Eropa (UE) merupakan pasar dunia surimi dan produk olahan berbahan dasar surimi terbesar kedua setelah Jepang. Perancis dan Spanyol merupakan konsumen utama surimi terbesar di Eropa, dengan konsumsi masing-masing 20.000 dan 18.000 ton per tahun (FAO 2007). Maraknya permintaan, telah memaksa Uni Eropa untuk mengimpor surimi dari negara Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan dan lainnya. Volume impor dunia surimi pada tahun 2005 mencapai 809.314 ton, dengan negara importir terbesar adalah Jepang kemudian diikuti Uni Eropa, Rusia, China dan USA, seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Volume impor surimi beberapa negara tahun 2001-2005 (Ton)

NEGARA 2001 2002 2003 2004 2005 Uni Eropa 149 204 160 343 145 942 148 808 151 831 Jepang 269 586 311 454 315 994 269 983 314 674 Korea Selatan 74 414 99 44 93 20 99 47 104 4 Rusia 5 909 10 559 20 323 32 049 40 020 China 16 202 16 892 16 027 25 760 29 810 USA 11 974 13 269 15 599 13 984 12 582 Kanada 14 477 17 100 16 976 16 147 15 108 Lain-lain 77 998 91 021 130 506 121 590 103 897 Total 619 764 630 582 670 687 638 266 668 966 Sumber : Giraud dan Chateau (2007)

Dalam perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, dimana surimi digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular di negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya. Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish jelly product) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi komoditas internasional.

Di Indonesia baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu) buah. Produksi rata-rata perhari 3 – 5 ton atau 3.600 – 4.000 ton per tahun, dimana produksinya 90 persen untuk ekspor dan 10 persen domestik. Industri pengolahan produk-produk fish jelly seperti di Jakarta, pada umumnya merupakan industri

(30)

beberapa industri skala rumah tangga dengan produksi sebesar 1 – 2 ton per bulan yang seluruh produksinya dipasarkan untuk domestik (Budiyanto dan Djazuli 2003). Surimi belum banyak dikembangkan di Indonesia meskipun sumber bahan baku yang dimiliki sangat melimpah, namun produk olahan lanjutan surimi (surimi based-products) sangat memasyarakat, antara lain mpek-mpek, bakso, otak-otak dan produk lainnya. Sementara itu, unit pengolahan ikan yang memproduksi surimi masih terbatas, antara lain di Jawa Timur, Pulau Moro – Riau, Jakarta, Pekalongan – Jawa Tengah dan Jambi.

2.8 Teori Sistem

Sistem didefinisikan ke dalam dua bagian kelompok pendekatan yaitu pendekatan yang menekankan pada prosedurnya dan menekankan pada komponen atau elemen. Melalui pendekatan pada prosedur, maka sistem merupakan jaringan kerja dari prosedur yang terkait untuk melakukan kegiatan dalam mencapai sasaran dan yang telah ditentukan. Pendekatan secara komponen mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Menurut Wetherbe (1988) sistem didefinisikan sebagai sekumpulan entinitas atau komponen yang saling berhubungan dengan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan. Menurut Eriyatno (1999), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu.

Falsafah kesisteman diperlukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang semakin kompleks sehingga diperoleh solusi yang komprehensif. Tahun 1968, Bertalanffy mempekenalkan pemikirannya tentang

General System Theory (GST) yang mendefinisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. Sudut pandang inilah berkembang metode sintesis dan teknik sistem yang bersifat holistik (Pressman 1992). Dalam pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suau kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem

(31)

(system approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 1999).

Dalam logika sistem (sistemologi) terdapat rangkaian proses transformasi yang mengolah masukan menjadi luaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Subsistem adalah suatu elemen atau komponen fungsional suatu sistem yang berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tinggi, sedangkan elemen adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah. Masing-masing subsistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar subsistem (disebut juga interface) terjadi karena luaran dari subsistem dapat menjadi salah satu masukan bagi subsistem yang lain. Apabila interface antar subsistem terganggu akan menyebabkan proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu pula, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bias dari tujuan yang ingin dicapai (Wetherbe 1988).

Dengan mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem, maka pengkajian suatu permasalahan sebaiknya memenuhi karakteristik: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam merekayasa solusi permasalahan, yaitu (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.

2.9 Sistem Penunjang Keputusan

Akhir abad ke-20, telah dikembangkan usaha manajerial untuk memisahkan informasi dari keinginan dan harapan institusional dan personal. Usaha ini didukung oleh falsafah bahwa dasar pengambilan keputusan adalah

(32)

transformasi informasi menjadi usulan alternatif. Apabila informasi dikembangkan secara teratur dan sistematik maka akan meningkatkan efektivitas proses pengambilan keputusan. Prosse pengambilan keputusan semakin efektif, digunakan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer untuk pengolahan data elektronik. Pendekatan proses tersebut telah melahirkan sistem berbasis komputer, antara lain: Electronic Data Processing (EDP) dan

Management Information System (MIS). Perkembangan tersebut kemudian mendorong lahirnya Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support System (DSS) dan Expert System (ES).

EDP adalah sistem yang digunakan untuk tingkat operasional yang memfokuskan pada penanganan data. MIS adalah sistem yang dapat menghasilkan informasi untuk digunakan oleh manajemen tingkat menengah untuk melaksanakan fungsi pengendalian. DSS merupakan sistem yang menghasilkan alternatif keputusan bagi manajemen tingkat atas untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan ES adalah sistem yang memberikan satu keputusan untuk masalah yang sangat spesifik bagi manajemen tingkat atas (Leigh dan Doherty 1986).

Menurut Turban (1993), DSS merupakan suatu sistem informasi berbasis komputer (Computer Based infromation System) yang interaktif, fleksibel, dan mudah diadaptasikan dengan menggunakan basis data dan basisi model, serta persepsi pengguna dan pengambilan keputusan. Minch dan Burns yang dikutip oleh Eriyatno (1999) menyatakan bahwa terminologi DSS adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagi pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik DSS adalah:

1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambilan keputusan. 2) Adanya dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda. 3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu

komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen dan kecerdasan buatan. 4) Mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan

(33)

DSS dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci dari elemen-elemen sistem, sehingga dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. DSS dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada peningkatan efektivitas (akurasi, kualitas dan kecepatan) pengambilan keputusan dari pada efisiensinya (Eriyatno 1999). Landasan utama dalam pengembangan DSS untuk model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model dan (3) data (Gambar 11).

Masing-masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem Manajemen Dialog merupakan program yang mengelola tampilan layar yang menerima masukan dari pengguna dan mengirim iuran ke pengguna atau semacam user interface. Sistem Manajemen Basis Data berfungsi sebagai penyimpanan dan pengolahan informasi dan data. Sistem Manajemen Basis Model merupakan paket program yang berisi perhitungan finansial statistik, model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang memiliki kemampuan analitik (Turban 1993; Eriyatno 1999).

Gambar 11 Struktur dasar sistem penunjang keputusan.

Sistem Pengolahan Problematik adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga subsistem lain dalam bentuk baku. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya jaminan keterkaitan antar subsistem (Eriyatno

Data Model

Sistem Manajemen basis Data Sistem Manajemen Basis Model

Sistem Pengolahan Problematik Sistem Pengolahan Dialog

(34)

1999). Menurut Keen and Morton (1978), kelayakan penerapan DSS dalam suatu manajemen harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu adanya basis data, adanya keterbatasan waktu, adanya manipulasi dan komputasi, serta pentingnya pengembangan alternatif dan memilih solusi berdasarkan akal sehat.

ES memiliki komponen inferencia yang berbeda dengan DSS, karena adanya perbedaan luaran yang dihasilkan. DSS mengahsilkan keputusan yang masih perlu mendapatkan pertimbangan keahlian dari pengguna, sedangkan ES bertujuan membuat keputusan tanpa adanya pertimbangan keahlian dari pengguna (Wetherbe 1988). Kemampuan lebih dari ES disebabkan adanya komponen

knowledge base yang dimasukan ke dalam sistem berupa fakta dan aturan-aturan yang diperoleh dari ahli, dan program inference engine yang berfungsi untuk memformulasikan kesimpulan.

2.10 Proses Hirarki Analitik

Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini digunakan dalam memodelkan masalah dan pendapat, dimana permasalahannya telah benar-benar dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty 1980). AHP yang disampaikan oleh Saaty (1980) sebagai pengkajian terhadap kondisi nyata tanpa melalui proses penyederhanaan, tetapi mempertahankan model yang kompleks seperti semula. Untuk itu masalah nyata yang kompleks dan tidak terstruktur perlu dilakukan penyusunan beberapa bagian komponen atau perubahan pada struktur bangunan secara hirarki.

Hirarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hirarki antar komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), kemudian ke suatu sub tujuan (sub objective), kemudian faktor-faktor pendorong (forces) yang mempengaruhi sub tujuan tersebut, serta pelaku (actors) yang memberikan dorongan, selanjutnya ke

(35)

tujuan-tujuan pelaku aktor, kebijakan, strategi. Hasil dari strategi tersebut selanjutnya timbul pertanyaan yang berkaitan dengan hirarki ini, bagaimana dan berapa besar suatu faktor individu dari tingkat yang lebih rendah pada hirarki itu mempengaruhi faktor puncak, yaitu tujuan utama, karena pengaruh ini tidak akan seragam bagi semua faktor dan untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap intensitasnya, atau sering disebut dengan menyusun prioritas (Fewidarto 1996).

Teknik analisis AHP digunakan untuk menemukan pemecahan masalah yang bersifat strategis dengan prinsip kerja yaitu decomposition, comparative judgment, síntesis of priority dan logical consistency.

(1) Decomposition (Dekomposisi), merupakan pemecahan permasalahan yang utuh menjadi beberapa bagian komponennya. Untuk mendapatkan hasil kajian yang teliti diperlukan proses penyusunan komponen pada beberapa tingkatan/hirarki. Tahapan ini mendefinisikan persoalan dengan membagi persoalan tersebut menjadi beberapa unsur. Pembagian dilakukan sampai ke tingkat yang tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi, sehingga akan didapat beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara terstruktur. Proses tersebut dinamakan hirarki karena memiliki lima tingkatan yaitu fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif.

(2) Comparative Judgment (Perbandingan Komparasi), merupakan penilaian terhadap masalah berdasarkan kepentingan relatif 2 (dua) komponen pada tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian tersebut, merupakan faktor penting dari PHA karena akan berpengaruh terhadap prioritas komponen. Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matrix pairwise comparasion. Elemen-elemen pada suatu tingkatan tertentu dinilai kepentingan relatif terhadap elemen lainnya, yang mengacu pada elemen yang dibandingkan dengan jalan meminta pendapat dari pakar. Penilaian dilakukan dengan komparasi berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lain pada setiap tingkatan hirarki secara berpasangan, akhirnya dapat dinilai antar dua elemen secara kuantitaif, yang disajikan dalam matriks komparasi berpasangan.

(36)

(3) Síntesis of Priority, merupakan penentuan peringkat beberapa komponen berdasarkan penilaian kepentingan relatif. Penentuan peringkat dilakukan berdasarkan nilai eigen vector pada setiap matrix pairwise comparasion untuk mendapatkan local priority. Untuk mendapatkan global priority harus dilakukan síntesis terhadap local priority. Proses pengurutan berdasarkan kepentingan relatif melalui prosedur síntesis dinamakan priority setting.

(4) Logical Consistency, merupakan proses untuk menjamin semua komponen dikelompokkan secara logis dan dilakukan prioritas secara konsisten sesuai kriteria yang logis. Konsistensi memiliki dua makna, pertama bermakna bahwa obyek serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek yang didasarkan kriteria tertentu. Apabila penilaian tidak konsisten, maka proses diulang untuk memperoleh penilaian yang tepat.

AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik sebagaimana yang terjadi dalam kondisi nyata dalam usaha mencapai konsensus. Semua problema sistem ini tidak dapat dipecahkan melalui komponen yang terukur seperti keadaan ya dan tidak (1 dan 0). Karena ada kondisi perbedaan kepentingan. AHP mencoba memecahkan masalah dengan cara membandingkan masukan secara berpasangan berdasarkan skala yang dapat membedakan setiap pendapat serta mempunyai keteraturan dalam nilai skala komparasi Saaty : 1 sampai dengan 9 yang ditunjukkan pada Tabel 7.

Saaty (1993) telah membuktikan bahwa nilai skala komparasi 1 sampai dengan 9 merupakan pengambilan keputusan individual yang baik dalam pendekatan suistem dengan pertimbangan ketelitian yang ditunjukkan pada nilai

RMS (Root Means Square) dan MAD (Mean Absolute Deviation).

Tabel 7 Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty

Nilai Keterangan

1 Sama pentingnya

3 Sedikit lebih penting

5 Jelas lebih penting

7 Sangat jelas lebih penting

9 Mutlak lebih penting

2,4,6,8 Jika terjadi keraguan jawaban antara 2 nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9

(37)

Dalam analisis menggunakan AHP dilakukan melalui beberapa proses yakni sebagai berikut:

(1) Matriks pendapat individu

Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan, sehingga membentuk matriks segi. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigen vector dan untuk mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value.

(2) Matriks pendapat gabungan

Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang eleven matriknya gij berasal dari rataan geometrik atau “geometric means” elemen matriks pendapat individu aij yang rasio konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan.

(3) Pengolahan horizontal

Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven keputusan pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal adalah 1) perkalian baris 2) perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen 3) perhitungan nilai eigen maksimum 4) perhitungan indeks konsistensi dan 5) perhitungan rasio konsistensi.

(4) Pengolahan vertikal

Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap eleven pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama (ultimate goal).

Gambar

Gambar 2  Alir proses pengolahan surimi beku (Tan et al. 1988).
Gambar 3 Skema proses pengolahan pada industri surimi (Lee 1986).
Gambar 5  Rotary screen/sieve.
Gambar 6  Screw press.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masjid dibangun sebagai ujung pembinaan ibadah juga awal pembinaan muamalah (sosial kemasyarakatan). Masjid yang kita lihat sekarang ini telah mengalami banyak

mengalami kemunduran dari segi emosional (21). Hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa 23 orang yang menderita DM Tipe 2 mengalami stres merasa mempunyai

1) Bakteri dengan kode isolat 3R tumbuh di atas permukaan medium, bentuk koloni circular , elevasi low convex , tepi entire dan struktur dalam finely granular. Bentuk

a) Kegiatan evaluasi sebelum program dilaksanakan berarti melakukan penilaian terhadap terhadap desain program yang dibuat dan kelayakan program. Dengan demikian,

Di dalam konteks membangun masyarakat multikultural, di samping berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipastikan akan menjadi pihak yang dipanggil Pansus Hak Angket KPK.. - See

Setelah dipanaskan terdapat endapan berwarna orange yang disebabkan oleh reaksi benedict dengan gula reduksi akan terjadi proses oksidasi yang menghasilkan endapan

penyelidikan dan penemuan. Dalam penggunaan metode ini guru mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri, secara luas agar melihat apa yang