• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI. Program Studi Peternakan. Oleh : Setyo Adi Nugroho H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI. Program Studi Peternakan. Oleh : Setyo Adi Nugroho H"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP

TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR

Program Studi Peternakan

Oleh : Setyo Adi Nugroho

H 0512107

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2016

(2)

commit to user

EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP

TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR

Setyo Adi Nugroho H 0512107 ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sistem perkandangan dan manajemen pemerahan pada peternakan sapi perah rakyat dalam meningkatkan kejadian mastitis. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak Subur Makmur, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. Penelitian dilaksanakan pada November 2015 sampai Maret 2016. Materi yang digunakan berupa 15 ekor sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) penderita mastitis dan 42 ekor sapi perah PFH tidak penderita mastitis. Peubah penelitian ini meliputi tingkat kebersihan kandang, bentuk kandang, kemiringan lantai kandang, tingkat kesempurnaan pemerahan, umur ternak, kepadatan ternak dan jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei lapangan, dimana penentuan lokasi dan objek penelitian menggunakan metode purposive sampling yang selanjutnya data akan dianalisis secara deskriptif dengan bantuan diagram lingkaran untuk membandingkan data yang diperoleh antara sapi penderita mastitis dan tidak penderita mastitis. berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antara sistemperkandangan dan manajemen pemerahan pada ternak yang terserang mastitis dengan ternak yang tidak terserang mastitis. Manajemen yang masih kurang baik menyebabkan sapi perah dengan mudah terinfeksi oleh bakteri penyebab radang ambing serta jumlah ternak yang tinggi dalam kandang mempermudah bakteri penyebab mastitis untuk menginfeksi puting. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu manajemen perkandangan, pemerahan dan kepadatan ternak yang buruk memberikan dampak dalam meningkatkan kejadian mastitis pada sapi perah.

(3)

commit to user

EVALUATION SHED SYSTEM AND MILKING MANAGEMENT OF FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED ON THE LEVEL OF MASTITIS

IN THE “SUBUR MAKMUR” FARMERS LIVESTOCK GROUP

Setyo Adi Nugroho H 0512017 ABSTRACT

The purpose of this study was to evaluate shed system and milking management on dairy farming folk in increasing the incidence of mastitis. This research was conducted at the Subur Makmur Farmers Livestock Group, Banyuanyar, Ampel District, Boyolali. Research was conducted in November 2015 to March 2016. The materials used were 15 cows Friesian Holstein Crossbreed mastitis detected and 42 cows undetected ones. The parameters of the study include the level of cleanliness of the shed, shed shape, the slope of the shed floor, a degree of perfection milking, cattle age, density and distance shed enclosure with a waste disposal site. The study was conducted using the method of field survey, where the determination of the location and the object of research using purposive sampling method that further data will be analyzed descriptively with the help of the pie chart to compare the data obtained between cow mastitis patients and patients with mastitis. Based on the results of descriptive analysis is known that there is a very clear distinction between shed system, milking managemen incattle infected with mastitis and cattle that were not attacked. Management is still not good cause dairy cows easily infected by bacteria that cause inflammation of the udder and the high number of animals in cages, enables mastitis-causing bacteria to infect the nipples. The conclusion of this analysis, management perkandangan, milking and livestock densities bad have a significant impact in increasing the incidence of mastitis in dairy cows.

(4)

commit to user PENDAHULUAN

Kabupaten Boyolali merupakan salah satu penyokong produksi dan pemenuh kebutuhan akan susu di daerah Jawa Tengah. Kelompok Tani Ternak Subur Makmur merupakan salah satu kelompok tani ternak pemenuh kebutuhan susu di Kabupaten Boyolali dan sekitarnya. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka permintaan akan susu juga akan semakin meningkat. Namun jumlah produksi susu yang ada tidak mampu mengikuti jumlah permintaan yang diinginkan, hal ini dikarenakan selain sebagian besar peternakan adalah peternakan rakyat seperti halnya pada KTT Subur Makmur. Manajemen yang buruk pada KTT Subur Makmur serta adanya gangguan kesehatan menjadi hambatan untuk dapat meningkatkan produksi susu sapi yang ada. Roosena (2010), tidak mencukupinya susu di Indonesia bukan hanya berdasar kuantitasnya namun juga kualitas susu yang ada.

Salah satu penghambat peningkatan produksi susu adalah penyakit yang dapat secara langsung maupun tidak langsung menurunkan produksi (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Penyakit radang ambing atau yang dikenal dengan mastitis, menjadi masalah utama dalam usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan, baik peternakan rakyat, industri pengolah susu dan konsumen (Sudarwanto, 1999; Fehlings dan Deneke, 2000). Mastitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada ambing dimana hal tersebut disebabkan oleh mikroorganisme dan dapat menular pada ternak yang sehat (Safangat et al.,2013;

Winarso, 2008). Sudarwanto dan Sudarnika (2008) juga menjelaskan bahwa

mastitis memiliki sifat kompleks dengan variasi penyebab, derajat keparahan, lama penyakit dan akibat penyakit yang beragam. Subronto (2007) menjelaskan bakteri utama penyebab mastitis antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberi. Penyebab mastitis mikotik ini dari golongan kapang patogenik (Aspergillus spp., Alternaria spp.,

Aerobasidium spp., Epicocum spp., Geotrichum spp., Penicillium spp., Phoma

spp. dan Pichia spp.) dan golongan khamir patogenik (Rhodoturulla spp.,

(5)

commit to user

dalam Ahmad 2011) namun umumnya kasus mastitis yang dominan adalah

khamir khususnya Candida sp. dan Cryptococcus sp. (Stanojevic and Kranjajic, 2009 dalam Ahmad, 2011)

Sesuai dengan Supar (1997) bahwa agen penyebab mastitis paling banyak disebabkan oleh mikrobia dari kelompok bakteri dibandingkan ragi atau kapang.

Menurut Sudono et al. (2003) mastitis yang sering menyerang sapi perah ada 2 macam yaitu mastitis klinis dan subklinis. Tanda dari mastitis klinis dapat dilihat secara kasat mata seperti susu yang abnormal adanya lendir dan penggumpalan pada susu atau encer, puting yang terinfeksi terasa panas, bengkak dan sensitive bila disentuh saat pemerahan, adanya benjolan atau pengerasan pada ambing ketika diraba juga menjadi indikator dari mastitis klinis (Setiadi, 1997). Sedangkan mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan fisik pada ambing dan susu yang dihasilkan, tetapi menyebabkan penurunan produksi susu (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008), tanda keabnormalan susu tidak terlihat kecuali dengan alat bantu atau metode deteksi mastitis (Sudono et al., 2003). Hasil penelitian di Kabupaten Boyolali tahun 1984, mastitis subklinis menyebabkan penurunan produksi susu sebesar 19% per hari, sedangkan mastitis klinis sebesar 36% per hari (Hutabarat et al., 1985a,b). Subronto (2008) menambahkan bahwa faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan seperti sanitasi kandang, perkandangan, jumlah sapi dalam satu kandang, cara pemerahan air susu juga turut mempengaruhi terjadinya radang ambing.

Begitu merugikannya mastitis bagi peternak karena susu yang terindikasi mastitis tidak dapat dijual maupun dikonsumsi, mengingat penghasilan utama dari peternak sapi perah adalah susu sapi. Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian mastitis pada sapi perah serta sistem perkandangan dan manajemen pemerahan yang baik, sehingga pada nantinya diperoleh suatu hasil yang dapat dipergunakan untuk menangani radang ambing yang akhirnya mampu memperbaiki produksi susu dan meningkatkan kualitas susu pada peternakan sapi perah rakyat.

(6)

commit to user HIPOTESIS

Sistem perkandangan dan manajemen pemerahan yang baik mampu menurunkan tingkat kejadian mastitis pada peternakan sapi perah rakyat.

(7)

commit to user MATERI METODE

Waktu danTempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai Maret 2016 di Kelompok Tani Ternak Subur Makmur, Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan adalah 57 ekor sapi perah PFH yang mana 15 diantaranya menderita mastitis sedang 42 ekor sapi lainnya tidak menderita mastitis. Alat yang digunakan untuk mendeteksi mastitis adalah Californian Mastitis Test (CMT). Serta quisioner digunakan untuk mendapatkan data primer.

Metode Penelitian

Penelitian ini dipersiapkan dengan melakukan survei ke kandang-kandang tiap peternak sapi perah yang kemudian disusul dengan menanyakan kondisi peternakan yang ada seperti umur ternak, riwayat penyakit dan kondisi reproduksi ternak guna menentukan lokasi penelitian yang sesuai sebagai objek penelitian. Pemilihan lokasi dan sapi perah yang terserang mastitis menggunakan metode

purposive sampling. Lokasi Kelurahan Banyuanyar Kecamatan Ampel dipilih

karena Kecamatan ini merupakan salah satu pusat penghasil susu untuk Kabupaten Boyolali, sedang Kabupaten Boyolali memegang peran penting sebagai pusat pemenuh kebutuhan susu untuk Jawa Tengah.

Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan menggunakan reagen CMT sedangkan mastitis klinis dapat diamati secara fisik (Sutarti et al., 2003). CMT merupakan salah satu screening test untuk mastitis subklinis yang bisa digunakan di luar tubuh sapi. Seekor sapi menderita mastitis apabila dalam salah satu kuartir ambingnya terdiagnosis mastitis. Pengujian CMT dilakukan pada pemerahan pagi hari dengan cara mengambil 2 – 3 pancaran pertama yang ditempatkan pada paddle lalu dihomogenkan dengan reagen (Aziz et al., 2013). Ada tidaknya gumpalan akan menunjukkan kejadian mastitis.

(8)

commit to user Peubah Penelitian

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi tingkat kebersihan lantai kandang, bentuk kandang, kemiringan lantai kandang, tingkat kesempurnaan pemerahan, umur ternak, kepadatan kandang, jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah.

1. Tingkat Kebersihan Lantai Kandang

Penilaian terhadap tingkat kebersihan lantai dilakukan dengan mengelompokkan menjadi 5 kondisi. Keterangan (1) Sangat kotor (lantai basah, ada banyak feses dan urine), (2) Kotor (lantai basah, ada banyak feses), (3) Cukup bersih (lantai basah, ada sedikit feses kering), (4) Bersih (lantai basah, tidak ada feses dan urine), (5) Sangat bersih (lantai kering, tidak ada feses dan urine) (Aziz

et al., 2013).

2. Bentuk Kandang

Bentuk kandang akan dinilai dengan mengkategorikan kandang tersebut baik atau buruk. Penilaian bentuk kandang dilakukan dengan melihat kondisi kandang (dinding, lantai, atap), model atap kandang, bahan lantai, arah menghadap kandang (Liptan, 2000).

3. Kemiringan Lantai Kandang

Penilaian terhadap kemiringan lantai dilakukan dengan melihat bentuk lantai serta melihat aliran air yang sengaja diberikan pada lantai kandang. Kemudian dikategorikan berdasar tingkat kemiringannya yaitu (1) kurang miring (<4o), (2) baik/cukup (4-5o), (3) terlalu miring (>5o) (Safangat et al., 2013). 4. Tingkat Kesempurnaan Pemerahan

Penilaian terhatap tingkat kesempurnaan pemerahan dilakukan dengan mengamati proses pemerahan mulai dari persiapan sampai dengan selesai pemerahan. Pemerahan dikatakan sempurna jika setiap tahap pemerahan dilakukan dengan baik seperti membersihkan tangan sebelum memerah, membersihkan puting dan ambing, pemandian ternak sebelum diperah, pemakaian pelumas sebelum pemerahan, pembuangan 3-5 pancaran pertama, pengunaan alat

(9)

commit to user

pemerahan yang bersih, pemerahan sampai tuntas dan teats dipping (Sutarti et al.,

2003).

5. Umur Ternak

Penilaian terhadap umur ternak dilakukan dengan memberikan pertanyaan melalui quisioner yang ditujukan kepada peternak sapi perah (Sutarti et al., 2003). 6. Kepadatan Kandang

Penilaian terhadap kepadatan kandang dilakukan dengan membandingkan kebutuhan luasan per ekor ternak sapi perah dengan keadaan luasan per ekor ternak yang ada di peternakan sapi perah (Sutarti et al., 2003).

7. Jarak Kandang Dengan Tempat Pembuangan Limbah

Penilaian jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah dilakukan dengan memberikan keterangan (1) jarak kurang dari 5 meter, (2) jarak 6-10 meter, (3) jarak 11-15 meter dan (4) jarak lebih dari 15 meter (Djarijah, 1996).

Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus pada sapi perah yang ada di KTT Subur Makmur dengan penentuan sampel mengunakan metode purposive sampling (Surjowardojo et al., 2008).

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif (Surjowardojo et al., 2008). Menurut Sugiyono (2009), analisis deskriptif merupakan suatu metode penelitian dengan cara mengumpulkan data-data dengan membandingkan data antar rancangan penelitian, kemudian disusun dan dianalisis.

(10)

commit to user

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Perkandangan

Peradangan pada ambing hampir selalu merupakan radang mastitis yang dapat bersifat klinis maupun subklinis. Hal ini dapat diketahui baik berdasarkan peningkatan jumlah sel dalam air susu (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008), perubahan fisik maupun kandungan dalam susu dan disertai atau tidak dengan perubahan patologis dari kelenjar susu itu sendiri (Subronto, 2008). Penyebab utama radang pada sapi adalah bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Str. dysgalactiae, Str. uberi (Subronto, 2007, 2008; Wahyuni et al.,

2001 dalam Zalizar, 2012) namun tidak jarang bakteri Streptococcus

zooepidermicus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas aeruginosa (Subronto, 2008). Sistem perkandangan seperti kebersihan lantai dan lingkungan kandang, pengelolaan jumlah ternak yang masuk dalam kandang serta pengelolaan limbah jarang diperhatikan. Lingkungan dan kandang yang kotor, selalu basah dan lembab menjadi lokasi atau lingkungan yang ideal untuk berkembangnya bagi bakteri penyebab mastitis (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014 dalam Sejati, 2016), selanjutnya bakteri tersebut siap mengancam ternak perah yang ada didalam kandang. Pengamatan terhadap tingkat kebersihan lantai kandang, kondisi kandang, umur ternak, kepadatan kandang dan jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah dirasa harus diperhatikan dengan baik agar diperoleh informasi terhadap tingkat kejadian mastitis yang ada.

Tingkat Kebersihan Lantai Kandang

Berdasarkan hasil analisis tingkat kebersihan lantai kandang ternak mastitis dan tidak mastitis dengan bantuan diagram lingkaran menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan 10 kandang ternak terjangkit mastitis yang diamati, 5 kandang menunjukkan kondisi kebersihan lantai kandang yang sangat kotor, 3 kandang dengan kondisi lantai yang kotor dan 2 kandang dengan kondisi kandang yang cukup bersih. Dibandingkan dengan 10 kandang ternak tidak terjangkit

(11)

commit to user

mastitis yang diamati, 2 kandang menunjukkan kondisi kebersihan lantai yang cukup bersih, 4 kandang dengan kondisi kebersihan lantai yang bersih dan 4 kandang dengan kondisi kebersihan lantai yang sangat bersih (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram Perbandingan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebersihan lantai kandang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan kejadian mastitis pada sapi perah. Seperti yang disampaikan oleh Subronto (2008) bahwa sanitasi kandang termasuk dalam faktor yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing dan Sutarti et al. (2003) menyatakan bahwa kebersihan lingkungan kandang berasosiasi positif dan sangat signifikan terhadap kejadian mastitis. Seringkali lantai kandang yang tidak hanya berisikan feses, urine serta tumpahan air minum juga ditemukan ceceran sisa pakan baik hijauan atau konsentrat yang tumpah ketika diberikan atau karena tingkah laku ternak ketika makan menjadi faktor penyebab terjadinya radang. Kejadian ini dikuatkan dengan argumen Subronto (2008) yang mengatakan bahwa pakan yang mengandung estrogen misal bangsa clover dan jagung ataupun konsentrat yang berjamur terbukti memudahkan terjadinya radang. Tindakan seperti pembersihan lantai kandang setiap harinya mampu mengurangi kemungkinan kejadian mastitis. Sesuai dengan Sutarti et al. (2003), dengan seringnya lantai kandang, lingkungan kandang yang dibersihkan maka kejadian mastitis akan semakin kecil.

50% 30% 20%

Mastitis

Sangat Kotor Kotor Cukup Bersih Bersih Sangat Bersih 20% 40% 40%

Tidak Mastitis

Sangat Kotor Kotor Cukup Bersih Bersih Sangat Bersih

(12)

commit to user Bentuk Kandang

Berdasarkan hasil analisis bentuk kandang ternak mastitis dan tidak mastitis dengan bantuan diagram lingkaran, menyatakan bahwa dari 10 kandang ternak yang terserang mastitis, 4 kandang diantaranya dalam kondisi buruk dan 6 kandang dalam kondisi yang baik. Sedangkan pada 10 kandang dari ternak tidak mastitis, hanya 1 kandang yang dalam kondisi buruk dan 9 kandang lainnya dalam kondisi baik (Gambar 2). Hasil diatas dapat dikatakan bahwa bentuk kandang juga ikut mempengaruhi dalam timbulnya peradangan pada ambing. Bentuk kandang yang buruk memungkinkan untuk menyediakan lingkungan yang ideal bagi bakteri penyebab radang ambing. Bentuk kandang yang buruk memungkinkan cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam kandang dalam jumlah yang cukup sehingga membuat kandang dalam kondisi yang selalu lembab. Kondisi kandang yang seperti ini harus dihindari karena akan mempermudah bakteri dalam menginfeksi ambing (Subronto, 2008).

Gambar 2. Diagram Perbandingan Bentuk Kandang

Kondisi kandang dari sapi perah pada perternakan rakyat sebagian besar menyatu dengan bangunan tempat tinggal peternak. Beratapkan dengan bahan genting dan bermodel shade. Lantai kandang terbuat dengan bahan beton dan karpet bahan karet dengan kondisi yang tidak sepenuhnya baik atau terdapat lubang pada lantai. Kurangnya ventilasi udara akibat dari kandang yang menyatu dengan bangunan tempat tinggal peternak serta kondisi lantai kandang yang rusak

40% 60%

Mastitis

Buruk Baik 10% 90%

Tidak Mastitis

Buruk Baik

(13)

commit to user

meningkatkan kejadian mastitis. Kejadian mastitis dalam kondisi seperti ini diperkuat pendapat Liptan (2000) yang menjelaskan, kandang pada peternakan rakyat umumnya menggunakan bangunan yang sudah ada, misal bekas dapur atau bangunan lain. Liptan (2000) berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan persyaratan kandang yang baik antara lain: memberikan kenyamanan bagi ternak dan pemilik, mudah dibersihkan, memiliki ventilasi yang cukup untuk pergantian udara dan cahaya, kandang tidak menjadi satu dengan rumah tinggal dan berjarak ± 10 meter dari rumah, tersedia tempat penampungan kotoran dan limbah sisa pakan, kandang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya serta bangunan kandang menghadap ke arah timur dan membujur dari utara ke selatan.

Kemiringan Lantai Kandang

Gambar 3. Diagram Perbandingan Kemiringan Lantai Kandang

Berdasarkan perbandingan kemiringan lantai kandang ternak mastitis dan tidak mastitis diketahui bahwa 5 kandang dari ternak mastitis mempunyai lantai dengan kemiringan <4o dan 5 kandang yang sudah mempunyai kemiringan 4 - 5o. Sedangkan kandang ternak tidak terkena mastitis 9 kandang mempunyai kemiringan lantai yang baik 4 - 5o dan 1 kandang dengan kemiringan lantai <4o (Gambar 3). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kemiringan lantai kandang termasuk dalam faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi radang ambing. Data menunjukkan bahwa lantai kandang yang kurang miring akan meningkatkan kejadian mastitis pada sapi perah, oleh karenanya dalam pembuatan lantai kandang perlu adanya perencanaan yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Safangat et al. (2013) bahwa lantai kandang bukan dibuat dengan bahan seadanya

50% 50%

Mastitis

Kurang miring(<4⁰) Baik/Cukup (4-5⁰) Terlalu miring(>5⁰) 10% 90%

Tidak Mastitis

Kurang miring(<4⁰) Baik/Cukup (4-5⁰) Terlalu miring(>5⁰)

(14)

commit to user

dan dibuat kemiringan yang cukup agar air dapat mengalir dengan lancar. Lantai yang kurang miring setidaknya akan meninggalkan 30% air yang diguyurkan ketika pembersihan lantai kandang. Air yang tertinggal ini selain di akibatkan lantai yang kurang miring juga dapat diakibatkan karena kondisi lantai kandang yang tidak rata atau berlubang, sehingga akan memungkinkan semakin banyak air yang tergenang pada lantai. Pernyataan ini diperkuat oleh Subronto (2008), kemiringan lantai yang kurang menyebabkan air mudah tertahan di lantai, hal ini mempermudah kemungkinan kontak langsung antara bakteri yang berada di lantai dengan ambing yang sehat.

Genangan air pada lantai yang kurang miring juga memungkinkan lantai menjadi licin sehingga ternak menjadi malas untuk bangun dan mudah untuk terpeselet (Subronto, 2008). Selain itu adanya genangan membuat kotoran ternak tidak dapat terbuang dengan lancar dan tertinggal pada lantai, hal ini akan menjadi sumber penyakit bagi ternak (Safangat et al., 2013). Akibatnya sanitasi kandang menjadi kurang baik dan menyebabkan prevalensi mastitis menjadi meningkat (Budiarto, 2010).

Umur Ternak

Data hasil analisis menyatakan bahwa 20% dari total sampel ternak yang terserang mastitis berada pada usia yang masih muda dan 80% sisanya berada dalam usia yang terbilang sudah tua. Sedangkan pada ternak yang tidak terserang mastitis, 20% ternak termasuk dalam usia tua dan 80% ternak sisanya dalam usia muda (Gambar 5). Berdasarkan data diatas, umur ternak ikut mempengaruhi dalam terjadinya infeksi radang ambing, hal ini sesuai dengan Elbably et al.

(2013) yang menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya mastitis subklinis antara lain adalah umur ternak. Umur ternak yang tua akan terserang mastitis dengan kemungkinan 1,45 kali lebih besar dibanding ternak yang muda (Sutarti et al., 2003).

(15)

commit to user

Gambar 5. Diagram Perbandingan Umur Ternak

Faktor umur juga ikut mempengaruhi mudah atau tidaknya seekor sapi terserang oleh radang ambing. Pada dasarnya didalam air susu sudah terdapat sel darah putih dengan kisaran 250-250.000 pada pancaran pertama dan 0-200.000 sel darah putih pada susu biasa. Namun karena selalu diperah dan bertambahnya umur, kadar sel antibodi didalam susu menjadi sangat kecil sehingga tidak lagi efektif untuk melawan infeksi yang terjadi (Subronto, 2008). Selain itu, semakin bertambahnya usia ternak maka ukuran lubang puting juga akan bertambah ukurannya walaupun hal tersebut juga ikut dipengaruhi oleh faktor genetik. Dipaparkan oleh Prasetyo et al. (2013) bahwa ukuran diameter lubang puting mempengaruhi tingkat kejadian mastitis sebesar 32.97%.

Semakin bertambah tua usia ternak maka semakin kendur pula sphincter putingnya. Karena sphincter berfungsi sebagai penghambat infeksi kuman, maka kemungkinan terjadinya infeksi pada sapi yang berusia tua akan semakin besar. Hal ini disebabkan semakin tinggi produksi susu sapi maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan sphincter untuk kembali menutup (Subronto, 2008).

Kepadatan Kandang

Berdasarkan data yang didapatkan, kepadatan kandang ternak yang terserang mastitis berkisar 2,2 – 2,5 m2/ ekor sebanyak 30% dan 2,5 – 2,8 m2/ ekor sebanyak 70%. Sedangkan ternak yang tidak terserang mastitis berkepadatan 2,8 – 3 m2/ ekor sebanyak 40% dan 3 – 3,3 m2/ ekor sebanyak 60% (Gambar 6). Kepadatan kandang pada kandang ternak mastitis terbilang tinggi apabila dibandingkan dengan kepadatan kandang pada ternak yang tidak mastitis. Sudono

20% 80%

Mastitis

Muda (<5 Th) Tua (≥5 Th) 80% 20%

Tidak Mastitis

Muda (<5 Th) Tua(≥5 Th)

(16)

commit to user

et al. (2003) menyatakan bahwa setiap sapi membutuhkan luas 2,8 m². Kandang

yang teserang mastitis dirasa sangat padat bila melihat luasan kebutuhan dari seekor ternak menurut Sudono et al. (2003) yang artinya jarak antar ternak semakin sempit. Dengan jumlah ternak yang tinggi dan jarak antara sapi dalam satu kandang semakin pendek mengakibatkan penularan dan kejadian mastitis juga semakin besar (Sutarti et al., 2003 dan Subronto, 2008). Ruang gerak ternak yang sedikit meningkatkan kontak fisik antara ternak yang sehat dengan ternak yang terserang mastitis, namun hal ini kurang diperhatikan oleh para peternak.

Gambar 6. Diagram Perbandingan Kepadatan Kandang

Penularan mastitis akibat kepadatan kandang tidak hanya terjadi akibat bakteri, protozoa, jamur (Subronto, 2008) saja namun dapat juga terjadi karena kandang yang sempit menyebabkan ternak saling bertabrakan (Sutarti et al.,

2003), akibatnya mastitis traumatik dapat terjadi karena ambing tertendang atau terinjak oleh ternak sekandang atau karena terjatuh (Resang, 1984 dalam Sutarti et al., 2003). Subronto (2008) menambahkan, bakteri penyebab mastitis mampu menjalar dari kulit, rambut, ambing, puting dan lesi pada ambing atau puting yang bertindak sebagai penyebar dari perempatan satu pada ternak yang sama atau ternak yang lain. Prihanto (2009), kandang sapi laktasi dengan luas ± 3,2 m²/ekor akan membuat ternak merasa nyaman didalam kandang sehingga ternak dapat berproduksi secara maksimal.

30% 70%

Mastitis

2,2-2,5m²/ekor 2,5-2,8m²/ekor 2,8 - 3m²/ekor 3 - 3,3 m²/ekor 40% 60%

Tidak Mastitis

2,2-2,5m²/ekor 2,5-2,8m²/ekor 2,8 - 3m²/ekor 3 - 3,3 m²/ekor

(17)

commit to user

Jarak Kandang Dengan Tempat Pembuangan Limbah

Berdasarkan data yang didapat diketahui bahwa 2 kandang sapi yang terserang mastitis memiliki jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah 6-10 meter dan 8 kandang dengan jarak <5 meter. Sedangkan kandang ternak yang tidak terserang mastitis 3 kandang berjarak <5 meter, 6 kandang berjarak 6-10 meter dan 1 kandang berjarak >15 meter dari tempat pembuangan limbah (Gambar 7). Tempat pembuangan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian radang pada ambing. Tidak adanya lokasi tempat pembuangan limbah yang baik akan menyebabkan lingkungan kandang menjadi kotor karena limbah kotoran berserakan disekitar kandang. Disamping itu, akan banyak menimbulkan pencemaran lingkungan kandang, hal tersebut akan menyebabkan bakteri tumbuh dengan subur dan memungkinkan untuk bermigrasi ke kandang, sehingga setiap saat akan mengancam terjadinya mastitis (Sutarti et al., 2003). Data mengenai jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah antara ternak yang terserang mastitis dan tidak mastitis, menunjukkan jarak yang sama yaitu <5 meter namun dalam tingkat kebersihan kandang dan lantai kandang dari ternak yang terserang mastitis didapatkan kondisi yang kotor, kondisi ini memungkinkan ternak semakin mudah terserang mastitis.

Gambar 7. Diagram Perbandingan Jarak Kandang Dengan Tempat Pembuangan Limbah

Data dari kandang ternak yang tidak mastitis menunjukkan hasil yang lebih baik dari kandang ternak yang terserang mastitis mengenai jarak kandang dengan

80% 20%

Mastitis

<5 meter 6-10 meter 11-15 meter >15 meter 30% 60% 10%

Tidak Mastitis

<5 meter 6-10 meter 11-15 meter >15 meter

(18)

commit to user

tempat pembuangan limbah. Diperkuat oleh hasil penelitian Sutarti et al. (2003), ternak dengan kandang yang memiliki tempat pembuangan limbah yang baik akan memiliki resiko terserang mastitis 0,56 kali lebih kecil dibandingkan dengan yang buruk. Djarijah (1996) mengatakan bahwa jarak antara kandang dengan kolam penampungan feses yang baik adalah lebih dari 10 m. Oleh karenanya jika semakin jauh tempat pembuangan limbah dengan kandang akan memberikan pengaruh yang besar dalam memperkecil timbulnya radang mastitis.

Manajemen Pemerahan

Kejadian penyakit mastitis dalam suatu peternakan sapi perah baik industri besar maupun peternakan rakyat memang tidak dapat dihindarkan. Mengingat air susu merupakan makanan (substrat) yang serasi untuk pertumbuhan beberapa jenis bakteri (Subronto, 2008). Manajemen pemerahan yang tidak higienis (Subronto, 2007) menyebabkan mewabahnya penyakit mastitis pada sapi perah yang ada. Cara hidup dan keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya infeksi kelenjar susu setiap saat (Subronto, 2008). Umumnya dalam peternakan sapi perah rakyat, kebersihan dari ternak dan peternak kurang menjadi sorotan, tanpa disadari perilaku seperti ini menjadi faktor meningkatnya kejadian mastitis pada ternak.

Tingkat Kesempurnaan Pemerahan

Berdasarkan perbandingan tingkat kesempurnaan pemerahan didapatkan bahwa pada ternak yang terserang mastitis 9 peternak melakukan pemerahan yang kurang sempurna dan hanya 1 peternak saja yang memerah dengan sempurna. Sedangkan pada ternak yang tidak terserang mastitis, 1 peternak melakukan pemerahan yang tidak sempurna dan 9 peternak lainnya melakukan pemerahan dengan sempurna (Gambar 4). Proses pemerahan dikatakan sempurna ketika peternak sudah melakukan tahapan proses pemerahan yang baik seperti membersihkan tangan sebelum memerah, membersihkan puting dan ambing, pemandian ternak sebelum diperah, pemakaian pelumas sebelum pemerahan, pembuangan 3-5 pancaran pertama, pengunaan alat pemerahan yang bersih,

(19)

commit to user

pemerahan sampai tuntas dan teats dipping. Satu proses pemerahan dikatakan tidak sempurna apabila salah satu tahapan tersebut ada yang terlewat.

Gambar 4. Diagram Perbandingan Tingkat Kesempurnaan Pemerahan

Karena pengertian mengenai pemerahan yang kurang, banyak peternak rakyat yang tidak memperhatikan hal tersebut. Penggunaan kain bekas yang tidak bersih dan digunakan untuk semua sapi waktu pemerahan banyak dilakukan di desa-desa. Pemakaian lap untuk membersihkan ambing merupakan sumber penularan mastitis, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi baru akan lebih banyak. Perihal tersebut sudah dijelaskan oleh Subronto (2008) bahwa kuman penyebab mastitis dapat ditularkan pada puting yang sehat melalui tangan pemerah, mesin, lap, lantai kandang, baju pemerah, kulit dan bulu sapi, ember susu dan sebagainya yang tercemar bakteri penyebab mastitis atau melalui ambing yang terinfeksi. Seringkali ditemukan bahwa kebersihan tangan pemerah tidak diperhatikan sehingga proses perluasan infeksi tidak dapat dihindarkan.

Pembersihan puting dan ambing dan pemandian ternak sangatlah diperlukan untuk mencegah terjadinya invasi bakteri secara berlebihan. Selaras dengan Sutarti et al. (2003) yang menjelaskan dalam penelitiannya bahwa sapi yang ambingnya dibersihkan setelah pemerahan memiliki kesempatan 0,32 kali lebih kecil terserang mastitis subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Dikuatkan oleh Subronto (2008) yang menyatakan, kulit dan bulu sapi merupakan media atau tempat sementara bagi kuman-kuman serta tidak jarang mikroorganisme patogen sudah lama berada dibawah puting dan akan menginvasi

10% 90%

Mastitis

Sempurna Tidak Sempurna 90% 10%

Tidak Mastitis

Sempurna Tidak Sempurna

(20)

commit to user

ketika lubang puting terbuka, oleh karena itu memandikan ternak mempunyai pengaruh yang besar dalam pencucian kuman secara langsung.

Menurut Subronto (2008) lebih dari 50 % peternak tidak melakukan teats

dipping saat selesai pemerahan, peternak tidak sadar kalau masuknya

mikroorganisme ke dalam saluran puting terjadi pada waktu selesai pemerahan. Khan dan Khan (2006) juga sangat menyarankan penggunaan teats dipping

setelah pemerahan. Karena ketika ternak telah memasuki periode kering, penggunaan teats dipping untuk mengontrol mastitis tidak akan berhasil. Pemakaian desinfektan sangat diperlukan untuk pencegahan infeksi baru setelah pemerahan, sehingga apabila tidak dilakukan desinfeksi, resiko terjadinya mastitis akan meningkat.

(21)

commit to user SIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini yaitu sistem perkandangan dan manajemen pemerahan yang buruk pada peternakan sapi perah rakyat akan meningkatkan tingkat kejadian mastitis. Hal ini ditunjukkan dengan lantai kandang yang kotor karena terdapat banyak kotoran ternak, bentuk kandang yang buruk karena kurangnya ventilasi, lantai kandang yang kurang miring dan berakibat tergenangnya air ketika pembersihan kandang, banyaknya ternak berusia tua yang terserang mastitis, sempitnya ruang gerak ternak karena kepadatan kandang yang tinggi, lingkungan kandang yang kotor karena tempat pembuangan limbah yang berdekatan bahkan menyatu dengan kandang serta proses pemerahan yang tidak sempurna karena kurang diperhatikannya kebersihan ternak, pemerah dan pemberian teats dipping ketika setelah dilakukan pemerahan menjadikan kejadian mastitis semakin meningkat.

(22)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R.Z. 2011. Mastitis mikotik di Indonesia. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. Hal. 403 – 410.

Aziz, A.S., P. Puguhwardojo dan Sarwiyono. 2013. Hubungan bahan dan tingkat kebersihan lantai kandang terhadap kejadian mastitis melalui uji California

Mastitis Test (CMT) di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Jurnal

Ternak Tropika. 14 (2): 72 – 81.

Budiarsana, I.G.M. dan E. Juarini. 2006. Analisis biaya produksi pada usaha sapi perah rakyat: study kasus didaerah Bogor dan Sukabumi. Dalam Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020. Balai Penelititan Ternak. Bogor. Hal. 503 – 506.

Budiarto. 2010. Path analisis mastitis pada sapi perah koperasi di Kabupaten Pasuruan – Jawa Timur. Veterinaria Medika. Univesitas Airlangga. Surabaya. 3: 45 – 48.

Dewi, A.K. 2013. Isolasi, identifikasi dan uji sensitivitas Staphylococcus aureus

terhadap Amoxilin dari sampel susu kambing peranakan etawa (PE) penderita mastitis di wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner. 31 (2): 138 – 150.

Djarijah, A.S. 1996. Pengembangan persusuan dan dampak bagi pengembangan operasi dan peternak. Penebar Swadaya. Jakarta

Elbably, M.A., H.H. Emeash and N.M Asmaa. 2013. Risk factors associated with mastitis occurrence in dairy herds in Benisuef, Egypt. World’s Veterinary Journal. Beni-Suef University. Egypt. 3: 5 – 10.

Fajrin, F., Sarwiyono dan P. Surjowardojo. 2013. Hubungan level mastitis terhadap produksi dan kualitas susu pada sapi perah. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang. Hal. 1 – 4.

Fehlings, K. and J. Deneke. 2000. Mastitis problematik in Betrieben mit Oekologischer Rinderhaltung. Tieraerztl Praxia (G). 28: 104 – 109.

Handayani, K.S. dan M. Purwanti. 2010. Kesehatan ambing dan higiene pemerahan di peternakan sapi perah Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal Penyuluhan Pertanian. 5: 47 – 54.

Hastiono, S. 1984. Mastitis mikotik, radang kelenjar susu oleh cendawan pada ternak perah. Balai Penelitian Penyakit Hewan. Bogor. 1 (4): 9 – 12.

Hansen, S. 2002. Influence of environmental and pulsation factors on teat skin condition and teat tissue with regard to mastitis. Tierärztliche Hochschule. Hannover.

Hidayah, R. 2016. Tampilan Produksi Dan Kualitas Fisik Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Pasca Pengobatan Antibiotik Di Kelompok Tani Ternak

(23)

commit to user

Subur Makmur Boyolali. Skripsi. Program Studi Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Hutabarat, T.P.N., S. Witono dan D.H.A, Unruh. 1985a. Problematik mastitis pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali: 1. Pengaruh faktor lingkungan dan sanitasi pemerahan terhadap mastitis. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode 1983-1984.Hal. 26-33.

Hutabarat, T.P.N., S. Witono dan D.H.A, Unruh. 1985b. Problematik mastitis pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali: 2. Penurunan produksi susu akibat mastitis. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode 1983 – 1984. Hal. 34 – 44.

Khan, M.Z. and A. Khan. 2006. Basic facts of mastitis in dairy animals: a review. Pakistan Veterinary Journal. 26 (4): 204 – 208.

Lembar Informasi Pertanian. 2000. Sanitasi Kandang Sapi Perah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Ungaran. Hal. 120 – 121.

Muljadi, N.A. dan A. Saleh. 1995. Faktor produksi susu sapi perah rakyat di Garut dan Bogor. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Hal. 26 – 30.

Prasetyo, B.W., Sarwiyono dan P. Surjowardojo. 2013. Hubungan antara diameter lubang puting terhadap tingkat kejadian mastitis. Jurnal Ternak Tropika. Universitas Brawijaya. Malang. 14: 15 – 20.

Prihanto. 2009. Manajemen Pemeliharaan Induk Laktasi Di Peternakan Sapi Perah CV. Mawar Mekar Farm Kabupaten Karanganyar. Tugas Akhir. Program Diploma III Agribisnis Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Putro, D.A.N., A. Setiadi dan M. Handayani. 2013. Analisis potensi pengembangan agribisnis sapi perah di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Animal Agricultural Journal. 2 (2): 33 – 40.

Roosena, Y. 2010. Kandungan protein susu sapi perah Friesian Holstein akibat pemberian pakan yang mengandung tepung katu (Sauropus androgynus

(L) Merr) yang berbeda. Jurusan Peternakan Fakultar Pertanian.

Universiras Mulawarman. Samarinda.

Safangat, A., Sarwiyono dan P. Surjowardojo. 2013. Pengaruh penggunaan jus daun kelor (Moringa oleifera) untuk teat dipping terhadap kejadian mastitis subklinis sapi perah Friesien Holstein laktasi. Fakultas Peternakan. Universitas Bawijaya. Malang. Hal. 1 – 8.

Sejati, W. 2016. Kualitas Kimia Susu Sapi Peranakan Friesian Holstein Sebelum dan Sesudah Pengobatan Mastitis. Skripsi. Program Strata-1 Peternakan. Universitas Sebelas Maret.

Setiadi, Y. 1997. Deteksi mastitis subklinis pada sapi perah dengan aullendorfer mastitis probe (AMP) test. Lokakarya Fungsional Non Penelitian. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Hal. 210 – 116.

(24)

commit to user

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (Mammalia). Cetakan ke-3 (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-a (Mammalia). Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta.

Sudarwanto, M. 1997. Milkchecker, suatu alat alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinik. Media Veteriner. 4: 1 – 13.

Sudarwanto, M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinik. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudarwanto, M. dan Sudarnika, E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis subklinik. Media Peternakan edisi Agustus 2008. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31 (2): 107 – 113.

Sudono, A., R.F. Rosdiana dan B.S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif . Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Supar. 1997. Mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia: masalah dan pendekatannya. Balai Penelitian Veteriner. 6 (2): 48 – 52.

Supar dan T. Ariyanti. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah. Dalam: Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor. Hal. 360 – 366.

Surjowardojo, P., Suyadi, L. Hakim dan Aulani’am. 2008. Ekspresi produksi susu pada sapi perah mastitis. Jurnal Ternak Tropika. 9 (2): 1 – 11.

Surjowardoyo, P. 2011. Tingkat kejadian mastitis dengan whiteside test dan produksi susu sapi perah friesian holstein. Jurnal Ternak Tropika. 12: 46 – 55.

Sutarti, E., S. Budiharta, B. Sumiarto. 2003. Prevalensi dan faktor-faktor penyebab mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Sain Veteriner. 21: 43 – 49.

Suwito, W., A.E.T.H. Wahyuni, W.S. Nugroho dan B. Sumiarto. 2013. Isolasi dan identifikasi bakteri mastitis klinis pada kambing peranakan ettawah. Jurnal Sain Veteriner. 31: 49 – 54.

Taufik, E., G. Hildebrandt, J.N. Kleer, T.I. Wirjantoro, K. Kreasukon and F.H. Pasaribu. 2008. Contaminan level of Staphylococcus spp. in raw goat milk and associated risk factors. Media Peternakan. 31 (3): 155 – 165.

(25)

commit to user

Tuasikal, B.J., S. Estuningsih, F.H. Pasaribu dan I.W.T. Wibawan. 2012. Orientasi dosis iradiasi Streptococcus agalactiae untuk bahan vaksin mastitis subklinis pada sapi perah. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 8 (2): 83 – 88.

Utama, I.W., N.S. Rejeki, I M. Sukada dan I W.T. Wibawan. 1997. Isolat

Streptococcus agalactiae asal sapi penderita mastitis subklinis : I. Ekspresi fenotip isolat in vitro. Media Veteriner. 4: 1 – 8.

Winarso, D. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan. Jurnal Sain Veteriner. Universitas Brawijaya. Malang. 26 (2): 58 – 65. Zalizar, L. 2012. Kualitas fisik Garlic Oil dan potensinya sebagai anti mikroba

Streptococcus agalactiae penyebab mastitis pada sapi perah. Jurnal

Gambar

Gambar 1. Diagram Perbandingan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang   Hasil  tersebut menunjukkan bahwa kebersihan lantai kandang memberikan  pengaruh  signifikan dalam meningkatkan  kejadian mastitis pada sapi perah
Gambar 2. Diagram Perbandingan Bentuk Kandang
Gambar 3. Diagram Perbandingan Kemiringan Lantai Kandang
Gambar 5. Diagram Perbandingan Umur Ternak
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada masing-masing industri tersebut ditunjukkan beberapa contoh varietas unggul kedelai dengan karakteristik biji sedang dan biji besar untuk dikaji dan

Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang notabenanya merupakan lembaga pendidikan lembaga pendidikan tinggi yang salah satu misi utamanya menyiapkan

Maksud kita dengan itu ialah apakah kaum buruh dan kaum borjuis yang kecil-kecil mesti dihimpunkan dalam &#34;satu&#34; organisasi nasional dengan &#34;satu&#34; pusat pemimpin

Keputusan ini boleh difahami bahawa majoriti responden yang hadir pada sesi rundingcara tidak melaksanakan ibadat solat fardu sepenuhnya dan dipersetujui juga

Amilum sudah lama di0enal seagai ahan !amahan dalam pemua!an !ale! salah sa!una adalah un!u0 penghan5ur.. An!iio!i0a ini dihasil0an oleh

Mengacu pada pemberlakuan UU No 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian  Kesesuaian  (UU  No.  20  tahun  2014,  tentang    SPK),  BSN  bekerjasama 

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 itu mendapatkan hasil bahwa kesulitan keuangan tidak berpengaruh signifikan terhadap pergantian KAP begitu pula dengan

sebelumnya tidak memiliki pekerjaan pokok maupun sampingan, sesudah adanya Desa Wisata mendapatkan pekerjaan pokok maupun sampingan yang berkaitan dengan Desa