• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik

Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2016 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel-cerpen percintaan atau romance.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca.. karya kami, anda, kita semua. Peringatan: Selazimnya romance-percintaan, karya ini bukan untuk anak/remaja di bawah umur. Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Tokoh & alur cerita adalah fiksi belaka. Terima kasih & salam.

***

Kira-kira Sejarah Cirebon

Terkait jawa bagian barat, setelah Banten, yang masyur sampai jauh ke Eropa pada masa jayanya, sekarang kita ulas Cirebon. Kita ketahui, sebelum era-Islam, Jawa bagian barat adalah daerah Galuh-Sunda. Kemudian, setelah tergerus Majapahit bagian tenggaranya, yang Galuh-Sunda bertransformasi menjadi Pakuan-Pajajaran, daerah kekuasaan Prabu Siliwangi. Lantas, bekas kekuasaan Siliwangi itu, terbagi tiga. Yaitu sebelum semuanya dianeksasi Belanda. Sisi barat, jadi kesultanan Banten. Sisi tengah jadi daerah VOC. Dan sisi timur, daerah Kerajaan Cirebon.

Jelas sekali, Cirebon awalnya nothing. Lalu jadi dukuh kecil. Konon yang membangun Ki Gedeng Tapa. Siapapun dia itu. Lalu, jadi desa yang warganya campuran dari mana-mana dengan berbagai latar belakang, dibilang caruban (dalam bahasa Sunda masa lalu). Terus jadi Cirebon. Bisa juga nama itu dianggap berasal dari kata rebon (udang kecil) yang banyak ditemukan sepanjang pantai untuk bahan petis, terasi, dan garam. Terus Cirebon ini berkembang jadi kota besar, pelabuhan pelayaran dan perdagangan penting di pantura. Dan pusat penyebaran islam di Jawa Barat ada yang mengira-ira kuatnya pertama dari daerah Cirebon ini.

Alkisah, semula desa atau kecamatan atau kuwu, suatu ketika, di tahun 1430 lantas dipimpin turunan Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana alias Raden Walangsungsang. Kata hikayat, dia anak Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istri pertama Subang Larang, puteri Ki Gedeng Tapa sang perintis Cirebon. Sorry, Prabu Siliwangi itu Siliwangi yang mana bisa pabaliut. Mungkin Siliwangi ini tidak satu, ada Siliwangi I, II, seterusnya. Wallahualam. Tidak usah ditelusur, tapi pokoknya: dia leader Pakuan Pajajaran. Andai Walangsungsang tidak muslim, konon dia berhak atas tahta Pakuan Pajajaran, yang mayoritasnya: Sunda Wiwitan (agama leluhur), Hindu, dan Budha. Berhubung dia muslim ikut ibunya, maka tahta pun jatuh ke tangan saudara lain (ada yang bilang: Pangeran Surawisesa anak dari istri kedua Nyai Cantring Manikmayang, or

(2)

something). Itu beda cerita. Dia punya saudara lain: Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang. Itu juga beda cerita.

Pendek kata, Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana terus membangun istana dan membentuk pemerintahan sendiri di Cirebon 1430M. Kecil, tapi jadi terpandang karena dia yang bikin. Turunan langsung raja Pakuan Pajajaran, gitu loh. Siapa yang berani ganggu? Sang pendiri konon sempat haji, dan dapat nama alias baru Pak Haji. Bukan Haji Udin, tapi Haji Abdullah Iman. Walah. Haji Udin tadi itu siapa? Ta'uk. Lama-lama, terus Walangsungsang berafiliasi dengan kesultanan Demak yang sama-sama islam. Demak itu mewarisi kompetensi dan kedigdayaan Majapahit. Jadi, tentu amat gila kalau Cirebon coba-coba jadi penantangnya, atau nolak beraliansi.

***

Sunan Gunungjati (Berkuasa 89 tahun, 1479-1568)

Tokoh Cirebon lain yang disebut di berbagai riwayat adalah Sunan Gunungjati. Menurut Hikayat, sepeninggal Sunan Ampel, yang semula top leader para wali, wali-wali lain lantas rapat di Tuban 1478, dan bersepakat memilih Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunungjati jadi penggantinya. DPP-nya para wali ini terus dipindah ke Gunung Sembung, daerah Gujungjati, Cirebon, Jawa Barat masa kini. Menurut hikayat, daerah itu dijadikan puser bumi (pusatnya dunia). Sekali lagi, itu Gunung. Bukan Jaka. Kalau Jaka Sembung, itu bawa-bawa golok sukanya.

Buntut rapat Tuban, 1479 kedudukan Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon digantikan Syarif Hidayatullah. Yang katanya, dia itu putra adiknya (anak dari Nyai Rara Santang dengan Syarif Abdullah dari Mesir). Martabak juga ada yang dari Mesir. Martabak Mesir. Gurih itu. Padahal, Walangsungsangnya baru meninggal kelak tahun 1529. Tidak diketahui, setelah lengser dia ngapain. Main gadget seharian belum musim. Syarif Hidayatullah sendiri, setelah wafat disebut sebagai Sunan Gunung Jati bergelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Panjang bener. Anak cucunya, dipastikan sulit menghafat nama sepanjang itu. Wallahualam. Uler juga panjang.

Di Cirebon, Gunungjati menurut hikayat berkuasa sekitar 89 tahun (1479-1568), dan sebelum ke Cirebon, dia itu asalnya dari Passai. Terus sempat ke Melaka segala. Pas di Cirebon, sempat berguru dua tahunan ke Mekah bersama anaknya. Panjang umur bener nih kalau hikayatnya akurat.

Dikisahkan, Syarif Hidayatullah selaku tokoh wali senantiasa berusaha mengislamkan kakeknya Jaya Dewata, Prabu Siliwangi. Gagal maning, gagal maning. Ujungnya, justru Syarif Hidayatullah pada 1482 bikin maklumat, tidak akan lagi mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran. Proklamasi kemerdekaan ini jadinya. Maklumat ini diikuti negeri-negeri kecil

(3)

di sekeliling Cirebon. Lepas dari Pakuan Pajajaran, Cirebon mepet ke Demak, aliansi lewat perkawinan antar bangsawan. Pangeran Maulana Hasanudin menikahi Ratu Ayu Kirana. Pangeran Jayakelana menikahi Ratu Ayu Pembayun. Pangeran Bratakelana menikahi Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan). Tahun 1511, Ratu Ayu menikahi Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor, alias Pati Unus kelak bertahta di Demak tahun 1518). Sampai sekarang, di Jawa Barat, diyakini Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati ini leluhur dari semua bangsawan Cirebon dan Banten. Selain ke Banten, islam juga disebarkan ke Majalengka, Kawali (Galuh), dan Sunda Kelapa. Di Luragung, Kuningan, islam sudah berkembang sendiri didorong oleh penguasanya Ki Gede Luragung. September 1488, anak Ki Gede Luragung ini terus diadopsi Sunan Gunung Jati, digelari Pangeran Kuningan, menjadi leader di Kuningan dengan gelar Depati atau adipati.

Setelah 1521 Pangeran Sebrang Lor wafat (Sultan Demak kedua, aka Pati Unus) dalam ekspedisi ke Melaka menyerang Portugis, Ratu Ayu, putri Gunungjati yang jandanya Pangeran Sabrang Lor mudik ke Cirebon. Bersamanya diusung gamelan "Sukahati" (bahagia karena ikhlas), sebagai benda kenangan mendiang suaminya. Gamelan dakwah itu terus berkembang menjadi Sukaten atau Sekaten, dan sampai sekarang kesenian Gong Sekati masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.

Kemudian, Cirebon giat menyebar Islam ke daerah-daerah Pakuan Pajajaran. Penyebaran ke Banten, sampai tumbangnya Pakuan Pajajaran, Banten, dan Sunda Kelapa sudah diulas di tulisan lain. Di sini diulas sekilas saja.

Catatan Portugis menulis: Sunda Kelapa terbujur 1-2 kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa pulau. Sungainya bisa dimasuki 10 kapal besar. Kapal-kapal tersebut umumnya milik orang Melayu, Jepang, Tionghoa, dan dari daerah-daerah yang sekarang Indonesia Timur. Sementara, kapal-kapal Portugis dari tipe kecilan harus berlabuh di depan pantai. Disebutkan, komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.

Ada yang bilang, Fatahilah (alias Fadilah Khan) yang lantas bersama pasukan muslim menaklukkan Sunda Kelapa 1527, itu bukan Sunan Gunungjati, melainkan menantunya, yang menikahi Ratu Ayu, janda almarhum Pati Unus. Disebut juga, setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, Fatahilah pun kemudian menikahi jandanya sekalian Ratu Ayu Pembayun, yang juga puteri Demak. Hal ini membuat Fatahilah sekaligus menantu Sunan Gunungjati Cirebon, dan menantu kesultanan Demak sekalian. Sehingga, saat dia merencanakan penyerangan Sunda Kelapa, selain Cirebon dan Banten (bawahan Cirebon), Demak pun ikut membantu, dan bahkan Sultan Trenggono atau Trenggana dari Demak ikut merencanakan detil serangannya.

Saat serangan Juni 1527, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya. Wak Item tewas, kemudian

(4)

Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang didiami tiga ribu muslim Betawi di Mandi Racan (sekarang Pasar Ikan, Jakarta). Bantuan Portugis terlambat. Padahal mestinya datang 6 kapal perang Galiun digdaya, tapi berlayar dari Goa (India), armada ini keganggu badai. Sebagian karam di teluk Benggala, sisanya terus ke Malaka. Saat dari Malaka kemudian Portugis kirim kapal perang, di Sunda Kelapa mereka terkecoh dan kapalnya disergap Fatahilah. Rusak berat dan korban banyak, tapi lolos ke Pasai yang saat itu sudah jadi daerah Portugis. Untuk balasan, 1529 Portugis menyiapkan 8 kapal. Tapi entah kenapa, kemudian, kapal-kapal itu beralih tujuan ke Pantai Emas di Ghana, yang waktu itu merupakan daerah Portugis juga.

Setelah itu, 1528, Cirebon clash dengan Rajagaluh. (Masa kini jadi kecamatan Rajagaluh, di kaki gunung Ciremai arah utara). Rajagaluh yang merasa jalur Siliwangi lebih tuaan, meminta Cirebon tunduk padanya. Sebaliknya, Cirebon yang didukung Kuningan, meminta Rajagaluh yang tunduk. Pecahlah perang di Palimanan. Cirebon-Kuningan dibantu 700 pasukan elit sultan Demak yang kebetulan sedang kunjungan. Akhirnya menang. Para pemimpin Rajagaluh kabur, dan wilayahnya direbut Cirebon. Jadilah segenap pesisir utara dari Cirebon sampai ke Ujung Kulon, nyambung di bawah satu panji untuk beberapa lama. Wilayah kerajaan Tua Pakuan-Pajajaran makin ciut. Setelah Pakuan Pajajaran runtuh, supaya rentang kendali tidak terlalu melebar, dan tidak tumpang tindih, Sunan Gunungjati lalu membagi wilayah. Sisi sungai Citarum ke timur (hingga sungai Cipunegara), itulah wilayah Cirebon inti (masa kini berarti termasuk Karawang, Purwakarta, dan Subang). Antara Citarum dan Sungai Angke, itu wilayah Jayakarta. Diduduki Fatahilah. Dan di baratnya lagi, itu wilayah Banten. Wilayah Banten inti ini pun lalu merdeka jadi wilayah lepas sendiri sejak 1552, dan tidak lagi menjadi bawahan Cirebon. Fatahilah pun relatif bebas juga.

***

Fatahillah (Berkuasa tahun 2 tahun, 1568-1570)

Sepeninggal Gunungjati, Fatahillah naik takhta. Tapi memerintah Cirebon-Jayakarta hanya dua tahun, 1568-1570. Lalu meninggal 1570 dan dimakamkan berdampingan dengan Sunan Gunungjati di Gedung Jinem, Astana Gunung Sembung. Meninggalnya kemungkinan bukan karena kebanyakan makan tahu gejrot atau sambel terasi.

***

Panembahan Ratu I (Berkuasa 79 tahun, 1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, tidak ada calon lain yang top. Tahta pun jatuh ke cucunya, yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Dia bergelar Panembahan Ratu I, yang memerintah cukup lama yaitu 79 tahun bila dihitung sejak 1570, atau 81 tahun bila dihitung sejak 1568, disebabkan selama 1568-1570 itu,

(5)

Fatahilah tidak pernah duduk di Cirebon, dia tetap di Jayakarta, dan yang duduk di Cirebon tidak lain ya sudah Pangeran Mas itu.

Di masa Pangeran Mas Zainul Arifin ini, keraton Mataram mulai dibangun di dekat kali Opak dan Kali Progo (1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, waktu itu masih bawahan Pajang). Terus, kisruh demi kisruh terjadi di Jawa Tengah. Demak yang semula top, tergusur peran sentralnya oleh Pajang. Lantas Pajang digusur Mataram. Mataram lalu berhasil mengkonsolidasi seluruh Jawa tengah-timur, bahkan juga merangsek ke Priyangan timur bekas daerah kerajaan Galuh lama.

Pangeran Mas Zainul Arifin menjaga Cirebon agar tetap damai dengan saudaranya Banten, dan juga damai dengan Mataram. Damai dengan Mataram ini, konon disebabkan karena Pangeran Mas itu merupakan (atau dianggap) guru oleh Sultan Agung Hanyakra Kusuma, raja besar Mataram. Bahkan, ada yang sebut Sultan Agung itu murid kesayangan. Damai, tapi beraliansi dan bersahabat. Bahkan, Benteng Kuta Raja Cirebon atau Benteng Seroja, disebut-sebut dibangun (sebelum 1596) atas bantuan (dan restu) Danang Sutawijaya, Raja Mataram.

Di tahun terakhir pemerintahan Pangeran Mas, peristiwa penting yang dicatat cuma pembuatan kereta Singa Barong, cikar ditarik sapi, hasil desain Pangeran Losari, Angkawijaya. Setelah itu, Pangeran Mas digantikan penerusnya, Panembahan Ratu II. ***

Panembahan Ratu II (Berkuasa 17 tahun, 1649-1666)

Setelah Panembahan Ratu I berkuasa lama sekali, dia meninggal 1649. Yang menggantinya cucunya: Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, disebabkan ayahnya yang putra mahkota, Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian memakai gelar ayahnya yakni Panembahan Adiningkusuma, dan dikenal pula sebagai Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya ini terjepit di antara dua raksasa yaitu Banten dan Mataram. Banten curiga sebab Cirebon terlalu dekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram di lain pihak juga curiga, Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekat, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa (yang bertahta 1651-1682) itu masih bersaudara, sama-sama turunan Gunungjati. Di antara mereka itu, di sisi lain, di lautan, armada Belanda sudah jadi kekuatan maritim paling digdaya sejak 1601! Dan tahun 1619 sudah bercokol kuat di Batavia dan sekitarnya! Kemudian, catatan Belanda menyebutkan: tidak lama setelah penobatan Penembahan Ratu II, sekitar 1650, Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua putra tertuanya ke keraton Mataram Kota Gede. Katanya, itu penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya alias Abdul Karim sebagai pemimpin Cirebon. Tapi.. begitu upacara

(6)

penghormatan selesai, Girilaya dan kedua putra dilarang pulang, dan dipaksa tinggal di Mataram 12 tahun hingga kematiannya. Lha, jadi Cirebon itu diperintah secara remote dari sana. Kebijakan gila begini juga diberlakukan bagi para penguasa pesisir lain, seperti Pangeran Prasena, anak Pangeran Tengah, penguasa Arosbaya (Bangkalan, Madura). Konon, setelah Pangeran Tengah wafat 1620, Mataram meluruk ke Arosbaya. Wali raja, Pangeran Mas dari Arosbaya (adik Pangeran Tengah yang wafat, sekaligus paman Pangeran Prasena yang masih kecil) meloloskan diri ke Demak, sementara Pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat jadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat, yang memimpin secara remote juga. Jadinya berkuasa, secara teori, tapi dalam realitanya, sama sekali tidak berkuasa. Tega nian raja Mataram. Padahal, saat Sultan Agung bolak-balik menyerang VOC di Batavia, bantuan Cirebon tidak kecil. Kontingen Pangeran Kuningan bahkan bertumbangan di sana.

Setelah wafat, Panembahan Ratu II alias Abdul Karim dimakamkan di bukit Girilaya, dekat makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, dan mungkin karena itu dia disebut Pangeran Girilaya. Katanya, makamnya sama tinggi dengan makam Sultan Agung. Ukuren dewe.

Selama dia dan kedua anak tak pulang, Cirebon goncang. Menghindari gegeran karena Pangeran dari istri-istri lain bisa coba mengklaim tahta, terus perang saudara, maka Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten mengintervensi. Dia tetapkan Wangsakerta, adik Pangeran Martawijaya dan Kertawijaya (dua anak pertama Abdul Karim yang dicandet di Mataram), menjadi wali sultan, sampai ayahnya kembali. Semua lantas menyetujui. Di sisi Mataram sendiri, selepas Sultan Agung. Penerusnya Amangkurat I lebih pro Belanda. Saat Trunojoyo berontak, Amangkurat meminta bantuan Belanda untuk menumpasnya di bawah pimpinan Admiral Cornelis Speelman (yang kelak jadi gubernur jenderal). Tapi, tentu bantuan tidak gratis. Belanda mengajukan syarat perluasan wilayah kekuasaan hingga sungai Cipunegara (di utara) terus menyusur ke selatan sampai ke laut. Syarat tersebut Maret 1677 diterima Amangkurat I dan puteranya, yaitu beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibukota Mataram Juni 1677.

Setelah Trunojoyo merebut ibukota, putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya sempat terbawa ke Kediri, tapi terus dibebaskan. Sayangnya, syarat yang diterima Amangkurat I keburu diimplementasikan Belanda, dimana sebagian wilayah yang diambil sebenarnya punya Cirebon, yaitu wilayah Rangkas Sumedang (antara Citarum-Cibeet hingga Cipunegara yang sekarang daerah Karawang, Purwakarta, dan Subang). Cirebon yang saat kejadian pangerannya masih disandera, terpaksa diam saja melepaskan pesisir baratnya untuk Belanda.

Wangsakerta wali Cirebon pun minta bantuan Sultan Ageng dari Banten, saudaranya, untuk mengirim persenjataan dan sumber daya lain bagi Trunojoyo, dan memintanya membebaskan kedua Pangeran Cirebon yang disandera kelak bila menang. Bantuan ini jitu. Trunojoyo jaya. Belakangan, kedua Pangeran Cirebon yang dibebaskan sesuai janji dikirimkan Trunojo kepada Sultan Banten. Toh sehabis itu, Cirebon tak mampu juga

(7)

merebut balik Rangkas Sumedang yang diambil Belanda secara ilegal dan paksa, lewat perantaraan Amangkurat I dari Mataram yang licik.

Sekembali ke Cirebon, kedua pangeran mewarisi kesultanan yang sudah kecil. Batas baratnya saat itu wilayah Kandang Haur dan sekitarnya, hingga batas sungai Cipunegara. Cirebon terus terbagi dua menjadi Cirebon Kasepuhan (untuk sang kakak) dan Cirebon Kanoman (untuk sang adik). Adiknya lagi, yang semula sekedar wali, lalu lengser bebas tugas. Tapi dapet bagian peguron. Pembagian terjadi 1679 aktualnya. ***

Kesultanan Cirebon Terbagi-Bagi

Walau aktualnya 1679, sebetulnya rencana pembagian sudah diputus di Banten 1677. Sultan Ageng yang masih saudara para pangeran Cirebon terpaksa membagi Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron, untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon. Mohon maklum, saat itu, keluarga besar kesultanan Cirebon terbagi tiga kubu (pendukung Martawijaya, Kartawijaya, dan Wangsakerta).

Dua pangeran tertua memiliki separuh wilayah Cirebon tersisa, yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya, sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta yang selama ini jadi wali Cirebon, menjadi Panembahan tanpa wilayah teritorial, namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton.

(1) Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, bergelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (menjabat 1679-1697, 18 tahun)

(2) Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, bergelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (menjabat 1679-1723, 44 tahun)

(3) Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta bergelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (menjabat 1679-1713, 34 tahun). Pelantikan dua putra tertua Girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai teritorial, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki teritori atau keraton sendiri, tetapi berdiri sebagai pimpinan Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

Sesudah itu, Belanda makin mengobok-obok Cirebon. Wilayahnya bahkan kemudian terbagi menjadi empat dan beberapa wilayah independen. Banten pelindung yang dituakan pun lalu kisruh mulai 1680. Jadi, pendeknya, Cirebon boleh dibilang beneran eksis sebagai negara utuh cuma pada periode 1430-1677, atau sekitar 247 tahun. Tidak bisa dibilang sebentar juga sih, tapi tidak pernah beneran jaya. Too bad.

(8)

Tahun 1681, kemudian para pemimpin Cirebon, yang sudah lemah, dipaksa Belanda menandatangani 'perjanjian persahabatan', yang sebetulnya pemaksaan pemberian monopoli dagang kepada Belanda. Oleh Mataram, ada kemungkinan sampai periode ini Cirebon masih dianggap manca negara, atau negara bawahan.

Kelak selepas perjanjian Giyanti Februari 1755, Mataram secara resmi terpecah dua jadi Jogjakarta (di bawah Hamengku Buwono I) dan Surakarta (di bawah Pakubuwono III, sunan yang asli), dan secara resmi, Mataram tidak merdeka lagi, melainkan menjadi bawahan Belanda. Bersamaan dengan itu, seluruh jajahan atau manca negara Mataram di pantura, beralih status jadi vasal Belanda. Termasuk Cirebon. Sebagai gantinya, para leaders di Mataram dapat penggantian uang yang tidak seberapa, dibayarkan setahun sekali. Kemudian, perjanjian ini dipertajam lagi dengan perjanjian Salatiga 1757, yang memunculkan kekuatan ketiga (Mangkunegara I).

Jadi, andai dianggap 1681 itu Cirebon takluknya pada Belanda, maka sampai 1942, terhitung dia dijajah eropa 261 tahun. Sedang kalau dihitung beneran resmi jatuh di kaki Belanda 1755, maka dijajah oleh bangsa Eropa 187 tahun sampai 1942. Yaitu oleh VOC 45 tahun (1755-1800). Dan Belanda sebagai Belanda asli dua periode (periode pertama: 1800-1805, 5 tahun), disela Perancis 6 tahun (1805-1811), lalu Inggris 4 tahun (1811-1815), lalu Belanda lagi (periode kedua: 1815-1942, 127 tahun). Setelah dijajah Eropa, 3 tahunan dijajah Jepang. Habis itu ikut merdeka bersama Indonesia.

Secara peran kemasyarakatan, tahun 1906, Cirebon dikecilkan lagi oleh Belanda. Segenap kekuasaan teritorialnya dihapus. Jadi, para sultan cuma berkuasa di halaman keratonnya saja, yaitu bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Cheirebon (kotapraja Cirebon, yang luasannya tinggal 1100 hektar dengan penduduk sekitar 200 ribu), yang kemudian diperbarui 1926. Tahun 1942, oleh Jepang, kota Cirebon diluaskan lagi jadi 2450 hektar. Nah, kalau dihitung hilangnya kekuasaan lokal adalah 1906, masyarakat Cirebon itu cuma dijajah asing selama 39 tahun (1906-1945). Not that bad.

Setelah kemerdekaan, Cirebon integrasi ke NKRI. Secara administratif dibagi jadi Kota dan Kabupaten Cirebon, masing-masing dipimpin aparat pemerintah Indonesia, yaitu walikota dan bupati. Bukan oleh para sultan. Keraton-keraton tersisa, fungsinya tinggal sebagai pusat kebudayaan. Yang dianggap terpenting, Keraton Kasepuhan yang berdiri sejak 1529. Sedang Kanoman baru 1622. Toh 2003 masih terdengar juga ada konflik. Yaitu untuk penentuan Sultan Kanoman XII. Masya Allah. Apa lagi yang diperebutkan? Secara keseluruhan, di Cirebon (dan Mataram serta Jawa pada umumnya) kita melihat keluwesan, sehingga mereka bisa bertahan dan beradaptasi dari jaman ke jaman. Dan ujungnya, ikut memperkokoh bangunan negara Indonesia. Itu luar biasa. Cuma di sisi lain, dari sudut pandang umat Islam mungkin, kita melihat beratus tahun begini, sampai sekarang, muslim sama muslim itu persatuannya lemah. Masih gampang terlena oleh urusan-urusan jangka pendek, duniawi, dan urusan-urusan trivial. Dan mempersatukan hati itu tricky, sulit, wal susah. Sudah jelas ada kingkong Belanda, begitu digdaya kemiliterannya, bukannya Banten, Mataram, Cirebon yang semua bercorak islam terus

(9)

bersatu padu merapatkan barisan, mereka malah gontokan sendiri. Banten gontokan di dalam. Mataram gontokan di dalam. Eh, Cirebon juga idem. Sudahlah. Masa lalu itu mestinya jadi pelajaran. Bukannya untuk kita cela. Yang penting, ke depannya mestinya kaum muslim yang sekian abad ini angin-anginan bisa naik kelas menjadi satu kelompok solid yang mukminin, kuat takwanya, dan banyak berbuat ihsan. Pasti bisa. Insya Allah.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jannatin (2011), efisiensi removal warna terhadap limbah cair industri batik menggunakan metode adsorpsi dengan arang batok kelapa

Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat

shape with a spectral index of 2.21 ± 0.21 is consistent with values previously reported by other collaborations. It will be interesting to compare these values with future

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian hanya ditemukan satu jenis lamun yaitu jenis Enhalus Acoroides yang tergolong dalam famili Hydrocharitaceae dengan

Penilaian terhadap materi ini dapat dilakukan sesuai kebutuhan guru yaitu dari pengamatan sikap, tes pengetahuan dan praktek/unjuk kerja sesuai dengan rubrik

Comunal, adalah keluarga yang berada dalam satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.. Group

Nama Lengkap : Ahmad Rofingi, S.Pd.I Email : aren.khan@gmail.com Hak Akses :00-Lembaga Jabatan : Operator.. Tempat Tugas : RA Nurul Hidayah

Adjidarmo Kabupaten Lebak yang mengalami peningkatan kelas dari Kelas C menjadi Kelas B disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat