• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Suku Minangkabau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3. Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Suku Minangkabau"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep-konsep yang terkait dengan penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :

1. Keluarga Defenisi Keluarga Tipe Keluarga Struktur Keluarga Fungsi Pokok Keluarga Peran Keluarga

Tugas Kesehatan Keluarga 2. Suku Minangkabau Asal Usul Suku Minangkabau Etimologi Minangkabau

Sistem Kemasyarakatan/Kelarasan Sistem Kekerabatan Suku Minangkabau Kehidupan Masyarakat Minangkabau Kebudayaan Suku Minangkabau Perilaku Kesehatan Minangkabau

(2)

1. Keluarga

1.1 Defenisi Keluarga

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikata-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 1998).

Menurut WHO (1969), keluarga merupakan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan (Setiadi, 2006).

Menurut Peraturan Pemerintah No.21 tahun 1994 Bab I ayat 1, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Akhmadi, 2009).

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai arti yang strategis dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sistem keluarga merupakan sistem terbuka atau sistem sosial yang hidup, terdiri dari beberapa sub-sub/komponen/sistem yaitu pasangan suami isteri, orangtua, anak, kakak adik (sibling), kakek-nenek-cucu, dan sebagainya. Semua sistem ini saling berinteraksi, saling ketergantungan, dan saling menentukan satu sama lain serta membentuk norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh seluruh anggota keluarga tersebut (Wahini dalam Trisfariani, 2007).

(3)

1.2 Tipe Keluarga

Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan, antara lain :

Secara tradisional, dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

a. keluarga inti (Nuclear Family) yang terdiri dari suami, istri, dan anak mereka— anak kandung, adopsi, atau keduanya,

b. keluarga besar (Extended Family) yang terdiri dari keluarga inti dan orang-orang yang masih memiliki hubungan darah seperti kakek/nenek, paman/bibi, dan sepupu (Friedman, 1998).

Secara Modern, dikelompokkan menjadi :

a. Tradisional Nuclear, adalah keluarga inti (ayah,ibu, dan anak) tinggal dalam satu rumah yang ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam satu ikatan perkawinan.

b. Reconstituted Nuclear, adalah pembentukan dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun dari perkawinan baru.

c. Niddle Age/Age Couple, adalah keluarga dimana suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau kedua-duanya bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/perkawinan/meniti karir.

d. Dyadic Nuclear, adalah suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak yang keduanya atau salah satu bekerja di luar rumah.

(4)

e. Single Parent, adalah keluarga dimana satu orang tua sebagai akibat perceraian atau kematian pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah atau di luar rumah.

f. Dual Carrier, adalah keluarga dimana suami istri atau keduanya orang karir dan tanpa anak.

g. Commuter Married, adalah keluarga dimana suami istri atau keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak tertentu.

h. Single Adult, adalah keluarga dimana wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk kawin.

i. Three Generation, adalah keluarga yang terdiri dari tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam satu rumah.

j. Institusional, adalah keluarga yang terdiri dari anak-anak atau orang dewasa yang tinggal dalam satu panti.

k. Comunal, adalah keluarga yang berada dalam satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.

l. Group Marriage, adalah keluarga yang di dalam satu perumahan terdiri dari orangtua dan keturunannya .

m. Unmarried Parent and Child, adalah keluarga yang terdiri dari ibu dan anak dimana perkawinannya tidak dikehendaki, anaknya diadopsi.

n. Cohibing Coiple, adalah keluarga yang terdiri dari dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin.

(5)

o. Gay and lesbian family, adalah keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (Setiadi, 2006).

1.3 Struktur Keluarga

Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam, antara lain :

Patrineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.

Matrineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.

Matrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.

Patrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.

Keluarga Kawin, adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri (Setiadi, 2006).

Menurut Friedman, struktur keluarga terdiri atas :

Pola dan Proses Komunikasi. Pola interaksi keluarga yang berfungsi : (1) bersifat terbuka dan jujur, (2) selalu menyelesaikan konflik, (3) berpikiran positif, (4) tidak mengulang-ulang isu dan pendapat sendiri. Karakteristik komunikasi keluarga berfungsi untuk : (a) Karakteristik pengirim antara lain yakin dalam mengemukakan sesuatu pendapat, apa yang disampaikan jelas dan berkualitas serta selalu meminta dan menerima umpan balik, (b) Karakteristik penerima

(6)

antara lain siap mendengarkan, memberikan umpan balik, dan melakukan validasi.

Struktur Peran. Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat misalnya sebagai suami, istri, anak dan sebagainya. Tetapi kadang peran ini tidak dapat dijalankan oleh masing-masing individu dengan baik. Ada beberapa anak yang terpaksa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang lain sedangkan orang tua mereka entah kemana atau malah berdiam diri di rumah.

Struktur Kekuatan. Kekuatan merupakan kemampuan (potensial dan aktual) dari individu untuk mengendalikan atau mempengaruhi untuk merubah perilaku orang lain ke arah positif.

Nilai-nilai Keluarga. Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan. Norma adalah pola perilaku yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga. Budaya adalah kumpulan dari pola perilaku yang dapat dipelajari, dibagi, dan ditularkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah (Setyowati, 2008).

(7)

1.4 Fungsi Pokok Keluarga

Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi, dan sosial yang berbeda. Oleh karena itu, keluarga harus berfungsi menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan dan harapan dari semua individu yang ada dalam unit tersebut.

Friedman (1998) mengemukakan bahwa keluarga memiliki 5 fungsi dasar, antara lain :

Fungsi afektif, adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah .

Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

Fungsi ekonomi, adalah fungsi untuk memnuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan, adalah fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota kelurga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi (Setiadi, 2006).

Menurut Peraturan Pemerintah No.21 tahun 1994 BAB I pasal 1 ayat 2, fungsi keluarga terbagi atas : fungsi cinta kasih dan fungsi melindungi. Fungsi cinta kasih yaitu dengan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami, dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan

(8)

kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Fungsi melindungi yaitu menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga (Akhmadi, 2009).

1.5 Peran Keluarga

Peran adalah sesuatu yang menunjuk kepada beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefenisikan dan diharapkan secara normatif dari seorang yang memegang suatu posisi dalam situasi sosial tertentu (Friedman, 1998).

Dapat dikatakan bahwa peran merupakan sesuatu yang diharapkan akan dilakukan seseorang yang kemudian akan memberikan pemenuhan kebutuhan. Jika mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, sehingga anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik, biologis, maupun sosiopsikologisnya.

Berbagai peranan yang terdapat didalam keluarga menurut Nasrul Effendy (1998) adalah sebagai berikut :

Peran ayah : ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

(9)

Peran ibu : sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

Peran anak : anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

1.6 Tugas Kesehatan Keluarga

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Berikut ini tugas keluarga menurut Freeman (1981) sebagai berikut :

Pertama, mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumberdaya dan dana keluarga habis. Orangtua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga (Suprajitno, 2004 dalam Trisfariani 2007). Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya (Setiadi, 2006). Kedua, mengambil keputusan untuk melakukan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari

(10)

pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan sekitar keluarga (Setiadi, 2006).

Ketiga, memberikan perawatan anggota keluarga yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi (Setiadi, 2006).

Keempat, mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga memainkan peran yang bersifat mendukung anggota keluarga yang sakit. Dengan kata lain perlu adanya sesuatu kecocokan yang baik antara kebutuhan keluarga dan asupan sumber lingkungan bagi pemeliharaan kesehatan anggota keluarga (Friedman, 1998). Kelima, mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada). Hubungan yang sifatnya positif akan memberi pengaruh yang baik pada keluarga mengenai fasilitas kesehatan. Diharapkan dengan hubungan yang positif terhadap pelayanan kesehatan akan merubah setiap perilaku anggota keluarga mengenai sehat sakit (Friedman, 1998).

(11)

2. Suku Minangkabau

2.1 Asal Usul Suku Minangkabau

Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minangkabau sangat kuat memeluk agama Islam.

Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung.

Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung (Abidin, 2008).

Suku Minangkabau merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minangkabau menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika

(12)

pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis (Akauts, 2008).

2.2 Etimologi Minangkabau

Minangkabau diambil dari kata Minang yang berarti kemenangan dan kabau yang berarti kerbau. Dengan kata lain Minangkabau berarti "Kerbau yang Menang". Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya Minangkabau yang diawali kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.

Nama itu berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-13, kerajaan Singasari melakukan ekspedisi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minangkabau dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minangkabau menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui. Kecemerlangan masyarakat Minangkabau tersebutlah yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah "Minangkabaukabwa", "Minangkabauakamwa", "Minangkabauatamwan" dan "Phinangkabhu". Istilah Minangkabauakamwa atau

(13)

Minangkabaukamba berarti Minangkabau (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangkabauatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangkabauatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (Wikipedia, 2009).

2.3 Sistem Kemasyarakatan/Kelarasan

Sistem kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan. Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya yaitu kelarasan Koto Piliang dan kelarasan Bodi Caniago. Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.

Sistem yang dipakai dalam kelarasan koto piliang yaitu cucua nan datang dari

langik, kaputusan indak buliah dibandiang. Maksudnya yaitu segala keputusan

datang dari raja. Raja yang menentukan. Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai, diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat

(14)

kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat. Bila kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam.

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago adalah nan bambusek dari

tanah, nan tumbuah dari bawah. Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang. Maksudnya yaitu segala keputusan

ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum (Abidin, 2008).

2.4 Sistem Kekerabatan Suku Minangkabau

Sistem kekerabatan suku Minangkabau adalah matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seseorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Menurut Muhammad Rajab (1969), sistem matrilineal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : keturunan dihitung menurut garis ibu, suku terbentuk menurut garis ibu, tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya (eksogami), pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku, kekuasaan di dalam suku terletak di tangan ibu tetapi jarang sekali dipergunakan sedangkan yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istrinya, hak-hak dan pusaka diwariskan oleh

mamak (saudara laki-laki ibu) kepada kemenakannya (anak dari saudara

(15)

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau samapai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Peranan penghulu (ninik mamak) boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga indikator akan berjalan semestinya atau tidak sistem matrilineal itu. Sistem ini hanya diajarkan secara turun-temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya.

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkabau itu sendiri. Ada beberapa ketentuan atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau yaitu Basuku (bamamak bakamanakan), Barumah gadang, Basasok

bajarami, Basawah baladang, Bapandan pakuburan, Batapian tampek mandi.

Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilineal yaitu :

Pengaturan harta pusaka. Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda yaitu sako dan pusako. Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup

(16)

perempuan dengan anak-anaknya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.

Peranan laki-laki. Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk kebutuhan keluarga. Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah

gadang kamanakan awak). Pada giliran berikutnya, setelah dewasa dia akan

menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya. Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri). Selain berperan di dalam kaum, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal.

Kaum dan pesukuan. Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut. Di

(17)

dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande (berasal dari satu ibu). Unit yang lebih luas disebut saparuik (berasal dari nenek yang sama). Kemudian

saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Lebih luas dari itu lagi

disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku (berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya). Pada awalnya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.

Bundo kanduang sebagai perempuan utama. Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Bundo kanduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu (Abidin, 2008).

2.5 Kehidupan masyarakat Minangkabau

Suku Minangkabau menonjol dalam bidang perdagangan, pendidikan dan pemerintahan. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minangkabau banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura.

(18)

Pada masa kolonial Belanda suku Minangkabau juga terkenal sebagai suku yang terpelajar. Oleh sebab itu pula, mereka menyebar di seluruh Hindia-Belanda sebagai pengajar, ulama dan pegawai pemerintah. Di samping itu, mereka juga aktif dalam mengembangkan sastra Indonesia modern, dimana hal itu tampak dari banyaknya satrawan Indonesia pada masa 1920-1960 yang berasal dari suku Minangkabau (Akauts, 2008).

Ada satu budaya kebersamaan yang berkembang di tengah masyarakat, yakni budaya arisan yang dalam bahasa Padang dikenal dengan julo-julo, atau budaya

Toboh (arisan tenaga).

2.6 Kebudayaan Suku Minangkabau

2.6.1 Upacara dan Perayaan pada Suku Minangkabau

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kehidupan manusia semenjak ia lahir-berjodoh hingga meninggalkan dunia yang fana ini berlaku kebiasaan dan tradisi

yang telah memberi warna perlakuan pribadi dan masyarakatnya, di dalam

berinteraksi sesama. Ajaran Islam akan lebih banyak berbicara di dalam pola dan tingkah laku masyarakat daripada konsep-konsep yang bersifat teoritis. Ke arah ini kompilasi syariat Islam dalam khazanah budaya Minangkabau semestinya mengarah.

Upacara-upacara yang dipraktekkan dalam tradisi di Minangkabau adalah : Upacara kehamilan. Ketika roh ditiupkan ke dalam seorang ibu pada saat janin berusia 16 minggu, maka di saat inilah beberapa kalangan masyarakat mengharapkan doa dari kerabat yang terdiri dari para ipar dan besan dari

(19)

masing-masing pasangan isteri. Seperti pada umumnya setiap hajad kebaikan – maka keluarga yang akan membangun kehidupan baru menjadi pasangan keluarga sakinah ma waddah wa rahmah memohon kepada Yang Maha Kuasa agar awal kehidupan janin membawa harapan yang dicita-citakan. Bagi suku Minangkabau, bayi perempuan dianggap sebagai pelanjut dari paruik atau kaum sedangkan bayi laki-laki kelak diharapkan sebagai penjunjung nama kerabat separuiknya, dan menjadi pembela kaum wanita dalam klennya.

Upacara karek pusek (kerat pusat). Sebenarnya tidak memerlukan upacara yang khusus pada saat dilakukan pemotongan tali pusat ini, karena merupakan upaya dari kalangan medis dalam memisahkan pusar bayi dengan plasenta ibunya. Upacara turun mandi dan kekah (akekah). Sering upacara ini dilakukan dengan tradisi tertentu diantara para ipar – besan dan induk bako dari pihak si Bayi. Induk Bako – si bayi akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi laki-laki atau gelang bagi bayi perempuan serta pemberian lainnya sebagai wujud kasih sayangnya atas kedatangan bayi itu dalam keluarga muda.

Upacara sunat rasul. Apabila seorang anak laki-laki telah cukup umur dan berkat dorongan kedua orang tuanya, maka seorang anak akan menjalani khitanan yang disebut dengan ”Sunat Rasul”. Sunat rasul mengandung pengharapan dari kedua orang tuanya agar anak laki-lakinya itu menjadi anak yang dicita-citakan serta berbakti kepada kedua orang tua.

Masa mengaji di Surau dan upacara masa remaja laki-laki. Surau mengandung tempat tinggal dan tempat pembelajaran bagi anak laki di saat ia remaja. Pada masa remaja ada pula acara-acara yang dilakukan berkaitan dengan

(20)

ilmu pengetahuan adat dan agama antara lain : manjalang guru (menemui guru) untuk belajar, balimau, batutue (bertutur) atau bercerita, mengaji adat istiadat,

Baraja tari sewa dan pancak silek (belajar tari sewa dan pencak silat), Mangaji halal jo haram (mengaji halal dengan haram), mangaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso, pengajaran yang berkaitan dengan

adat istiadat dan moral.

Tamat kaji (khatam Qur’an). Biasanya seseorang yang telah menamatkan kaji (khatam Qur’an), maka terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap kemampuan membaca itu dihadapan majelis Surau. Sebagai rasa syukur, maka para jemaah di Surau itu akan merayakan dalam bentuk pemberian doa selamat kepada si murid. Melepas pergi merantau.

Perkawinan. Pada masa dahulu perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak membiarkan atas kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan yaitu : pinang-maMinangkabau (pinang-meminangkabau),

Mambuek janji (membuat janji), anta ameh (antar emas), timbang tando, nikah, jampuik anta (jemput antar), manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi,

menjenguk kandang), baganyie (merajuk), bamadu (bermadu).

Kematian dan tata cara penyelenggaraan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan sesudah kematian yaitu : sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk), anta kapan dari bako (antar kafan dari bako), Cabiek kapan, mandi

maik (mencabik kafan dan memandikan mayat), kacang pali (mengantarkan

(21)

memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribu hari (Padusi, 2008).

2.6.2 Makanan Suku Minangkabau

Minangkabau telah dikenal di seluruh nusantara sebagai daerah yang mempunyai banyak ragam makanan yang rasanya lezat. Hal ini didukung dengan keberadaan restoran ataupun rumah makan Padang. Jenis-jenis makanan pada suku Minangkabau antara lain :

Makanan berat : rendang Darek, rendang Paku, rendang Padang, sambal Balado, kalio, gulai cancang, sambal Lado Tanak, gulai Itik, gulai kepala ikan Kakap Merah, sate Padang, soto Padang, Asam Padeh.

Makanan ringan : lamang tapai, bubur Kampiun, es Tebak, keripik Jangek, keripik Balado, keripik Sanjai, dakak-dakak, Galamai, Amping Badadih, nagasari, kacang tojin (Sudiharto, 2007).

2.7 Perilaku kesehatan suku Minangkabau

Praktik-praktik kesehatan keluarga Minangkabau dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran agama Islam. Sebagai contoh, kelahiran bayi dibantu oleh dukun/bidan dan ditunggui oleh ibu mertua. Setelah bayi lahir, plasenta bayi tersebut dimasukkan ke dalam periuk tanah dan ditutup dengan kain putih. Penguburan plasenta dilakukan oleh orang yang dianggap terpandang dalam lingkungan keluarga.

Pada zaman dahulu, keluarga Minangkabau lebih memilih melahirkan dengan dibantu dukun beranak daripada pergi ke pusat kesehatan. Mereka beranggapan

(22)

bahwa melahirkan dibantu dukun beranak atau paraji biayanya lebih murah. Namun sekarang ini sesuai dengan perkembangan zaman, keluarga Minangkabau lebih memilih melahirkan di bidan atau Puskesmas. Mungkin hanya sebagian saja yang masih melahirkan dibantu oleh dukun beranak, khususnya masyarakat yang masih tinggal di daerah terpencil dan tenaga kesehatannnya terbatas.

Keluarga Minangkabau pada kelas sosial yang rendah mempunyai pola perilaku mencari bantuan pertolongan kesehatan keluarga yang sederhana, yaitu dengan pergi ke dukun. Sejalan dengan aktivitas ekonomi di pedesaan, banyak warung yang menjual obat sampai ke pelosok. Oleh karena itu bila mereka sakit, biasanya mereka hanya berobat ke warung saja. Resiko yang dapat terjadi dengan pola mencari bantuan kesehatan seperti ini adalah terjadi komplikasi atau sakitnya semakin parah. Dampak yang lebih luas adalah bila datang ke rumah sakit dan tidak tertolong, mereka menganggap tenaga kesehatan di rumah sakit tidak cekatan sehingga jiwa anggota keluarga tidak tertolong. Di lain pihak bila dukun tidak berhasil menyembuhkan anggota keluarga mereka, keluarga akan mengatakan mereka belum berjodoh dengan pengobatan alternatif/dukun (Sudiharto, 2007).

(23)

3. Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Suku Minangkabau

Pengertian sehat-sakit menurut masyarakat suku Minangkabau tidak terlepas dari tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pada umumnya, masyarakat menganggap bahwa seseorang dikatakan sehat adalah seseorang yang memiliki jasmani dan rohani yang sehat, serta dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari. Sedangkan untuk masalah sakit, sebagian masyarakat Minangkabau masih ada yang mempercayai bahwa selain disebabkan karena penyebab fisik, juga disebabkan karena adanya gangguan roh-roh halus. Bagi masyarakat Minangkabau, dikatakan sakit, jika seseorang tersebut tidak dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti berdagang, bekerja di kantor, berladang dan lain-lain. Walaupun seseorang tersebut tersebut sudah memiliki gejala sakit seperti sakit kepala, flu ataupun masuk angin namun masih dapat beraktivitas belum diartikan sebagai sakit. Dan jikalau kepala keluarga sakit, maka secara tidak langsung semua anggota keluarga yang ada di dalam keluarga tersebut akan sakit.

Dalam hal pengambilan keputusan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan jika salah seorang anggota keluarga sakit, biasanya diputuskan secara bersama oleh anggota keluarga tersebut. Namun adakalanya, jika keluarga tidak mampu lagi dalam hal dana ataupun penyakitnya sudah terlalu berat maka keluarga tersebut meminta bantuan dari keluarga yang lain atau bahkan dari organisasi yang diikuti oleh keluarga tersebut. Keputusan keluarga tergantung jenis penyakit yang terjadi pada orang tersebut. Sebelum pelayanan medis berkembang dan bertambah banyak seperti sekarang ini, kebanyakan keluarga membawa yang sakit ke pengobatan alternatif (dukun). Untuk saat ini keluarga

(24)

sudah terlebih dahulu membawa ke dokter ataupun pelayanan medis yang lain (Piliang, 2009).

Ada beberapa jenis penyakit yang menurut masyarakat Minangkabau tidak dapat dibawa kepada pelayanan medis seperti penyakit busung, kusta atau pada suku Minangkabau dikenal dengan ’biriang’ dan patah tulang yang biasanya hanya dibawa kepada dukun patah. Menurut mereka, penyakit busung dan kusta tersebut disebabkan karena guna-guna (ulah seseorang). Penyakit busung (perut membuncit, namun badan semakin kurus) biasanya disebabkan karena seseorang tersebut terkena kutukan karena telah memakan ikan (benda) larangan, dan untuk sembuh harus berobat kepada orang yang telah membuat larangan tersebut (Caniago, 2009).

Dalam hal perawatan orang sakit, seiring dengan perkembangan teknologi dan tingginya tingkat pengetahuan, keluarga/masyarakat Minangkabau lebih memilih untuk meneruskan pengobatan yang didapat dari petugas kesehatan. Namun adakalanya, keluarga memberikan perawatan-perawatan sederhana seperti jika seseorang demam hanya dikompres dengan daun-daun yang sifatnya dingin (kembang semangkok, daun jarak), jika batuk diberikan air daun kacang tujuh yang telah diremas, ibu postpartum biasanya diberikan tambahan seperti minum jamu ataupun ramuan-ramuan tertentu.

Dalam hal mepertahankan suasana rumah, suku Minangkabau biasanya berusaha agar posisi dan letak rumah menghadap ke arah matahari terbit. Dengan tujuan agar rumah tersebut mendapat sinar matahari yang cukup. Kebersihan rumah pada suku ini, tergantung pada kegiatan yang dimiliki oleh keluarga

(25)

tersebut, khususnya bagi Minang perantauan yang biasanya memiliki usaha/industri rumah tangga di rumah. Mitos yang ada pada suku Minangkabau bahwa rumah harus dibersihkan dari depan ke belakang dengan tujuan tidak menolak rejeki yang akan datang pada rumah tersebut. Keluarga Minangkabau memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga pada saat makan malam yang digunakan untuk mendiskusikan ataupun mengetahui perkembangan dari setiap anggota keluarga tersebut.

Dalam hal pemanfaatan fasilitas kesehatan, hampir sebagian besar masyarakat Minangkabau sudah lebih memilih untuk berobat kepada petugas kesehatan. Kepercayaan pada fasilitas kesehatan tergantung pada individu tersebut, lebih percaya kepada petugas kesehatan atau pengobatan alternatif (Caniago, 2009).

Referensi

Dokumen terkait

Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang

Selanjutnya, penulis menganalisis generic structures dari setiap teks monolog dalam buku “English In Focus” untuk Kelas VIII SMP/MTs Penerbit Pusat Perbukuan

Radea (2002) dalam penelitiannya yang berjudul :”Hubungan Program Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Karyawan PT PLN (Persero) Pikitring Jawa, Bali dan Nusra Pikiting

Hasil penelitian prestasi belajar siswa pada siklus I sebesar 56% dan siklus II sebesar 87%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi questions students

Dengan melihat kondisi ini, kegiatan pemberdayaan sangat bermanfaat bagi guru ustad dan ustadah sehingga diharapkan setelah dilakukan pengabdian ini, ustad dan ustadah menjadi

− Huruf : bila akan dirujuk di-refer di bagian lain dari Laporan KKL, harus menggunakan huruf untuk menghindari kerancuan dengan penggunaan angka untuk bab dan sub bab. Bentuk

Dan  pada perhitungan setiap titik pada suatu spesimen Jominy mengalami laju pendinginan dengan laju tertentu, yang besarnya dapat dianggap sama pada spesimen Jominy yang

Tujuan utama dalam menggunakan ketrampilan ini adalah untuk menciptakan persekutuan perawat – klien dan untuk mengidentifikasi serta mengeksplorasi cara-cara membentuk