• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidaknya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal. Suatu studi patologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidaknya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal. Suatu studi patologi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6 2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

National Kidney Foundation mendefinisikan PGK berdasarkan ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal. Suatu studi patologi menunjukkan bahwa kerusakan ginjal bisa tidak disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Bukti adanya kerusakan ginjal tergantung pada tipe dari penyakit ginjal itu sendiri dan dapat meliputi abnormalitas pada pemeriksaan darah, urin seperti adanya proteinuri yang menetap, hematuria serta tes pencitraan (National Kidney Foundation, 2002).

Tabel 2.1 Kriteria Definisi Penyakit Ginjal Kronik (National Kidney Foundation, 2002)

1. Kerusakan ginjal selama > 3 bulan, yang disebabkan oleh abnormalitas struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa penurunan LFG, manifestasi sebagai:

 Abnormalitas patologi

 Bukti kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas komposisi darah atau urin, abnormalitas pada tes pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m2 selama > 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Stadium PGK ditegakkan berdasarkan pada tingkat fungsi ginjal. Identifikasi stadium pada penderita PGK tidak secara akurat mengetahui penyebab penyakit ginjal yang mendasari (National Kidney Foundation, 2002). Batasan laju filtrasi

(2)

glomerulus yang digunakan adalah 60 ml/menit/1,73m2 karena hal itu merupakan penurunan 50 persen dari fungsi ginjal yang normal (Couser dkk, 2011).

2.1.2 Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menjadi stadium 1 hingga 5, dimana stadium 1 ditandai dengan kerusakan ginjal dengan LFG normal. Stadium 2 ditandai dengan kerusakan ginjal dengan penurunan laju filtrasi glomerulus ringan. Stadium menengah yang signifikan secara klinis adalah PGK stadium 3 dan 4 sedangkan PGK stadium 5 sudah dikatakan stadium akhir yaitu dengan nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah <15 ml/menit/1,73m2 (MacGregor, 2006; Couser dkk, 2011).

Tabel 2.2 Klasifikasi Stadium PGK (National Kidney Foundation, 2002) Stadium Laju Filtrasi Glomerulus

(ml/menit/1,73m2)

Deskripsi

1 >90 Kerusakan ginjal dengan

LFG normal

2 60-89 Kerusakan ginjal dengan

penurunan ringan LFG

3 30-59 Penurunan LFG sedang

4 15-29 Penurunan LFG berat

5 <15 Gagal ginjal

2.1.3 Komplikasi pada Sistem Saraf

Penyakit ginjal kronik menyebabkan akumulasi produk sisa organik dari tubuh yang normalnya dibersihkan oleh ginjal. Pada penderita PGK dengan laju filtrasi glomerulus dibawah 50% sering mengalami komplikasi dibidang neurologi (Ramirez dan Gomez, 2012). Komplikasi neurologi terjadi hampir 60% pada

(3)

penderita PGK stadium lanjut (Brouns dan De Deyn, 2004) dan mempengaruhi sistem saraf pada semua level baik sentral maupun perifer (Krishnan dan Kiernan, 2009). Komplikasi pada sistem saraf dapat berhubungan langsung diakibatkan oleh penyakit ginjal itu sendiri dan dapat berhubungan dengan terapi hemodialisis. Komplikasi neurologi pada sistem saraf pusat antara lain demensia dialisis, sindrom disekuilibrium dan ensefalopati uremik sedangkan komplikasi neurologi pada sistem saraf perifer yang paling sering adalah neuropati perifer (Krishnan dan Kiernan, 2009; Rizzo dkk, 2012). Komplikasi yang berhubungan dengan terapi hemodialisis tampak pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komplikasi Neurologi Pada Pasien Hemodialisis (Rizzo dkk, 2012) Sistem Saraf Pusat

Dipicu oleh Dialisis Demensia Dialisis

Ensefalopati Wernicke (defisiensi thiamin) Central pontine myelinolysis (koreksi cepat dari hiponatremi)

Dimodifikasi oleh Dialisis Ensefalopati uremik (memperbaiki) Aterosklerosis (memperberat) Stroke perdarahan (memperberat) Leukoenchephalopathy (reversibel) Sistem Saraf Perifer

Dipicu oleh Dialisis Mononeuropati

Carpal tunnel syndrome

Berhubungan dengan akses vaskular (ischemic monomelic neuropathy) Anterior ischemic optic neuropathy Dimodifikasi oleh Dialisis Polineuropati (memperbaiki/memperberat)

Subklinis

Gejala ringan dan di daerah distal Gejala berat, neuropati sensorik dan motorik

Kondisi akut, mirip dengan Guillain-Barre Syndrome

(4)

2.2 Neuropati Perifer pada PGK

Neuropati perifer diartikan sebagai suatu proses menyeluruh yang memberikan efek yang bersifat menyebar, simetris bilateral dan bersifat motorik, sensorik, atau otonom (Herskovitz, 2010). Neuropati uremik terjadi pada dua per tiga pasien PGK stadium akhir. Proses dialisis biasanya akan memperbaiki kondisi neuropati ini (Weisberg, 1996). Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa dengan hemodialisis, gejala neuropati perifer akan semakin bertambah oleh karena hilangnya tiamin saat proses dialisis. Hal ini belum diketahui secara pasti (Rizzo dkk, 2012). Neuropati perifer pada penderita PGK memiliki prevalensi bervariasi sekitar 60%-90% dan dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki (Wijdicks, 2002; Krishnan dan Kiernan, 2009).

2.2.1 Manifestasi Klinis Neuropati Perifer pada PGK

Neuropati perifer pada penderita PGK merupakan suatu neuropati length-dependent, memiliki karakteristik degenerasi aksonal dengan demielinisasi sekunder dan kondisi tersebut dapat mempengaruhi saraf motorik, sensorik dan saraf kranialis. Neuropati yang terjadi ditandai dengan kelainan pada daerah distal, bersifat simetris dengan predominan neuropati aksonal, campuran neuropati motorik dan sensorik. Biasanya lebih banyak mengenai tungkai kaki dibandingkan lengan tangan (Rizzo dkk, 2012).

Neuropati ini biasanya terjadi subklinis dan didiagnosis berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi. Pada kondisi ringan, gejala yang paling sering terjadi adalah kesemutan pada ekstremitas bagian distal, serta berhubungan

(5)

dengan hilangnya rasa getar atau vibrasi (Rizzo dkk, 2012). Gejala klinis yang muncul dapat berupa kram otot yang biasanya dikeluhkan pada malam hari, biasanya berlokasi pada satu atau lebih otot yang lebih sering mengenai ekstremitas bawah, selain itu dapat juga terjadi restless leg syndrome, parestesi, disestesi atau sensasi abnormal yang mengenai jari-jari kaki dan tangan dan biasanya terjadi pada stadium lanjut PGK, nyeri pada kedua ektremitas bawah terutama pada daerah yang dipersarafi nervus peroneus dan sensasi terbakar pada kedua kaki (Mustofa dan El Tayeb, 2004).

Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hilangya refleks tendon Achiles pada kasus yang lebih lanjut. Gangguan vibrasi pada ekstremitas bagian distal dialami selanjutnya. Namun terdapat penelitian lain yang menyebutkan bahwa gangguan vibrasi lebih terganggu terlebih dahulu dibandingkan modalitas lainnya. Kelemahan motorik tersering adalah kelemahan dorsofleksi kaki hingga atrofi otot terutama di bagian distal. Gejala sensoris dominan yang muncul dengan distribusi seperti kaos kaki. Gangguan motorik dan sensorik lebih ke proksimal dan pada ekstremitas superior menunjukkan bahwa kerusakan saraf telah lanjut (Latov, 2007; Palmer, 2007; Krishnan dan Kiernan, 2009; Pan, 2009; Herskovitz, 2010).

2.2.2 Patogenesis Neuropati Perifer pada PGK

Patogenesis neuropati perifer pada penderita PGK diawali dengan kondisi uremia. Pada kondisi uremia banyak bahan toksin uremik yang dapat memicu munculnya neuropati uremik. Bahan toksin uremik adalah suatu substrat atau bahan yang normalnya diekskresikan oleh ginjal dan bahan ini memberikan efek

(6)

negatif pada fungsi biologis tubuh (Duranton, 2012). Meskipun beberapa atau semua bahan toksin ini berperan dalam terjadinya neuropati uremik, faktanya bahwa beberapa dari bahan tersebut bersifat neurotoksin masih belum pasti, contohnya molekul berukuran sedang dengan berat molekul 300 hingga 2500 Dalton dapat bersifat neurotoksin. Suatu bahan disebut toksin uremik biasanya memiliki syarat-syarat sebagai berikut (Arminoff, 2008; Krishnan dan Kiernan, 2009) :

1. Bahan diidentifikasi secara kimia dan ditemukan dalam cairan biologis tubuh.

2. Konsentrasi zat tersebut lebih tinggi pada pasien dengan uremia.

3. Konsentrasi dari zat tersebut berkorelasi dengan gejala uremik yang spesifik.

4. Gejala berkurang bila zat tersebut kadarnya menjadi normal. 5. Efek toksik zat tersebut muncul pada konsentrasi yang sama.

Bahan-bahan toksin uremik ini secara umum dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar antara lain bahan molekul ringan yang larut air, molekul berukuran sedang dan bahan yang terikat dengan protein. Yang termasuk dalam bahan molekul ringan adalah urea, kreatinin, oksalat dan asam urat. Yang termasuk dalam molekul berukuran sedang adalah leptin, beta 2 mikroglobulin dan hormon paratiroid, sedangkan yang termasuk dalam bahan terikat dengan protein adalah polyamines, indoxyl sulfate, homocystein dan hippuric acid (Dhondt, 2000).

(7)

Ada beberapa teori mengenai efek toksik dari bahan-bahan toksin uremik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa pasien didapatkan teori bahwa molekul berukuran sedang ini memberikan efek toksik, namun terdapat beberapa studi lain yang tidak mendukung teori ini. Suatu postulat yang dikemukakan oleh Fraser dan Arieff mengungkapkan bahwa neurotoksin berefek mengurangi suplai energi pada akson dengan cara menghambat enzim serabut saraf yang diperlukan untuk produksi energi tersebut. Dengan berkurangnya energi akan mempengaruhi nodus ranvier dalam menyalurkan impuls konduksi dan akhirnya akan menyebabkan kerusakan akson (Ramirez dan Gomez, 2012).

Bahan toksin juga menyebabkan disfungsi dari beberapa membran pada perineurium, dimana berperan sebagai barier difusi antara cairan interstitial dan saraf; dan pada endoneurium, dimana berperan sebagai barier antara darah dan saraf. Sebagai konsekuensinya, toksin uremik dapat masuk ke ruang endoneural dan menyebabkan kerusakan saraf secara langsung, dengan perubahan hidroelektrolit yang dapat menyebabkan penciutan (shrinkage) (Pan, 2009). Nielsen pada tahun 1973 mengajukan suatu hipotesis bahwa disfungsi saraf yang terjadi berhubungan dengan faktor toksik serum uremik yang menghambat fungsi membran akson dan aktivasi pompa Na/K ATPase. Hal ini dipikirkan karena terjadi pengurangan kecepatan konduksi saraf akibat dari pompa Na/K ATPase pada aksolema yang berhubungan dengan toksin uremik, membentuk akumulasi natrium intrasel dan perubahan potensial membran istirahat. Kondisi ini memicu degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental sekunder (Nielsen, 1973, Krishnan et al, 2005).

(8)

Studi morfologi menunjukkan degenerasi aksonal dengan tipe dying-back dan demielinisasi yang terjadi merupakan kondisi sekunder dari atropi akson yang mendahului proses degenerasi aksonal. Gangguan metabolik bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati tetapi juga berhubungan dengan monoclonal cryoglobulinemia dari diskrasia sel plasma. Pada Gambar 2.1 tampak gambaran potongan melintang serabut saraf menggunakan mikroskop elektron pada kondisi neuropati. Beberapa spiral bagian dalam dari sel Schwann tampak tidak padat untuk membentuk lamellar myelin. Lamellar yang tidak padat ini tampak pada beberapa neuropati (Garcia, 2013).

Gambar 2.1 Kerusakan Serabut Saraf pada Neuropati (Garcia, 2013)

Hemodialisis juga dapat mengakibatkan terakumulasinya molekul berukuran

sedang. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang mengatakan bahwa neuropati disebabkan oleh akumulasi molekul berukuran sedang (300 hingga 12.000 Dalton), dimana dibersihkan lebih lambat daripada urea dan kreatinin (Vanholder et al, 2008).

Secara patologi, kondisi neuropati perifer dibagi menjadi 3 pola dasar yaitu degenerasi Wallerian, aksonopati distal dan demielinisasi segmental. Neuropati

(9)

yang ditandai dengan degenerasi Wallerian, meliputi neuropati akibat trauma, infark dari saraf perifer (mononeuropati diabetik, vaskulitis) dan infiltrasi neoplasma. Pada aksonopati distal, didapatkan neuropati akibat gangguan metabolik, obat-obatan, dan toksin industri seperti pestisida, sedangkan demielinisasi segmental terjadi pada neuropati demielinisasi akut dan kronik, neuropati difteritik, metachromatic leukodystrophy dan penyakit Charcot-Marie-Tooth (Agamanolis, 2015).

Neuropati perifer pada PGK terjadi proses aksonopati distal, diawali dengan degenerasi akson dan myelin terutama pada bagian distal dari akson. Apabila kerusakan ini terjadi menetap maka akan terjadi akson “dies back”. Hal ini yang menyebabkan gejala dengan karakteristik kelemahan dan hilangnya sensoris area distal “stocking-gloves”. Neurofilamen dan organela berakumulasi pada proses degenerasi akson, hal ini terjadi kemungkinan oleh karena kondisi stagnan dari aliran aksoplasmik. Kemudian akson menjadi atropi dan hancur. Aksonopati distal yang berat hampir menyerupai degenerasi Wallerian. Pada tahap lanjut, akan terjadi hilangnya mielin pada akson. Aksonopati distal disebabkan oleh patologi atau kelainan dari badan neuron sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang diperlukan akson. Hal ini menjelaskan mengapa penyakit dimulai dari bagian distal saraf dan akson yang besar yang memiliki kebutuhan metabolik dan nutrisi terbanyak biasanya sering mengalami kerusakan yang cukup berat (Agamanolis, 2015).

(10)

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang Neuropati Perifer

Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis suatu neuropati perifer adalah elektroneuromiografi atau pemeriksaan nerve conduction study (NCS). Pemeriksaan compound muscle action potential (CMAP) dilakukan pada nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus tibialis, nervus peroneus. Pemeriksaan sensory nerve action potential (SNAP) pada nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis dan nervus suralis. Nilai normal dari pemeriksaan NCS untuk pemeriksaan motorik dan sensorik nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus tibialis, nervus peroneus, dan nervus suralis tampak pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 (Preston, 2013).

Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Motorik atau CMAP (Preston, 2013) Variabel Latensi (mdet) Amplitudo(mV) KHS(m/det)

N. Medianus <4,4 >4,0 >49

N. Ulnaris <3,3 >6,0 >49

N. Radialis <2,9 >2,0 >49

N. Tibialis <5,8 >4,0 >41

N. Peroneus <6,5 >2,0 >44

Tabel 2.5 Hasil Pemeriksaan Sensoris atau SNAP (Preston, 2013) Variabel Latensi(mdet) Amplitudo(mV) KHS(m/det)

N. Medianus <3,5 >20 >50

N. Ulnaris <3,1 >17 >50

N. Radialis <2,9 >15 >50

N. Suralis <4,4 >6 >40

Nerve Conduction Study merupakan standar baku emas dalam mendiagnosis neuropati perifer pada penderita PGK (Krishnan dan Kiernan, 2009). Pemeriksaan NCS pada neuropati perifer penderita PGK menunjukkan gambaran neuropati

(11)

perifer menyeluruh, tipe aksonal, dengan penurunan amplitudo SNAP dan bila meluas amplitudo CMAP pun menurun, sedangkan kecepatan hantar saraf (KHS) relatif masih baik. Latensi F-wave dan H-reflex, amplitudo nervus suralis, dan deteksi vibrasi pada ekstremitas bawah merupakan parameter elektrofisiologis yang sensitif. Nervus suralis lebih sering terlibat dibandingkan nervus peroneus dan tibialis. Amplitudo sensoris nervus suralis menurun pada 50% kasus. Latensi F-wave pada nervus tibialis dan peroneus memanjang dan H-reflex pun abnormal. Polineuropati dapat terjadi pada stadium awal PGK dan kemungkinan berjenis demielinisasi yang ditandai dengan perlambatan pada konduksi saraf dengan amplitudo sensorik dan motorik yang masih baik. Elektroneuromiografi khususnya NCS mampu mendeteksi adanya neuropati perifer subklinis 48%-70% pasien dengan PGK (Oh, 2003; Krishnan dan Kiernan, 2009; Pan, 2009; Herskovitz, 2010). Suatu penelitian dengan pemeriksaan elektrofisiologis pada penderita PGK pre-dialisis yang dilakukan pada nervus medianus, nervus ulnaris, nervus peroneus dan nervus tibialis, didapatkan hasil sebanyak 70% pasien mengalami neuropati perifer, 6% neuropati asimptomatik, 51% neuropati simptomatik (Aggarwal, 2013).

2.3 Asam Urat

2.3.1 Struktur Asam Urat

Asam urat adalah produk akhir metabolism purin. Purin (adenin dan guanin) merupakan konstituen asam nukleat (Warner et al., 2004). Asam urat (7,9-dihydro-1H-purin-2,6,8(3H)-trione) merupakan asam lemah dengan pKa 5,8 yang

(12)

didistribusikan dalam cairan ekstraseluler sebagai natrium urat. Asam urat cenderung berada di cairan plasma ekstraselular sehingga membentuk ion urat pada pH 7.4. Ion urat mudah disaring dari plasma (McCrudden, 2000).

Gambar 2.2 Stuktur Kimia Asam Urat (McCrudden, 2000).

2.3.2 Sintesis dan Ekskresi Asam Urat

Asam urat disintesis terutama dalam hati, dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase (XO). Metabolisme adenosin triphosfate (ATP) menyebabkan akumulasi hypoxanthine. Hypoxanthine dirubah oleh enzim XO menjadi xantin. Pada jaringan yang non-iskemik, XO yang berada dalam bentuk nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) menurunkan hydrogenase. Selama iskemia, Ca2+-stimulated protease yang menyebabkan pemecahan parsial xanthine dehydrogenase menjadi XO yang irreversible. XO selanjutnya mengoksidasi xanthine, menghasilkan asam urat, superoksida dan hidrogen peroksida (Warner et al., 2004).

(13)

Gambar 2.3 Pembentukan Asam Urat dari Asam Nukleat (Sumarni, 2015)

Gambar 2.4 Metabolisme Purin (Adenosin) (Hare dan Johnson, 2003)

Kadar asam urat serum diatur oleh 4 komponen sistem transpor ginjal yang meliputi proses filtrasi, reabsorbsi, sekresi dan reabsorbsi paska sekresi. Sejumlah transporter ginjal turut terlibat dalam pengaturan kadar asam urat dalam plasma seperti urat transporter 1 (URAT1) yang bertanggung jawab terhadap reabsorbsi urat dan sejumlah sejumlah transporter ion organik (OAT) seperti OAT1 dan OAT3 dan ATP-dependent urate export secretion MRP4 yang terlibat dalam

(14)

sekresi urat. Karena keterlibatannya yang begitu penting dalam reabsorbsi urat, URAT1 dipercaya memainkan peranan yang sangat kritis dalam pengaturan kadar asam urat serum (Johnson et al., 2003; Hediger et al., 2005).

Sumber asam urat pada manusia didapat melalui dua cara, yaitu secara endogen dan eksogen. Sumber asam urat secara endogen yaitu melalui sintesis de novo dan pemecahan asam nukleat kurang lebih sebanyak 600 mg/hari. Sumber asam urat yang berasal dari eksogen yaitu melalui asupan makanan yang mengandung purin kurang lebih 100 mg/hari (Pasalic, 2012).

Ekskresi asam urat total pada manusia normal rata-rata adalah 400-600 mg per hari. Kebanyakan asam urat diekskresikan lewat urin melalui mekanisme yang kompleks dengan melibatkan filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus di bagian awal tubulus konkortus proksimal, sekresi tubulus di bagian akhir reabsorbsi dan mungkin mengalami reabsorbsi lagi di bagian akhir tubulus proksimal (Capasso et al., 2005; Hediger et al., 2005).

Kadar darah asam urat normal pada laki-laki yaitu 3.4 - 7 mg/dl sedangkan pada perempuan yaitu 2.4 - 6 mg/dl (Gray, 2015). Pada keadaan normal, kebutuhan produksi dan eliminasi asam urat kurang lebih 700 mg. Kurang lebih sebanyak 30% dari kebutuhan asam urat berkurang di usus karena bakteri uricolysis pada sistem pencernaan, sedangkan 70% sisanya (atau kurang lebih 500 mg) disekresikan melalui ginjal. Pada manusia, plasma urat secara bebas mengalami filtrasi di glomerulus, namun komponen yang dieksresikan hanya 10% dari plasma asam urat (Edwards, 2009).

(15)

Beberapa faktor yang telah diteliti berpengaruh terhadap kadar asam urat serum dalam darah adalah umur dan jenis kelamin. Kadar asam urat juga akan meningkat dengan adanya gangguan fungsi ginjal (McCrudden, 2000; Liu et al.,2011). Jumlah asam urat dalam plasma tergantung pada jumlah makanan atau minuman yang mengandung purin, biosintesis asam urat dan laju ekskresi urat. Namun di dalam tubuh, perputaran purin terjadi secara terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian RNA dan DNA, sehingga walaupun tidak ada asupan purin, tetap terbentuk asam urat dalam jumlah yang subtansial. Kadar asam urat akan meningkat dengan bertambahnya usia dan gangguan fungsi ginjal (McCrudden, 2000). Gagal ginjal menyebabkan asam urat, urea, dan kreatinin terakumulasi. Diuretik tiazid menurunkan ekskresi urat. Alopurinol, probenesid, kortikosteroid, dan aspirin dosis besar meningkatkan ekskresi urat (Liu et al.,2011).

2.3.3 Peran Asam Urat pada Tubuh

Asam urat merupakan antioksidan cair terbanyak pada manusia, 2/3 dari total antioksidan yang memiliki kemampuan menetralisir radikal bebas dalam plasma terutama hidroksil, superoksida, peroksinitrit dan mungkin memiliki kemampuan melindungi secara fisiologis dengan mencegah peroksidasi lipid. Namun apabila jumlahnya berlebihan dalam tubuh juga dapat menimbulkan efek merugikan yaitu suatu kondisi hiperurisemia dan juga dapat menginduksi stres oksidasi atau berperan sebagai prooksidan (McCrudden, 2000).

(16)

Kadar asam urat dapat meningkat pada keadaan tertentu seperti diet tinggi purin, konsumsi alkohol yang berlebihan, perubahan sel atau kematian sel pada neoplasma atau obat sitotoksik, kelainan metabolisme purin karena faktor genetik, kelainan fungsi ginjal yang menyebabkan penurunan klirens (clearance) asam urat, gangguan ekskresi asam urat yang berhubungan dengan reabsorbsi natrium yang berlebihan pada beberapa kondisi seperti obesitas, resistensi insulin atau hiperinsulinemia, hipertensi, diet rendah natrium dan terapi diuretik.

Dalam berbagai organ dan pembuluh darah, konsentrasi lokal asam urat meningkat selama stres oksidatif akut dan iskemia serta peningkatan konsentrasinya mungkin merupakan mekanisme kompensasi untuk memberikan efek perlindungan melawan peningkatan aktivitas radikal bebas. Berkaitan dengan kondisi iskemik dalam hubungannya dengan kenaikan kadar asam urat perlu dicatat bahwa xanthin oxidoreductase terdapat dalam dua bentuk yang berbeda yaitu xanthine dehidrogenase dan xanthine oxidase. Xanthine dehidrogenase adalah bentuk paling umum yang bekerja di bawah kondisi fisiologis dan memiliki afinitas yang lebih besar untuk nicotinamide adenin dinukleotide dioksida (NAD+) dibandingkan dengan oksigen sebagai akseptor elektron. Dalam kondisi iskemik seiring degradasi ATP menjadi adenin dan xanthine, terjadi perubahan besar xanthine dehidrogenase menjadi XO. Proses ini menggunakan molekul oksigen pada tempat NAD+ sebagai akseptor elektron dan mengarah pada pembentukan anion superoksida dan hidrogen peroksida secara paralel dengan kadar asam urat serum seperti yang ditunjukkan oleh beberapa studi eksperimental.

(17)

Selama beberapa tahun, hiperurisemia telah diidentifikasi bersama-sama atau dianggap sama dengan gout, namun saat ini asam urat telah diidentifikasi sebagai penanda untuk sejumlah kelainan metabolik dan hemodinamik (Waring et al., 2000; Qasi and Lohr, 2005). Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan dan degradasi nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam mengekskresikan asam urat. Apabila terjadi kelebihan pembentukan asam urat, hambatan pengeluaran asam urat atau keduanya maka akan terjadi peningkatan konsentrasi asam urat darah yang disebut dengan hiperurisemia (Edward, 2009). Asam urat serum merupakan salah satu antioksidan. Namun antioksidan dapat menjadi prooksidan pada beberapa situasi. Diperkirakan terdapat suatu mekanisme antioxidant–prooxidant redox shuttle pada pembuluh darah lapisan intima yang mengalami aterosklerosis. Asam urat pada tahap awal proses aterosklerosis telah diketahui berperan sebagai antioksidan dan mungkin merupakan antioksidan terkuat yang terdapat di plasma. Kemudian proses aterosklerosis dengan kadar asam urat serum meningkat lebih dari nilai normal > 6 mg/dl untuk perempuan dan 6,5-7 mg/dl untuk laki-laki, didapatkan bahwa asam urat akan berperan sebagai prooksidan. Antioxidant-prooxidant urate redox shuttle juga bergantung pada kondisi lingkungan sekitar seperti waktu (awal atau akhir dari proses penyakit), lokasi jaringan dan substrat, tingkat keasaman (pH asam-basa-netral), oksidan yang ada di lingkungan sekitar, kekurangan antioksidan pada area tertentu, suplai dan durasi substrat antioksidan. Reaksi yang terjadi meliputi ion metal transisional seperti tembaga dan besi yang penting pada stres oksidatif.

(18)

Reaksi Fenton dan reaksi Haber-Weiss dapat meningkatkan oxidative-redox stress (Hayden, 2004).

Reaksi Fenton:

Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + OH• + OH Fe3+ + H2O2 → Fe2+ + OOH• + H+ Reaksi Haber-Weiss:

H2O2 + O2- → O2 + OH- + OH H2O2 + OH- → H2O + O2- + H+

Radikal hidroksil dapat memicu reaksi lanjutan dengan memproduksi ROS melalui reaksi tambahan, abstraksi hidrogen, transfer elektron dan interaksi radikal. Sebagai tambahan, ion copper (Cu3+ - Cu2+ - Cu1+) dapat mengalami reaksi yang serupa dengan pembentukan peroksidase lipid dan ROS. Hal ni akan menyebabkan kebocoran ion besi dan tembaga dari pecahnya vasa vasorum (Hayden, 2004).

2.4 Asam Urat dengan Neuropati Perifer

Asam urat merupakan toksin uremik yang jumlahnya semakin meningkat terutama pada penderita PGK. Pada kondisi jumlah asam urat meningkat, asam urat sebagai neurotoksin berefek mengurangi suplai energi pada akson dengan cara menghambat enzim serabut saraf yang diperlukan untuk produksi energi tersebut. Bahan toksin juga menyebabkan disfungsi dari beberapa membran pada perineurium, dimana berperan sebagai barier difusi antara cairan interstitial dan saraf; dan pada endoneurium, dimana berperan sebagai barier antara darah dan saraf. Sebagai konsekuensinya, toksin uremik dapat masuk ke ruang endoneural

(19)

sehingga menyebabkan kerusakan saraf secara langsung melalui perubahan hidroelektrolit yang dapat menyebabkan penciutan (shrinkage) (Pan, 2009). Asam urat meskipun sebagai antioksidan utama dalam sirkulasi (Ames,1981), namun juga menginduksi stres oksidasi pada beberapa sel termasuk sel otot polos (Corry et al.,2008) yang menyebabkan progresivitas penyakit termasuk kardiovaskular. Mekanisme patogenesisnya diduga melalui penurunan bioavaibilitas nitric oxide (NO) pada sel otot polos dan sel endotel serta mengurangi langsung NO (Gersch et al.,2008). Pengamatan klinis dan laboratorium memperlihatkan peningkatan konsentrasi asam urat dalam darah lebih dari 5,5 mg/dL, dikaitkan dengan disfungsi endotel (Zharikov et al., 2007). Peran asam urat pada sel endotel diperkirakan juga melalui aktivasi leukosit dan terdapat korelasi yang konsisten antara peningkatan konsentrasi asam urat dengan penanda inflamasi dalam sirkulasi (Culleton et al., 2006). Dengan adanya kerusakan pada sel otot polos dan sel endotel, akan mempengaruhi vaskularisasi perifer sehingga dapat mengganggu fungsi saraf perifer sehingga akhirnya menimbulkan neuropati perifer. Terdapat suatu penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum dengan terjadinya neuropati perifer pada penderita diabetes melitus (Papanas, 2011; Darsana, 2014).

Gambar

Tabel 2.2 Klasifikasi Stadium PGK (National Kidney Foundation, 2002)  Stadium  Laju Filtrasi Glomerulus
Tabel 2.3 Komplikasi Neurologi Pada Pasien Hemodialisis (Rizzo dkk, 2012)  Sistem Saraf Pusat
Gambar 2.1 Kerusakan Serabut Saraf pada Neuropati (Garcia, 2013)
Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Motorik atau CMAP (Preston, 2013)  Variabel  Latensi (mdet)  Amplitudo(mV)  KHS(m/det)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa, rata-rata skor pengetahuan tentang isu-isu lingkungan ibu-ibu yang mendapat strategi penyuluhan out group tidak lebih

Permasalahn yang dihadapi Poskesdes Wonoanti adalah pengolahan data yang masih manual dengan pencatatan buku, cara kerjanya akan sangat lambat dan membutuhkan waktu yang cukup

Dari secara keseluruhan mulai dari strategi perusahaan, strategi pemasaran, hingga pada strategi promosi, konsistensi Air Asia jelas terlihat dalam menampilkan

Berdasarkan uraian di atas perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah di Kabupaten Musi Banyuasin (studi kasus pada pengelolaan Tugu Pahlawan Taman Makan Pahlawan Kusuma

latihan half squat jump tentunya lebih terarah pada kerja otot-otot tungkai, untuk menghasilkan ke- mampuan shooting pada per- mainan bolabasket tentunya dalam

Dalam hal ini, peneliti berusaha menggulang kembali garis besar hasil wawancara berdasarkan catatan yang dilakukan peneliti agar informasi yang diperoleh dapat digunakan

Standar ini memberi panduan bagi petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan dalam melaksanakan Pencegahan

Pembangunan dan kepesatan ekonomi Tanah Melayu telah menggalakkan kedatangan buruh-buruh asing untuk bekerja di kawasan perlombongan bijih timah, estet-estet getah dan kawasan