• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. penulisan. Berikut ini penjelasan sembilan subbab tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. penulisan. Berikut ini penjelasan sembilan subbab tersebut."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1

Dalam Bab I ini terdapat sembilan subbab yang diuraikan, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Berikut ini penjelasan sembilan subbab tersebut.

1. 1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting dalam masyarakat, namun bagi masyarakat modern bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi semata. Bahasa juga dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi dan kepentingan tertentu oleh pengguna bahasa. Menurut Fairclough (1989: 2 via Idul, 2014:1) penggunaan kekuasaan, pada masyarakat modern, merupakan pencapaian yang meningkat melalui ideologi, dan lebih khususnya lagi ideologi bahasa. Jadi terdapat hubungan antara kekuasaan dan penggunaan bahasa.

Bahasa merupakan salah satu alat bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Menurut Nasution (2007:450) bahasa merupakan faktor determinan dalam alam berpikir setiap orang, termasuk penguasa yang dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi politiknya dalam upaya mempertahankan kekuasaannya. Dengan bahasa yang menarik dan persuasif, seorang penguasa dapat menggiring masyarakat untuk menerima ideologi yang

(2)

dianutnya. Banyaknya dukungan tersebut sangat mendukung untuk mempertahankan kekuasaan seorang penguasa.

Bahasa yang digunakan oleh setiap orang tidak dapat bersifat netral, apalagi bahasa yang digunakan seorang penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Dalam berbagai kesempatan komunikasi, penguasa selalu akan menggunakan bahasa yang terdistorsi dalam mengemukakan suatu ide, pikiran, ataupun konsep terhadap khalayaknya untuk mempertahankan kekuasaannya (Nasution, 2007: 454). Rosidi (2007:16) juga menyebutkan bahwa kekuasaan bisa dibangun tidak hanya dengan senjata tetapi juga bisa dengan praktik berwacana. Praktik berwacana yang dilakukan oleh para penguasa tidak mungkin dipisahkan dari penggunaan bahasa. Bahasa merupakan unsur terpenting dalam membangun sebuah wacana.

Penggunaan bahasa secara superintensif, termasuk di dalamnya penyalahgunaan (abuse) bahasa dengan berbagai aspeknya begitu menonjol dalam dunia politik di Indonesia (Nasution, 2007:462). Salah satu bentuk penggunaan bahasa dalam konteks wacana politik di Indonesia adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya akan disingkat SBY saja) yang merupakan orang nomor satu di Indonesia pada saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indinesia (HUT RI) yang ke-69. Dalam pidato tersebut, Presiden SBY mengusung suatu kepentingan melalui bahasa politik yang digunakannya.

Bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh elite politik dalam memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Bahasa politik memperoleh tempat

(3)

strategis karena pelbagai kepentingan elite diperjuangkan melalui bahasa yang dikemas dalam cara tertentu (Santoso, 2012: 219). Sebagai seorang penguasa, Presiden SBY juga mengguakan strategi-strategi dalam menyampaikan pidatonya. Termasuk di antaranya adalah menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan kepentingan pribadi dan kelompoknya yang dikemas seolah menjadi kepentingan bersama serta penyalahgunaan bahasa untuk kepentingan politik.

Halliday (1977, 1878 via Santoso, 2008: 2) selalu menekankan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi “teks” atau “wacana” yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Dengan demikian, mengkaji wacana berarti mengkaji penggunaan bahasa yang telah digunakan untuk membangun sebuah wacana. Selain itu, karena bahasa adalah produk proses sosial, maka mengkaji penggunaan bahasa dalam wacana tidak dapat dilepaskan dari proses-proses sosial yang mempengaruhi pembentukan sebuah wacana.

Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisis wacana. Salah satu teori analisis wacana yang dapat digunakan untuk menguak ideologi dan kepentingan pengguna bahasa adalah analisis wacana kritis. (selanjutnya akan disingkat AWK saja) Analisis wacana kritis mampu menjelaskan makna-makna implisist yang terkandung dalam wacana. Menurut Fowler dan Kress (1979: 196) sifat dasar kritis pada interpretasi linguistik menguak motif dibalik fakta yang menjelaskan arti sosial secara implisit. Jadi untuk mengetahui kepentingan yang

(4)

sebenarnya hendak ditekankan oleh pembuat wacana, pendekatan yang tepat untuk menganalisis wacana adalah dengan pendekatan analisis wacana kritis.

Menurut Dijk (1993:253) analisis wacana kritis bukan merupakan kajian yang mudah karena benar-benar menggunakan multidisiplin ilmu dan catatan hubungan yang rumit antara teks, ujaran, kognisi sosial, kekuasaan, sosial, dan budaya. Fowler dan Kress (1979: 195) juga menyatakan bahwa dalam analisis wacana kritis teks bukan semata sebagai data, namun teks adalah bagian linguistik dari interaksi komunikasi yang rumit. Kemudian, sejalan dengan hal tersebut, Leeuwen (2008:4) juga menyebutkan bahwa dalam pandangan analisis wacana kritis, teks semestinya dipelajari sebagai representasi dan juga interaksi. Kajian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Dalam hal ini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Produksi teks tidak lepas dari latar belakang sebuah fenomena kenapa teks itu harus muncul.

Hubungan antara wacana dan ideologi politik biasanya mempelajari istilah struktur wacana misalnya menggunakan penyimpangan leksikal, materi, struktur sintaksis seperti kalimat aktif-pasif, pronomina seperti penggunaan kita-mereka, metafora, argumen, implikasi dan banyak bagian dari wacana. Wacana politik tidak hanya terbatas pada istilah struktur wacana politik, tetapi juga pada istilah konteks politik (Dijk, 2006:732). Darma (2009: 50) juga menyebutkan bahwa bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk

(5)

praktik ideologi. Oleh karena itu, menganalisis wacana politik berarti menganalisis struktur teks dalam wacana politik dan mengaitkannya konteks politik.

Pidato yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pidato kenegaraan Preiden Presiden dalam rangka menyambut peringatan HUT RI ke-69. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi dipilihnya pidato SBY tersebut untuk dianalisis menggunakan pendekatan analisis wacana kritis. Seperti yang kita ketahui bahwa Presiden SBY dikenal sebagai salah satu presiden yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Preiden SBY menggunakan bahasa yang baik dalam setiap pidatonya untuk menarik perhatian publik.

Tahun 2014 adalah tahun terakhir Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraannya dalam rangka menyambut HUT RI ke-69. Pada bulan Oktober, Presiden SBY sudah digantikan presiden baru. Kali ini adalah kesempatan terakhir Presiden SBY untuk meninggalkan kesan yang baik kepada publik. Pada pidato kenegaraannya yang terakhir ini, Presdien SBY menyampaikan beberapa upaya dan capaian pemerintah selama Presiden SBY memimpin Indonesia. Di balik upaya dan capaian yang disampaikan oleh Presiden SBY tersebut, terdapat kepentingan yang ingin ditekankan oleh Presiden SBY. Untuk mengetahui kepentingan yang ditekankan Presiden SBY tersebut, maka pidato kenegaraan Presiden SBY yang terakhir ini akan dianalisis menggunakan model analisis wacana kritis dengan melihat representasi pemerintah dalam pidato tersebut.

Secara umum pidato Presiden SBY tersebut berisi tentang upaya dan capaian pemerintah selama sepuluh tahun terakhir. Perkembangan yang dicapai

(6)

melalui usaha pemerintah tersebut dijabarkan Presiden SBY mulai dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Namun, yang paling banyak disinggung adalah capaian selama Presiden SBY menjabat sebagai presiden. Penyampaian upaya dan capaian pemerintah yang dimulai sejak awal tersebut tentunya tidak tanpa alasan. Ada kepentingan tertentu yang hendak ditekankan Presiden SBY melalui pidatonya tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa bahasa itu tidak bisa bersifat netral, maka melaui fitur-fitur kebahasaan yang digunakan oleh Presiden SBY, dapat diketahui bagaimana representasi pemerintah dan maksud apa yang hendak disampaikan oleh Presiden SBY dengan merepresentasikan pemerintah seperti itu. Misalnya dapat dilihat dalam contoh di bawah ini.

(1) Setelah 69 tahun merdeka, saya yakin para pendiri bangsa akan bersyukur dan bergembira melihat transformasi bangsa Indonesia di abad-21.

(2) Dari bangsa yang sewaktu merdeka sebagian besar penduduknya buta huruf, rakyat Indonesia kini mempunyai sistem pendidikan yang kuat dan luas, yang mencakup lebih dari 200 ribu sekolah, 3 juta guru dan 50 juta siswa.

(3) Kita mengatakan semua capaian ini tidak untuk berpuas diri atau menepuk dada. Kita mengatakan ini untuk mengingatkan diri bahwa semua ini berawal dari revolusi 1945 yang dirintis para pendiri republik. Perjalanan kita sebagai bangsa sudah cukup panjang, dan terlepas dari berbagai permasalahan yang masih ada, serta segala kekurangan kita, sejarah menunjukkan bahwa perjuangan dan kerja keras bangsa Indonesia selama ini telah mengangkat derajat bangsa kita ke tingkat yang lebih tinggi.

Berdasarkan kutipan pidato Presiden SBY (1), (2), dan (3) di atas, Presiden SBY merepresentasikan pemerintahannya sebagai pemerintah yang baik. Melalui kata dan kalimat yang digunakan, Presiden SBY hendak meyakinkan publik bahwa selama pemerintahannya, Negara Indonesia mengalami

(7)

perkembangan yang pesat. Untuk meyakinkan publik, Presiden SBY pertama-tama meyakinkan dirinya sendiri bahwa para pendiri bangsa akan bersyukur dan bergembira melihat transformasi bangsa Indonesia di abad ke-21 (1). Kata bersyukur dan bergembira ini digunakan Presiden SBY untuk menggiring publik agar merasakan kegembiraan dan bersyukur atas keberhasilan pemerintahan Presiden SBY selama sepuluh tahun terakhir. Selanjutnya disampaikan detail-detail berupa fakta-fakta capaian-capaian yang diraih Presiden SBY untuk mendukung perasaan gembira dan syukur tersebut (penggalan pidato (3)). Presiden SBY juga menggunakan bentuk kalimat perbandingan (penggalan pidato (2) dan (3)) untuk semakin meyakinkan publik bahwa pemerintahannya selama sepuluh tahun terakhir telah mengubah keadaan bangsa Indonesia. Selain itu, Presiden SBY juga menggunakan kata ganti kita (3) untuk menekankan bahwa semua bangsa Indonesia merasakan kabahagian pula atas keberhasilan pemerintahan Presiden SBY selama sepuluh tahun terakhir.

Di samping alasan-alasan tersebut, pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka memperingati HUT RI yang ke-69 ini mendapat banyak respon dari beberapa kalangan. Salah satu artikel di kompasiana tulisan Manly Villa (16 Agustus 2014) mengkritik pidato Presiden SBY karena sama sekali tidak menyinggung permasalahan hak asasi manusia (HAM) dan justru menyebut banyak mengenai sisi positif pemerintahannya. Menurut Manly, masalah HAM tersebut sangat penting untuk dibahas. Namun, menurut beberapa pejabat pemerintahan, pidato kenegaraan Presiden SBY yang terakhir ini merupakan pidato yang sangat mengharukan bagi mitra keja Presiden SBY. Namun, ada pula

(8)

pemberitaan negatif tentang pidato kenegaraan Presiden SBY yang terakhir ini. Hal yang memicu pemberitaan negatif tersebut karena Presiden SBY lebih banyak mengungkapkan keberhasilannya daripada masalah-masalah yang muncul selama pemerintahan Presiden SBY.

Penelitian ini didasarkan pada analisis wacana kritis (selanjutnya akan disingkat AWK) yang dikembangkan oleh Roger Fowler dan Gunther Kress (1979) untuk mengetahui motif yang tersembunyi dari fitur-fitur linguistik yang digunakan Presiden SBY dalam pidatonya. Menurut Fowler dan Kress (1979: 185) analisis materi bahasa menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan mendalam antara struktur linguistik dan struktur soaial. Penelitian AWK yang dikembangkan oleh Fowler, dkk. dimulai dengan berasumsi bahwa teks memiliki perbedaaan yang spesifik pada masing-masing struktur sosial (Fowler dan Kress, 1979: 197). Analisis Fowler dititikberatkan pada praktik pemakaian bahasa yang digunakan. Pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Roger Fowler, dkk. mendasarkan pada teori Haliday mengenai struktur dan fungsi bahasa. Fowler dkk. melihat bagaimana tata bahasa/grammar tertentu dan pilihan kosa kata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu (Eriyanto, 2009:133). Selain penggunaan kosakata dan tata bahasa, dalam penelitian ini dianalisis pula penggunaan bahasa asing dan detail informasi yang juga banyak ditemukan membawa kepentingan dari Presiden SBY.

Dalam penelitian ini dianalisis pidato kenegaran Presiden SBY dalam rangka memperingati HUT RI ke-69. Presiden SBY merupakan individu yang memiliki kekuasaan di Indonesia dan terkenal dengan pemimpin yang mampu

(9)

menggunakan bahasa dengan baik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pidato Presiden SBY tersebut merupakan salah satu bentuk pidato politik dan sesuai jika dianalisis dengan pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Roger Fowler dan Gunther Kress dengan menganalisis segi kebahasaan dari pidato tersebut, yaitu pilihan kosakata, bentuk kalimat, bahasa asing, dan detail informasi pendukung. berdasarkan fitur-fitur linguistik tersebut, dapat diketahui bagaimana Presiden SBY merepresentasikan pemerintah. Pada akhirnya kepentingan yang hendak disampaikan Presiden SBY melalui pidatonya juga dapat terlihat.

1. 2 Rumusan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “bagaimana representasi pemerintah pada pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI ke-69?”. Untuk mengetahui representasi tersebut, dapat dilihat dari fitur-fitur kebahasaan yang digunakan SBY pada pidatonya. Sehingga, dirumuskan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan fitur-fitur kebahasaan sebagai berikut.

1. Bagaimana representasi pemerintah melalui pilihan kata yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69?

2. Bagaimana representasi pemerintah melalui struktur kalimat yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69? 3. Bagaimana representasi pemerintah melalui bahasa asing yang digunakan

(10)

4. Bagaimana representasi pemerintah melalui detail informasi pendukung yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69?

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan representasi pemerintah pada pidato Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI ke-69. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini disebutkan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan representasi pemerintah melalui pilihan kata yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69.

2. Mendeskripsikan representasi pemerintah melalui struktur kalimat yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69.

3. Mendeskripsikan representasi pemerintah melalui bahasa asing yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69.

4. Mendeskripsikan representasi pemerintah melalui detail informasi pendukung yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI ke-69.

(11)

1. 4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada pilihan kata, penggunaan kalimat, penggunaan bahasa asing, dan penyampaian informasi pendukung pada pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69. Pidato yang dipilih adalah pidato dalam acara Sidang bersama DPR RI dan DPD RI di Kompleks Parlemen pada tanggal 15 agustus 2014 pukul 09.00 WIB. Pidato ini merupakan pidato yang mengawali pidato Pengantar RAPBN Tahun Anggaran 2015 beserta Nota Keuangannya. Pilihan kata, struktur kalimat, penggunaan bahasa asing, dan penyampaian detail informasi pendukung dianalais untuk mengetahui representasi pemerintah melalui pidato Presiden SBY tersebut. Analisis difokuskan dengan melihat representasi pemerintah di bawah pimpinan Presiden SBY. Memalui representasi pemerintah di bawah kepemimpinan Preiden SBY, diketahui maksud Presiden SBY untuk meninggalkan kesan seperti apa kepada masyarakat.

1. 5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1.5.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dengan memberikan kontribusi pada perkembangan penelitian bahasa dengan merupakan jenis analisis wacana kritis, khususnya pada bidang bahasa Indonesia. Penelitian ini dapat memberikan wacana baru mengenai langkah-langkah untuk

(12)

menganalisis representasi pemerintah pada pidato kenegaran Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI ke-69 dengan jenis analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Roger Fowler.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk menggiring pemerhati bahasa dan masyarakat pada umumnya agar lebih kritis dalam menanggapi wacana publik, tidak menganalisis bahasa secara tekstual saja melainkan secara kontekstual juga. Pemilihan kata, bentuk kalimat, penggunaan bahasa asing, dan penyampaian detail informasi pendukung merupakan aspek yang mengandung makna baru yang mencerminkan ideologi dan kepentingan tertentu yang hendak disampaikan dalam sebuah wacana, hal ini tidak bisa diabaikan oleh pemerhati bahasa. Apalagi sifat bahasa yang tidak bisa netral, membuat peneliti harus benar-benar cermat mengamati penggunaan bahasa dan tujuannya.

1. 6 Tinjauan Pustaka

Jenis penelitian AWK sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian AWK yang sebelumnya telah dilakukan tersebut memiliki kekhasan masing-masing. Sumber data AWK diperoleh dari berita-berita di media massa dan pidato-pidato tokoh politik yang terkenal. Model penelitian AWK yang digunakan pun banyak jenisnya. Berikut ini dipaparkan beberapa penelitian sebelumnya tentang AWK yang menginspirasi penelitian ini.

Pertama, penelitian Ni Made Ugi Bayanthi (2011) yang meneliti penggunaan retorika dan sistem transitivitas yang digunakan oleh Barack Obama

(13)

dalam pidato pelantikan presiden. Judul tesis yang ditulis oleh Bayanthi (2011) adalah “Retorika dan Sistem Transitivitas dalam Pidato Pelantikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tipe proses transitivitas, sirkumstan, hubungan sistem transitivitas dengan konteks situasi, dan hubungan sistem transitivitas dengan retorika. Bayanthi menggunakan teori Linguistik Fungsional Sistemik untuk menganalisis fungsi ideasional, yaitu sistem transitivitas yang meliputi proses, partisipan, dan sirkumstan. Selain itu, juga digunakan teori retorika untuk melihat hubungan kekuatan retorika dengan transitivitas. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Bayanthi yaitu proses material merupakan proses yang dominan dalam teks pidato pelantikan presiden Amerika Serikat Barack Obama, dengan persentase, proses material (59.93%), kemudian diikuti oleh proses relasional (16.29%), proses mental (15.96%), proses behavioral (3.26%), proses verbal (2.93%), dan proses eksistensial (1.63%). Sistem transitivitas merupakan representasi dari konteks situasi. Proses, partisipan, dan sirkumstan yang digunakan Obama dalam penulisannya menunjukkan dengan jelas tujuan pidatonya. Kekuatan retorika sangat dipengaruhi oleh sistem transitivitas, partisipan dan sirkumstan. Kekuatan pidato Obama untuk meyakinkan warga Amerika Serikat terlihat dari sistem transitivitas yang digunakan sepanjang pidato tersebut. Terdapat hubungan yang saling berkaitan erat antara sistem transitivitas dengan kekuatan retorika. Penelitian Bayanthi tersebut berkontribusi dalam menganalisis sistem transitivitas pada penelitian ini. Perbedaan penelitian Bayanthi dengan penelitian ini terdapat pada bentuk data dan teori yang mendasari. Meskipun kedua penelitian ini berangkat

(14)

dari pandangan Halliday, namun penelitian dalam tesis ini lebih cenderung ke arah analisis linguistik kritis.

Kedua, penelitian Anggara Jatu Kusumawati (2012) yang menganalisis pidato-pidato internasional SBY dengan menggunakan pendekatan linguistik kritis yang dikembangkan oleh Fowler. Fowler menitikberatkan pada dua metafungsi yaitu ideasional dan tekstual. Data dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis Fairclaugh dengan menganalisis tataran tekstual dan tataran praktik sosial. Hasil penelitian tersebut adalah (1) struktur naskah pidato internasional pidato SBY memiliki tiga bagian yaitu pembukaan, isi, dan penutup, (2) tata naskah pidato internasional SBY terdiri atas unsur-unsur pembentuk keutuhan dan kepaduan teks, dan (3) penggunaan tata bahasa yang ditinjau dari segi aspek pilihan kata, aspek klausa dan kalimat, aspek figuratif, dan perubahan pola klausa menjadi sarana untuk makna tertentu berdasarkan siapa pengguna dan aspek psikologis yang ditimbulkan kepada pendengar, sehingga secara maksimal dapat mengungkapkan maksud pembicara dan membantu mendeskripsikan dengan baik argumentasi yang disampaikan. Bentuk teks penelitian Kusumawati dan penelitian ini sama-sama pidato SBY. Namun pidato yang dianalisis bukanlah pidato yang sama. Penelitian Kusumawati ini memberi informasi awal mengenai karakteristik SBY dalam menyampaikan pidato. Penelitian ini lebih fokus pada penggunaan kosa kata dan tata bahasa seperti yang dikembangkan oleh Fowler juga. Selain itu, dalam penelitian ini juga dianalisis penggunaan bahasa asing dan detail informasi pendukung yang digunakan SBY untuk menyampaikan informasi terterntu.

(15)

Ketiga, penelitian Wakhid Nugroho (2013) yang menganalisis pidato B. J. Habibie dalam acara Presidential Lecture di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam rangka memperingati Dies Natalis UGM yang ke-62 dan Sekolah Pascasarjana yang ke-30. Penelitian ini menggabungkan dua model AWK untuk menguak ideologi yang ingin ditekankan Habibie melalui pidatonya tersebut. Model AWK yang digunakan adalah model AWK yang dikembangkan van Dijk dan Fowler. Model AWK van Dijk digunakan untuk mendeskripsikan cara Habibie menguasai opini publik dengan menganalisis struktur wacana makro, supra, dan mikro. Model AWK Fowler digunakan untuk mendeskripsikan bentuk dan fungsi susunan kalimat. Dari kedua deskripsi tersebut kemudian dianalisis ideologi apa yang ingin ditekakan oleh Habibie melalui pidatonya tersebut. Penelitian Nugroho tersebut memberikan kontribusi dalam penelitian ini, khususnya dalam penerapan pendekatan AWK yang dikembangkan oleh Fowler. Namun, dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus pada penggunaan kosa kata, struktur, bahasa asing, dan detail informasi yang disampaikan SBY dalam pidatonya.

Keempat, penelitian Rahmatan Idul (2014) yang menganalisis pidato internasional Hasan Rouhani di depan majelis umum PBB. Penelitian tersebut merupakan penelitian AWK dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh van Leeuwen untuk mengungkap tiga dimensi praktik sosial yang direpresentasikan Hasan Rouhani dalam pidatonya, yaitu (1) representasi aktor sosial (partisipan), (2) representasi aksi sosial, dan (3) representasi sikap Hasan Rouhani terhadap isu yang terdapat dalam pidatonya. Hasil dari penelitian ini

(16)

adalah (1) Hasan Rouhani menggunakan beberapa bentuk modalitas yang sesuai dengan tujuan penggunaan modalitas tersebut dan menggunakan negasi, (2) Hasan Rouhani merepresentasikan aksi sosial melalui beberapa cara, yaitu melalui pemilihan kata yang hati-hati dan tepat, dan (3) dalam merepresentasikan aktor sosial yang terlibat dalam aksi-aksi sosial yang termuat dalam pidatonya, Rouhani menggunakan strategi eksklusi dan inklusi. Penelitian Idul tersebut berkontribusi dalam penelitian ini khususnya dalam menganalisis representasi sebuah realitas yang disampaikan Hasan Rouhani dalam pidatonya. Bagaimana cara Hasan Rouhani merepresentasikan suatu realitas tersebut merupakan bentuk kognisi sosial Hasan Rouhani. Perbedaan penelitian Idul dengan penelitian ini dalam menganalisis suatu realitas yang direpresentasikan dalam wacana terletak pada pendekatannya. Idul menggunakan pendekatan Leeuwen sedangkan dalam penelitian ini fokus pada analisis pilihan kata, struktur kalimat, dan detail informasi pendukung.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Dian Chandradewi, Nengah Suandi, dan I Wayan Artika tahun 2014 dalam e-journal Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja berjudul “Pemberitaan Kasus Korupsi di Bali pada Media Cetak Bali Post dan Jawa Pos: Suatu Kajian Teori Roger Fowler dkk”. Penelitian tersebut menganalisis cara dan sikap kedua media massa tersebut dalam mengkonstruksikan kasus korupsi di Bali. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan linguistik kritis yang dikembangkan oleh Roger Fowler, dkk. dengan menganalisis pilihan kosa kata dan tata bahasa yang digunakan dalam kedua media massa, yaitu Bali Post dan Jawa Pos. Hasil penelitian Dian Chandradewi,

(17)

dkk. tersebut adalah (1) Bali Post dan Jawa Pos lebih banyak menggunakan kosa kata yang mengkonstruksikan kasus korupsi di Bali dan (2) Bali Post dan Jawa Pos lebih banyak menggunakan praktik bahasa disfemisme untuk mengkostruksikan kasus korupsi di Bali dengan tujuan memarjinalkan para pelaku korupsi dan berpihak pada masyarakat. Perbedaan penelitian Chandradewi dengan penelitian ini adalah objek penelitian dan sumber data yang digunakan. Selain itu, kajian dalam penelitian ini tidak hanya difokuskan dalam penelitian penggunaan kosa kata dan tata bahasa, melainkan juga pada detail dari suatu gagasan dan bahasa asing yang digunakan SBY pada pidato kenegaraan dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69.

Keenam, penelitian Paulus Ari Subagyo, Susilawati Endah Peni Adji, dan Sonny Christian Sudarsono (2014) yang meneliti frame dari editorial surat kabar dalam memberitakan masalah terorisme di Indonesia. Penelitian Paulus Ari Subagyo, dkk. tersebut berjudul Frame Surat Kabar Nasional tentang Terorisme: Analisis Pragmatik Kritis Editorial mengenai Fenomena Terorisme di Indonesia 2002-2013. Subagyo, dkk. menggunakan metode framming yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk yang dikenal dengan analisis kognisi sosial. Sumber data penelitian Subagyo, dkk. adalah editorial pada surat kabar Suara Pembaruan, Republika, Kompas, dan Tempo. Subagyo, dkk. meneliti bagaimana masing-masing media di Indonesia yang dilatarbalakangi oleh ideologi yang berbeda membingkai pemberiataan terorisme yang terjadi. Hasil penelitian Subagyo, dkk. menunjukkan terdapat tiga frame dari keempat surat kabar tersebut. Frame A yang secara konsisten digunakan Suara Pembaruan adalah “pelaku/ dalang teror

(18)

adalah Jamaah Islamiyah dan jaringannya, motifnya melakukan kejahatan dengan mengatas namakan Islam”. Frame B yang secara konsisten digunakan Republika adalah “pelaku/ dalang teror adalah Intelejen AS dan sekutunya, motifnya menguasai sumber daya alam Indonesia dengan melemahkan umat Islam”. Frame C yang secara konsisten digunakan Kompas dan Tempo adalah “pelaku/ dalang teror misterius, penanganan lebih penting”. Ketiga frame tersebut dimanefestasikan dalam fitur-fitur linguistik yang digunakan dalam editoral surat kabar. Fitur-fitur linguistik tersebut meliputi tindak tutur dan ekspresi bahasa (modalitas, metafora, keterangan sisipan, dan tanda petik). Penelitian Subagyo, dkk. tersebut menawarkan pendekatan baru yakni pragmatik kritis. Kontribusi penelitian Subagyo, dkk. dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis frame sebuah wacana. Namun dalam penelitian ini, frame dilihat dari cara SBY merepresentasikan sebuah realitas. Perbedaan penelitian Subagyo, dkk. dengan penelitian ini adalah terletak pada sumber data dan pendekatan yang mendasari analisis dalam masing-masing penelitian.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi landasan dalam penelitian ini. Namun ada perbedaan anatara penilitian ini dengan penelitian sebelumnya, seperti yang dijelaskan sebalumnya. Perbedaan yang utama adalah model AWK yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan model AWK yang dikembangkan oleh Fowler yang mengadopsi teori Halliday. Perbedaan yang selanjutnya adalah sumber data yang digunakan. Pidato SBY yang dianalisis dalam penelitian ini belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.

(19)

1. 7 Landasan Teori

Teori-teori yang melandasi penelitian ini meliputi teori tentang representasi, pemerintah, wacana, pidato, analisis wacana dan analisis wacana kritis, pilihan kata pada analisis wacana kritis, tata bahasa dalam analisis wacana kritis, detail, dan konteks. Landasan teori yang mendukung penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

1.7.1 Representasi

Representasi merupakan cara seseorang menggambarkan suatu realitas ke dalam sebuah wacana. Representasi berkaitan dengan produksi makna melalui bahasa. Dalam representasi, bahasa merupakan media yang utama. Bahasa merupakan perantara penting untuk menyampaikan sebuah realitas. Setiap orang menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikirannya. Untuk menjelaskan kaitan bahasa dan representasi, Hall (1997) menyatakan pendapatnya sebagai berikut.

Representation means using language to say something meaningful about, or to represent, the world meangingfully, to other people. ... Representation is an essential part of process by which meaning is produced and exchange between members of a culture. It does involve the use of language, of signs and images which stand for or represent things (Hall, 1997:15).

‘Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna tentang, atau merepresentasikan, dunia secara penuh makna, kepada orang lain. ... Representasi adalah bagian yang penting dari proses pembentukan makna dan pertukaran makna antara anggota-anggota budaya. Representasi melibatkan penggunaan bahasa, tanda, dan gambar yang ada atau menggambarkan sesuatu’ (Hall, 1997:15).

Dalam kutipan di atas, selain menyampaikan bahwa representasi adalah bentuk penggunaan bahasa, Hall (1997) juga menyatakan bahwa representasi tidak hanya berkaitan dengan pembentukan makna, tapi juga pertukaran makna.

(20)

Jadi, dalam representasi, penting untuk dipahami apakah realitas tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya atau tidak. Hal ini bergantung pada ideologi pembuat wacana.

Menurut Fiske (1987: 5-6, via Eriyanto, 2009: 114-115) ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi. Ideologi dari pembuat wacana akan sangat mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan untuk merepresentasikan suatu realitas. Bahasa sebagai media representasi realitas tersebut dapat berubah dan berbeda sama sekali dibandingkan dengan realitas yang sesungguhnya karena pengaruh ideologi. Hubungan realitas, ideologi, bahasa, dan representasi digambarkan pada bagan di bawah ini.

Gambar 1.1 Hubungan Realitas, Ideologi, Bahasa, dan Representasi Beradasarkan gambar di atas, diketahui bahwa seseorang akan merepresentasikan realitas yang ada di dunia ini sesuai dengan ideologinya. Ideologi akan sangat mempengaruhi cara seseorang menggambarkan suatu realitas. Suatu realitas yang sama akan direpresentasikan berbeda oleh orang yang berbeda dengan ideologi yang berbeda pula. Salah satu media yang utama untuk merepresentasikan suatu realitas adalah bahasa, sehingga penggunaan bahasa untuk merepresentasikan suatu realitas juga sangat dipengaruhi oleh ideologi.

REALITAS

REPRESENTASI

IDEOLOGI BAHASA

(21)

Santoso (2012), dalam bukunya yang berjudul “Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa” menyatakan bahwa pemahaman terhadap bahasa akan memperoleh maknanya ketika ditransformasikan ke dalam “wacana”. Bahasa pada hakikatnya adalah wacana sebagai suatu sistem representasi, yakni cara membahasakan peristiwa, pengalaman, pandangan, dan kenyataan hidup tertentu. Sedangkan memahami representasi, termasuk representasi bahasa, haruslah dilandasi pemahaman bahwa dunia tidak dapat direpresentasikan secara akurat dan objektif, karena dunia itu bukan sesuatu yang apa adanya (given), melainkan efek dari bagaimana dunia itu dipahami dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jadi, realitas, ideologi, dan bahasa akan membentuk suatu wacana yang merepresentasikan realitas di dunia ini.

1.7.2 Pemerintah

Pemerintah merupakan pelaku yang menjalankan suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan negara. Terdapat dua pengertian pemerintah, yaitu pemerintah dalam arti luas dan arti sempit. Pembagian pemerintahan menurut arti luas dan sempit. Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD (2006: 8) pemerintahan dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legeslatif, dan yudikatif. Pemerintahan dalam arti sempit adalah organ/ alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian ini, pemerintah hanya berfungsi sebagai badan eksekutif (bestuur). Dalam penelitian ini, digukan pengertian pemerintah secara luas karena dalam pidato SBY, semua badan yang melaksanakan pemerintahan

(22)

baik eksekutif legeslatif, maupun yudikatif disampaikan upaya dan capaiannya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Melalui upaya dan capaian badan eksekutif, legeslatif, maupun yudikatif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, dapat diketahui representasi pemerintah dalam pidato SBY.

Berdasarkan undang-undang, pemerintah dibagi menjadi dua bagian, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut UU No. 23 Tahun 2014 pasal 1, pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1). Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2). Jadi yang dimaksud pemerintah dalam penelitian ini juga meliputi pemerintah pusat dan daerah. Representasi pemerintah dalam pidato SBY adalah representasi pemerintah pusat dan daerah yang keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.

1.7.3 Wacana

Istilah wacana memiliki arti terbatas dan luas. Secara terbatas, istilah wacana menunjuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulis. Secara lebih luas,

(23)

istilah bahasa merujuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan (Rosidi, 2007:6).

Wacana juga sering disebut dengan teks. Beberapa ahli menggunakan istilah teks untuk merujuk pada wacana. Namun menurut Horváth (t.t.: 45) ruang lingkup wacana lebih luas dari pada teks. Istilah wacana merujuk pada keseluruhan proses interaksi sosial dan teks menjadi bagian dari wacana tersebut. Teks hanya berisi unsur kebahasaan yang membangun sebuah wacana. Dengan merujuk pada pendapat Rosidi dalam paragraf sebelumnya, teks di sini dimaksudkan sebagai pengertian wacana secara terbatas sedangkan wacana merupakan arti luas dari wacana itu sendiri. Dalam wacana terdapat unsur-unsur di luar unsur kebahasaan.

Menurut Widdowson (2004:3) wacana adalah kalimat tertulis dalam jumlah yang besar. Secara kuantitatif kalimat dan wacana berbeda, namun secara kualitatif merupakan fenomena yang sama. Wacana dan kalimat sebagai objek kajian yang sama karena tidak ada perbeaan konseptual di antara keduanya. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Widdowson ini, diketahui bahwa kalimat merupakan bagian dari wacana berdasarkan kuantitasnya. Pengertian yang dikemukakan oleh Widdowson tersebut nampaknya masih termasuk ke dalam pengertian wacana dalam arti terbatas.

Secara lebih luas Johnstone (2008:2) mengemukakan bahawa wacana merupakan bentuk komunikasi secara nyata dengan bahasa sebagai medianya. Hal ini sejalan dengan pendapat Gee bahwa wacana bukan merupakan rangaian kalimat saja. Menurut Gee (2005:21) wacana merupakan cara mengombinasikan

(24)

dan mengintegrasikan bahasa, tindakan, interaksi, cara pikir, mempercayai, menilai, dan menggunakan berbagai simbol, alat, dan objek untuk memerankan sebuah identitas sosial yang dapat dikenali.

Pengertian wacana secara luas itulah yang dijadikan landasan dalam penelitian ini. Wacana dalam penelitian ini selain terbentuk atas unsur-unsur bahasa juga terbentuk atas kondisi sosial yang mempengaruhi proses produksi wacana tersebut. Sehingga, dalam penelitian ini, selain dianalisis struktur teks juga dianalisis proses produksi dan kepentingan yang ingin ditekankan SBY dalam pidato kenegaraan untuk memperingati HUT RI yang ke-69.

1.7.4 Pidato

Woolbert memandang pidato sebagai ilmu tingkah laku. Proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Pidato merupakan salah satu bentuk wacana yang persuasif. Logika adalah dasar utama persuasi (periksa Rakhmat, 2014:14). Pidato merupakan salah satu bentuk komunikasi, sehingga di dalamnya terdapat upaya untuk menyampaikan pesan. Seseorang yang berpidato biasanya adalah orang yang memiliki kedudukan khusus dalam suatu kelompok. Karena bentuknya yang persuasif, sebuah pidato pasti mengandung kepentingan individu atau kelompok yang ingin ditekankan untuk mempengaruhi pendengar.

Menurut Hart (1983: 15 via Kusumawati, 2012:17) Pidato memiliki beberapa fitur yang khusus, sehingga menyebabkan pidato berbeda dengan bentuk komunikasi lainnya. Fitur-fitur tersebut adalah (1) pesan, (2) bahasa, dan (3) pendengar. Pesan yang disampaikan dalam pidato harus jelas ditujukan kepada

(25)

siapa karena pesan dalam pidato harus relevan secara keseluruhan, tidak hanya seseorang ataupun beberapa orang saja. Bahasa pidato terbatas dan tidak fleksibel dengan menggunakan kode-kode yang lazim, tidak menggunakan ungkapan pribadi ataupun tidak formal. Pendengar dalam pidato majemuk, sehingga memungkinkan misinterpretasi sehingga pembicara mempunyai tugas yang kompleks dalam mempersiapkan pidato. Hal ini disebabkan karena respon pendengar (feed back) terbatas dan tidak secara langsung. Dengan demikian, pidato yang efektif adalah pidato yang dikomunikasikan dengan baik sehingga mendapatkan respon yang baik dari pendengar.

1.7.5 Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis

Analisis mengenai wacana mulai muncul pada awal tahun 50-an. Sebelumnya, kajian linguistik lebih fokus pada kajian kalimat, tanpa memperhatikan faktor-faktor luar bahasa yang bersifat kontekstual. Analisis yang bersifat kontekstual sebenarnya juga penting untuk dikaji. Kemudian pada tahun 1952, seorang linguis bernama Zellig S. Harris mempublikasikan artikel yang berjudul “Discourse Analysis” dalam majalah Language (28: 1 – 30; 474 – 94). Artikel tersebut merupakan bentuk ketidakpuasan Harris terhadap kajian linguistik yang sedang ramai pada saat itu, yaitu kajian strukturalisme buah pikiran Bloomfield. Sebenarnya kajian mengenai konteks ini sudah pernah dikemukakan oleh beberapa linguis dan antropolog ternama seperti Franz Boas (1885-1942) dan Edward Sapir (1884-1939) yang menghubungkan bahasa dengan konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. Firth, tahun 1935 juga pernah menganjurkan kajian lingusistik pada bahasa percakapan yang melibatkan konteks. Bagi

(26)

sebagian besar linguis pada saat itu, pandangan Bloomfield tetap menjadi hal yang paling menarik. Namun demikian, sejak munculnya artikel Harris tersebut, kajian mengenai wacana mulai mendapat perhatian lebih dari para linguis di berbagai belahan dunia, seperti Stubs (1983), Brown dan Yule (1983), Dijk (1985), dan masih banyak lagi (via Tarigan, 2009: 20-21 dan Mulyana, 2005:67-68). Perkembangan kajian analisis wacana tersebut mengakibatkan muncul berbagai aliran dalam pengkajian wacana.

Eriyanto (2009: 3-7) meyebutkan bahwa terdapat tiga jenis pandangan mengenai wacana. Pandangan pertama merupakan pandangan dari kaum positivisme empiris. Dalam pandangan positivisme empiris, bahasa dipandang sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pandangan kedua lahir dari kaum konstruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi dilihat hanya sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Pandangan yang terakhir adalah pandangan kritis, pandangan inilah yang mendasari lahirnya analisis wacana kritis.

Cook (1994: 3 via Eriyanto, 2009: 9) menyatakan bahwa titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Oleh karena itu, dengan adanya sifat bahasa yang tidak netral, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai metode untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kekuasaan dalam kegiatan berbahasa dan berwacana. Sehingga untuk menganalisis pidato

(27)

dalam penelitian ini sangat diperlukan model analisis wacana kritis, yang menganalisis wacana secara kritis melalui unsur kebahasaan dan konteksnya.

Analisis wacana kritis berangkat dari pandangan kritisme. Analisis wacana kritis memiliki perbedaan dengan analisis wacana yang berangkat dari pandangan lain. Perbedaan analisis wacana kritis dengan analisis wacana pada umunya adalah (1) tujuan utama analisis wacana kritis bukan untuk berkontribusi pada disiplin ilmu yang spesifik, paradigma, atau teori wacana, tetapi lebih tertarik dan terdorong untuk menganalisis isu-isu sosial politik, dan (2) analisis wacana kritis menggunakan pandangan sosiopolitikal yang eksplisit, yaitu menguak pandangan, perspektif, dan prinsip tujuan dari praktik politik tersebut (Dijk, 1993:252-253). Selain itu, salah satu elemen analisis wacana kritis yang yang membedakan dengan analisis wacana lainnya adalah adanya atribut “kritis”. “Kritis bertujuan untuk menunjukkan hubungan dan sebab yang tersembunyi. “Kritis” juga menunjukkan intervensi, misalnya menyediakan sumber untuk siapa yang dirugikan akibat perubahan (Horváth, t. t.: 46).

Menurut Dijk (2001: 252) analisis wacana kritis adalah jenis penelitian analisis wacana yang utamanya mengkaji cara penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan ketidaksetaraan yang berlaku, direproduksi, dan ditentang oleh teks dan pembicaraan dalam konteks sosial dan politik. Dengan pandangan kritis atau negatif tersebut, analisis wacana kritis mengambil posisi eksplisit dengan ingin memahami, mengungkap dan akhirnya menolak ketidaksetaraan sosial. Hal ini juga dijelaskan oleh Rosidi (2007:9) bahwa paradigma kritisme justru memberi

(28)

bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana.

Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok orang dominan yang kecenderungannya mempunyai kecenderungan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan (Darma, 2009:49). Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh Darma tersebut, maka sebuah wacana yang di dalamnya terdapat konteks, memliki kepentingan tertentu yang hendak disampaikan oleh pembuat wacana. Oleh karena itu dalam menganalisis wacana secara kritis, perlu diperhatikan faktor dari pembuat wacana dan kepentingan yang hendak disampaikan serta diperjuangkan melalui wacana yang diciptakannya.

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, wacana yang berupa teks, pidato, percakapan, tidak dipandang sebagai suatu yang alamiah dan netral tetapi merupakan bentuk pemertahanan kekuasaan. Oleh karena itu, analisis wacana kritis bermaksud memaparkan atau menjelaskan sebuah kepentingan suatu kelompok secara terbuka dengan menganalisis bagaimana wacana diproduksi dan merepresentasikan suatu kondisi masyarakat dalam wacana.

1.7.6 Pilihan Kata

Plihan kata digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 1985: 22-23). Pilihan kata yang digunakan dalam sebuah wacana membawa kepentingan pembuat wacana. Menurut Fowler

(29)

(1996: 81) kosakata melakukan proses struktur yang sungguh-sungguh meskipun tidak mudah teramati secara langsung. Kosakata adalah peta bukan sekedar daftar, sehingga melalui kosakata dapat diketahui motif dari penggunaan kosakata tersebut. Penggunaan kosakata juga berkaitan dengan value. Value ini berkaitan dengan penilaian seseorang terhadap realitas yang akan berdampak pada kosakata yang dipilih.

Roger Fowler, dkk. (1979 via Eriyanto, 2009: 133) melakukan penelitian terhadap aspek bahasa, yaitu tata bahasa dan kosakata. Yang dilakukan oleh Roger Fowler, dkk. adalah melihat bagaimana tata bahasa/ grammar tertentu dan pilihan kosakata tertentu membawa impliksi dan ideologi tertentu. Penggunaan kosakata yang berbeda bukanlah urusan teknis semata. Pemilihan kosakata berkaitan dengan ideologi. Menurut Fowler, dkk. kosakata yang digunakan dalam wacana memiliki empat fungsi, yakni sebagai pembuat klasifikasi, pembatas pandangan, pertarungan wacana, dan marjinalisasi.

1.7.7 Tata Bahasa

Kajian terhadap tata bahasa dalam analisis wacana kritis berangkat dari pandangan Halliday. Salah satu Tokoh yang mengembangkan pandangan Halliday adalah Roger Fowler, yaitu untuk menganalisis wacana secara kritis. Fowler mendasarkan pada penjelasan Halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi dasar struktur tata bahasa. Tata bahasa tersebut kemudian menyediakan alat untuk dikomunikasikan kepada khalayak (Eriyanto, 2009: 133).

Fowler dan Kress (1979) mengembangkan pendapat yang dikemukakan Halliday mengenai struktur gramatika dan fungsi linguistik. Fowler, dkk.

(30)

menggarap sebuah pendekatan untuk menganalisis wacana yang bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara struktur gramatikal dan kehidupan sosial. Dengan mempelajari struktur gramatikal bahasa, Fowler, dkk. berharap dapat mengatakan sesuatu tentang hubungan sosial dan konteks di mana bahasa digunakan, yaitu tentang lingkungan sosial bahasa tersebut (Thompson, 1984: 118).

Salah satu struktur gramatikal yang mendapat perhatian dari Fowler dan Kress (1979) adalah transitivitas. Transitivitas merupakan suatu alat yang dasar untuk melihat representasi situasi sosial yang tedapat dalam sebuah wacana. Transitivitas juga memiliki banyak fungsi yang lain untuk menganalisis representasi kondisi sosial dalam sebuah wacana. Berikut pendapat Fowler tentang transitifitas yang dikembangkannya dari teori Halliday.

A central insight of Halliday’s, made a very explicit in his most recent book, is that transitivity is the foundation of representation: it is the way the clause is used to analyse events and situations as being of certain types. And transitivity has the facility to analyse the same event in different ways, a facility which is of course of great interest in newspaper analysis. If we see something, says Halliday, ‘perceptually the phenomenon is all of a piece’; but when we talk of it, we must analyse it as a semantic configuration’- that is, we must represent it as one particular stucture of meaning. Sience transitivity makes options available, we are always suppressing some possibilities, so the choice we make – better, the choice made by the discourse – indicates our point of view (Fowler, 1996: 71).

‘Sebuah pandangan utama Halliday, diperoleh sesuatu yang sangat eksplisit dalam bukunya yang terbaru, yaitu bahwa ketransitifan adalah dasar dari representasi: transitivitas adalah cara klausa digunakan untuk menganalisis peristiwa dan situasi sebagai wujud tipe tertentu. Dan ketransitifan memiliki fasilitas untuk menganalisis peristiwa yang sama dengan cara yang berbeda, fasilitas yang tentunya sangat menarik untuk menganalisis surat kabar. Jika kita melihat sesuatu, kata Halliday, ‘secara persepsi suatu fenomena adalah keseluruhan dari sebuah bagian’; tapi ketika kita berbicara tentang itu, kita harus menganalisisnya seperti

(31)

sebuah konfigurasi semantik’- yaitu, kita harus merepresentasikannya sebagai salah satu bagian struktur makna. Sejak ketransitifan membuat ketesediaan pilihan, kita selalu dikejutkan oleh beberapa kemungkinan, jadi pilihan yang kita buat – lebih tepatnya, pilihan yang dibuat oleh wacana – mengindikasikan sudut pandang kita’ (Fowler, 1996: 71). Salah satu aspek yang juga penting dan khas dari pemikiran Roger Fowler adalah transformasi sintaksis klausa. Tipe transformasi ada dua, yakni pasivasi dan nominalisasi. Pasivasi adalah proses perubahan dari kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Ketika kalimat aktif diubah menjadi kalimat pasif, proses bukan ditujukan kepada subjek, tetapi kepada objek, yang menjadi titik perhatian adalah objek atau pihak yang dikenai tindakan. Nominalisasi terjadi ketika kalimat atau bagian dari kalimat, gambaran dari suatu tindakan atau partisipan dibentuk dalam kata benda. Akibat yang diterima oleh pembaca adalah kesan intensifier dari suatu tindakan, tetapi sekaligus menghilangkan atau menurunkan peran aktor atau partisipan dari suatu peristiwa. Titik perhatian pembaca bukan pada siapa yang melakukan tindakan tetapi pada tindakan itu sendiri (Fowler, 1996: 76-80).

1.7.8 Detail

Detail merupakan informasi-informasi yang digunakan untuk menjelaskan informasi utama. Dalam KBBI, detail adalah ‘bagian yang kecil-kecil (yg sangat terperinci); segala hal-ihwal’. Informasi-informasi kecil-kecil dan sangat terperinci tersebut dapat mendukung kejelasan informasi yang disampaikan oleh pembicara maupun penulis. Detail informasi yang disampaikan dalam sebuah wacana memiliki fungsi tertentu. Ada alasan tertentu seorang pembicara maupun penulis menyampaikan detail informasi dalam ujaran maupun tulisannya.

(32)

Penyampain elemen detail ini sesuai dengan tujuan pembicara maupun penulis. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan kedudukannya (Eriyanto, 2009:238).

1.7.9 Konteks

Penganalisis wacana harus mempertimbangkan konteks untuk menginterpretasikan wacana yang akan dianalisis. Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa wacana terdiri atas teks dan konteks. Menganalisis teks saja tidak dapat digunakan untuk menginterpretasikan sebuah wacana secara keseluruhan. Dengan memperhatikan konteks, penganalisis wacana dapat mengetahui maksud yang terkandung dalam wacana. Pendapat ini pernah dikemukakan oleh Halliday.

Situasi terjadinya interaksi kebahasaan memberi para pelibat banyak sekali keterangan tentang makna yang sedang dipertukarkan, dan makna-makna yang kemungkinan besar akan dipertukarkan. Jenis pemerian atau penafsiran konteks situasi yang paling memadai bagi seorang linguis adalah jenis pemerian yang berciri hubungan-hubungan makna yang dimaksud, yaitu hubugan-hubungan yang dapat membuat orang mampu melakukan perkiraan tentang makna-makna jenis tertentu, yang akan mempu menjelaskan cara orang berinteraksi (Halliday, 1992: 13).

Suatu komunikasi pasti dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu. Latar belakang terjadinya komunikasi yang bukan merupakan aspek linguistik ini bisa diseut pula sebagai konteks. Menurut Mulyana (2005:21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun

(33)

informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

1. 8 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif-kritis. Dalam istilah Connole, Smith, dan Wiseman (lihat Santoso, 2012: 196) penelitian ini disebut penelitian kritis (critical research). Penelitian kualitatif-kritis bersumber dari ilmu sosial kritis; yang kedua bersumber dari ilmu sosial positif. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif-interpretatif dan lebih spesifik lagi adalah jenis penelitian analisis wacana kritis. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya di mana hasil pencatatan berupa paparan data apa adanya (Sudaryanto, 1986:62). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan menginterpretasikan praktik berwacana dalam pidato Presiden SBY.

1.8.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam rangka menyambut kemerdekaan RI ke-69. Pidato tersebut merupakan pidato kenegaran terakhir Presiden SBY. Peringatan HUT RI yang selanjutnya yang berpidato bukan lagi Presiden SBY. Pidato kenegaran tersebut dilaksanakan dalam acara Sidang bersama DPR RI dan DPD RI di Kompleks Parlemen pada tanggal 15 agustus 2014 pukul 09.00 WIB.

(34)

1.8.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Menurut Sudaryanto (1993:133), metode simak adalah suatu metode penelitian di mana dalam memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Dalam pelaksanaan penjaringan data, metode simak diwujudkan dengan teknik dasar sadap dan dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap, yaitu dengan menyimak dan menyadap pidato SBY dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69. Teknik sadap adalah pelaksanaan metode simak dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Kesuma, 2007:43). Sedangkan teknik lanjutan simak bebas libat cakap merupakan teknik di mana peneliti tidak berpartisipasi dalam kegiatan tutur, ia hanya bertindak sebagai pemerhati setiap tuturan yang diujarkan oleh penutur dan lawan tuturnya (Sudaryanto, 1993:134). Setelah penentuan data selesai, maka dilakukan teknik catat untuk mentranskrip data yang akan dianalisis. Kesuma (2007:45) menjelaskan bahwa teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data.

1.8.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan pragmatis atau sering juga disebut metode kontekstual. Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya berupa lawan atau mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh mitra wicara (Kesuma, 2007: 49). Dalam

(35)

penelitian ini mitra wicara adalah peneliti sendiri. Komunikasi berupa pidato adalah komunikasi satu arah, sehingga tidak ada feed back dari mitra wicara. Peneliti menjadi pendengar, pembaca, sekaligus penganalisis pidato yang disampiakan oleh Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI ke-69.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi (1) klasifikasi data, (2) mendeskripsikan data yang telah diklasifikasikan, dan (3) menginterpretasikan data yang telah dideskripsikan. Klasifikasifikasi data secara garis besar didasarkan pada dua proses memaknai realitas yang disampaikan oleh Eriyanto (2009), yakni meliputi pemilihan fakta dan penulisan fakta. Pemilihan fakta yang dilakukan Presiden SBY, digunakan peneliti untuk mengetahui representasi pemerintah. Kemudian penulisan fakta yang dilakukan oleh Presiden SBY, digunakan peneliti untuk menganalisis penggunaan bahasa yang merealisasikan representasi pemerintah dalam pidato Presiden SBY. Proses memaknai realitas ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1.2 Proses Memaknai Realitas

Pada proses pemilihan fakta, data diklasifikasikan berdasarkan fakta yang ditonjolkan dan fakta yang dihilangkan. Pada unit analisis yang berupa pilihan

Representasi

Pemilihan Fakta:

 Penonjolan realitas

 Penghilangan bagian realitas

Penulisan Fakta (Penggunaan Bahasa):  Pilihan kata

 Penggunaan struktur kalimat  Pengguanan bahasa asing  Penyampaian detail informasi

(36)

kata, kata diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembentuk klasifikasi, membatasi pandangan, pertarungan wacana, dan marjinalisasi selain itu plihan kata juga diklasifikasikan berdasarkan gaya bahasanya. Pada unit analisis yang berupa penggunaan kalimat, data diklasifikasikan berdasarkan proses transitivitas (proses material, mental, relasional, behavioral, verbal, dan eksistensial), pasivasi, nominalisasi, dan modalitas (modalitas intensional, epistemik, deontik, dan dinamik). Pada unit analisis penggunaan bahasa asing, data diklasifikasikan berdasarkan istilah asing yang digunakan oleh Presiden SBY dalam pidatonya berdasarkan asal bahasa tersebut. Pada bagian detail informasi, data diklasifikasikan menurut kehadiran informasi pendukung, yaitu ada atau tidaknya informasi pendukung. Kemudian fitur-fitur kebahasaan tersebut dideskripsikan dan diinterpretasikan bagaimana representasi pemerintah melalui penggunaan fitur-fitur kebahasaan tersebut. Langkah analisis yang terakhir adalah menjelaskan kepentingan SBY merepresentasikan pemerintah sebagaimana yang terdapat dalam pidatonya.

1.8.4 Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian analisis data dapat dilakukan secara formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda atau lambang-lambang sedangkan sedangkan metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan menggunakan terminologi yang bersifat teknis (Sudaryanto, 1993:145). Data hasil analisis dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk formal dan informal. Data yang berisi perbandingan jumlah informasi yang ditampilkan

(37)

Presiden SBY disajikan dalam bentuk tabel. Data yang berbentuk deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi disajikan secara informal, yaitu dengan kata-kata biasa bukan dengan lambang atau tanda tertentu secara tertulis.

1. 9 Sistematika Penyajian

Laporan penelitian dalam tesis ini terdiri atas tujuh bab. Bab I (Pendahuluan) berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang pemilihan informasi sebagai strategi Presiden SBY merepresentasikan pemerintah dalam pidatonya. Bab III berisi uraian tentang representasi pemerintah melalui pilihan kata pada pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69. Bab IV berisi uraian tentang representasi pemerintah melalui penggunaan kalimat pada pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69. Bab V berisi uraian tentang representasi pemerintah melalui penggunaan bahasa asing pada pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69. Bab VI berisi uraian tentang representasi pemerintah melalui detail informasi pada pidato kenegaraan Presiden SBY dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-69. Bab VII merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Gambar

Gambar 1.1 Hubungan Realitas, Ideologi, Bahasa, dan Representasi Beradasarkan  gambar  di  atas,  diketahui  bahwa  seseorang  akan  merepresentasikan  realitas  yang  ada  di  dunia  ini  sesuai  dengan  ideologinya
Gambar 1.2 Proses Memaknai Realitas

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penggunaan 1 atau 2 itu sebenarnya bersifat sebarang saja, tidak otomatis berarti bahwa komunikator 1 sebagai orang yang punya inisiatif pertama untuk mengirimkan

PENGARUH PERIKLANAN TERHADAP PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN SEPEDA MOTOR SUZUKI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Komunikasi agresif memiliki satu buah sub yaitu Komunikasi Aggresif tidak Langsung yang berupaya untuk memaksa orang lain melakukan hal yang kita kehendaki tetapi mereka

Pertama hanya pada kaki, tapi setelah di bawa ke Rumah Sakit malah tidak bisa apa-apa, sekarang tangan klien juga tidak bisa digerakkan sama sekali.. Suami

Kecamatan yang ada di kabupaten gayo lues terdapat 11 kecamatan, yang masing-maing di kecamatan tersebut memiliki usahatani kopi, walaupun tidak semuanya menghasilkan

Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa perlu untuk melakukan suatu studi dan kajian mengenai banjir yang terjadi di Kota Nanga Pinoh untuk mendapatkan suatu

Karena hal itulah, peneliti memiliki ketertarikan dalam membahas peran bimbingan konseling sufistik yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak terutama yang