• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anggun Permatasari Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Anggun Permatasari Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LAJU PERTUMBUHAN JENIS LAMUN (Syringodium isoetifolium) DENGAN

TEKNIK TRANSPLANTASI POLYBAG DAN SPRIG ANCHOR PADA JUMLAH

TEGAKAN YANG BERBEDA DALAM RIMPANG DI PERAIRAN KAMPE

DESA MALANG RAPAT

Anggun Permatasari

Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, anggunpermatasari84@gmail.com

Ita Karlina

Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, itakarlina@gmail.com

Henky Irawan

Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, henkyirawan.umrah@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan lamun dan tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifoliumdan mengetahui jumlah tegakan optimal bagi pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium yang ditransplantasi dengan metode Polybag dan Sprig anchor. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei tahun 2016, di daerah Kampe, Desa Malangrapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Metode yang digunakan adalah metode transplantasi Polybag dan Sprig anchor. Jumlah tegakan lamun Syringodium isoetifolium diberi perlakuan yaitu 1 tegakan, 2 tegakan, 3 tegakan, 4 tegakan, dan 5 tegakan dengan 5 kali pengulangan tiap perlakuan. Analisis data dengan menggunakan Uji One-Way ANOVA menunjukkan laju pertumbuhan lamun Syringodium isoetifoliumpada metode Polybag tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap perlakuan jumlah tegakan yang berbeda (p>0,05) dengan penambahan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium ± 0,58 hingga 1,49 cm per-minggu dan untuk metode Sprig anchor terdapat perbedaan yang nyata terhadap perlakuan jumlah tegakan yang berbeda (p<0,05) dengan penambahan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium ± 0,02 hingga 0,54 cm per-minggu sedangkan untuk tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium pada metode Polybag dan Sprig anchor menggunakan analisis data Kruskal Wallis tidak terdapat pengaruh yang nyata terhadap perlakuan jumlah tegakan yang berbeda (p>0.05) dengan tingkat kelangsungan hidup lamun tertinggi 100% pada semua tegakan untuk metode Polybag dan terendah 0% pada tegakan 1 untuk metode Sprig anchor. Jumlah tegakan yang optimal lamun Syringodium isoetifolium didapat oleh perlakuan dengan jumlah tegakan 1 untuk metode Polybag dan Sprig anchor, yaitu perlakuan dengan jumlah tegakan sedikit mungkin, tetapi memiliki laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dan tidak memiliki perbedaan yang nyata di setiap perlakuan. Tegakan optimal ini dinilai sebagai pertumbuhan lamun yang efektif dan efisien dalam kegiatan transplantasi lamun Syringodium isoetifolium.

(2)

GROWTH RATE TYPE SEAGRASS (Syringodium isoetifolium) WITH

TRANSPLANTATION TECHNIQUE POLYBAG AND SPRIG ANCHOR AT

NUMBER STANDS DIFFERENT IN THE RHIZOME IN WATER VILLAGE

KAMPE MALANG RAPAT

ABSTRACT

This research was conducted in order to determine seagrass growth rate and survival rate of seagrass Syringodium isoetifoliumand determine the number of stands to the growth of seagrass Syringodium isoetifolium transplanted with method polybag and sprig anchor. This study was conducted from February to May 2016, in the area Kampe, Malangrapat Village, District Gunung Kijang, Bintan regency. The method used is the method of transplantation polybag and sprig anchor. Number of stands of seagrass Syringodium isoetifolium treated that first stand, two stands, stands 3, 4 stands, and 5 stands with five repetitions of each treatment. Analysis of the data using One-Way ANOVA test showed the rate of growth of seagrass Syringodium isoetifolium in polybag method there is no real difference to the number of stands of different treatments (p>0.05) with the addition of the long leaves of seagrass Syringodium isoetifolium ± 0.58 to 1.49 cm per week and to methods sprig anchor there is a real difference to the number of stands of different treatments (p<0.05) with the addition of the long leaves of seagrass Syringodium isoetifolium ± 0.02 to 0.54 cm per week whereas the survival rate of seagrass Syringodium isoetifolium the method polybag and sprig anchor using data analysis Kruskal Wallis there is no significant effect on the number of stands of different treatments (p> 0.05) with the highest survival rate of 100% of seagrass in all stands for polybag method and the lowest 0% on stand 1 to methods sprig anchor. Stands optimal amount of seagrass Syringodium isoetifolium obtained by treatment with the number 1 stands for polybag and sprig anchor method, namely the treatment by the number of stands little as possible, but it has the growth rate and the highest survival rate and does not have a significant difference in each treatment. Optimal stands is considered as the growth of seagrass effective and efficient in Syringodium isoetifolium seagrass transplantation activities.

Keywords : Seagrass Transplantation, Syringodium isoetifolium, Polybag and Sprig anchor

PENDAHULUAN

Ekosistem padang lamun berperan penting dalam ekologi kawasan pesisir karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan (feeding ground), sebagai tempat perlindungan (nursery ground), dan sebagai tempat memijah (spawning ground) (Kikuchi, 1971 dalam Marabessy, 2010).

Menurut Sugianti, 2014 bahwa ekosistem lamun merupakan ekosistem yang cukup rentan terhadap perubahan yang terjadi sehingga lamun mudah mengalami kerusakan. Fungsi lamun belum banyak

dipahami, banyak lamun yang rusak akibat ancaman atau gangguan secara alami maupun aktivitas manusia seperti kerusakan fisik padang lamun disebabkan oleh aktivitas perahu-perahu nelayan yang mengeruhkan perairan dan merusak padang lamun. Reklamasi dan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan juga telah melenyapkan sejumlah besar daerah padang lamun.

Kerusakan lamun terus terjadi, sedangkan upaya konservasi dan rehabilitasi belum banyak dilakukan, sehingga luas padang lamun di Indonesia mengalami penurunan. Luas total padang lamun di

(3)

Indonesia semula di perkirakan mencapai 30.000 km2, tetapi kini diperkirakan menyusut 30 - 40% (Nontji, 2010).

Melihat kenyataan di atas, maka perlu dilakukan upaya rehabilitasi padang lamun. Salah satunya melalui transplantasi lamun yang sudah ada dilakukan, namun belum ada tegakan lamun yang optimal.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan lamun jenis Syringodium isoetifolium yang ditransplantasi dengan jumlah tegakan berbeda dan mengetahui jumlah tegakan yang optimal bagi pertumbuhan lamun jenis Syringodium isoetifolium yang di transplantasi dengan metode Spring anchor dan Polybag.

Manfaat dalam penelitian ini yaitu untuk mendapatkan jumlah tegakan yang optimal dan metode yang sesuai sehingga dapat diterapkan dalam kegiatan transplantasi lamun agar terciptanya efisiensi dan efektivitas; dan sebagai informasi ilmiah yang bermanfaat dalam hal pengembangan teknik transplantasi lamun.

METODE

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2016 di Kampung Kampe, Desa Malangrapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Alat yang digunakan untuk transplantasi adalah alat snorkling, kamera underwater, GPS, polybag, plot, kawat diameter 12 mm sepanjang 30 cm 4 buah dan 5 mm 50 buah, jaring, patok kayu, linggis, corer, keranjang, sepatu boat, alat tulis, gunting, kertas label, jangka sorong dan alat untuk pengukuran parameter adalah salt meter, multitester, spektrofotometer, corer, tali 5 meter, stopwatch, sedangkan bahan yang digunakan untuk transplantasi adalah lamun jenis Syringodium isoetifolium dan bahan untuk pengukuran parameter adalah sedimen dan air laut untuk mengukur DO, salinitas, suhu, pH.

Penelitian dilakukan dengan tahap persiapan, pemilihan lokasi, pembuatan kurungan, penanganan bibit lamun, perlakuan transplantasi lamun, dan pengamatan pertumbuhan lamun.

Tahap persiapan terdiri dari konsultasi dengan Penasehat Akademik, Dosen Pembimbing dan survei lokasi penelitian.

Pemilihan lokasi mengikuti cara yang dijelaskan oleh F.T. Short, et al, 2002 dalam BTNKpS, 2006 dengan sedikit perubahan untuk menyesuaikan dengan kondisi lokasi yang akan dilakukan transplantasi dengan perhitungan indeks kesesuaian lokasi penanaman atau preliminary transplant suitability index (PTSI) dan memilih proritasnya.

Pembuatan kurungan agar transplantasi lamun di lapangan tidak terganggu oleh aktifitas manusia, grazer dan kondisi alam.

(4)

Gambar 2.Kurungan di Lokasi Transplantasi

Penanganan bibit lamun Bibit lamun diambil dari habitat asli saat air surut kemudian dimasukkan kedalam wadah jaring/ keranjang tetapi tetap berada dalam air. Bibit lamun yang telah cukup langsung di tanam kedaerah transplantasi untuk metode Sprig anchor. Untuk metode polybag bibit lamun di ambil dengan menggunakan pvc di daerah lamun donor. Bibit lamun dimasukkan dalam polybag dan di sortir sesuai dengan jenis lamun Syringodium isoetifolium dan sesuai tegakan ,lalu bawa lamun bibit kedaerah transplantasi.

Perlakuan transplantasi lamun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 25 bibit lamun utama dan 25 bibit lamun stok (cadangan ) untuk metode Sprig anchor dan 25 bibit lamun utama dan 25 bibit lamun stok (cadangan) untuk metode polybag dengan jumlah tegakan yang berbeda dalam rimpang.

Gambar 3. Desain tata letak lamun tranplantasi metode Polybag

Gamba 4. Desain Tatak letak lamun transplantasi metode Sprig anchor

Gambar 5. Sketsa penanaman menggunakan jangkar (Asriani, (2014

)

Pengamatan pertumbuhan lamun dan parameter perairan dilakukan selama 2 bulan di perairan Kampe.

Metode yang digunakan adalah polybag dan sprig anchor. Tegakan lamun Syringodium isoetifolium yang digunakan yaitu tegakan 1, tegakan 2, tegakan 3, tegakan 4, dan tegakan 5.

Pengolahan data pertumbuhan lamun menggunakan rumus sebagai berikut. 1.Laju Pertumbuhan Panjang Daun Lamun (Supriadi, 2003)

Keterangan :

P= Tingkat pertumbuhan panjang daun (cm) Lt= Panjang daun akhir pada waktu ke- (cm) Lo= Panjang daun pada pengukuran awal (cm)

(5)

2. Tingkat Kelangsungan Hidup (Lanuru et al, 2013)

Keterangan:

SR = Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Nt = Jumlah tegakan lamun utama pada awal penelitian

No = Jumlah tegakan lamun utama pada akhir penelitian

Analisis data dilakukan dengan uji One-Way ANOVA dan Post Hoc Duncan pada tingkat ketelitian 95%. Sebaran data yang tidak normal dianalisis secara nonparametrik dengan uji Kruskal Wallis. Penentuan tegakan optimal lamun dilihat dari perlakuan tegakan sekecil mungkin tetapi memiliki parameter pertumbuhan yang tercepat atau tertinggi ataupun tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter pertumbuhan tercepat atau tertinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Laju Pertumbuhan Panjang Daun Lamun Syringodium isoetifolium

Pertumbuhan panjang daun adalah selisih antara panjang daun yang tumbuh waktu awal dengan waktu akhir pada interval waktu yang telah di tentukan.

a. Metode Polybag

Hasil pengukuran pertumbuhan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium pada metode polybag dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 6. Laju Pertumbuhan Panjang Daun Lamun Syringodium isoetifolium

pada Metode Polybag

Berdasarkan gambar laju pertumbuhan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium terjadi penurunan yang pada minggu ke -3 dan ke -4 pada setiap tegakan. Hal ini disebabkan pada minggu ke-3 dan ke-4 terjadi gelombang sangat besar dan arus sangat kuat, sehingga lamun Syringodium isoetifolium mengalami hambatan untuk tumbuh lebih cepat. Pada minggu ke-5 hingga minggu ke-8 pertumbuhan lamun terlihat mengalami penambahan panjang. Hal ini disebabkan karena pada minggu ke -5 hingga minggu ke-8 gelombang dan arus sudah mulai tenang.

Analisis data laju pertumbuhan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium menggunakan One-Way ANOVA dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.Uji One-Way ANOVA pada laju pertumbuhan panjang dau lamun Syringodium isoetifolium pada metode Polybag Source Sum of Squares df Mean Square F Sig. Intercept 24.010 1 24.010 1304.891 .000 Polybag - - - - .000 Tegakan .052 4 .013 .707 .597 Error .368 20 .018 Total 25.776 25

(6)

Berdasarkan uji one-Way ANOVA bahwa nilai signifikan menunjukan lebih besar dari α (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dari rata-rata pertumbuhan lamun pertegakan dalam 8 minggu. Pengujian statistik lanjutan menggunakan analisis Post Hoc Duncan dengan tingkat ketelitian 95% untuk meyakinkan bahwa dari setiap tegakan tidak berbeda nyata dalam satu metode.

Tabel 2.Uji Post Hoc Duncan laju pertumbuhan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Polybag

Tegakan N Subset 1 Duncana Tegakan 5 5 .9000 Tegakan 2 5 .9600 Tegakan 4 5 1.0000 Tegakan 3 5 1.0200 Tegakan 1 5 1.0200 Sig. .223

Berdasarkan laju pertumbuhan panjang daun lamun pada metode polybag, pengujian statistik lanjutan menggunakan analisis Post Hoc Duncan dengan tingkat ketelitian 95% setiap tegakan terdapat dalam satu kelompok. Hal ini yang membuktikan jika tidak terdapat perbedaan yang nyata dari setiap tegakan pada metode Polybag dan mempunyai nilai yang signifikan sebesar 0,223.

b. Metode Sprig anchor

Hasil pengukuran laju pertumbuhan panjang daun lamun pada metode sprig anchor dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Laju Pertumbuhan Panjang Daun Lamun Syringodium isoetifolium pada Metode Sprig anchor

Berdasarkan gambar laju pertumbuhan panjang daun lamun metode Sprig anchor terjadi penurunan yang sangat drastis di setiap minggu hingga minggu terakhir. Hal ini disebabkan didaerah transplantasi lamun terdapat udang yang membuat lubang disekitar daerah transplantasi. Sehingga banyak lamun yang hilang dan sebagian lamun yang hilang digantikan dengan lamun cadangan yang masih utuh. Sehingga tegakan 5 pada minggu ke-5 mengalami kenaikan disebabkan pada tegakan 5 menggunakan lamun cadangan.

Tabel 3.Uji one-Way ANOVA pada laju pertumbuhan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium pada metode Sprig anchor

Source Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Intercept 1.904 1 1.904 238.050 .000 Sprig anchor - - - - .000 Tegakan .026 4 .031 3.923 .016 Error .160 20 .008 Total 2.190 25

Berdasarkan laju pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium, pengujian statistik menggunakan one-Way ANOVA bahwa nilai signifikan menunjukan lebih kecil dari α (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dari rata-rata

(7)

pertumbuhan lamun pertegakan dalam 8 minggu dan dapat dikatakan metode dan tegakan mempengaruhi pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolim. Pengujian statistik lanjutan menggunakan analisis Post Hoc Duncan dengan tingkat ketelitian 95% untuk melihat nilai perbedaan antara pertumbuhan lamun pada setiap tegakan.

Tabel 4.Uji Post Hoc Duncan laju pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Sprig anchor Tegakan N Subset 1 2 Duncana Tegakan 2 5 .1800 Tegakan 3 5 .2000 Tegakan 1 5 - .03200 Tegakan 4 5 - .03400 Tegakan 5 5 - .03400 Sig. .727 .742

Berdasarkan laju pertumbuhan panjang daun pada metode sprig anchor, pengujian lanjutan menggunakan Post Hoc Duncan dengan tingkat ketelitian 95% setiap tegakan bahwa terdapat nilai perbedaan pertumbuhan lamun metode Sprig anchor antar tegakan didapatkan nilai signfikan sebesar 0,727 untuk tegakan 2 dan tegakan 3, dan signifikan sebesar 0,742 untuk tegakan 1, tegakan 4 dan tegakan 5. Hasil analsis Post Hoc Duncan dengan tingkat ketelitian 95% perbedaan nilai terbesar terdapat pada kelompok kedua.

Pertumbuhan panjang daun lamun Syringodium isoetifolium pada metode Polybag dan Sprig anchor mengalami ketidakstabilan disebabkan gangguan alam, terutama arus. Hal ini di dukung oleh penelitian Dahuri et al. (2004) dalam Feryatun (2012) bahwa pergerakan arus

sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun yang terkait dengan suplai unsur hara dan persedian gas-gas terlarut yang dibutuhkan oleh lamun.

Faktor lain penurunan laju pertumbuhan transplantasi ini di duga karena adanya pengaruh kurang tersedianya nutrien pada lokasi transplantasi di perairan Kampe dimana nilai nitrat dan fosfat pada daerah transplantasi tergolong rendah dan kurang subur dan banyaknya epifit yang menempel di daun lamun ini menyebab cahaya matahari sulit menembus dan menghambat laju pertumbuhan lamun (Wirawan, 2014).

2. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun

Syringodium isoetifolium

Tingkat kelangsungan hidup lamun adalah seberapa tinggi dan rendahnya kemampuan lamun bertahan hidup tanpa mengalamin kematian selama penelitian yang dinyatakan dalam persen (Jipriandi, 2013). Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup lamun pada metode Sprig anchor dan Polybag selama 2 bulan dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium dengan metode polybag dan sprig anchor 1 2 3 4 5 sprig anchor 0 30 60 5 4 polybag 100 100 100 100 100 0 50 100 150 Ti n gka t K e la n gsu n ga n H id u p ( % )

(8)

Berdasarkan rata-rata tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup lamun tertinggi pada metode Polybag dengan tingkat hidup 100% pada setiap tegakan dan terendah pada metode Sprig anchor dengan tingkat hidup 0% pada tegakan 1.

Transplantasi lamun Syringodium isoetifolium menggunakan metode Sprig anchor mengalami penurunan ketahanan hidup yang drastis karena pada lokasi penelitian udang yang membuat lubang, jangkar yang korosi dan karena adanya gesekan jangkar saat gelombang cukup besar. Udang yang membuat lubang berperan penting dalam kegagalan transplantasi di lokasi pada metode Sprig anchor.

Hal ini di dukung oleh penelitian Ganassin dan Gibbs (2008), beberapa faktor yang dilaporkan dapat berkontribusi pada kegagalan transplantasi lamun adalah penguburan dengan pasir, perubahan kondisi perairan yang drastis, konsentrasi amonia sedimen yang tinggi, pertumbuhan epifit, akibat kegiatan antropogenik dan jangkar yang digunakan saat transplantasi dan faktor korosi diduga berperan paling penting dalam kegagalan transplantasi lamun yang dilakukan.

Data tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium yang diperoleh merupakan sebaran data yang tidak normal dilihat dari uji normalitas pada statistik. Oleh karena itu, analisis data tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium secara nonparametrik menggunakan uji Kruskal

Wallis. Hasil analisis data tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium dengan metode polybag menggunakan uji Kruskal Wallis dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Uji Kruskal Wallis pada tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Polybag

Tegakan N Mean Rank

SR Tegakan 1 5 13.00 Tegakan 2 5 13.00 Tegakan 3 5 13.00 Tegakan 4 5 13.00 Tegakan 5 5 13.00 Total 25

Berdasarkan tingkat kelangsungan hidup lamun pada metode Polybag, pengujian menggunakan Kruskal Wallis bahwa setiap tegakan tidak memiliki nilai perbedaan dan memiliki mean reank yang sama pada setiap tegakan. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium pada metode Sprig anchor menggunakan uji uji Kruskal Wallis dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Uji Kruskal Wallis pada tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Sprig anchor

Tegakan N Mean Rank SR Tegakan 1 5 9.00 Tegakan 2 5 16.20 Tegakan 3 5 18.00 Tegakan 4 5 11.00 Tegakan 5 5 10.80 Total 25

Berdasarkan tingkat kelangsungan hidup lamun pada metode Sprig anchor, pengujian menggunakan Kruskal Wallis bahwa setiap tegakan memiliki nilai

(9)

perbedaan, dan nilai tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada tegakan 3 dengan mean rank sebesar 18,00.

Metode Polybag memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan metode Sprig anchor. Hal ini terjadi karena pada metode Polybag bibit lamun yang ditanam di daerah transplantasi beserta substratnya yang di ambil dari sumber lamun donor menggunakan Plug, sehingga bibit lamun lebih kokok dan terlindung. Bibit lamun yang ditanam beserta subtratnya tidak perlu mengalami adaptasi. Sedangkan pada metode Sprig anchor ditanam dengan menggali sebuah lubang kecil di daerah transplantasi, kemudian ditutup dengan subtrat yang sama. Hal ini mengakibatkan bibit lamun yang ditanam lebih rentan terpengaruh oleh kondisi alam, khususnya pada saat kondisi alam yang begitu besar dapat mengakibatkan lamun terangkat dari subtratnya.

3. Tegakan Optimal Lamun Syringodium

isoetifolium

Penentuan tegakan yang optimal dilakukan dengan melihat hasil analisi parameter pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium menggunakan One Way Anova dengan post hoc test dengan tingkat ketelitian 95% menggunakan SPSS. Hasil analisis dilihat perlakuan setiap jumlah tegakan yang paling sedikit tetapi memiliki laju pertumbuhan yang tercepat ataupun tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter laju pertumbuhan lamun.

Penentuan tegakan optimal metode polybag dan sprig anchor dilihat dari laju pertumbuhan panjang daun lamun, dan tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium.

Tabel 7. Penentuan jumlah tegakan optimal laju pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Polybag Tegakan N Subset 1 Duncana Tegakan 5 5 .9000 Tegakan 2 5 .9600 Tegakan 4 5 1.0000 Tegakan 3 5 1.0200 Tegakan 1 5 1.0200 Sig. .223

Tabel 8.Penentuan jumlah tegakan optimal tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Polybag

Tegakan N Mean Rank

SR Tegakan 1 5 13.00 Tegakan 2 5 13.00 Tegakan 3 5 13.00 Tegakan 4 5 13.00 Tegakan 5 5 13.00 Total 25

Berdasarkan penentuan tegakan optimal parameter pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium metode Polybag, tegakan yang optimal terdapat pada tegakan 1. Sesuai kriteria tegakan yang paling sedikit tetapi memiliki parameter pertumbuhan tercepat ataupun tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter pertumbuhan merupakan tegakan yang paling optimal, maka tegakan 1 merupakan tegakan yang paling optimal karena tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter pertumbuhan.

(10)

Tabel 9. Penentuan jumlah tegakan optimal laju pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Sprig anchor

Tegakan N Subset 1 2 Duncana Tegakan 2 5 .1800 Tegakan 3 5 .2000 Tegakan 1 5 - .03200 Tegakan 4 5 - .03400 Tegakan 5 5 - .03400 Sig. .727 .742

Tabel 10.Penentuan jumlah tegaka optimal tingkat kelangsungan hidup lamun Syringodium isoetifolium dengan metode Sprig anchor

Tegakan N Mean Rank

SR Tegakan 1 5 9.00 Tegakan 2 5 16.20 Tegakan 3 5 18.00 Tegakan 4 5 11.00 Tegakan 5 5 10.80 Total 25

Berdasarkan penentuan tegakan optimal parameter pertumbuhan lamun Syringodium isoetifolium metode Sprig anchor, tegakan yang optimal terdapat pada tegakan 1 untuk laju pertumbuhan panjang daun lamun dan tegakan 1 untuk tingkat kelangsungan hidup lamun karena tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter pertumbuhan lamun. Sesuai kriteria tegakan yang paling sedikit tetapi memiliki pertumbuhan tercepat ataupun tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter pertumbuhan merupakan tegakan yang paling optimal, maka tegakan 1 merupakan tegakan yang paling optimal karena tidak berbeda nyata dari perlakuan dengan parameter pertumbuhan

4. Kondisi Umum Kualitas Perairan di Lokasi Penelitian

Secara umum, kondisi kualitas perairan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan lamun dan ekosistemnya. Hasil pengukuran kondisi umum kualitas perairan selama penelitian dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan Selama Penelitian

Parameter Satuan

Rata-rata

Pengukuran Baku Mutu

Suhu °C 28,6 28 - 30 °C Kecepetan Arus m/s 0,17 0,7 (Asriani,2014) Kecerahan M 100% 100% (Aprimilda,2011) Salinitas °/∞ 32.3 33 - 34 °/∞ DO mg/L 6.7 >5 pH 8,7 7 – 8,5 1. Suhu

Suhu yang didapatkan di lokasi transplantasi berkisar 28,6 °C. Secara umum kandungan oksigen terlarut pada daerah transplantasi telah memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu 28-30 °C, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun 2004. Menurut Phillips dan Menez (1988) dalam Sambara (2014), lamun dapat mentolerir suhu perairan antara 26-36 °C, akan tetapi suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar 28-30°C. Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses-proses fisiologis yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi.

2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus yang didapatkan pada lokasi transplantasi selama penelitian adalah 0,17 m/s. Phillips & Menez (1988) dalam Asriani (2011) yang menyatakan bahwa lamun umumnya dapat tumbuh pada

(11)

perairan tenang dengan kecepatan arus sampai 3,5 knots (0,7 m/s). Hal ini menyatakam bahwa perairan daerah transplantasi sangat tenang dan cocok untuk transplantasi.

3. Kecerahan

Kecerahan perairan dilokasi penelitian adalah sebesar 100%. Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor pembatas yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo,1997 dalam Apramilda ,2011 ).

4. Salinitas

Salinitas yang diperoleh selama penelitian di lokasi transplantasi sebesar 32,3‰. Hasil salinitas ini masih sesuai dengan kisaran salinitas yang dibutuhkan untuk pertumbuhan lamun dan telah memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu 33-34 ‰, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun 2004. Menurut Hilman et.al (1989) dalam Asriani (2011) bahwa kisaran salinitas 24‰ - 35‰ dapat mendukung pertumbuhan lamun.

5. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) yang dieroleh selama penelitian di lokasi transplantasi sebesar 6,7 mg/L. Secara umum kandungan oksigen terlarut pada daerah transplantasi telah memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu > 5 mg/l, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun 2004. Kandungan oksigen terlarut yang tinggi

merupakan indikasi aktifnya fotosintesis yang terjadi pada habitat lamun.

Oksigen terlarut dapat menjadi indikator pencemaran karena oksigen terlarut merupakan asupan oksigen yang berasal dari air. Semakin rendah tingkat kadang oksigen terlarut maka makin banyak pencemaran yang terjadi, karena kadar oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh limbah yang terbuang dalam air (Rahayu, 2013 dalam Dirgandini, 2013).

6. Derajat Keasaman (pH)

pH yang diperoleh selama penelitian di lokasi transplantasi sebesar 8,7. Secara umum kandungan pH pada daerah transplantasi tidak memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu 7-8,5. Nur (2004) dalam Eki, 2013 mengatakan bahwa suatu perairan dengan pH 5,5 – 6,5 dan pH yang lebih dari 8,5 merupakan perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk dalam perairan yang masih produktif dan perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5 mempunyai tingkat produktifitas yang tinggi. pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas. Pada penelitian ini pH yang diperoleh lebih dari 8,5, berarti pH di perairan transplantasi tidaklah produktif.

7. Nutrien (Nitrat Fosfat)

Nutrien dalam ekosistem lamun memberikan konstribusi penting untuk pertumbuhan lamun daripada penguraian daun - daun serasa ini yang nantinya akan menjadi nutrien-nutrien yang sangat dibutuhkan oleh organisme - organisme

(12)

perairan terutama lamun itu sendiri yang telah membusuk. (Hasanuddin, 2013).

Kadar nitrat fosfat air dan sedimen yang diperoleh dari hasil uji di Laboratorium Balai Perikanan Budidaya Laut Batam dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12. Hasil uji nitrat dan fosfat

Parameter Hasil

Nitrat <0,1mg/L Phosphat 0,488 mg/L

Berdasarkan Yatim (2005) dalam Sambara (2014), konsentrasi nitrat dalam tanah dibagi menjadi 3 bagian yaitu < 3 ppm (rendah), 3-10 ppm (sedang), dan > 10 (tinggi). Dari hasil pengukuran, kandungan nitrat di daerah transplantasi masuk kedalam golongan rendah. Sedangkan kadar fosfat 0,488 mg/L lebih kecil dari yang dikemukakan oleh Sulaeman (2005) dalam Wirawan (2014) dapat dilihat pada tabel 13.

Tabel 13.Tingkat Kesuburan Berdasarkan Kandungan Fosfat

No Kandungan Fosfat Tingkat Kesuburan 1 <5 ppm Sangat rendah 2 5 – 10 ppm Rendah 3 11 – 15 ppm Sedang 4 16 – 20 ppm Baik sekali 5 >21 ppm Sangat baik

Sedimen merupakan tempat penyimpanan utama fosfor dalam siklus yang terjadi di lautan. Umumnya dalam bentuk partikulat yang berikatan dengan oksida besi dan senyawa hidroksida. Senyawa fosfor yang terikat di sedimen dapat mengalami dekomposisi dengan bantuan bakteri maupun melalui proses abiotik menghasilkan senyawa fosfat terlarut

yang dapat mengalami difusi kembali ke dalam kolom air (Paytan and McLaughlin, 2007 dalam Makatita, et al 2014).

Berdasarkan hasil uji fosfat (tabel 12) bahwa fosfat tergolong sangat rendah, sehingga fosfat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Menurut Smith (1950) dalam Hasanuddin (2013) menyatakan posfat merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk tumbuh dan sangat berpengaruh terhadap kandungan biomassa dan pertumbuhan lamun. Menurut Paytan dan McLaughlin, (2007) dalam Steven, (2013) bahwa substrat merupakan tempat penyimpanan utama fosfor dalam siklus yang terjadi di lautan, umumnya dalam bentuk partikulat yang berikatan dengan oksida besi dan senyawa hidroksida.

Zat hara nitrat dan fosfat diserap oleh lamun melalui daun dan akarnya, namun Soemodihardjo, (1999) dalam Hasanuddin, (2013) menyatakan bahwa penyerapan zat hara melalui daun di daerah tropis sangat kecil dibandingkan dengan penyerapan melalui akar.

Dari data Nitrat dan Fosfat air + sedimen (tabel 12) , pada lokasi transplantasi masih memiliki tingkat kesuburan rendah. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan lamun pada daerah transplantasi. Nitrat dan fosfat yang kurang pada perairan menyebabkan oksigen rendah di perairan dan kegiatan fotosintesis tumbuhan lamun dapat terganggu (Asriani, 2014).

(13)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan panjang daun lamun setiap tegakan pada metode Polybag bertambah ± 0,58 – 1,49 cm setiap minggunya dengan rata-rata tingkat kelangsungan hidup 100%, sedangkan laju pertumbuhan panjang daun lamun setiap tegakan pada metode Sprig anchor bertambah ± 0,02 – 0,54 cm setiap minggunya dengan rata-rata tingkat kelangsungan hidup 19,8 %, dan tegakan optimal yang diperoleh adalah tegakan 1 pada metode Polybag dan Sprig anchor. Tegakan 1 sebagai tegakan yang efisien dan efektif dalam transplantasi secara berkelanjutan untuk metode Polybag dan Sprig anchor.

SARAN

Sebaiknya transplantasi lamun untuk kedepannya menggunakan lamun tegakan 1 pada jenis Syringodium isoetifolium dengan menggunakan metode polybag dansprig anchor agar tercipta efisiensi dan efektifitas transplantasi secara berkelanjutan dan di perlukan penelitian lanjutan untuk metode polybag dan sprig anchor dengan penambahan nitrat dan phospat pada jenis Syringodium isoetifolium , dan perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui epifit yang menempel pada lamun Syringodium isoetifolium pada daerah transplantasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendanai dan membantu penelitian ini yaitu Kedua orangtuaku tercinta (Tarsiman dan Suryati),

Abang dan adek tersayang, Dosen pembimbing (Ita Karlina dan Henky Irawan), dan teman- teman seperjuangan “Transplantasi Lamun” yang memberikan motivasi serta ikut andil dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Apramilda, Riesna. 2011. Status Temporal Komunitas Lamun Dan Keberhasilan Transplantasi Lamun Pada Kawasan Rehabilitasi Di Pulau Pramuka Dan Harapan. Kepulauan Seribu. Provinsi Dki Jakarta ; IPB.

Asriani, Neni. 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup Dan Persen Penutupan Berbagai Jenis Lamun Yang Ditransplantasi Di Pulau Barranglompo. FIKP. UNHAS. Makassar.

Azkab, M.H. 1999.Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta, Lombok. Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologi pada ekosistem lamun di pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Biologi Laut-LIPI, Jakarta.

Bakrie.K.A, 2012. Laju Sedimentasi Pada Lamun Buatan Organik Dan Lamun Alami (Enhalus acoroides) Di Pulau Barrang Lompo. Kecamatan Ujung Tana. Makassar Sulawesi Selatan.

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, 2006. Metode Penanaman Lamun . BTNKpS. Jakarta.

Calumpong, H.P. dan M.S. Fonseca. 2001. Seagrass Transplantasi and Other Seagrass Restoration Method. In F.T. Short dan R.G. Coles (ed), Global Research Seagrass Methods. Elsevier Science B.V, Amsterdam. Netherlands.

Dirgandini, Lita. 2013. Laju Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides Hasil Transplantasi pada Kerapatan dan Substrat yang berbeda di Bintan Kepualaun Riau. FPIK; UNPAD.

(14)

Eki, N. Y. 2013. Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun (Seagrass) di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo. Fakultas Teknologi Perikanan. Universtas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Faricha.R,2007.Lamunisasi Sebagai Upaya Pelestarian Biota Laut. Karya Ilmiah Remaja Bidang Perikanan dan Kelautan 2007. SMP N 1 Tuban Jatim.

Febriantoro, Ita Riniatsih, Hadi Endrawati, 2013. Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun (Enhalus acoroides) Di Kawasan Padang Lamun Perairan Prawean Bandengan Jepara. Jurnal Penelitian Kelautan. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1-10.

Feryatun, F., B. Hendrarto., N. Widyorini. 2012. Kerapatan Dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbeda Diperairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Management of Aquatic Resources. Volume, Nomor, Tahun 2012, Halaman 1-7 online di : http://ejournals1.undip.ac.id/index.ph p/maquare.

Ganassin, C. dan P.J Gibbs. 2008. A Review of Seagrass Planting as a Means of Habitat Compensation Following loss of Seagrass Meadow. NSW Departement of primary Industries-Fisheries Final Report Series No. 96 ISSN 1449-9967.

Hartog C Den. 1970. The sea-grasses of the world. Verh. kon. ned. Akad. Wet., Afd. Natuurkunde 59, 1. 275 pp. North-Holland Publ. Co.: Amsterdam & London.

Hasanuddin, Rabuanah. 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun Enhalus Acoroides dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo. Kab. Pangkep. Skripsi Ilmu Kelautan Hasanuddin. Makassar

ITK-IPB, 2007.Parameter Lingkungan Hidup Lamun.Bogor.

Jipriandi, 2013. Pertumbuhan Karang (Acropora Formosa) Dengan Teknik Transplantasi Pada Ukuran Fragmen Yang Berbeda. UMRAH. Tanjungpinang.

Kawaroe, Mujizat, Indra Jaya dan Indarto. 2008. Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu. DKI Jakarta. IPB.

Kiswara, W. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Perairan Teluk Banten. LIPI. Jakarta.

Kiswara, 2007.Transplantasi Dan Restorasi Lamun Serta Hubungannya Dengan Rekolonisasi Biota Di Perairan Teluk Banten. vi, 26 hal: ill. :29 cm.

Kordi K, M Ghufran H & Bancung, A Baso, 2011. Ekosistem Lamun(Sea grass). Rineka Cipta. Jakarta.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup,2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang kriteria baku mutu air laut untukbiota air laut.

Keputusan Menteri Lingkunagan Hidup, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.

Lanuru, M. Supriadi. Khairul Amri, 2013. Kondisi Oseanografi Perairan Lokasi Transplantasi Lamun Enhalus acoroides Pulau Barrang Lompo. Kota Makasar. Mitra Bahari.vol.7 no.1 ISSN 0216 – 48414.

Makatita, Jan R., A.B. Susanto, Jubhar.C. Mangimbulude, 2014. Kajian Zat Hara Fosfat Dan Nitrat Pada Air Dan Sedimen Padang Lamun Pulau Tujuh Seram Utara Barat Maluku Tengah. Program Studi Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga Universitas Diponegoro. Semarang.

(15)

Marabessy, Djen Muhammad. 2010. Sumber Daya Ikan di Daerah Padang Lamun Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36 (2) : 193-210.

Mukhtosar, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Nontji, A. 2010. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Paterson. G, 2011. Marine Flora and Fauna of Ranong. Thailand.

Rustam,A, Dietriech Geoffrey Bengen, Zainal Arifin, Jonson Lumban Gaol and Risti Endriani Arhatin, 2013. Growth Rate And Productivity Dynamics Of (Enhalus acoroides) Leaves At The Seagrass Ecosystem In Pari Islands Based On In Situ And Alos Satellite Data. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences Vol. 10, No.1 June 2013:37-46).

Sambara, Rapi Zusan. 2014. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun yang Ditransplantasi Secara Multi Spesies di Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Soedharma, D. 2007. Pertumbuhan, Produktivitas dan Biomassa, Fungsi dan Peranan Lamun. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Steven, 2013. Pengaruh Perbedaan Substrat Terhadap Pertumbuhan Semaian dari Biji Lamun Enhalus acoroides. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sugianti, Y dan Mujiyanto. 2014. Kualitas Air Sebagai Dasar Pengelolaan Ekosistem Lamun di Kawasan Pulau Parang, Karimunjaya. Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan IV ; Kerjasama antara Balai Penelitian dan Konservasi Ikan, Ditjen KP3K, FPIK-Unpad dan MII; Bandung. Hal KSI-PI 45.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di wilayah pesisir dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Supriadi. 2003. Produktivitas Lamun E. acoroides (Linn. F) Royle dan Thalassia hemprichii (Enrenb) Ascherson di Pulau Barrang Lompo Makassar. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Takwa, Andi., 2011. Potensi Eutrofikasi Kandungan Nutrien pada Sedimen Tanah Mangrove. Provinsi Jawa Tengah.

Tomascik, T., AJ. Mah, A Nontji, dan M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesia Series. Volume VIII. Periplus Edition (HK) , Ltd, Singapore.

Wagey.B.T dan Webi Sake, 2013.Variasi Morfometrik Beberapa Jenis Lamun Di Perairan Kelurahan Tongkeina Kecamatan Bunaken. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. Volume 3 Nomor 1 Tahun 2013.

Wicaksono.S.G,Widianingsih, Sri Turni Hartati. 2012. Struktur Vegetasi Dan Kerapatan JenisLamun Di Perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. Journal Of Marine Research.Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 1-7.

Wirawan, A.A, 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Yang Ditransplantasi Secara Multispesies Di Pulau Barrang Lompo. FIKP. UNHAS. Makassar.

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 5. Sketsa penanaman menggunakan                     jangkar (Asriani, (2014 )
Gambar 6. Laju Pertumbuhan  Panjang Daun                     Lamun  Syringodium isoetifolium
Tabel  2.Uji  Post  Hoc  Duncan  laju                        pertumbuhan  panjang  daun                      lamun Syringodium  isoetifolium                       dengan metode  Polybag
+5

Referensi

Dokumen terkait

taruna desa Kuryo, Wonorejo, Jatiyoso, Karanganyar adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan program pemberdayaan pariwisata masyarakat tubing keceh ndesa.

NO.11 PERALATAN : PERLENGKAPAN PROTEKSIF RADIASI JUMLAH SESUAI KEBUTUHAN Kelengkapan Alat (Kepmenkes 1014/Menkes/SK/IX/20 09) Komponen pendukung Alat monitoring keselamatan

Dengan berakhirnya Triwulan II tahun 2020, Sekretariat Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil menyusun Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan

Kegunaan sulfur mempunyai banyak kegunaan diantaranya sebagai bahan baku pembuatan asam sulfat, pembuatan karbon di sulfida, CS2 (bahan baku serat rayon) serta pada proses

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil indeks nilai penting (INP) untuk komunitas pohon, perdu, dan herba yang diperoleh berdasarkan nilai persentase

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pemenuhan hak ibu hamil terhadap kelangsungan pelayanan di Puskesmas Sugihwaras adalah cukup dengan skor 2,79 dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio kedelai:air yang digunakan pada proses ekstraksi berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat susu kedelai seperti kadar padatan,

(1) dilakukan melalui  pembentukan tim Keselamatan Pasien yang ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan  sebagai pelaksana kegiatan penanganan Insiden. • Pasal 17 ayat