53
PEMANFAATAN TEORI BUKTI DEMPSTER-SHAFFER UNTUK
OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN DATA
SPASIAL DAN CITRA MULTISUMBER
Iswari Nur HidayatiFakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Abstrak
This research has aimed to (1) to assess Dempster-Shaffer theory and the uncertainty theory in optimization of farm utilizing classification; (2) to assess the result of farm utilization classification by using the Dempster-Shaffer Theory (DST); (3) to assess the accuracy of farm utilization classification by using the qualitative and quantitative analyses. The maximum likelihood classification is used for land cover mapping made of landsat ETM+ image. The Dempster-Shaffer Theory gives alternative of probabilistic represented by an uncertainty. This theory is used to get an optimal result on land utilization classification by plausibility value (reasonable). The maximum of the plausibility value is recommended to determine the land utilization optimally. The accuracy test of the DST Plausibility Method is 98.60% with Kappa coefficient of 0.98. The result of this research indicates combination of Dempster-Shaffer Proof Theory with multi sources spatial data and the image show an optimal result.
Key Words: Dempster-Shaffer Theory,Plausibility, Optimum, Land Utilization
Pendahuluan
Klasifikasi multispektral yang diterapkan pada pengolahan citra digital merupakan hard classification, yaitu klasifikasi
multispektral yang diterapkan pada sebaran piksel, dimana satu piksel diberikan label satu macam penutup lahan. Metode klasifikasi terselia (supervised) yang paling umum
digunakan adalah Maximum Likelihood. Maximum Likelihood mampu meminimalkan
kesalahan klasifikasi dengan mempertimbangkan nilai rata-rata dan keragaman antarkelas dan antarsaluran (kovariansi) (Lillesand, et al., 2004). Meskipun
demikian, di sisi lain telah banyak dikembangkan pula metode-metode yang menggunakan pendekatan klasifikasi lunak (soft classification), misalnya dengan
menggunakan metode fuzzy dan metode berbasis teori bukti dari Dempster-Shaffer (Dempster-Shaffer Theory of Evidence).
Dempster-Shaffer Theory (DST)
diperlakukan sebagai suatu formula untuk menangani klasifikasi yang tidak-pasti. DST juga digunakan untuk merepresentasikan keraguan, apakah ketidaktahuan secara total ataupun ketidak-tahuan secara sebagaian. Aturan Dempster-Shaffer merupakan aturan yang sempurna untuk menangani kasus seperti ini (Smets, 1990; Dezert, 2003). Kelebihan lain
adalah aplikasi-aplikasi praktis yang menunjukkan bahwa penggabungan dengan data-data pendukung yang akan memperkuat hipotesis juga digunakan dalam aturan kombinasi Dempster-Shaffer. Berbeda halnya dengan menggunakan metode-metode secara umum (misal, Bayesian Theory), teori ini juga
diaplikasikan untuk data-data yang bersifat multisensor dan atau multisumber termasuk data-data yang berasal dari penginderaan jauh yang digunakan untuk meningkatkan hasil klasifikasi yang didukung oleh berbagai macam data (Lee and al, 1987; Le Hegarat-Mascle et al, 2000; Leduc et al, 2000; Hubert, 2003). Dempster-Shaffer Theory ini memperkenalkan
dan membahas tentang uncertainty di dalam
pemodelan spasial.
DST secara umum mengakomodasi proses pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan aspek spasial dan kompleks wilayah. Hal ini dikarenakan DST dirancang untuk pengambilan keputusan secara umum tanpa harus memperhatikan aspek spasial. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan penggabungan DST dengan kajian secara spasial yang mempertimbangkan kompleksitas wilayah serta didukung oleh software pengolahan data secara spasial, sehingga diharapkan penelitian ini memberikan gambaran mengenai kombinasi DST yang
54 mempunyai pendekatan secara spasial dan kompleks wilayah.
Perumusan Masalah
Informasi penutup lahan merupakan salah satu informasi penting yang dapat diperoleh dari data penginderaan jauh untuk digunakan dalam perencanaan pembangunan wilayah. Akan tetapi penutup lahan yang sama pada suatu perekaman dapat mencerminkan penggunaan lahan yang berbeda. Untuk kasus yang seperti ini, algoritma klasifikasi multispektral mengalami banyak kendala. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Aspek ketidakpastian informasi sering
tidak terakomodasi dalam proses analisis spektral, khususnya dalam klasifikasi citra penginderaan jauh.
2. Teori Dempster-Shaffer merupakan salah satu metode yang mampu mengakomodasi ketidakpastian dalam klasifikasi multispektral, tetapi jarang digunakan di Indonesia.
3. Penggabungan data secara kuantitatif dan digabungkan dengan data non spektral akan memberikan memberikan masukan dan hasil yang lebih maksimal.
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji tentang Teori Bukti Dampster-Shafer dan aspek ketidak-pastian untuk Optimalisasi Klasifikasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra dan Data Spasial Multisumber.
2. Mengkaji tentang hasil klasifikasi penggunaan lahan yang menggunakan data multitemporal yang dipadukan dengan
Dempster-Shafer Theori of Evidence.
3. Mengkaji tentang keakuratan hasil peneltian yang dilakukan dengan analisis kuantitatif yang melibatkan data non spektral.
Tinjauan Pustaka
Klasifikasi Multispektral
Analisis citra digital dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis citra penginderaan jauh yang menggunakan analisis secara kualitatif adalah analisis yang memperhitungkan nilai pantulan spektral dan
juga memperhatikan distribusi secara spasial maupun secara temporal (Richards, 1996). Analisis kuantitatif ini menggunakan klasifikasi multispektral untuk mengetahui hasil dari klasifikasi dari citra tersebut. Klasifikasi multispektral dilakukan pixel per pixel secara simultan pada setiap saluran.
Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menyajikan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan satu kriteria yaitu nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus. Tiap obyek cenderung memberikan pola respon spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan, semakin akurat hasil klasifikasi multispektral tersebut. Salah satu cara untuk klasifikasi multispektal adalah klasifikasi terselia yang menggunakan daerah contoh sebagai dasar penentuan klasifikasi. Pola spektral yang terdapat dalam klasifikasi multispektral tersebut menjadi dasar secara numerik dalam mengklasifikasi piksel yang ada. Pengenalan terhadap pola spektral tersebut berkaitan dengan metode klasifikasi yang digunakan sebagai dasar klasifikasi penutup lahan (Lillesand, 2004).
Klasifikasi Terselia (Supervised Classification)
Klasifikasi terselia yaitu klasifikasi yang berpedoman pada nilai piksel yang sudah diketahui kategori objeknya atau penutup lahannya. Klasifikasi terselia membutuhkan daerah contoh (training area). Pekerjaan
klasifikasi terselia tidak dapat dilepaskan dari pemilihan daerah contoh. Pemilihan daerah contoh yang kurang baik dapat menyebabkan kurang optimalnya klasifikasi yang dihasilkan bahkan dapat mengakibatkan rendahnya tingkat akurasi. Untuk itu diperlukan analisis secara statistik dari daerah contoh yang bersangkutan.
55 Air Tanah Hutan Kota Sawah DN1 DN2 DN3 a a a h h h k k s s a a a h h h k k s s t a h h h h k k s s t a h h h h k k s s t a h h h h k k k s t t t h s s s k k s t t t t s s s k k s s t t t s s s t t t s s s s s s s t t t s s s s s s s k k t
Gambar 1. Step Dasar untuk Supervised Classification
Lillesand et al (2004) menyebutkan
bahwa tingkat keberhasilan klasifikasi secara terselia tergantung pada strategi pengambilan sampel. Apabila salah satu atau beberapa dari strategi ini diterapkan secara konsisten, maka hasil klasifikasi diharapkan lebih baik dari sisi akuratnya. Strategi itu meliputi:
1. Evaluasi yang tepat atas representasi grafis pola-pola respon spektral obyek yang diwakili oleh beberapa sampel. Sampel yang baik adalah mengelompok secara solid pada feature space, nilai simpangan
baku kecil, dan diwakili warna yang sangat homogen pada citra (Danoedoro, 1996). 2. Evaluasi yang tepat atas ekspresi kuantitatif
tingkat keterpisahan (separibility index)
berbagai kategori yang diwakili oleh beberapa sampel.
3. Menerapkan proses klasifikasi diri (self classification).
4. Menerapkan proses klasifikasi sementara (premilinary classification).
5. Menerapkan klasifikasi pada sub daerah cakupan (subscene).
Klasifikasi Penutup Lahan
Sistem klasifikasi yang dipergunakan dalam klasifikasi digital yaitu berupa sistem klasifikasi penutup lahan berdasarkan realita bahwa objek yang terekam pada citra digital berupa nilai spektral penutup lahan bukan penggunaan lahan. Kelas-kelas penggunaan lahan dapat diperoleh dengan mengintegrasikan informasi penutup lahan yang diperoleh dari klasifikasi digital. Kalsifikasi ini juga memperhatikan informasi penutup lahan. Danoedoro (1996) menyebutkan bahwa klasifikasi penutup lahan daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang daerah dari interpreter terhadap pemilihan
sampel. Penutup lahan dan penggunaan lahan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh faktor geologi dan geomorfologi, elevasi, jenis tanah, bentuk lahan, iklim. Pada kondisi iklim yang sama, jenis batuan yang berbeda akan menghasilkan jenis tanah yang berbeda. Demikian pula, kondisi topografi mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi (Samudra, 2007). Di sisi lain ada keterkaitan antara pembuatan peta penggunaan lahan dengan resolusi spasial pada citra.
Lo (1996) menyebutkan bahwa resolusi spasial dan skala citra akan menentukan ukuran bidang minimum bidang lahan sebagai unit pemetaan yang dapat bervariasi sari suatu kategori ke kategori yang lain. Hal tersebut ditunjukkan dalam tabel 1 di bawah ini yang akan menunjukkan hubungan antara jenis data penginderaan jauh beserta resolusi medannya dan skala peta yang dihasilkan.
Tabel 1. Resolusi Medan dan Kesesuaian Skala
Peta untuk Peta Citra
Sensor Resolusi
Medan
Skala Peta yang dihasilkan Landsat MSS 80 1: 250.000 Landsat TM 30 1 : 100.000 SPOT XS 20 1 : 100.000 – 1: 50.000 SPOT Pankromatik 10 1:50.000 ERS SAR 30 1:100.000 Sumber: Pohl, 1996
Danoedoro (2004a) mengembangkan sistem klasifikasi penggunaan multiguna yang menghasilkan kelas penutup lahan/kelas penggunaan lahan yang diperoleh melalaui pendekatan spektral, spasial, temporal, ekologis, dan fungsi sosial ekonomi. Keterkaitan antara resolusi spasal dengan
56 tingkat kerincian data yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2 yang merujuk pada McCloy (1995).
Tabel 2. Hubungan Skala Peta dengan Resolusi Spasial Skala Resolusi (ukuran piksel) Ukuran Peta 1:1.000.000 1 km x 1 km 6’ Long x 4’ Lat 1:250.000 100 m x 100 m 1,5’ Long x 1’ Lat 1:100.000 50 m x 50 m 30’ Long x 30’ Lat 1:100.000 25 m x 25 m 30’ Long x 30’ Lat 1:50.000 25 m x 25 m 15’ Long x 15’ Lat 1:25.000 10 m x 10 m 10 m x 10 m Sumber: McCloy, 1995
Danoedoro (2006) membuat klasifikasi penutup lahan secara detail dijabarkan dalam tabel 4. dibawah ini:
Tabel 4. Klasifikasi Penutup Lahan Tingkat
Klasifikasi / Kode
Jenis Penutup Lahan
C1 Perairan
C2 Tutupan Vegetasi C21 Vegetasi berdaun lebar
C211 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan rendah
C212 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan sedang
C213 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan tinggi
C22 Daun Lebar tak berkayu
C221 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan rendah
C222 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan sedang
C223 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan tinggi
C3 Lahan Terbangun
C31 Lahan Terbangun – Kerapatan sangat tinggi
C32 Lahan Terbangun – Kerapatan Agak Tinggi
C33 Lahan Terbangun – Kerapatan Sedang C34 Lahan Terbangun – Kerapatan Agak
Rendah
C35 Lahan Terbangun – Kerapatan Rendah
C4 Lahan Terbuka
C5 Awan
C6 Bayangan Awan
Sumber: Danoedoro, 2006 dengan modifikasi Tabel 5. Klasifikasi Penggunaan Lahan
Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
Pemanfaatan Pertanian
Sawah
Sawah 2 X Panen
3x Panen 2x Panen Dan Hasil
Bumi Yang Diperdagangkan
Padi – Padi – Hasil Bumi Lainnya
Padi – Padi – Multiple Cash Crop
Padi 1x Dan Hasil Bumi Lainnya
Padi 1x & Satu Hasil Bumi Lainnya
Padi 1x Dan Beberapa Hasil Bumi Yang Lain
Agroforestry Rumah Dan Pekarangan Kebun Campur
Pemanfaatan Hutan Konservasi Dan Rekreasi Hutan Lindung Permukiman Dan
Infrastruktur
Permukiman, Industri,
Perdagangan, Dan Jasa Permukiman Kota Permukiman Kota Permukiman Pedesaan Permukiman Pedesaan Permukiman Pedesaan
Transportasi Transportasi Bandara
57
Teori Dempster – Shaffer
Teori Dempster-Shafer adalah teori
yang mampu menangani berbagai kenungkinan yang mengkombinasikan satu kemungkinan dengan fakta yang ada. Dalam Dempster-Shafer Theory (DST) ada berbagai konflik yang
dipersatukan untuk mengkombinasikan dari berbagai informasi yang ada. Kumpulan informasi yang bersifat berbeda dan menyeluruh dalam teori ini dikenal dengan
frame discernment (Θ). Bagian dari himpunan
bagian (sub set) Θ juga merupakan hipotesis. Belief dapat diberikan ke dalam semua
kemungkinan yang ada dalam setiap subset Θ,
yang dianotasikan menjadi 2Θ. Hal ini menggambarkan bahwa himpunan Θ adalah suatu himpunan yang elemennya merupakan semua himpunan bagian dari Θ, termasuk himpunan kosong dan himpunan Θ sendiri.
Belief merupakan unsur yang disebut dengan
“kepercayaan” yang diberikan sampai label
piksel itu hampir tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Sebagai contoh, jika ukuran satu set adalah n, maka akan mempunyai 2n subset (himpunan bagian). Artinya bahwa jika
salah satu piksel mempunyai nilai n maka label piksel itu akan mempunyai 2n kemungkinan. Perbedaan-perbedaan dari kemungkinan-kemungkinan yang disimbolkan 2n tersebut mempunyai fungsi tersendiri yang disebut dengan mass function atau basic probability assignment (BPA). Dalam Chen Aquin (2005),
dikatakan bahwa mass function menyebutkan
dengan pasti yaitu [0,1] untuk setiap subset dari
setiap faktor pembeda. Oleh karena itu, dijabarkan dalam rumus:
(a) m (φ) = 0 ...(1) (b)
∑
(
)
Θ = W -A 1 A) m ...(2)Mass function yang dijelaskan di atas,
maka belief function (Bel), sesuai dengan nilai
spesifik dari m dan memberikan nilai tiap
subset A dari Θ yang merupakan fungsi sum of the belief dari setiap subset A yang merupakan
B adalah himpunan bagian dari A dan ada dua kemungkinan bahwa B=A atau B ≠ A dengan m. Fungsi ini digambarkan dalam rumus dibawah ini: Bel (A) =
∑
⊆A B (B) m …...…...(3)Chen Aiqun (2005) menyatakan bahwa fungsi
Plasubility (Pl) dari A, Pl(A), dapat
dideskripsikan dibawah ini:
Pl (A) = 1 – Bel (A) =
∑
∑
∑
≠ ⊆ Θ ⊆ = − 0 ) ( ) ( (B) m BlA A B B B m B m ...(4) Amerupakan complement dari himpunan A.Bel (A) merupakan complement dari Bel (A). Bel (A) merupakan himpunan yang mempunyai nilai di luar Bel (A). Bel (A) menandai jumlah dari belief yang terikat
dengan nilai A yang berdasarkan pada
evidence, sedangkan Pl (A) mempresetasikan
nilai maksimum dari bukti-bukti yang mengarah kepada belief A.
DST juga mengenal sebagai teori dari fungsi belief, yang merupakan penyamarataan
Teori Bayesian dari probabilitas subyektif. DST berdasarkan pada dua gagasan yaitu gagasan untuk memperoleh derajat kepercayaan dari berbagai kemungkinan yang bersifat subyektif dan aturan Dempster sendiri untuk mengkombinasikan derajat tingkat kepercayaan yang berdasarkan bukti yang sudah diperoleh. Setiap sumber (berupa citra dan peta) dipandang sebagai suatu bukti (evidence) keberadaan suatu fakta. Fakta yang
dimaksud adalah fenomena yang akan dilakukan klasifikasi. Dalam teori ini pula diperkenalkan belief (konsep kepercayaan) dan plausibility (kemasuk-akalan). Kepercayaan
secara umum merupakan nilai yang diperoleh dari hasil ketidak percayaan (belief-againts),
dan nilai ketidak percayaan inilah yang dapat diestimasi secara langsung dengan dilandasi dengan tingkat kepakaran tertentu. Perhitungan untuk kepercayaan, ketidakpercayaan, maupun kemasuk-akalan diperhitungkan dalam presentase (%) (Ferson, 2002).
Keutamaan dari DST ini adalah model dirancang untuk mengatasi bermacam-macam tingkat kepastian mengenai suatu informasi dan tidak ada asumsi-asumsi lebih lanjut yang diperlukan untuk merepresentasikan informasi. DST juga mempertimbangkan penyajian ketidak-pastian dari sistem untuk menanggapi suatu masukan yang tidak jelas yang dapat ditandai oleh interval tertentu. Ada tiga fungsi penting di dalam DST yaitu: Basic Probability Assignment (BPA atau m), belief function
(Bel), dan plausibility function (Pl). Basic Probability Assignment tidak mengacu pada
58 kemungkinan di dalam Traditional Probability Theory. BPA diwakili oleh m yang
menggambarkan atau memetakan himpunan yang mempunyai interval antara 0-1. BPA
dengan nilai 0 adalah BPA dengan himpunan 0,
dan tambahan BPA dai semua himpunan bagian
yang merupakan power set yang mempunyai
nilai 1. Nilai BPA untuk satu set yang diberi
notasi a maka akan diwakili dengan m(a) yang
menyakan proposri dari semua bukti yang tersedia dan relevan untuk mendukung suatu justifikasi unsure tertentu akan tetapi tidak mempunyai subset tertentu dari A, dalam hal ini diwakili dengan notasi X (Klir, 1998;
Rhicard, 2006). Nilai dari m(A) dipergunakan
untuk himpunan bagian dan membuat tidak ada justifikasi tambahan di sekitar subset-subset dari A. Bukti-bukti yang menguatkan pada
subset-subset tersebut akan diwaklili oleh BPA
yang lain, yaitu bukti pada subset-subset dari lebih lanjut A akan diwakili oleh bpa lain, yaitu. B^a, m(B) akan BPA untuk subset B.
Secara formal, uraian ini m dapat diwakili
dengan persamaan berikut:
[ ]
0
,
1
)
(
:
P
X
→
m
...(5) 0 ) (φ
= m∑
∈ = ) ( 1 ) ( X P A A m ...(6) di mana P (X) merepresentasikan power set dariX, 0 adalah himpunan nol, dan A adalah bagian dari power setP(X). (Klir, 1998).
Metode Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
1. Software Image Processing.
2. Global Positioning System (GPS) Receiver
3. Kamera Digital 4. Komputer.
5. Landsat ETM+ tahun 2001 (tanggal perekaman 1 Juli 2001) path/row
120/065.
6. Citra IKONOS Yogyakarta digunakan untuk panduan dalam melakukan
training area sebelum klasifikasi
multispektral dan untuk ground check.
Penentuan Nilai Plausibilitas
Gambar 2. Ilustrasi pengambilan keputusan untuk Penentuan Nilai Plausibilitas
Hal yang paling utama untuk menentukan nilai plausibilitas yang mempunyai interval nilai 0-1 adalah menggunakan IKONOS sebagai dasar untuk penentuan plausibilitas. Satu piksel dalam Landsat diplotkan ke dalam 30 piksel dalam IKONOS yang kemudian digunakan untuk menentukan nilai plausibilitas untuk masing-masing penggunaan lahan. Pengeplotan ini dilakukan untuk 50 titik sampel. Dari 50 sampel ini
kemudian dicari nilai rata-rata untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Pembuatan Model Penggunaan Lahan
Landsat ETM+ menjadi data primer yang digunakan untuk ekstraksi untuk klasifikasi penutup lahan. Hasil klasifikasi penutup lahan digunakan untuk klasifikasi penggunaan lahan.
59 Pendekatan yang digunakan adalah justifikasi dari klasifikasi penutup lahan dan pendekatan plasubilitas maksimum. Pembuatan klasifikasi penggunaan lahan ini membutuhkan beberapa tahap penelitian. Hal pertama yang dilakukan adalah memasukan nilai plausibilitas ke dalam klasifikasi penutup lahan yang akan menghasilkan berbagai macam plausibilitas.
Penelitian ini terdiri dari 12 klasifikasi penutup lahan yang diperoleh dari klasifikasi Maximum Likelihood. Masing-masing klasifikasi penggunaan lahan mempunyai 8 tingkat nilai plausibilitas. Sebagai contoh, penutup lahan dengan klasifikasi lahan terbangun 1, mempunyai 8 tingkat plausibilitas sehingga klasifikasi penutup lahan untuk lahan terbangun
Citra Landsat ETM+ Tahun 2001
Koreksi Geometrik
Citra Landsat Terkoreksi
Penentuan Daerah Contoh
Uji Separabilitas Sampel
DITERIMA
Daerah Contoh
Mean, Varian, untuk tiap kelas penutup lahan
Exekusi dengan algoritma Maximum Likelihood
Peta Penutup Lahan Sementara Tahun 2001
Peta Rupabumi Digital
Peta Plausibilitas untuk masing-masing Penggunaan Lahan Tahun 2001
Perhitungan Plausibilitas Total untuk Peta Penggunaan Lahan
Metode : Pl (total) = Plaus_PL (nilai maksimal)
IKONOS
TIDAK
Dempster-Shafer Rule
UJI AKURASI
Peta Plausibilitas Total untuk Peta Penggunaan Lahan
menggunakan nilai tertinggi dalam perhitungan matriks
60 ini memiliki 8 tingkat plausibilitas. Peta-peta plausibilitas yang dihasilkan ini mempunyai kecenderungan untuk menjadi penggunaan lahan yang berbeda. Kecenderungan ini berdasarkan nilai input dari masing-masing nilai plausibilitas. Perolehan hasil peta plausibilitas ini diperoleh dengan memasukkan nilai input yang disesuaikan dengan interval nilai plausibilitas.
Pembahasan
Hasil Klasifikasi Penutup Lahan
Klasifikasi penutup lahan untuk tahun 2001 mempunyai 12 kelas penutup lahan. Hasil klasifikasi ini diperoleh dari perhitungan daerah contoh yang diperoleh dari indeks keterpisahan dengan nilai 1.999 – 2.000. Uji akurasi hasil klasifikasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan untuk membandingkan hubungan antara data lapangan dan hasil klasifikasi (peta penutup lahan), sehingga nilai
producer accuracy, user accuracy,overall accuracy, dan indeks kappa dapat dihitung.
Besarnya nilai uji akurasi sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Nilai overall accuracy 98,59%
dengan nilai indeks Kappa 0,98.
Perhitungan Belief dan Plausibilitas
Metode perhitungan belief dan
plausibilitas mempunyai dua cara. Cara yang pertama adalah dengan local adjustment dan
cara yang kedua adalah melakukan perhitungan secara matematis. Perhitungan nilai belief ini berdasarkan pada knowledge-based approach
yang dimiliki dan ditambahkan dengan factor-faktor geografis yang mendukung untuk perhitungan nilai belief. Perhitungan nilai belief
dan plausibility ini menggunakan nilai 0,9 – 0,1 dengan asumsi bahwa nilai yang lain digunakan untuk uncertainty. Penentuan nilai plausibilitas
ini juga dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah penelitian serta faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya, diantaranya adalah elevasi, lereng, dan penggunaan lahan.
Tabel 6. Perhitungan Nilai belief untuk Penutup Lahan Tahun 2001
Belief Hutan Lindung Kebun Campur Permukiman Kota Permukiman Desa Tegalan Sawah 2 kali Padi Sawah 1
kali Padi Bandara
1 2 3 4 5 6 7 8 V1A 1 0,1 0,6 0,9 08 0,7 0,8 0,8 0,9 V3A 2 0,6 0,3 0,7 0,2 0,4 0,4 0,4 0,9 V2A 3 0,2 0,6 0,8 0,7 0,5 0,3 0,3 0,9 LTB1A 4 0,9 0,8 0,1 0,5 0,7 0,8 0,8 0,9 AA 5 0,8 0,7 0,2 0,5 0,6 0,7 0,7 0,9 LTBK1A 6 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,1 LTB2A 7 0,9 0,7 0,1 0,4 0,5 0,7 0,7 0,9 V4A 8 0,9 0,5 0,4 0,4 0,5 0,1 0,1 0,9 LTB3A 9 0,9 0,5 0,3 0,4 0,5 0,4 0,4 0,9 LTB4A 10 0,9 03 0,7 0,2 0,3 0,5 0,5 0,9 LTB5A 11 0,9 0,7 0,2 0,4 0,5 0,3 0,3 0,9 bayangan 12 0,8 0,8 0,2 0,4 0,8 0,6 0,6 0,9
Sumber : Pengolahan Citra dan Analisis Data, 2008. Keterangan:
V1A : Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 1 LTB1A : Lahan terbangun 1 V2A : Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 2 LTB2A : Lahan terbangun 2 V3A : Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 1 LTB3A : Lahan terbangun 3 V4A : Vegetasi berdaun lebar, tak LTB4A : Lahan terbangun
61
berkayu, vegetasi 2 4
AA : Awan LTB5A : Lahan terbangun 5
Bayangan : Bayangan awan LTBK1A : Lahan Terbuka Perhitungan plausibilitas ini
mempunyai range antara 0-1. Nilai 0,8 – 1 mempunyai arti bahwa nilai kemasuk akalannya sangat tinggi, 0,6 – 0,79 mempunyai nilai kemasuk akalan tinggi, 0,4 – 0,59
mempunyai nilai kemasuk akalan sedang, 0,2 – 0, 39 mempunyai kemasuk akalan rendah, dan 0 – 0, 19 mempunyai nilai kemasuk akalan sangat rendah.
Tabel 7. Perhitungan Nilai Plausibilitas untuk Tahun 2001
Plausibility Hutan Lindung Kebun Campur Permukiman Kota Permukiman Desa Tegalan Sawah 2 kali Padi Sawah 1
kali Padi Bandara
1 2 3 4 5 6 7 8 V1A 1 0,9 0,4 0,1 0,2 0,3 0,2 0,2 0,1 V3A 2 0,4 0,7 0,3 0,8 0,6 0,6 0,6 0,1 V2A 3 0,8 0,4 0,2 0,3 0,5 0,7 0,7 0,1 LTB1A 4 0,1 0,2 0,9 0,5 0,3 0,2 0,2 0,1 AA 5 0,2 0,3 0,8 0,5 0,4 0,3 0,3 0,1 LTBK1A 6 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,9 LTB2A 7 0,1 0,3 0,9 0,6 0,5 0,3 0,3 0,1 V4A 8 0,1 0,5 0,6 0,6 0,5 0,9 0,9 0,1 LTB3A 9 0,1 0,5 0,7 0,6 0,5 0,6 0,6 0,1 LTB4A 10 0,1 0,7 0,3 0,8 0,7 0,5 0,5 0,1 LTB5A 11 0,1 0,3 0,8 0,6 0,5 0,7 0,7 0,1 bayangan 12 0,2 0,2 0,8 0,6 0,2 0,4 0,4 0,1
Sumber : Pengolahan Citra dan Analisis Data, 2008.
Gambar 4. Nilai plausibilitas Penggunaan Lahan. a). Nilai Plausibilitas untuk Penggunaan Lahan
Hutan, b). Nilai Plausibilitas untuk Penggunaan Lahan Kebun campur. Plausibilitas vegetasi berdaun lebar,
berkayu, dan vegetasi 1 (vegetasi rapat) untuk menjadi hutan lindung adalah 0,9. Hal ini dikarenakan letak dari vegetasi berdaun lebar, berkayu, dan vegetasi 1 ini terdapat pada lereng
di atas 600 m, dan mempunyai jenis vegetasi yang rapat dan berupa tanaman keras. Data lapangan juga menunjukkan bahwa hal tersebut di atas merupakan hutan lindung. Tanaman yang dijumpai adalah tanaman karet.
62 Sedangkan nilai derajat kepercayaan 0,1 diserahkan kepada uncertainty yang
menyatakan ketidakpastian. Untuk ke – 12 penutup lahan yang didapatkan dari klasifikasi multispketral yang menggunakan klasifikasi
maximum likelihood vegetasi berdaun lebar,
berkayu, dan vegetasi 1 mempunyai plausibilitas yang paling tinggi untuk dikategorikan sebagai hutan lindung. Peringkat kedua adalah vegetasi berdaun lebar, berkayu, dan vegetasi 2 yang dimungkinkan juga mempunyai jenis vegetasi rapat dan merupakan tanaman keras. Nilai plausibilitas 1 menunjukkan bahwa mempunyai kemasuk akalan yang kuat.
Pembuatan Peta Penggunaan Lahan
Pembuatan peta penggunaan lahan ini menggunakan tiga motode. Metode ini merupakan modifikasi Teori Dempster-Shaffer. Teori bukti Dempster-Shaffer, merupakan variant dari Bayesian Probability Theory
dengan tegas mengenali ketidakpastian yang berkaitan dengan informasi yang kurang sempurna. Derajat dari bukti tersebut dikenal dengan nama kepercayaan. Tidak seperti Bayes teori, belief tidak berasumsi bahwa mempunya
informasi yang penuh, akan tetapi merupakan satu informasi yang kurang sempurna.
Teori Dempster-shaffer merupakan teori yang menerangkan tentang pengambilan keputusan yang lebih kompleks. Knowledge base berisikan tentang hirarki yang
dikombinasikan oleh masing0masing hipotesis yang akan digunakan sebagai penentu keputusan. Basic probability assignment dalam
citra merupakan nilai asli yang bernilai antara 0-1. Hasil dari pembuatan belief dalam citra
merepresentasikan mengenai derajat yang mendukung hipotesis yang lebih spesifik. Ini sangat penting untuk melakukan interpretasi yang akan memperoleh nilai plausibility dan belief dalam suatu citra. Citra plausibility
menggambarkan tentang bukti yang tidak menyangkal hipotesis.
Belief menyediakan kesempatan untuk
menjelaskan evaluasi tentang apa yang diketahui dan hal yang tidak diketahui. Belief
juga bermanfaat untuk melakukan evaluasi ketika ada bukti lain yang ditambahkan.
Knowledge based membutuhkan beberapa
bagian yang terdiri dari space belief, belief, dan belief interval value untuk mengubah hasil dari
hipotesis. Hal ini menyediakan gagasan untuk
melakukan evaluasi terhadap dampak yang dihasilkan dan juga digunakan untuk melakukan penelitian di masa datang. Nilai yang dihasilkan dari belief dari citra yang
mempunyai range antara 0-255. Nilai ini merupakan nilai asli yang dihasilkan dari perekaman citra. Nilai tersebut diolah yang kemudian akan menghasilkan nilai plausibility
dan nilai belief yang mempunyai range 0-1. Belclass ini dibuat sebelum melakukan belief
image. Tidak seperti dengan hard classification, soft classifier mempunyai satu
hal kelebihan yaitu melakukan justifikasi tentang membership class dalam setiap
pikselnya yang akan dijadikan dalam klasifikasi tertentu. Seperti klasifikasi supervised secara
tradisional, membutuhkan informasi training site, untuk tujuan tertentu dalam melakukan
klasifikasi setiap pikselnya. Bagaimanapun juga tidak seperti traditional hard classifier,
output dari belclass ini bukan hasil yang
tunggal, melainkan hasil dari belclass ini
berjumah sama dengan kelas yang diinginkan. Setiap kelas yang dihasilkan mempunyai nilai
belief class dan plausibility kelas
masing-masing. Oleh karena itu semakin banyak kelas yang dihasilkan maka akan semakin banyak
belief image dan plausibility image yang
dihasilkan. Sebagai tambahan mengenai konsep dari hal yang masuk dalam belief dan plausibility, logika teori Dempster-shaffer
menyatakan tentang derajat yang menyatakan mengenai ilmu pengetahuan yang menjadi dasar sebagai hipotesis.
Pembuatan peta penggunaan lahan -1 ini mempunyai nilai overall accuracy sebesar
76,43%. Peta penggunaan lahan-1 ini melibatkan Peta Plausibilitas Penggunaan Lahan untuk hutan lindung, plausibilitas untuk kebun campur, plausibilitas untuk permukiman kota, plausibilitas untuk permukiman desa, plausibilitas sawah 2 kali padi, plausibilitas sawah 1 kali padi, dan plausibilitas untuk bandara. Kesalahan banyak terjadi di permukiman desa dan kebun campur. Hal ini dikarenakan nilai piksel serta letak yang hampir sama sehingga menghasilkan plausibilitas yang sama. Untuk memperbaiki hasil peta penggunaan lahan – 1, peneliti membuat peta penggunaan lahan – 2 metode 1. Peta penggunaan lahan ke – 2 ini melibatkan plausibilitas hutan lindung, plausibilits kebun campur 2, plausibilitas permukiman kota 2, plausibilitas permukiman desa 2, plausibilitas
63 sawah 2 kali padi, plausibilitas sawah 1 kali padi, plausibilitas bandara 1, dan plausibilitas tegalan 2. Pembuatan peta penggunaan lahan 2 ini menghasilkan koeffisien kappa sebesar 0,72 dan overall accuracy sebesar 76,43%. Peta
penggunaan lahan – 2 ini juga masih memiliki akurasi yang sangat rendah. Kesalahan masih terdapat pada permukiman kota, permukiman desa, dan kebun campur. Kesalahan-kesalahan ini diharapkan masih bisa direduksi untuk penggunaan lahan – 3 metode 1. Penggunaan lahan – 3 metode 1 menggabungkan antara tegalan 1 dan tegalan 2 menjadi plausibilitas untuk tegalan, kemudian menggabungkan
plausibilitas kebun campur 1 dan plausibilitas kebun campur 2 menjadi plausibilitas total kebun campur, dan menggabungkan plausibilitas permukiman kota – 1 dan plausibilitas permukiman kota – 2 menjadi plausibilitas permukiman kota. Plausibilitas tegalan, plausibilitas kebun campur, plausibilitas permukiman kota ini digabungkan dengan plausibilitas hutan lindung, plausibilitas permukiman desa, plausibilitas sawah 2 kali padi, plausibilitas 1 kali padi, dan plausibilitas bandara. Peta penggunaan lahan-3 metode 1 ini menghasilkan koeffisien kappa sebesar 0,90 dan overall accuracy sebesar 91,36%.
64 Penggunaan lahan ke 3 ini masih terdapat kesalahan walaupun mempunyai
overall accuracy sebesar 91,36%. Kesalahan
ini bergeser pada penggunaan lahan sawah 2 kali padi dan penggunaan lahan sawah 1 kali padi. Kesalahan ini dikarenakan adanya faktor
uncertainty pada penelitian ini. Keberadaan
sawah 2 kali padi dan sawah 1 kali padi mempunyai uncertainty 0,4 untuk penggunaan
lahan permukiman desa. Klasifikasi penutup lahan yang menyatakan tentang lahan terbangun 4 dan lahan terbangun 5 mempunyai banyak vegetasi sehingga ada plausibilitas
untuk menjadi sawah 2 kali padi dan sawah 1 kali padi. Plausibilitas ini dikarenakan terdapat permukiman desa yang terletak diantara sawah-sawah atau sebaliknya, sawah-sawah-sawah-sawah yang berada di lingkungan permukiman pedesaan.
Overall accuracy sebesar 91,36% ini masih
belum baik untuk kategori klasifikasi penggunaan lahan. Kesalahan masih terlalu banyak. Oleh karena itu, pembuatan klasifikasi penggunaan lahan yang lebih optimal dibandingkan dengan penggunaan lahan 1, penggunaan lahan 2, dan penggunaan lahan 3 masih diperlukan.
Kesimpulan
1. Teori bukti Dempster Shafer dan aspek ketidak pastian dapat digunakan untuk Optimalisasi Klasifikasi Penggunaan Lahan, hal ini dikarenakan memuat unsur kualitatif dan kuantitatif dalam melakukan klasifikasi. Aspek-aspek ketidak pastian yang tidak termuat dalam klasifikasi digital
dapat menjadi masukan yang paling efektif untuk klasifikasi penggunaan lahan.
2. Hasil klasifikasi dari Dempster-Shafer mempunyai beberapa plausibilitas yang menjadi input untuk pengolahan. Nilai maksimal dari pengolahan tersebut yang digunakan sebagai out put. Perhitungan nilai plausibilitas untuk masing-masing penggunaan lahan memerlukan local knowledge dan pengetahuan yang bagus Peta Penggunaan Lahan Optimal: Penggunaan Lahan Optimal 3 (koeffisien kappa 0,723
dan overall accuracy 76,438%). Penggunaan Lahan Optimal 2 (koeffisien kappa 0,90 dan
overall accuracy 91,36%). Penggunaan Lahan Optimal 1 (koeffisien kappa 0,98 dan overall
65 mengenai kondisi geografis wilayah penelitian.
3. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa modifikasi teori Demspter-Shaffer dapat menjadikan klasifikasi penggunaan lahan lebih optimal.
Daftar Pustaka
Aiqun, Chen. 2003. Application of the Information Fusion Based o Evidence Theory in Urban Development. Wuhan University Library
Aswin, Finny Wardiny. 2005. Penggabungan Citra Landsat ETM+ dan SPOT Panrkoramtik Untuk Kajian Ketelitian Hasil Interpretasi. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Bakosurtanal, 2000, Spesifikasi Teknis, Metodologi, dan Kontrol Kualitas Pemetaan tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang, BAKOSURTANAL, Bogor: Pusat Sumber Daya Alam
Borghys, D., and Pernel, C,. 2002. Combining Multi-Variety Statistics and Dempster-Shafer for Edge Detection in Multi-Channel SAR Image. Brussels: Royal Military Academy, Signal, and Image Centre. Av.de la Renaissance 30, B-1000 Campbell, J.B. 2002. Introduction to Remote
Sensing (Third Edition). New York: The Guilford Press
Comber, AJ,. Fisher P,F,. Brown, A,. 2000. Uncertainly Vogue ness and Indiscermenibilty: The Impact of Spatial Scale in Rotation to the Landscape Element. The International Archives of The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information. Sciences. Vol. 34. Part XXX
Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada Danoedoro, P. 2004. Informasi Penggunaan
Lahan Multidimensional: Menuju Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan Multiguna untuk Perencanaan Wilayah dan
Pemodelan Lingkungan. Sains Informasi Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Fakultas Geografi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Danoedoro, P., McDonald, G., Phinn, S. and Pullar, D. 2003. Imade-based Versatile LU Information: A Multidimensional Classification Scheme to Support Local Planning in Indonesia. School of Geography, Planning and Architecture, StLucia: The University of Queensland David P. Paine., 1981, Aerial Photography and
Image Interpretation for Resources Management, New York: John Wiley and Sons Inc
Dezert J,. 2003. Land Cover Change Prediction with a new Theory of Plausible and Paradoxial Reasoning. ONERA. France: DTIM/IED 29 Avenue de la Division Leclere Chatillon
Ferson, Scott. 2002. Combination of Evidence in Dempster-Shaffer Theory. Sandia Report. Alberqueque. Mexico-California: Sandia National Laboratories. Department of Energy
Forster, Malcom R,. 2006. Counterexamples to a Likelihood Theory of Evidence. Department of Philosophy. USA: University of Wisconsin-Madison
Huang. Zhi,. 2000. Combining Non Parametric Based Models for Multisource Predictive Forests Mapping. Australia: Geography. School of Resources Environment and Society. Australia National University Jensen, J.R. 1996. Introductory Digital Image
Processing: A Remote Sensing Perpspective (Second Edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River
Jensen, L, L, F, et al. 2000. Principles of Remote Sensing. Netherland: ITC Lillesand, T.M., Kiefer R.W. and Chipman,
J.W. 2004. Remote Sensing and Image Interpretation (fifth Edition). New York: John Wiley & Sons, Inc
McCloy, Keith, R,. 1995. Resource Management Information System:
66 Process and Practise. London: Taylor & Francis
Prahasta. Eddy., 2002, Sistem Informasi Geografis: Tutorial Arc View, Bandung: Penerbit Informatika
Rhicards, J.A. and Jia, X. 2006. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction (Fourth Edition). Berlin: Springer-Verlag
Sandy. I.M., 1977, Penggunaan Tanah (Land Use) di Indonesia, Direktorat Tata Guna Tanah, Publikasi No 75, Jakarta: Dirjen Agraria Departemen Dalam Negeri
Samudra, Imanda Surya. 2007. Kajian Kemampuan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Untuk Klasifikasi Penutup Lahan dengan Menggunakan Citra Aster. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Subroto. T. Yoyok Wahyu., 2003, Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Pemberdayaan Potensi Daerah di Indonesia, Populasi, 14(2), hal. 3-23 Sukandarrumidi, 2002, Metode Penelitian
Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Swain, P.H. 1978. Fundamentals of Pattern Recognition in Remote Sensing. In Swain, P.H. and Davis, S.M. (eds): Remote Sensing: The Quantitative Approach. New York: McGraw-Hill Petrou, Maria,. And Ahmadzaleh, Muhammad
Reza,. 2002. Use of Demspter-Shaffer Theory to Combine Classifiers which use Different Class Boundaries. School of electronics Computation and Mathematics. Guilford: University of Surrey
Wibowo. Rudi dkk., 2004, Konsep Teori dan Landasan Analisis Wilayah, Jawa Timur: Bayumedia Publishing
Wu, Huadong,. (2007). Sensor Fusion using Dempster-Shafefer Theory. Interactive System Laboratories. Robotics Institute. Cornegic Mellon University
Yonghong, Jia. 2003. Feature Fusion Based on Dempster-Shaffer Evidential Reasoning for Image Texture Classification. Wuhan-China: School Of Remote Sensing. Information of Engineering. Wuhan University
Zahnd. Markus., 1999, Perancangan Kota Secara Terpadu Teori Perancangan Kota dan Penerapannya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.