• Tidak ada hasil yang ditemukan

V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kriteria

Indikator

Kriteria merupakan suatu prinsip atau patokan untuk menilai suatu hal. Oleh karenanya suatu kriteria dapat dilihat sebagai prinsip yang menambah arti dan cara kerja dalam suatu prinsip tanpa membuatnya sebagai suatu pengukur secara langsung. Sedangkan indikator adalah suatu variabel atau komponen ekosistem atau sistem pengelolaan hutan apa saja yang digunakan untuk memperkirakan status kriteria tertentu (Mendoza et al., 1999). Penentuan kriteria dan indikator hutan alam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma didasarkan pada kriteria dan indikator yang dikembangkan Forest Stewarship Council (1996). Kriteria dan indikator yang diuji sensitivitas pada hutan alam PT. Sari Bumi Kusuma meliputi: (1) kriteria produksi dengan indikator vegetasi hutan (parameter yang diamati adalah kemantapan tegakan, potensi tegakan dan jenis pohon yang dilindungi); (2) kriteria ekologi dengan indikator vegetasi dan satwa liar (parameter yang diamati adalah kekayaan jenis, kelimpahan dan penyebaran lokal), tanah (parameter yang diamati adalah tekstur dan struktur tanah kaitannya dengan erosi); (3) kriteria sosial ekonomi dengan indikator sosial ekonomi (pola pemanfaatan sumberdaya hutan kaitannya dengan perambahan hutan).

5.2. Kriteria Produksi 5.2.1 Vegetasi

Struktur tegakan dicirikan oleh kerapatan batang per hektar pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Struktur vegetasi hutan di lokasi penelitian, terutama pada Rencana Karya Tahunan (RKT) tahun 2006 dan RKT tahun berjalan (2007) yang tersusun dari tingkat vegetasi semai sampai tingkat pohon, merupakan potret pengelolaan/perlakuan terhadap tegakan untuk memperoleh jatah tebangan yang maksimal dengan kualitas dan kuantitas yang baik.

Pengambilan plot contoh penelitian vegetasi dilakukan pada areal hutan primer di petak tebangan RKT tahun 2007 dan hutan bekas tebangan (LOA) petak tebangan RKT tahun 2007 yang digunakan untuk memperoleh gambaran struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter (mulai tingkat semai sampai tingkat pohon) serta data sekunder vegetasi pada RKT tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk membandingkan komposisi penyusun vegetasi yang ada. Dari hasil analisis vegetasi tersebut akan dibuat trend atau kecendurangan keadaan/kondisi vegetasi yang ada di

(2)

areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Pengukuran vegetasi dilakukan untuk melihat keragaman dan potensi jenis vegetasi yang ada di areal studi (IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma) yang ditentukan oleh kemantapan tegakan per hektar, potensi tegakan per hektar untuk produksi dan jenis pohon dilindungi.

Hasil analisis vegetasi terhadap struktur tegakan pada RKT tahun 2007, plot contoh penelitian hutan primer pada plot contoh petak OO.55, untuk permudaan tingkat semai sebanyak 28.000 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik, permudaan tingkat pancang sebanyak 2.600 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik, permudaan tingkat tiang sebanyak 204 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan baik dan tingkat pohon sebanyak 182 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik. Sedangkan pada hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa kualitas struktur tegakan permudaan tingkat semai sebanyak 3.170,73 per hektar (TPTJ) dan 2357,14 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik, permudaan tingkat pancang sebanyak 546,34 pohon per hektar (TPTJ) dan 556,00 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas sedang, permudaan tingkat tiang sebanyak 48,78 pohon per hektar (TPTJ) dan 46,84 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat buruk dan tingkat pohon sebanyak 142,07 pohon per hektar dan 86,76 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik.

Tingkat regenerasi di hutan primer lebih tinggi dari pada di hutan bekas tebangan. Kenyataan ini bertentangan dengan beberapa teori yang menyatakan bahwa regenerasi di hutan primer lebih rendah dari pada di hutan sekunder (Smith, 2005). Tingginya tingkat regenerasi di areal IUHPPK PT. Sari Bumi Kusuma menunjukkan bahwa areal hutan tersebut bukan areal hutan primer. Namun menurut Johns (1997) dan Vanclay (1990), hutan bekas tebangan yang ditinggal sekitar 20 sampai 30 tahun memiliki komposisi vegetasi yang menyerupai hutan primer. Sehingga areal tersebut dapat disamakan sebagai hutan like-primer. Tingginya regenerasi di areal hutan primer dari pada hutan bekas tebangan PT. Sari Bumi Kusuma disebabkan karena jarak waktu antara aktifitas logging dengan pengumpulan data relatif singkat dan tingginya aktifitas loging (Scwartz dan Caro, 2003) sehingga tidak memberikan kesempatan benih atau semai untuk tumbuh.

5.2.2. Kemantapan Tegakan (H’)

Kemantapan tegakan (H’) yang merupakan cerminan dari kemantapan komunitas vegetasi yang ada di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, digambarkan

(3)

oleh tingkat keanekaragaman jenisnya. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman jenisnya, semakin tinggi pula tingkat kemantapan komunitasnya (Indeks Shannon Winner). Oleh karena itu, kondisi vegetasi yang mantap dan stabil ditentukan dengan nilai indeks keanekaragaman yang tinggi.

Nilai indeks keanekaragaman jenis pada RKT tahun 2007, plot contoh penelitian hutan primer pada plot contoh petak OO.55 dan hutan bekas tebangan pada plot contoh petak 8 B, C,Y dan Z diperoleh : semai sebesar 0,50 – 2,10 dengan skala kemantapan tegakan cukup mantap sampai mantap (kategori sedang sampai baik), tingkat pancang 0,14 – 3,36 dengan skala kemantapan tegakan mantap (kategori baik), tingkat tiang 0,16 – 3,13 dengan skala kemantapan tegakan cukup mantap sampai mantap (kategori sedang sampai baik) dan tingkat pohon 0,35 – 3,55 dengan skala kemantapan tegakan mantap (kategori baik). Dari kisaran nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemantapan tegakan di RKT tahun 2007, plot contoh penelitian rata-rata tergolong mantap dan baik, karena nilai rata-rata indeks keaneka-ragamannya seluruhnya di atas nilai 2,4 (indeks Shannon Winner). Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing kelompok terjadi perbedaan antara hutan primer dan hutan sekunder terutama untuk kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan karena pada hutan primer belum terjadi penebangan dan penebangan diprioritaskan pada jenis kelompok meranti (marketable). Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) dan keanekaragaman jenis (H’) di areal efektif untuk unit produksi disajikan pada Tabel 6. Lampiran 9 dan Lapiran 11.

Pada Tabel 6, menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman kelompok meranti (semai, pancang, tiang dan pohon) di hutan primer lebih tinggi dari pada di hutan bekas tebangan. Kariuki et al., (2006) menjelaskan bahwa tingkat keanekaragaman jenis di hutan bekas tebangan akan mendekati tingkat keanekaragaman jenis di hutan primer setelah 30 tahun dari aktifitas penebangan. Namun keanekaragaman jenis kelompok rimba campuran di hutan primer lebih rendah dari pada di hutan bekas tebangan kecuali pada tingkat pancang. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok rimba campuran tingkat semai, tiang dan pohon terdiri dari jenis toleran dibawah naungan (shade tolerant species) sehingga akan merespon adanya celah tajuk hutan.

(4)

Tabel 6. Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’) Plot Contoh Hutan Primer Petak OO.55 dan Hutan Sekunder Petak 8 B, C,Y dan Z(TPTJ) dan Petak 9P dan 9T (TPTI) RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah

Kelompok

Permudaan

Pohon

Semai Pancang Tiang

INP H’ INP H’ INP H’ INP H’

Hutan Primer

Jenis Meranti 123,63 1,14 73,05 0,97 95,55 0,90 123,59 1,02

Jenis Rimba Campuran 71,46 0,85 120,73 1,73 193,46 1,91 151,00 1,69

Jenis Dilindungi 4,91 0,12 6,22 0,14 10,99 0,16 25,41 0,35

Jumlah 200,00 2,10 200,00 2,84 300,00 2,97 300,00 3,06

Hutan Bekas Tebangan TPTJ

Jenis Meranti 100,79 0,75 35,77 0,591 22,26 0,26 51,39 0,61

Jenis Rimba Campuran 89,48 1,02 131,98 1,89 259,87 1,43 205,54 2,13

Jenis Dilindungi 9,73 0,15 32,25 0,53 17,88 0,21 43,37 0,53

Jumlah 200,00 1,91 200,00 2,99 300,00 1,91 300,00 3,27

Hutan Bekas Tebangan TPTI

Jenis Meranti 48.39 0.50 20.76 0.34 57.76 0.44 22.08 0.31

Jenis Rimba Campuran 151.61 1.48 167.26 2.81 230.29 2.56 257.98 2.94

Jenis Dilindungi 0 0 11.99 0.21 11.95 0.13 19.95 0.31

Jumlah 200.00 1.98 200.00 3.36 300.00 3.13 300.00 3.55

Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)

5.2.3. Potensi Tegakan dan Jenis Pohon Yang Dilindungi

Komposisi jenis vegetasi menurut kelas diameter, diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi petak tebangan RKT tahun 2007 (hutan primer dan hutan sekunder) diperoleh jenis vegetasi untuk tingkat permudaan semai sebanyak 28.000 batang per hektar (komposisi jenis kelompok meranti 63,21%, kelompok rimba campuran 35%, kelompok kayu indah 0% dan kelompok kayu dilindungi 1,79%), tingkat permudaan pancang sebanyak 2.600 batang per hektar (komposisi jenis kelompok meranti 38,46%, kelompok rimba campuran 59,08%, kelompok jenis kayu indah 0% dan kelompok dilindungi 2,46%), tingkat permudaan tiang sebanyak 204 batang per hektar (komposisi kelompok jenis meranti 33,33%, kelompok jenis rimba campuran 62,75% kelompok kayu indah 0% dan kelompok dilindungi 3,92%) dan tingkat pohon sebanyak 184 batang per hektar. Jumlah tingkat pohon diameter 40 cm ke atas sebanyak 52,5 pohon per hektar (dengan komposisi jenis meranti 78,81%, jenis rimba campuran 26,19%) di luar jenis dilindungi. Lebih rinci tersaji pada Tabel 7, Lampiran

(5)

8 dan Lampiran 10. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan persyaratan minimal jumlah pohon kelas diameter ≥ 50 cm untuk wilayah Kalimantan sebanyak 16 batang per hektar sesuai SK Menhut No. 8171/Kpts-II/2002 tentang Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi yang dapat diberikan konsesi IUPHHK pada Hutan Alam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa areal tersebut sudah layak untuk dipertahankan sebagai hutan alam dalam konteks pengelolaan hutan. Dengan kata lain, melihat jumlah pohon rata-rata per hektar di areal tambahan semuanya di bawah jumlah pohon rata-rata minimal per hektar, maka areal tersebut layak diusahakan sebagai IUPHHK pada hutan alam dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif). Secara rinci rekapitulasi komposisi jenis vegetasi berdasarkan kelompok jenis pada plot contoh hutan primer petak OO.55 dan hutan bekas tebangan petak 8 B, C, Y dan Z (TPTJ) dan petak 9P dan 9T (TPTI) RKT tahun 2007 tersaji pada Tabel 7, Lampiran 8 dan Lampiran 10.

Tabel 7. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Plot Contoh Petak OO.55 Hutan Primer dan Hutan Sekunder Petak 8 B, C (TPTJ-TPTII) dan Petak 9P dan 9T (TPTI) RKT Tahun 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah

No Kelompok Permudaan Pohon (N/ha)

Semai (N/ha) Pancang (N/ha) Tiang (N/ha) Hutan Primer

1 Jenis Meranti 17.700 1.000 68 74

2 Jenis Rimba Campuran 9.800 1.536 128 94

4 Jenis Dilindungi 500 64 8 14

Jumlah 28.000 2.600 204 184

Hutan Bekas Tebangan TPTJ-TPTII

1 Jenis Meranti 1.890,24 78,05 4,88 26,61

2 Jenis Rimba Campuran 1.158,54 390,24 41,46 103,66

4 Jenis Dilindungi 121,95 78,05 2,44 12,80

Jumlah 3.170,73 546,34 48,78 142,07

Hutan Bekas Tebangan TPTI

1 Jenis Meranti 535,71 64.00 9.49 8.82

2 Jenis Rimba Campuran 1,821.43 460.00 36.08 75.29

3 Jenis Dilindungi 0 32.00 1.27 2.65

Jumlah 2,357.14 556.00 46.84 86.76

Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)

Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot contoh hutan primer petak OO.55 diperoleh potensi per hektar untuk tingkat permudaan semai di dominasi oleh jenis meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 9.350 per hektar, diikuti Bangkirai

(6)

(Shorea laevifolia) sebanyak 7.600 per hektar, terendah adalah jenis Medang (Litsea firma) Beramangan (Ochanestachys sp) dan Sempotir (Kingiodendron sp) yaitu sebanyak 100 per hektar. Pada permudaan tingkat pancang didominasi oleh jenis ubah (Eugenia sp.) sebanyak 400 per hektar, dan jenis meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 272 per hektar dan yang terendah adalah jenis Ombak (Baccaurea sp) dengan komposisi sebanyak 8 pancang per hektar. Permudaan tingkat tiang didominasi oleh jenis meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 18 per hektar sedangkan yang terendah adalah jenis meranti putih (Shorea hopefolia), Keruing (Dipterocarpus sp.), Mayau (Shorea sp.), Karut, Lagan (Kibessia sp.), Kemayau (Dacriodes rostrata), Sampak (Aglaia sp.), Besirih (Vatica oblongifolia) dan Kulim (Scorodocarpus borneensis) masing-masing sebanyak 2 per hektar. Pada kelas diameter (20 cm up, 30 cm up dan 60 cm up) di dominasi oleh kelas diameter 60 cm up yaitu meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 12 pohon per hektar dan yang terendah adalah medang, uram, asam, manggris dan tengkawang masing-masing sebanyak 0,5 per hektar. Permudaan tingkat semai khusunya jenis rimba campuran antara hutan primer dan hutan bekas tebangan tidak terjadi perbedaan yang signifikan, hal ini disebabkan karena IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma melakukan penebangan hanya pada jenis meranti, sehingga akan mempengaruhi keberadaan permudaan tingkat semai jenis meranti. Schwartz dan Caro (2003) dan Slik et al., (2004), menyatakan bahwa dengan adanya perlakuan tebang pilih (selective) tidak mempengaruhi regenerasi spesies pada hutan utuh atau hutan bekas tebangan.

Permudaan hutan diartikan sebagai suatu pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tegakan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan dan yang akan tumbuh menjadi hutan (Anonimous, 1989). Berdasarkan ukurannya, pemudaan alam dapat bedakan menjadi 3 yaitu permudaan tingkat semai, permudaan tingkat pancang dan permudaan tingkat tiang. Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya sampai 1,5 meter, permudaan tingkat pancang adalah permudaan yang mempunyai tinggi lebih dari 1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm. Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993). Dalam pengelolaan hutan alam dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif) seperti yang diterapkan di areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma melakukan perlakuan khusus (pembuatan jalur tanam selebar 3 m untuk penanaman/pengayaan) dengan jarak tanam 2,5 m x 2,5 m, akan tetapi permudaan alam tetap memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan kembali

(7)

hutan bekas tebangan, hal ini dikarenakan masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu juga, keadaan permudaan alam merupakan indikator keanekaragaman vegetasi. Kellman (1970), menyatakan bahwa proses penanaman kembali/revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah dan perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya sangat mempengaruhi perubahan (vegetasi) pertumbuhan tingkat semai seperti radiasi dan temperatur udara. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHHH/93 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-IV/1994 lain dijelaskan bahwa pada areal tegakan tinggal yang memiliki permudaan minimal 1000 Batang/Ha untuk tingkat semai, 240 Batang/Ha tingkat pancang dan 75 Batang/Ha tingkat tiang yang tersebar merata.

5.3. Kriteria Ekologi

5.3.1. Satwa Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) 5.3.1.1 Habitat

Secara umum, habitat satwaliar dapat diartikan sebagai tempat hidup satwaliar yang menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk hidup dan kelangsungan hidup satwa tersebut sehingga dapat berkembang secara alami. Sumberdaya tersebut meliputi pakan sebagai sumber energi, cover sebagai pelindung dan ruang sebagai tempat melakukan aktivitas harian dan proses regenerasi (berkembang-biak, memelihara dan membesarkan anak). Keberadaan satwaliar pada suatu habitat juga dipengaruhi oleh faktor fisik (iklim, kelerengan) dan keberadaan satwa lain baik sebagai predator, pesaing maupun prey (mangsa)

Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan untuk berlindung, sumber pakan dan air serta berkembangbiak (Alikodra, 2002). Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) merupakan satwa endemik kalimantan Tengah yang keberadaannya semakin menurun akibat adanya perubahan struktur vegetasi (habitat) terutama tempat untuk mencari makan dan tempat untuk berkembang biak.

Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) adalah satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) yang sangat tergantung pada arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan/kerapatan dengan kerapatan relatif tertutup. Menurut Kappeler (1984), menyatakan bahwa syarat habitat yang

(8)

dibutuhkan oleh Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) sekurang-kurangnya memiliki tiga komponen yaitu (1) hutan dengan komposisi tajuk yang relatif tertutup, (2) tajuk pohon yang memiliki cabang yang horizontal, (3) habitat yang memiliki sumber pakan dan tersedia sepanjang tahun. Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) sangat jarang turun ke permukaan tanah, dan menggunakan waktunya di tajuk pohon bagian atas, sehingga kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon sebagai pelindung dan sumber pakan (Kuester, 2000), dengan demikian, faktor utama yang membatasi penyebaran Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) adalah struktur ketinggian pohon yang berfungsi untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristic yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan (Kappeler, 1984a).

Berdasarkan Hasil Analisis Vegetasi pada tiga lokasi (Hutan Primer, Hutan Bekas Tebangan/TPTJ 12 tahun dan Bekas Tebangan/TPTI) menunjukkan bahwa vegetasi yang ada di hutan primer merupakan habitat yang lengkap sebagai tempat untuk hidupnya Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) (pohon pakan dan pohon untuk berkembang biak) tersedia. Hasil analisis vegetasi pohon pakan di tiga lokasi plot penelitian terdapat 31 jenis pohon pakan dan pohon tempat tidur (Tabel 8).

Tabel 8. Jenis-Jenis pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di Plot Penelitian

No Nama Daerah Nama Botani Plot Contoh Manfaat Untuk

HP TPTI TPTJ Primata Manusia

1 Asam Baccaurea sp + * *

2 Cempedak Artocarpus integrus + * *

3 Dadak Artocarpus sp + * *

4 Durian Durio zibethinus + + * *

5 Durian Burung Durio lissocarpus + +

6 Embak Baccaurea sp + * *

7 Juhing Dillenia sp + + + *

8 Kampili Quercus leneata + +

9 Kapuak Artocarpus tamaran + + * *

10 Kedabang Nephelium sp + * *

11 Kemayau Dacryodes rostata + + + *

12 Keranji Dialium sp + * *

(9)

No Nama Daerah Nama Botani Plot Contoh Manfaat Untuk HP TPTI TPTJ Primata Manusia

14 Kumpang Myristica gigantea + + +

15 Lengkeng Nephelium sp + * *

16 Mahabai Polyalthia sp + + + *

17 Menjalin Xanthophyllum excelsum + + + * *

18 Mentawa Artocarpus rigidus + + * *

19 Meranti Kuning Shorea fallax + *

20 Ombak Baccaurea sp + + * *

21 Pihing Artocarpus sp * *

22 Pudu Artocarpus comando + + * *

23 Rambutan Nephelium cuspidatum + + + * *

24 Riga Dillenia exeminia + *

25 Sampak Flacourtia rucam + + + * *

26 Sengkuang Dracontomelon mangiferum + *

27 Simpur Flacourtia rucam + *

28 Tengkawang Flacourtia rucam + *

29 Tengkawang Bukit Flacourtia rucam + *

30 Ubah Eugenia sp + + + *

31 Ubah Merah Flacourtia rucam + *

Sumber : Data Primer 2007, diolah

Tabel 8, menunjukkan bahwa terdapat 31 jenis tumbuhan berkayu yang menghasilkan buah, yang dihitung merupakan klasifikasi vegetasi tingkat pohon yang terdapat di 3 plot penelitian, dan masing-masing blok terdapat 20 jenis pada Hutan Primer, 16 jenis pada blok TPTI dan 17 jenis pada blok TPTJ. Hasil analisis vegetasi terhadap jumlah dan jenis pohon penghasil buah terbanyak terdapat pada blok Hutan Primer (37,74%) hutan bekas tebangan TPTI (30,19%) dan hutan bekas tebangan TPTJ (32,08%). Dari data tersebut terlihat bahwa antara hutan primer dan hutan bekas tebangan, jumlah jenis vegetasi yang berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tepat tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) terjadi perbedaan, hal ini disebabkan karena pada hutan primer lebih lengkap dan hutan bekas tebangan TPTJ dan TPTI terjadi penebangan dan aktivitas silvikultur. Bismark (2006), dalam penelitian tentang populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) endemik Mentawai di kompleks hutan bekas tebangan, menyatakan bahwa pada hutan bekas tebangan lebih dari 30 tahun vegetasi yang berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tidur komposisinya akan menyerupai hutan primer dan lebih dari 60% primata

(10)

Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) termasuk Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) menggunakan habitat hutan sekunder tua (bekas tebangan) sebagai polasi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang lebih beragam di hutan yang mendekati kondisi hutan primer.

5.3.1.2. Kepadatan Populasi

Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di plot penelitian areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma di tiga lokasi plot (Hutan primer, hutan bekas tebangan TPTJ dan hutan bekas tebangan TPTI) seperti tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 menunjukkan bahwa kepadatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di plot penelitian terlihat jelas bahwa antara hutan primer dan bekas tebangan (TPTJ dan TPTI) menunjukkan perbedaan populasi baik individu maupun kelompok. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) terjadi fragmentasi habitat (Stork et al., 1997); (2) menurunnya pohon pakan (buah) sehingga meningkatnya tingkat konsumsi daun (Alikodra 2002; Wells, at al. 2007); (3) ketersediaan pohon tempat tidur (Alikodra 2002); (4) terganggu oleh adanya aktivitas penebangan (McConkey, 2002). Pengaruh aktifitas penebangan terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) terjadi jika penebangan melebihi 3,3% (John, 1983 dalam Meijaard et al., 2005). Penebangan pohon (40 cm ke atas) yang terjadi di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma mencapai 24% dari jumlah total yang ada dalam satu hektar, sehingga kepadatan Owa di hutan bekas tebangan TPTJ dan TPTI berturut-turut adalah 0,087289% dan 0,065484%. Hal ini disebabkan karena penurunan biomasa Owa secara drastis, kematian langsung, penurunan tingkat kelahiran, penelantaran dan kematian bayi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Owa, serta perubahan pola makan (John, 1983 dalam Meijaard et al., 2005). Menurut McConkey (2002), seleksi buah (pakan Owa) berdasarkan antara lain : warna, kulit dan jaringan buah, hanya akan terjadi jika buah melimpah. Ketika ketersediaan buah menurun maka pola makan Owa mengalami perubahan. Perubahan ini menyebabkan terjadinya malnutrisi bagi Owa sehingga berakibat pada penurunan kepadatan populasi Owa.

(11)

Tabel 9. Kepadeatan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Berdasarkan Kepadatan Individu dan Kepadatan Kelompok

No Lokasi Kepadatan Individu/Ha

2007

1 Hutan Primer 0,109

2 Hutan Bekas tebangan (TPTJ) 0,087289

3 Hutan Bekas tebangan (TPTI) 0,065484

Sumber : Data Primer (2007) diolah

Menurut Johns (1992), Bennet dan Dahaban (1995) dalam Meijaard (2006) mengungkapkan bahwa reaksi kecenderungan penurunan Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) setelah kegiatan penebangan 1 tahun sampai 12 tahun, yaitu antara 20% hingga 60% di hutan bekas tebangan dan hutan primer. Reaksi dan kecenderungan setelah penebangan (1 sampai 30 tahun setelah kegiatan penebangan) kaitannya dengan kepadatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) < 20% perbedaan nilai tengah kepadatan di hutan bekas tebangan terhadap hutan primer (Wilson dan Wilson, 1975).

5.4. Erosi

Erosi merupakan peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari dari suatu tempat lain oleh media alami. Pada eksploitasi hutan, mengacu pada konsep DAS, erosi tanah akan menyebabkan terkikisnya lapisan tanah dan terangkut oleh arus air pada saat hujan ke bagian hilir DAS yang kemudian diendapkan. Hutan bermanfaat secara tidak langsung sebagai pencegah erosi. Penggunaan alat-alat berat seperti traktor pada sistem penyaradan dapat mempercepat erosi permukaan tanah (Hardjowigeno, 1992).

Lal (1993) menyatakan bahwa pada hutan yang sudah dilakukan penebangan, besarnya erosi yang terjadi adalah sekitar 27,31 ton per hektar per tahun. Hasil penelitian Ruslan dan Manan (1980) pada jalan sarad HPH di Kalimantan Selatan menunjukkan besaran erosi pada jalan sarad yang belum dilakukan penyaradan 129,57 ton per hektar per tahun dan jalan sarad yang telah dilakukan penyaradan 154,77 ton per hektar per tahun. Hasil penelitian Tinanmbunan (1990), bahwa pada jalan sarad areal HPH di Kalimantan Tengah menunjukkan laju erosi jalan sarad yang telah tiga bulan ditinggalkan mencapai 107,64 ton per hektar per tahun.

(12)

Erosi dan sedimentasi merupakan dua proses destruksi permukaan tanah yang tidak dapat dipisahkan. Erosi merupakan proses pengikisan kulit bumi yang disebabkan oleh tumbukan air hujan dan limpasan air permukaan. Menurut Hardjowigeno (1992), erosi tanah adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di daerah-daerah tropis yang lembab seperti kalimantan tengah termasuk di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, dengan rata-rata curah hujan 3118 mm tiap tahun, maka air merupakan penyebab utama terjadinya erosi (Sarief, 1985 dan Hardjowigeno, 1992).

Terjadinya erosi merupakan hasil interaksi faktor dari kemampuan hujan dalam mengikis tanah (erosivitas hujan), faktor kekompakan tanah (erodibilitas tanah), panjang lereng dan kemiringan lereng (lereng), faktor pengelolaan tanah dan faktor pengawetan tanah. Erosi yang terjadi di lokasi penelitian (areal PT. Sari Bumi Kusuma) sangat tergantung pada faktor lingkungannya seperti penutupan lahan, topografi dan kedalaman solum tanah serta kondisi curah hujan dan intensitas hujan.

Berdasarkan dokumen laporan AMDAL tahun 2004, kondisi erosi yang terjadi di wilayah penelitian menunjukkan variasi antara lokasi pengamatan dan lebih ditentukan oleh kondisi vegetasi dan faktor lereng. Laju erosi yang terjadi (Tabel 10) pada beberapa lokasi pengamatan di areal PT. Sari Bumi Kusuma seperti pada Hutan Primer sebesar 0,29314 ton/ha/tahun, Areal Bekas Tebangan 0,82023 ton/ha/tahun sedangkan erosi yang terjadi di jalan sarad dan jalan angkut berturut-turut sebesar 55,1915 ton/ha/tahun dan 39,44212 ton/ha/tahun. Secara rinci laju erosi berdasarkan kemiringan lereng (S), panjang lereng (L), erosivitas (R), erodibilitas (K), penutupan lahan (faktor tanaman = C) dan kegiatan ekploitasi (P) di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 10.

Namun kondisi erosi yang terjadi selama 1 tahun (RKT tahun 2006) terakhir berangsur-angsur mengalami penurunan terutama yang dinyatakan sebagai lokasi erosi yang paling besar seperti yang terjadi di jalan sarad dan lokasi-lokasi terbuka saat penebangan pohon. Berdasarkan dokumen laporan triwulan pemantauan lingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, dilokasi hutan primer terjadi sebesar 0,14702 ton/ha/tahun, areal bekas tebangan (TPTJ) terjadi erosi sebesar 0,8202 ton/ha/tahun dan 0,943 ton/ha/tahun (TPTI), jalan sarad terjadi erosi sebesar 43,48052 ton/ha/tahun dan pada jalan angkutan terjadi erosi sebesar 39,85672 ton/ha/tahun. Berdasarkan kriteria tingkat bahaya erosi (TBE) yang tertuang dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2004, erosi yang terjadi

(13)

di areal tersebut diatas tergolong sangat ringan sampai ringan (<15 ton/ha/tahun dan 15-60 ton/ha/tahun). Namun berdasarkan hasil analisis dengan persamaan USLE ditemukan tingkat bahaya erosi sangat ringan sampai sangat berat tergantung dari kemiringan lerengan dan panjang lereng yang didukung dengan jenis tanah (Podsolik dan alluvial) yang mudah tererosi atau peka terhadap erosi. Hal ini berdasarkan kriteria penggunaan lahan/land use yang (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 837Kpts/Um/11/1980, tentang Kriterian dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Tabel 10. Laju Erosi Berdasarkan Kegiatan Eksploitasi dan perlakukan di Lokasi

Penelitian IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma

Plot Contoh Faktor Lereng Faktor Tanaman Erosivitas (R) Erodibilitas (K) Kelerengan (S) Laju Erosi (Ton/Ha/Thn) Hutan Primer 1,37 0,0018 368,854 0,254 15* 0,2310* 3.466**   Hutan Sekunder TPTJ 4,21 0,0019 368,854 0,278 15* 0,8202*  12.303**  Hutan Sekunder TPTI 4,59 0,0019 368,854 0,293 15* 0.943* 14.138**  Jalan Sarad 3,17 0,1341 368,854 0,352 15* 55,1932* 163,480**  Jalan Akungkut 2,44 0,1324 368,854 0,331 15* 39,4421* 118,326**  Sumber : (Laporan Amdal, 2004), dan (hasil analisis 2007) diolah

Keterangan :

* = Hasil Perhitungan Lapora Amdal 2004 : L x CP x R x K (tanpa Nilai S dalam rumus USLE) ** = Hasil Analisis 2008 : L x FP x R x K x S

FP = Faktor Penebangan atau faktor tanaman dan koservasi tanah (Nilai CP) TBE = Tingkat Bahaya Erosi (Arsad, 1999)

SR = Sangar Ringan (< 15 ton/ha/thn) R = Ringan (15 – 60 ton/ha/thn) S = Sedang (60 – 180 ton/ha/thn) B = Berat (180 – 480 ton/ha/thn) SB = Sangat Berat (>480 ton/ha/thn)

Berdasarkan pengamatan lapangan terhadap perlakuan tempat-tempat yang potensial terjadinya erosi dari dampak penebangan dan jalan sarad maupun jalan angkutan, PT. Sari Bumi Kusuma telah mengikuti pedoman RIL yang meminimalkan dampak akibat pembalakan dengan memberikan pedoman penebangan dan penyaradan kepada penebang dan penyarad, melakukan revegetasi pada kiri-kanan jalan. Dalam buku Guide To Forestry Best Management Practices in Tennessee (2003), menyatakan bahwa penentuan jalan sarad sangat tergantung dari (1) tanjakan jalan : jalan yang sedemikian rupa akan mengurangi konsentrasi aliran air permukaan; (2) penutupan tajuk : penutupan tajuk terutama kemiringan yang tidak terlalu curam atau di punggung-punggung bukit; (3) kemiringan lahan : kemiringan jalan 2% sampai 3% dan batas maksimal adalah 10%; (4) limpasan air hujan : jika

(14)

tanah memiliki erodibilitas tinggi dan tanah pada tanjakan dibuat dengan batuan sehingga membantu run-off; (5) water bards dan sistem pipa pembuang melintang (cross drain culverts) : jarak corss drain yang direkomendasikan seperti pada Tabel 11, kegiatan revegetasi/penanaman kembali disekitar pembuatan sistem pipa pembuang melintang (cross drain culverts) secepat mungkin dilakukan secepat mungkin.

Tabel 11. Pembuatan Sistem Pipa Pembuang Melintang (cross drain culverts) dan Jarak yang direkomendasikan

Kemiringan (%) Jarak (Feed)

2 – 5 300 – 500

6 – 10 200 – 300

11 – 15 100 – 200

16 – 20 100

Sumber : Guide To Forestry Best Management Practices in Tennessee (2003)

Tinambunan (1990), mengatakan bahwa erosi pada jalan sarad akan berkurang secara berangsur-angsur dengan melihat umur jalan dengan melakukan revegetasi, secara umum bahwa potensi erosi cenderung menurun menurut waktu. Hasil pengamatan terlihat selain vegetasi alami, PT. Sari Bumi Kusuma melakukan penanaman kiri-kanan. Idris (1996), menyatakan bahwa faktor utama dalam penurunan erosi pada jalan hutan adalah keberadaan vegetasi penutup tanah. Faktor kedua penyebab menurunya potensi erosi adalah terjadinya proses stabilitas tanah secara alamiah yang melepaskan partikel tanah yang paling mudah terlepas lebih dahulu sehingga makin lama yang tinggal adalah partikel yang mekin sulit terlepas sehingga potensi erosi menurun.

5.5. Penebangan Pohon Ramah Lingkungan

Kegiatan penebangan pohon merupakan bagian yang cukup penting dalam pengelolaan hutan alam produksi, karena memiliki andil terhadap perolehan volume pohon dan mutu pohon yang dihasilkan serta andil dalam memberikan konstribusi terhadap dampak lingkungan. Dalam penebangan tebang pilih di hutan alam (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTI-Intensif), yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2005, dijelaskan cara-cara penebangan serta berbagai kegiatan lapangan lainnya. Dengan petunjuk tersebut, diharapkan dapat dilaksanakan penebangan yang aman dan menghasilkan volume pohon sebanyak-banyaknya dengan kerusakan tegakan tinggal yang minimal serta meninggalkan permudaan dengan standing stock yang baik pada rotasi atau daur berikutnya.

(15)

Petro (1971), Adeli (1973) dan Soemarsono (1995), menyatakan bahwa kenyataan di lapangan sering dijumpai beberapa masalah akibat penebangan yaitu (1) timbulnya pemborosan pohon dikarenakan kesalahan dalam pembuatan takik rebah; (2) terjadinya penebangan pohon inti yang seharusnya ditinggalkan; (3) akan terjadi pecahnya pohon akibat batang menimpa batu, pohon atau terhempas diantara lembah atau dapat memperbesar kerusakan tegakan tinggal; dan (4) pohon-pohon besar yang ditebang menimpa pohon sekitar sehingga dapat memperbesar kerusakan tegakan tinggal.

Penebangan pohon pada hakekatnya merupakan upaya mengubah pohon yang masih berdiri di dalam hutan menjadi batang-batang pohon dan memindahkannya ke tempat pengolahan pohon atau pemasaran sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan masyarakat. Kegiatan penebangan pohon terdiri dari empat komponen kegiatan utama, yaitu penebangan, penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan. Kegiatan penebangan pohon dipengaruhi oleh bebearapa faktor antara lain; jenis pohon, sifat pohon, potenis pohon, teknik penebangan, topografi lapangan, pertimbangan silvikultur dan pertimbangan iklim (Conway, 1978). Kegiatan penebangan mempunyai peranan yang cukup besar dalam pengelolaan hutan untuk memperoleh mutu dan volume pohon yang dihasilkan.

5.6. Model Sensitivitas Indikator Intervensi Penebangan dan Penanaman Vegetasi (Semai Pancang, Tiang dan Pohon), Erosi dan Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)

Sensitivitas indikator dalam penelitian adalah Simulasi implikasi dari skenario pengelolaan hutan alam produksi oleh IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dengan melakukan penebangan pohon-pohon yang berdiameter 40 cm ke atas pada Rencana Karya Tahunan (RKT) yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan kepada IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma akan menampilkan kondisi dan jumlah N per hektar (struktur tegakan tertentu).

Sensitivitas model indikator diperoleh dengan melakukan simulasi pada model konseptual dengan variabel, auxiliary serta konstanta yang telah ditetapkan berdasarkan hasil analisis masing-masing indikator/variabel. Simulasi dilakukan dengan mengubah/menambah atau mengurangi nilai pada beberapa indikator yang dinilai akan mempengaruhi model yang telah dibangun. Pemilihan indikator, baik indikator maupun decision indikator dilakukan dengan dampak indikator tersebut dalam kegiatan pengelolaan hutan alam khususnya penebangan di RKT terpilih dan dikaitkan dengan dampak aktivitas dari penebangan terhadap dampak jumlah

(16)

vegetasi (semai, pancang, tiang dan pohon), erosi (ton/ha/tahun) serta dampak terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri).

5.7. Batasan Model

Sistem silvikultur yang digunakan dalam pengelolaan hutan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma adalah sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif), dengan memungut atau menebang jenis-jenis pohon niagawi (komersial) dengan limit diameter 40 cm keatas (pohon masak tebang).

Plot contoh penelitian di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, terletak pada Blok RKT tahun berjalan (tahun 2007) yang digunakan sebagai data vegetasi primer dan Blok RKT tahun-tahun sebelumnya (tahun 2006) digunakan sebagai pembanding.

Tujuan dari penelitian adalah untuk membangun sebuah model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi ditingkat konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam. Model sensitivitas indikator diperoleh dari data analisis vegetasi RKT tahun 2007 dengan tingkat permudaan semai, pancang, tiang dan kelas diameter pohon (20-29 cm, 30-39, dan 40 cm keatas) serta verifikasi data penebangan yang akan dikaitkan dengan pengaruh aktifitas kegiatan penebangan terhadap erosi dan pengaruh aktifitas kegiatan penebangan terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Pengujian sensitivitas model terhadap perubahan nilai indikator dilakukan dengan mengubah nilai-nilai pada indikator. Pengujian sensitivitas indikator penentu terpilih terhadap model khususnya terhadap beberapa indikator dilakukan dengan menaikan atau menurunkan nilai indikator tersebut. Perubahan nilai dinaikan sebanyak 50% dan 100% dari nilai awal dan diturunkan sebanyak 25%, 50% dan bahkan 100% dari nilai awal sampai menunjukkan berapa sensitive terhadap tegakan, erosi dan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri).

Model hubungan tegakan hutan alam pada areal hutan produksi dengan lingkungannya merupakan hubungan yang sangat kompleks sehingga diperlukan batasan untuk menyederhanakan pengertian dari hubungan indikator dari model. Batasan yang dijadikan asumsi dari model adalah sebagai berikut :

5.8. Sub Model Dinamika Tegakan

a. Kelas permudaan tingkat semai akan ditemukan dari jumlah masuk (stock) dari anakan alami yang tumbuh dan yang perlakuan dari persemaian (anakan hasil

(17)

persemaian dari biji) yang keluar dari tingkat semai. Jumlah semai yang masuk (stock) akan ditentukan oleh jumlah anakan alami dan dari persemaian, anakan semaian akan ditentukan oleh jumlah produksi biji setiap tahunnya dan pertumbuhan semai setelah penebangan/pemanenan kelas diameter tingkat pohon (diameter 50 cm keatas). Jumlah semai yang keluar akan ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor kematian alami maupun kematian akibat adanya penebangan pohon. Idris dan Suhartana (1996), menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pada eksploitasi hutan dengan menggunakan sistem terkontrol (RIL) dan sesuai dengan petunjuk sistem TPTI untuk kelas permudaan tingkat semai sebesar 5,7% dari jumlah total semai yang tumbuh atau dalam istilah model jumlah semai yang masuk. Berdasarkan hasil analisis vegetasi semai pada plot contoh RKT tahun 2007, pada hutan primer yang tumbuh dari anakan alami sebanyak 28.000 semai per hektar. Pada hutan bekas tebangan (setelah di tebang) di temukan jumlah permudaan tingkat semai sebanyak 3.170,73 semai per hektar ditambah dengan perlakuan dari penanaman semai dalam sistem TPTI-Intensif sebanyak 200 anakan semai per hektar.

b. Kelas permudaan tingkat pancang akan ditentukan dari jumlah yang masuk (stock) dari jumlah semai yang tumbuh (seleksi alami) ). Jumlah semai yang keluar akan ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor kematian alami maupun kematian akibat adanya penebangan pohon. Idris dan Suhartana (1996), menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pada eksploitasi hutan dengan menggunakan sistem terkontrol (RIL) dan sesuai dengan petunjuk sistem TPTI untuk kelas diameter tingkat pancang sebesar 4,5%. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot contoh hutan primer dan hutan bekas tebangan RKT 2007 ditemukan pancang per herktar (N/ha) sebanyak 2.600 per hektar dan hutan bekas tebangan sebanyak 546,34. Jumlah pancang akan ditambah dengan jumlah perlakuan dari persemaian sebanyak 200 anakan.

c. Kerapatan tiang dan pohon akan mengalami pertambahan maupun pengurangan. Pertambahan merupakan input perpindahan dari tingkat pancang ke tingkat tiang dan dari tingkat tian ke tingkat pohon. Pengurangan akan ditentukan oleh dua faktor yaitu kematian tingkat pancang dan kematian tingkat tiang dan pohon baik secara alami maupun akibat penebangan pohon. Kematian tingkat tiang akibat penebangan sebesar 4,9% dan kematian pohon akibat penebangan sebesar 11,2% (Idris dan Suhartana, 1996).

(18)

Berdasarkan hasil analisis vegetasi Lampiran 8 dan Lampiran 10, jumlah tingkat tiang per hektar di plot contoh penelitian hutan primer sebanyak 204 per hektar dan hutan bekas tebangan sebanyak 48,78 ditambah dengan hasil penjarangan di sistem silvikultur sebanyak ± 50 pohon. Sedangkan untuk tingkat pohon sebanyak 182 pohon per hektar di hutan primer dan hutan bekas tebangan sebanyak 142,07 per hektar.

5.9. Sub Model Dinamika Erosi

Salah satu dampak fisik yang paling nyata pada lantai hutan akibat aktifitas penebangan termasuk penyaradan dan kegiatan penanaman adalah terjadinya peningkatan erosi tanah. Model dinamika erosi akan menggambarkan jumlah erosi yang disebabkan oleh penebangan termasuk penyaradan, curah hujan/erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, kemiringan lereng, faktor tanaman dan faktor tindakan manusia dalam pengawetan tanah/pengelolaan tanaman. Berdasarkan data yang diperoleh dari dokumen AMDAL 2004 (Tabel 10), erosi yang terjadi pada hutan bekas tebangan, jalan sarad dan jalan angkutan secara berturut-turut adalah sebagai berikut : 0,82023 ton/ha/tahun, 55,19315 ton/ha/tahun, dan 39,44212 ton/ha/tahun

5.10. Sub Model Dinamika Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)

Dinamika kehidupan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di hutan-hutan dapat terus berkelanjutan karena daya dukung habitat primata dapat mendukung kehidupannya seperti ketersediaan tempat tinggal dan ketersediaan sumber pakan dan ketersedian tempat bermain (bergelayutan) tersedia dengan baik. Dengan adanya kegiatan pengelolaan hutan alam produksi (aktifitas dari kegiatan penebangan) menyebabkan terjadinya fragmentasi hutan, sehingga akan mempengaruhi keberadaan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dalam suatu kawasan tertentu. Hasil analisis diperoleh jumlah Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) di plot contoh hutan Primer sebanyak 0,109 per hektar, hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,087289 per hektar dan TPTI sebanyak 0,065484 per hektar. Bismark (2006), menyatakan bahwa akibat dari aktifitas kegiatan penebangan pada hutan bekas tebangan akan memberikan konstribusi kehilangan Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) sebesar 80% dan hutan primer sebesar 20%.

5.10.1. Formulasi Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Diagram)

Model sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam dalam hal ini adalah indikator vegetasi, indikator erosi dan indikator primata Owa Kalimantan (Hylobates Muerlleri).

(19)

Hubungan yang terjadi antara peubah penyusun model dapat positif dan dapat negatif. Hal ini sangat tergantung pada peubah satu dengan yang lainnya. Hubungan sebab akibat antara vegetasi, penebangan, erosi dan Owa Kalimantan (Hylobates Muerlleri) tersaji pada Gambar 9.

Kerapatan semai yang ada tergantung pada produksi biji oleh pohon plus pada musim buah. Kerapatan semai di pengaruhi oleh alih tumbuh (ingrowth), tambah tumbuh (upgrowath) dan kematian (mortality). Kerapatan semai akan berkurang yang disebabkan oleh mati karena alami maupun mati karena akibat kegiatan penebangan. Semai (anakan) akan bertahan dan menjadi tingkat pancang, demikian seterusnya tingkat pancang ke tingkat tiang, tingkat tiang ke kelas diameter pohon. Ingrowth dan upgrowth akan memberikan masukan materi dalam hal ini adalah individu tegakan/vegetasi dalam suatu kelas diameter, sedangkan mortalitas menyebabkan berkurangnya jumlah tegakan/vegetasi (flow material) dalam suatu kelas diameter, masuk dan keluarnya material dari suatu kelas diameter menyebabkan terjadinya dinamika tegakan, Aswandi, Purnomo dan Wijayanto (2006).

Model sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam : vegetasi dari tingkat permudaan semai, permudaan pancang, permudaan tiang dan kelas diameter pohon kemudian di tebang sesuai dengan ketentuan yaitu 40 cm ke atas yang dihubungkan dengan sensitivitasnya terhadap erosi dan kepada populasi Owa Kalimantan (Hylobates Muerleri) yang dipengaruhi oleh adanya aktifitas kegiatan penebangan dan lingkungan dari aktifitas pengelolaan hutan. Selanjutnya dari peubah-peubah penyusun model dinamika tegakan dicari hubungan antar peubah. Hubungan yang terjadi dapat positif dan dapat pula negatif. Hal ini tergantung dari jumlah anakan semai, pancang, tiang dan pohon serta jumlah yang ditebang per hektar. Selanjutnya vegetasi dalam suatu kelas diameter direpresentasikan dengan adanya aliran material (flow material) mortality dengan dua auxilary yaitu kematian alami dan kematian akibat kegiatan penebangan.

Mortality adalah laju kematian dari vegetasi/pohon-pohon dalam tegakan, yang umumnya dinyatakan dengan persen tumbuh per tahun. Menurut Vanclay (1994), bahwa faktor penyebab kematian pohon adalah kematian reguler dan kematian catastropic. Kematian reguler dapat dilihat dari sebab-sebab yang dapat diduga, seperti kerapatan tegakan, ukuran pohon, dampak penebangan, dan sebagainya; sedangkan kematian catastropic pada umumnya berhubungan dengan kejadian yang tidak pasti dan jarang terjadi, seperti kebakaran hutan, pencurian/penjarahan, serangan hama atau penyakit dan lain sebagainya.

(20)

Mortality yang diamati dalam penelitian ini adalah kematian reguler seperti mati karena dampak/efek dari kegiatan penebangan pohon dan aktivitas dari intervensi oleh PT. Sari Bumi Kusuma yang didasarkan pada hasil analisis kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan hasil penelitian Elias (1997) serta Idris dan Suhartama (1996).

Peluang mortality secara teoritis berhubungan dengan kerapatan populasi/tegakan dan diameter pohon (Buongiorno et al., 1995). Biasanya kerapatan tegakan dan diameter pohon berpengaruh positif terhadap mortality. Seperti halnya persamaan upgrowth, persamaan mortality dipilih dari berbagai bentuk persamaan yang telah dicoba terhadap data penelitian ini berdasarkan hubungan pengaruh antara peubah penduga dengan peubah responnya dan besarnya nilai R2. Hasil penelitian ini menunjukkan, variasi yang tinggi dan tidak ditemukan suatu regresi yang signifikan dengan kerapatan tegakan. Hal ini terjadi karena mortality yang terjadi bukan hanya kematian alami tetapi juga kematian yang diakibatkan oleh pengaruh penebangan. Hubungan peluang mortality dengan diameter juga tidak nyata dalam penelitian hutan campuran (Fafrichon, 1998).

Kematian akibat penebangan meningkat sesaat setelah penebangan dan menurun pada tahun-tahun berikutnya akibat adanya pertumbuhan alami dan perlakukan penanaman oleh IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Kematian alami dipengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan dimana kematian alami terjadi karena semakin rapatnya luas bidang dasar tegakan. Hal yang sama akan terjadi juga pada tingkat pancang, tingkat tiang sampai kelas diameter pohon, dimana akan dipengaruhi oleh kematian alami dan kematian akibat kegiatan penebangan. Dampak akibat aktivitas kegiatan penebangan pohon akan mempengaruhi tingkat sensitiv (nilai sensitivnya) terhadap erosi dan sensitivnya terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri).

5.10.2. Deskripsi Diagram Alir (Flow Diagram) Sensitivitas Indikator

Deskripsi diagram alir (stock flow diagram) menggambarkan hubungan antara variabel-variabel yang saling mempengaruhi. Variabel-variabel pada diagram alir terdiri dari level (nilai berubah pada saat simulasi yang dipengauhi oleh nilai input dan output) dan level adalah mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian (Siswosudarmo et al., 2001). Auxillary (nilai berdasarkan ekspresi matematik yang telah ditetapkan sebelumnya). Konstanta merupakan nilai tertentu yang diperoleh dari hasil perhitungan. Untuk kebutuhan model dalam simulasi scenario konstanta dapat dilakukan perubahan

(21)

sesuai dengan nilai senstivnya dan kebutuhan dalam model. Diagram alir model sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, tersaji pada Gambar 9.

(22)

Semai Pancang Tiang Pohon Peghasilan PT. SBK Volume Log Laju Pertumbuhan Laju Kematian + + + + + + -- - -+ + + + Fraksi Pertumbuhan + Fraksi Kematian -Produksi Biji + + Laju Penebangan Fraksi Penebangan + -Laju Penebangan Liar Fraksi Penebangan Liar -+ Laju Erosi Populasi Owa Seleksi Log + Fraksi Seleksi Log + -+ + + Nilai S Nilai CP Nilai L Nilai K Nilai R + + + + + Fraksi Kematian Owa -Harga Log Biaya Produksi + + Laju Penambahan Vol Log + Pendapatan PT. SBK + + +

Jumlah Pohon Minimal

Gambar 9. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Sensivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Llingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabutapen Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah

(23)

Laju_Kematian_Semai Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi Seleksi_Log Fraksi_Kematian_PancangFraksi_Kematian_Tiang Laju_Penambahan_Vol_Log Fraksi_Volume_Log Volume_Log Fraksi_Seleksi_Log Laju_Pertumbuhan_Pancang Harga_Log_per_m3 Laju_Penebangan_Liar Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan Fraksi_Pertumbuhan_Pancang Fraksi_Pertumbuhan_Tiang Biaya_Produksi_per_m3 Laju_Pertumbuhan_Tiang Constant_28 Laju_Pertumbuhan_Anakan Angka_Persemaian_Alami Laju_Pendapatan Pendapatan_PT_SBK_ Nilai_R Nilai_K Nilai_L Nilai_S Fraksi_Kematian_Semai Fraksi_Pertumbuhan_Semai Laju_Pertumbuhan_Semai Laju_Kematian_Tiang Laju_Kematian_Pancang Produksi_Biji_per_Pohon Total_Biji_tiap_RKT

Erosi_Tanah

Jumlah_Vegetasi_per_RKT Luas_RKT Semai Pancang Tiang

POHON

Laju_Penebangan_Pohon Fraksi_Penebangan_Liar Faktor_Jumlah_Pohon_RKT Jumlah_Pohon_RKT Jmlh_Pohon_Min

Populasi_Owa

kematian_primata Faktor_Erosi_akibat_Pengelolaan_Vegatasi Faktor_Vegetasi Penghasilan_PT_SBK Fraksi_Penebangan_Pohon

Gambar 10. Diagram Stock Flow Sensivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Llingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabutapen Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah

(24)

Gambar 10. dapat dideskripsikan bahwa kerapatan permudaan tingkat semai dalam satu hektar tergantung dari jumlah produksi biji yang tumbuh secara alami dan perlakuan penanaman (Enrichment Planting) oleh IUPPHK PT. Sari Bumi Kusuma. Jumlah anakan yang mengalami pertumbuhan menjadi permudaan tingkat semai akan dipengaruhi oleh jumlah anakan yang tumbuh berkecambah dan jumlah anakan dari perlakuan penanaman oleh PT. Sari Bumi Kusuma. Kerapatan permudaan tingkat semai dalam satu hektar akan berkurang karena adanya proses pertumbuhan dari tingkat semai menjadi permudaan tingkat pancang dan akibat kematian (mortality) baik karena mati alami maupun akibat aktifitas penebangan kayu.

Kerapatan permudaan tingkat pancang dipengaruhi oleh jumlah permudaan tingkat semai yang masuk dan jumlah permudaan tingkat pancang yang keluar. Jumlah permudaan tingkat pancang yang masuk merupakan proses pertumbuhan permudaan tingkat semai dalam waktu tertentu dan akan menjadi permudaan tingkat pancang. Sedangkan kerapatan permudaan tingkat pancang berkurang karena terjadi pertumbuhan permudaan tingkat tiang serta kematian baik mati alami maupun mati yang disebabkan oleh aktifitas kegiatan penebangan kayu.

Kerapatan permudaan tingkat tiang per hektar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertambahan jumlah yang masuk/input dari proses pertumbuhan permudaan tingkat pancang menjadi permudaan tingkat tiang, dan faktor pengurangan permudaan tingkat tiang disebabkan karena kematian permudaan tingkat tiang baik secara alami maupun mati akibat aktifitas kegiatan penebangan.

Kerapatan kelas diameter pohon dipengaruhi oleh masuk/pertambahan dari pertmbuhan permudaan tingkat tiang dan terjadi pengurangan. Pertambahan/masuk merupakan input dari proses pertumbuhan permudaan tingkat tiang menjadi kelas diameter pohon. Sedangkan pengurangan kelas diameter pohon disebabkan oleh kematian yaitu kematian alami maupun mati karena adanya kegiatan penebangan.

Berdasarkan Gambar 10, dapat dibuat simulasi untuk mengetahui interaksi dari masing-masing peubah yang satu dengan yang lainnya. Simulasi dimaksudkan untuk melihat sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam ramah lingkungan. Uji sensitivitas indikator untuk mengamati hasil dan dampaknya pada keseluruhan kinerja variabel indikator dalam sistem. Perubahan sifat dampak bersifat dinamis yang dinyatakan dalam prosentase fungsi waktu dan pola kecenderungan hasil serta dampak intervensi yang bersifat non-linier, hal ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata.

(25)

6.11. Pengujian Model

Pengujian model bertujuan untuk mengetahui keterhandalan model dalam mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan kenyataan di lapangan. Setelah setiap model diamati, dan apakah ada relasi-relasi yang logis atau tidak. Selanjutnya dilakukan pengamatan logis/tidaknya keterkaitan antar bagian sebagai model yang utuh. Logis dalam hal ini berarti bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada.

Tahapan kedua dari evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model. Selanjutnya pengamatan hasil model, apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan.

6.12. Kewajaran Model

Tegakan atau vegetasi di hutan alam seperti pada hutan primer, pada keadaan sebenarnya mengalami pertumbuhan secara alami mulai dari permudaan tingkat semai, tingkat permudaan pancang, tingkat permudaan tiang dan sampai mencapai kelas diameter pohon serta terjadi pembuahan untuk memproduksi/menghasilkan biji dan tumbuh menjadi semai. Tegakan atau vegetasi pada hutan alam tanpa adanya gangguan dari dampak kegiatan penebangan akan megalami daur secara alami dan mati secara alami pula. Kematian ini disebabkan adanya proses pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya persaingan secara alami untuk memperoleh unsur hara, sinar matahari, persaingan kerapatan antar satu dengan vegetasi lain (ruang bidang dasar tegakan semakin besar) yang merupakan pembatas proses pertumbuhan. Odum (1971) dan Ewuise (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang membentuk ekosistem hutan sampai mencapai klimaks yaitu :

- Adanya kesempatan untuk berkoloni misalnya benih atau buah, hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam pembetukan komunitas hutan alam pada waktu tertentu.

- Lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses perkecambahan untuk membentuk semai dan dapat pula tidak baik untuk proses perkecambahan untuk menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Lingkungan berpengaruh dalam seleksi pembentukan komunitas hutan alam.

- Terjadinya perubahan/modifikasi lingkungan oleh vegetasi hutan itu sendiri, hubungan yang saling berinteraksi diantara ekosisten hutan alam.

(26)

Hutan primer merupakan hutan yang belum pernah mendapatkan gangguan manusia, atau telah mendapatkan sedikit gangguan untuk keperluan berburu, berkumpul, dan penebangan pohon secara individual, bukan tegakan, untuk mengambil buah atau kemenyan yang dampak kerusakannya tidak cukup berarti, sehingga hutan tersebut, secara alami, mampu kembali kepada keadaan semula dalam hal struktur, fungsi dan dinamikanya (Bruenig, 1996). Pada hutan primer selain kondisi vegetasi yang tersusun dengan baik seperti yang tersaji pada Tabel 7, kondisi dampak yang terjadi terhadap erosi berbeda dengan hutan bekas tebangan seperti pada Tabel 8, begitu pula dengan keadaan satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) khusunya Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada hutan primer terjadi perbedaan dengan hutan bekas tebangan, hal ini disebabkan karena pada hutan sekunder telah terjadi intervensi oleh manusia yaitu adanya aktifitas kegiatan penebangan (pembukaan wilayah hutan, penebangan kayu, pengangkutan hasil hutan, penyiapan penanaman, pembuatan jalan sarad dan penyaradan kayu, dan pengangkutan kayu lewat jalan angkutan) akan menyebabkan erosi terutama yang terjadi di jalan sarad dan jalan angkutan. Dengan adanya aktifitas kegiatan penebangan akan menimbulkan suara yang mengganggu aktifitas Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) baik dari mesin pemotong chainsow, buldozer, alat angkutan log maupun suara manusia. Selain itu juga tegakan sebagai tempat tidur dan tempat mencari pakan akan berkurang (Nijman 2001, McConkey 2002 dan Stork et al.,1997) menyatakan pada hutan bekas tebangan akan terjadi fragmentasi hutan yang akan menyebabkan terbatasnya habitat sebagai tempat bagi aktiftas primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Fenomena atau tren yang terjadi pada plot contoh RKT tahun 2007 dengan adanya aktifitas kegiatan penebangan pohon akan memberikan tren dampak atau fenomena seperti yang tersaji pada Gambar 11.

(27)

Tahun POHON 2,050 2,100 2,150 700,000 800,000 900,000 1,000,000 Tahun Erosi_Tanah 2,050 2,100 2,150 0 50 100 150 Tahun Populasi_Owa 2,050 2,100 2,150 150 200 250 300 350 400 Tahun Tiang 2,050 2,100 2,150 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 Tahun Semai 2,050 2,100 2,150 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000 16,000,000 Tahun Pancang 2,050 2,100 2,150 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000

Gambar 11. Proyeksi Tren Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian Akibat Aktifitas Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dan (d) Erosi Tanah Akibat Kegiatan Penebangan

a b

c d

(28)

Gambar 11. menunjukkan vegetasi di plot contoh penellitian yaitu pada petak 8B, 8C, 8Y dan 8Z grafik (d) dinamika permudaan tingkat semai meningkat pada awal tahun yang ditentukan dari jumlah semai yang masuk dan jumlah semai yang keluar dari tingkat permudaan semai. Jumlah semai yang masuk ditentukan oleh jumlah produksi biji setiap tahunnya dan pertumbhan kecambah setelah penebangan. Namun kerapatan semai mengalami penurunan jumlah atau berkurang yang diakibatkan oleh kematian (mortality) alami dan kematian akibat kegiatan penebangan pohon serta pertumbuhan yang mengakibatkan perpindahan dari permudaan tingkat semai ke permudaan tingkat pancang, hasil analisis vegetasi bahwa perpindahan (upgrowth) dari tingkat semai ke tingkat permudaan pancang sebesar 17,23% dari total semai yang terdapat dalam satu hektar. Indris dan Suhartama (1996), menjelaskan bahwa kematian permudaan tingkat semai akibat kegiatan penebangan dengan menggunakan sistem Reduce Impact Logging (RIL) sebesar 5,7%. Ewel dan Conde (1978) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penebangan kayu di hutan tropis basah akan menimbulkan dampak yang salah satunya adalah dampak terhadap jumlah vegetasi meliputi tegakan tinggal.

Grafik (c) tingkat permudaan pancang tidak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi pada permudaan tingkat semai. Kerapatan tingkat pancang mengalami peningkatan pada awal tahun (jumlah pancang saat pengukuran dilakukan) dan mengalami penurunan jumlah akibat kemaitan alami yang diakibatkan oleh pertambahan luas bidang dasar dan kematian akibat kegiatan penebangan pohon. Sama halnya dengan tingkat semai, perpindahan (upgrowth) dari tingkat permudaan pancang ke permudaan tingkat tiang menggunakan proporsi atau prosentase dari permudaan tingkat pancang ke permudaan tingkat tiang yaitu sebesar 17,23% dari jumlah semai per hektar. Hasil analisis vegetasi pada plot contoh penelitian ditemukan jumlah pancang sebanyak 546,34 per hektar dan mengalami pertumbuhan (upgrowth) ke tingkat tang sebesar 8,93%. Kematian akibat kegiatan penebangan sebesar 4,5% (Idris dan Suhartama 1996).

Grafik (b) dinamika kerapatan permudaan tingkat tiang dan dinamika kerapatan pohon dapat berubah yang dipengaruhi oleh jumlah tingkat pancang berpindah melalui proses pertumbuhan ke tiang dan kematian alami maupun akibat kegiatan penebangan sebesar 4,9% (Idris dan suhartama 1996), dan perpindahan dari tingkat tiang ke tingkat pohon (20 – 39 cm). Perpindahan dari tingkat pancang ke tingkat tiang merupakan fungsi dari prorporsi alami (pengaruh luas bidang dasar). Hasil analisis vegetasi jumlah permudaan tingkat tiang sebanyak 204 (89,22%) berpidah menjadi tingkat pohon, namun pada plot contoh hutan bekas tebangan permudaan tingkat tiang sebanyak 48,78 per

(29)

hektar, hal ini disebabkan oleh kematian akibat penebangan, sesuai pernyataan Idris dan Suhartama (1996). Pada tingkat pohon dengan penebangan sebesar 25,75% pohon per hektar dengan tidak diimbangi dengan jumlah pohon yang masuk (ingrowth) dari tingkat tiang ke kelas diameter pohon (20-29 cm dan 30-39) ke kelas diameter 40 cm ke atas maka dinamika yang terjadi adalah penurunan laju penebangan sesuai dengan jangka waktu pengusahaan hutan, hal ini disebabkan karena jumlah standing stock pohon yang ditebang semakin berkurang. Dengan penebangan sebesar 25,75% akan memberikan dampak terhadap laju erosi dan laju kematian primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Letourneau (1979) menjelaskan bahwa kegaitan pemanenan hasil hutan merupakan kunci yang memegang peranan penting dalam mata rantai kegiatan pendayagunaan sumberdaya hutan, tetapi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia justru kegiatan ini yang terlemah sehigga memberikan dampak ekologis seperti erosi dan kematian satwa. Dalam kegiatan penebangan kayu atau pemanenan hasil hutan tropika basah akan ditemukan dampak terhadap beberapa bidang (Ewel dan Conde 1978), yaitu :

- Tanah tererosi dan unsur hara akan berkurang, meliputi aspek fisik dan kimia tanah serta jasad renik

- Sumber air,mencakup kuantitas dan kualitas akan menurun

- Vegetasi, meliputi tegakan tinggal dan plasma nutfah akan berkurang baik kemantapan per hektar maupun keragamannya

- Satwaliar, mencakup perubahan habitat dan kesinambungan hidupnya.

Secara keseluruhan dari dinamika yang terjadi sekarang (existing condition) sebelum dilakukan semiulasi untuk pengujian model melalui pengembangan skenario untuk melakukan analisis sintesis dari ke lima skenario dengan penambahan dan pengurangan laju pertumbuhan atau laju kematian, penambahan dan pengurangan laju penebangan serta perubahan laju erosi akibat perubahan nilai erosivitas, erodibilitas, panjang lereng dan kemiringan lereng serta vegetasi dan pengelolaan tanaman di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma bahwa dengan penebangan sebesar 25,75% akan memberikan dampak terhadap kerapatan permudaan tingkat semai, permudaan tingkat pancang, permudaan tingkat tiang dan keberadaan pohon. Berdasarkan Gambar 11, menunjukkan bahwa laju erosi dan laju kematian satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) semakin bertambah pada daur tebangan ke dua dan daur tebangan ke tiga, seiring dengan bertambahnya prosentasi penebangan pohon dan begitu juga sebaliknya, semakin tinggi prosentasi jumlah penebangan pohon maka akan memberikan dampak laju erosi dan laju kematian primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) semakin tinggi pula, hal ini disebabkan oleh ruang terbuka yang bertambah

(30)

akibat jumlah pohon yang ditembang bertambah pula sedangka pada laju kematian primata akan bertambah pula akibat penebangan yang menimbulkan fragmentasi habitat primata. Dinamika jumlah vegetasi dalam satu RKT akan memberikan dampak ekologis (keberadaan vegetasi laju erosi dan laju kematian satwa primata).

6.13. Penggunaan Model

Penggunaan model dimaksudkan untuk membuat skenario-skenario ke depan atau alternatif kebijakan kemudian melakukan evaluasi terhadap ragam skenario atau kebijakan tersebut dalam pengembangan perencanaan pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan. Model yang telah dibentuk digunakan untuk menccapai tujuan pembentukannya. Perlakuan pertama adalah membuat daftar panjang untuk semua skenario yang mungkin dapat dibuat dari model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut dieksekusi, kemudian hasil eksekusi tersebut dicoba untuk dipahami. Hasil eksekusi tersebut kemudian dibuat daftar pendek yang memenuhi tujuan pemodelan. Dari daftar pendek tersebut dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan, seperti makna yang lebih rinci dari skenario–seknario tersebut dan bagaimana hubungannya dengan komponen-komponen yang diubah-ubah untuk memenuhi skenario tersebut.

5.14. Asumsi-Asumsi Dalam Penelitian

- Penelitian dilakukan pada areal Rencana Karya Tahunan tahun 2007 seluas + 5.237 hektar.

- Jumlah vegetasi (Semai, Pancang,Tiang dan Pohon) dalam penelitian berturut-turut sebanyak Semai 3170,73 per hektar, 546.34 per hektar, 48.78 per hektar dan 142.07 per hektar.

- Jumlah pohon ang ditebang sebanyak 25,27% per hektar dari total jumlah pohon. - Fakor kelerengan dianggap sama yaitu 15%..

- Faktor penebangan pohon mempengaruhi jumlah tanah tererosi selain faktor lereng, erosivitas, erodibilitas maupun faktor tanaman.

- Faktor unsur hara tidak mempengaruhi pertumbuhan.

- Ruang gerak Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) terbatas oleh adanya fragmentasi habitat (terjadi fragmentasi vegetasi/pohon).

- Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dipengaruhi oleh faktor penebangan dan jumlah pohon.

- Fertilitas Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) untuk berkembangbiak adalah konstan.

(31)

- Faktor migrasi dan emigrasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tidak mempengaruhi model dalam penelitian ini.

5.15. Simulasi Uji Sensitivitas Penebangan Kayu Terhadap Performance Tegakan, Laju Erosi dan laju kematian Satwa Primata Owa Kalimantan

(Hylobates muelleri)

Simulasi dimaksudkan untuk mengetahui respon jumlah tegakan per hektar mulai dari tingkat permudaan semai, tingkat pancang, tingka tiang sampai kelas diameter pohon yang diakibatkan oleh aktifitas kegiatan penebangan dan dampaknya terhadap keberadaan vegetasi per hektar, erosi yang ditimbulkan akibat kegiatan penebangan serta dampaknya terhadap keberadaan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri).

Hasil analisis uji sensitivitas terhadap model yang telah dibangun diperoleh beberapa variabel yang sensitif terhadap adanya intervensi yaitu pada penambahan atau pengurangan laju penebangan, penambahan atau pengurangan laju pertumbuhan semai serta penambahan atau pengurangan penebangan liar. Hasil intervensi tersebut akan memberikan dampak ekologis terhadap jumlah vegetasi pada masing-masing tingkatan (semai, pancang, tiang dan pohon), laju erosi dan laju kematian satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) serta dampak terhadap penghasilan yang berakhir pada dinamika pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma dalam satu RKT pada daur berikutnya.

Dalam pengembangan skenario akan dilakukan simulasi intervensi pada konstanta yang memungkinkan terjadinya perubahan atau fenomena terhadap keadaan ekologis terutama dampak terhadap keberadaan tegakan tinggal, dampak terhadap laju erosi dan dampak terhadap laju kematian satwa Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) serta dampaknya terhadap penghasilan per tahun yang telah dikurangi dengan biaya produksi sehingga menunjukkan/menggambarkan pendapatan ekonomi kepada IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Pada Tabel 12, akan dilakukan lima skenario pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan dengan beberapa intervensi pada variabel konstanta dengan penambahan atau pengurangan pada laju pertumbuhan dan laju kematian pada tingkat semai, penambahan pada laju penebangan da pengurangan pada laju penebangan serta penambahan atau pengurangan pada laju erosi dari nilai kondisi sebelum dilakukan scenario (existing condition).

(32)

Tabel 12. Skenario Laju Penebangan Pohon, Laju Penambahan Pertumbuhan dan Laju Kematian dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan

Skenario Laju Pertumbuhan Semai (%)

Laju Kematian

Semai (%) Laju Erosi

Laju Penebangan (%) Existing condition 4,53 95,47 Nilai R = 368,854 Nilai K = 0,304 Nilai L = 94,77 Nilai S = 15 25,27 1 6,53 93,47 Nilai R = 378 Nilai K = 0.278 Nilai L = 70 Nilai S = 17 27 2 5,53 94.47 Nilai R = 368 Nilai K = 0.278 Nilai L = 15 Nilai S = 16 20 3 4,53 95,47 Nilai R = 368,854 Nilai K = 0.278 Nilai L = 75 Nilai S = 10 15 4 7 93 Nilai R = 378 Nilai K = 0.278 Nilai L = 100 Nilai S = 8 12 5 5,6 94,4 Nilai R = 360 Nilai K = 0,278 Nilai L = 120 Nilai S = 12 15

Tabel 12 menujukkan bahwa dengan adanya intervensi pada variabel konstanta dengan penambahan laju pertumbuhan dan pengurangan laju kematian serta penambahan atau pengurangan laju penebangan pohon akan memberikan dampak terhadap besarnya kerusakan lingkungan. Pada skenario 1, dengan adanya penambahan laju pertumbuhan pada tingkat semai yang semula 4,53% dinaikan menjadi 6,53%, pengurangan laju kematian yang semula 95,47% menjadi 93,47%, laju penebangan pohon sebesar 27% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai Nilai R = 378; Nilai K = 0.278; Nilai L = 70; Nilai S = 17, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Seknario 2, penambahan laju pertumbuhan pada tingkat semai yang semula 4,53% dinaikan menjadi 5,53% dan pengurangan laju kematian yang semula 94,47% menjadi 92,47% dengan laju penebangan pohon sebesar 20% serta penambahan laju erosi dengan

(33)

perubahan Nilai Nilai R = 368; Nilai K = 0.278; Nilai L = 15; Nilai S = 16, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Skenario 3, pada skenario tiga laju pertumbuhan pada tingkat semai tetap pada nilai semula yaitu 4,53% dengan laju penebangan pohon sebesar 15% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai R = 368,854; Nilai K = 0.278; Nilai L = 75; Nilai S = 10, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Skenarion 4, adanya penambahan laju pertumbuhan pada tingkat semai yang semula 4,53% dinaikkan menjadi 7% dengan laju penebangan pohon sebesar 12% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai Nilai R = 378; Nilai K = 0.278; Nilai L = 100; Nilai S = 8, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Skenario 5, laju pertumbuhan pada tingkat semai tetap yang sela pada nilai sebesar 4,53% dinaikkan menjadi 5,6% dan laju kematian sebesar 94,47% dengan laju penebangan pohon sebesar 15% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai R = 360; Nilai K = 0,278; Nilai L = 120; Nilai S = 12, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik.

5.14.1. Skenario 1. Intervensi pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (Tingkat Semai) dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 27% Kaitannya Terhadap Dampak Erosi Tanah dan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)

Skenario 1 (Gambar 12) dilakukan intervensi yang menyebabkan perubahan nilai fraksi pertumbuhan dan kematian semai. Nilai fraksi pertumbuhan semai yang semula (existing condition) sebesar 4,53% menjadi 6,53% dan kamtian semai yang semula sebesar 95,47% diturunkan menjadi 93,47%, ternyata menyebabkan adanya peningkatan pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon sehingga menyebabkan peningkatan jumlah pohon masing-masing strata tiap daur (satu daur = 25 tahun) selama 50 tahun dari kondisi eksisting berturut-turut sebesar 14,92% (daur I) dan 24,93% (Daur

Gambar

Tabel 6.  Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’) Plot Contoh Hutan Primer Petak  OO.55 dan Hutan Sekunder Petak 8 B, C,Y dan Z(TPTJ) dan Petak 9P dan  9T (TPTI) RKT 2007 IUPHHK PT
Tabel 8.  Jenis-Jenis pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Kalimantan (Hylobates  muelleri)  di Plot Penelitian
Tabel 10. Laju Erosi Berdasarkan Kegiatan Eksploitasi dan perlakukan di Lokasi  Penelitian IUPHHK PT
Gambar 9. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Sensivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Llingkungan  IUPHHK   PT
+7

Referensi

Dokumen terkait

leap forward (kemajuan luar biasa) di sektor jasa. Salah satu jasa yang semakin dibutuhkan masyarakat dewasa ini ialah jasa asuransi. Kebutuhan akan jasa

Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa total biaya yang dikeluarkan baik berupa biaya tetap maupun biaya variabel rata-rata per responden adalah sebesar Rp. Sedangkan

Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia masih relatif baru, dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya. Hak atas merek dagang, paten, desain dan model juga belum lama

Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memperoleh solusi optimal dari masalah IP digunakan software Lingo 8.0 yaitu sebuah program yang didesain untuk menentukan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan menguji pengaruh harga, kualitas layanan dan promosi terhadap kepuasan pelanggan Grab Bike di

Untuk menguraikan tanggapan al-Razi atas teori Ibnu Sina di atas, di sini penulis ingin membaginya ke dalam beberapa bagian: 1) emanasi merupakan konsekuensi logis dari

para pihak (pemohon dan termohon pailit). Hasil dari pembuktian tersebut yang akan mendasari putusan hakim untuk menolak atau menerima permohonan pailit. Sebelum

Meninjau dari hal tersebut, penelitian kali ini menawarkan cara pengelompokan dokumen dengan diawal proses diasumsikan bahwa dokumen-dokumen yang mempunyai tingkat kemiripan