• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUASAAN TANAH NEGARA OLEH MASYARAKAT SEKITAR BANTARAN SUNGAI ACEH (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUASAAN TANAH NEGARA OLEH MASYARAKAT SEKITAR BANTARAN SUNGAI ACEH (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sains Cut Nyak Dhien

PENGUASAAN TANAH NEGARA OLEH MASYARAKAT SEKITAR

BANTARAN SUNGAI ACEH

(Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)

Irwandi

STIS PTI. AL – Hilal Sigli Email: wandi_asel87@yahoo.com

Abstrak: Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tanah sebagai salah satu kebutuhan dalam penyelenggaraan hidup manusia memiliki peranan yang sangat vital. Masyarakat Indonesia yang bercorak hidup agraris menggantungkan hidup sepenuhnya pada tanah. Tanah sebagai objek utama yang harus dimiliki dalam penyelenggaraan kehidupan agraria baik yang berbentuk pengadaan lahan pertanian maupun perkebunan. Tanah juga menjadi landasan tolak ukur kesejahteraan dan kemapanaan bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pedesaan. Tanah bantaran adalah tanah yang timbul di pinggiran atau di tengah sungai, danau atau laut akibat endapan lumpur, pasir yang di bawa oleh air, berlangsung terus-menerus. Tanah bantaran adalah tanah yang timbul secara alamiah yang disebabkan oleh endapan lumpur atau pasir yang di bawah oleh air, yang berlangsung secara terus-menerus dan biasanya di percepat oleh bantuan tangan manusia dan lingkungan. Penguasaan tanah negara di bantaran sungai aceh tidak dibenarkan secara hukum baik dalam pembangunan rumah atau pemanfaatan yang lainnya.karena akan mengakibatkan permasalahan yang berkelanjutan.seperti pengkamplingan harta warisan dari anak cucu.Tanah Negara dilarang Masuk dan Memanfaatkannya” secara jelas ini melawan hukum sebagaimana dalam Pasal 167 (1) KUHP dihukum 8 Bulan Penjara dan Pasal 389 KUHP dihukum 2 Tahun 8 Bulan Penjara dan Pasal 561 KUHP dihukum denda. Bagi yang sudah menguasai tanah Negara di sekitar bantaran sungai Aceh tanpa izin resiko tanggung jawab sendiri, dalam arti di saat Negara membutuhkan maka konsekuensinya siap untuk memindahkan sendiri atau akan perusakan paksa oleh Negara.

Kata Kunci: Penguasaan, Tanah Negara, Bantaran Sungai Aceh.

Pendahuluan

Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia karena setiap manusia membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha. Oleh karena itu tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang mempunyai peran bagi keperluan pembangunan bangsa Indonesia dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.1 sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa “Bumi

1

Maria S.W. Sumarjono. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi. (Jakarta: Buku Kompas, 2006), 51.

(2)

2 dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Realisasi dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dituangkan dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi disebut juga dengan tanah menurut UUPA. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.2

Dalam Pasal 2 UUPA dijelaskan bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia yang mempunyai hak menguasai atas bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hak menguasai tersebut memberi wewenang untuk mengatur bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk memelihara tanah. Hal tersebut seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 14 dan 15 UUPA.

Ketentuan Pasal 2 tersebut di atas merupakan negara dalam pengertian sebagai suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat untuk mengatur masalah agraria (pertanahan). Kedudukan negara sebagai penguasa (Hak menguasai dari negara) tersebut tidak lain adalah bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur. Dalam kerangka tersebut negara diberi kewenangan untuk mengatur mulai dari perencanaan, penggunaan, menentukan hak-hak yang dapat diberikan kepada seseorang, serta mengatur hubungan hukum antara orang-orang serta perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah.3

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA menentukan bahwa “atas dasar hak menguasai dari Negara maka ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang- orang lain serta

2 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2009), 73. 3

(3)

3 badan hukum”. Hak-hak atas tanah yang dimaksud tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 16 UUPA, macam-macam hak-hak atas tanah adalah

a. hak milik b. hak guna usaha c. hak guna bangunan d. hak pakai

e. hak sewa

f. hak membuka tanah g. hak membuka tanah

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang- undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria memberi tugas kepada Pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dengan memberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak. Pemberian sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah belum tentu memberikan perlindungan hukum bila terkait dengan kepemilikan hak atas tanah di sempadan sungai.

Tanah sebagai salah satu kebutuhan dalam penyelenggaraan hidup manusia memiliki peranan yang sangat vital. Masyarakat Indonesia yang bercorak hidup agraris menggantungkan hidup sepenuhnya pada tanah. Tanah sebagai objek utama yang harus dimiliki dalam penyelenggaraan kehidupan agraria baik yang berbentuk pengadaan lahan pertanian maupun perkebunan. Tanah juga menjadi landasan tolak ukur kesejahteraan dan kemapanaan bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pedesaan. Dalam lingkup daerah perkotaan tanah memiliki peranan utama sebagai lahan perkantoran dan pemukiman. Oleh karena itu tanah tidak bisa lepas dari kehidupan manusia karena dari semua kebutuhan manusia, tanah menjadi kebutuhan pokok yang mendasar dan menjadi tempat bagi manusia menjalani kehidupannya serta memperoleh sumber untuk melanjutkan hidupnya.4

4

Mariot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Teori dan Praktek), (Jakarta: Rajawali Press, 2005), 1.

(4)

4 Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Sebagai capital asset tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi (alat pemerasan). Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimamfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat secara lahir, bathin, adil dan merata, sedangkan di sisi lain juga harus dijaga kelestariaannya.5

Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai ketentuan yang tidak terpisahkan (kedwitunggalan) bahwa pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungan tidak bersifat individualistic semata tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perorangan.6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA pada pasal 19 ayat (1) dikemukakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada intinya secara spesifik pemerintah mengatur pemberian hak milik atas tanah melalui prosedur pendaftaran tanah yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA supaya tidak menimbulkan kepemilikan ganda ataupun meminimalisir kepemilikan yang tidak jelas yang berdampak menimbulkan sengketa tanah karena tidak adanya bukti authentik yang menjadi alas hak yang sah dan kuat. Mendaftarkan tanah menjadikan kepemilikan dan penguasaan tanah menjadi teratur dan tertata dengan baik, sehingga berdampak positif juga terhadap pemerintah baik dari pemungutan Pajak Bumi Bangunan, pemberian ganti rugi terhadap pengambilan tanah untuk fungsi sosial maupun pendataan kepemilikan tanah.

5

Achmad Rubaie, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia, 2007), 1.

6 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2001), 158.

(5)

5 Hukum Tanah Nasional adalah hukum yang mengatur tentang sumber daya alam tanah, yang bersumber utama pada hukum adat dan ketentuan-ketentuan dasarnya ada dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Hukum Tanah Nasional selama 40 tahun keberadaannya membuktikan diri mampu memberikan dukungan pada kegiatan pembangunan di segala bidang yang memerlukan penguasaan dan penggunaan tanah.7

Jadi dalam hal ini orang yang mempunyai hak milik dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri, asal saja tidak melanggar Hukum Adat setempat dan tidak melampaui bata-batas yang didadakan oleh pemerintah. 8Dalam rancangan UUPA, Panitia Negara Agraria yang dibentuk dengan keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1958 nomor 97/1958 diputuskan khususnya mengenai hak milik ini diatur dalam pasal 12 sebagai berikut : Hak Milik adalah hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh yang memberi wewenang kepada yang mempunyainya untuk dalam batas-batas yang didasarkan atas ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya sertia hukum yang tidak tertulis mempergunakan tanah itu menurut kehendaknya serta memungut hasilnya, asal saja tidak melanggar hak-hak orang lain.9

Dengan adanya ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang yang memberikan kewenangan bagi masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya tidak semata-mata hanya memberikan jaminan dan kepastian hukum. Pendaftaran tanah yang dikonversi dalam bentuk sertifikat sebagai bukti authentik kepemilikan memiliki nilai ekonomis yang besar dalam masyarakat. Sertifikat dapat dikategorikan sebagai surat-surat berharga. Sertifikat sebagai wujud pemberian hak atas tanah. Pemberian hak atas tanahya itu, pemberian hak yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun beberapa orang bersama-sama atau sesuatu badan hukum.10

Secara umum, penguasaan tanah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tanah hak dan tanah negara. Tanah Negara adalah tanah yang telah dikuasai suatu hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (tanah yang belum

7Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Surabaya : Penerbit Djambatan , 1997), 17. 8

Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif , (Jakarta: Kencana, 2012), 47 9

Roestandi Ardiwijaya, dalam Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,, (Bandung:: Alumni, 1991), 40.

10

(6)

6 dihaki dengan hak perorangan), sedang tanah hak adalah tanah yang dipunyai oleh perorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hanya terhadap tanah negara saja yang dapat dimintakan suatu hak untuk kepentingan tertentu dan berdasar proses tertentu.Tanah negara yang dapat dimohon menjadi tanah hak dapat berupa :

1. Tanah negara yang masih kosong atau murni, tanah negara yang dikuasai langsung dan belum dibebani hak suatu apapun.

2. Tanah yang habis jangka waktunya, karena hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai mempunyai masa berlaku yang terbatas, dengan lewatnya jangka waktu berlakunya maka hak atas tanah tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. Bekas pemegang hak dapat memohon perpanjangan jangka waktu itu atau memohon hak yang baru diatas tanah itu.

3. Tanah negara yang berasal dari pelepasan hak oleh pemiliknya secara sukarela, pemegang hak atas tanah dapat melepaskan haknya dan dengan dilepaskannya hak itu maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.11 Hak menguasai dari negara yang berkaitan dengan kemakmuran rakyat telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu :Hak menguasai dari Negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang Untuk:

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

Kemudian untuk pelaksanaan hak menguasai dari Negara diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) yaitu :“Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar

11Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 61.

(7)

7 diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.” Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial.12

Mengenai hak Bangsa Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA. Hak Bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Nasional. Hak ini juga menjadi sumber bagi hak-hak penguasaan atas tanah yang lain. Hak Bangsa Indonesia mengandung 2 (dua) unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan. Unsur kepunyaan berarti subyek atas hak bangsa Indonesia ada pada seluruh rakyat Indonesia dan meliputi seluruh wilayah Indonesia. Unsur tugas kewenangan berarti tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin pengurusan tanah dilaksanakan oleh Negara. 13

Hak menguasai dari negara yang sebutannya diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit termasuk bidang hukum publik, tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia. Maka penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia, sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Subyek Hak Menguasai dari Negara adalah Pemerintah Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.14

Berdasarkan rencana umum tersebut pada Ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masingPeraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam Ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan. Pada dasarnya hukum yang mengatur tentang pemanfaatan sempadan sungai itu jelas, terdapat pada

12

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982,), 22.

13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003), 230.

14

(8)

8 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Akan tetapi dalam kenyataannya selama ini mereka merasa tidak pernah terganggu dengan aturan tersebut. Isu penggusuran terakhir kali mereka dengar sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Mereka merasa bahwa pemerintah memang sengaja membiarkan keberadaan mereka ditempat tersebut.15

Dalam perkembangan globalisasi yang semakin pesat dimana teknologi sudah menjadi kebutuhan primer dalam penyelenggaraan hidup manusia. Manusia menggunakan teknologi dalam segala bidang, baik aspek sosial, politik, pertahanan dan keamanan, budaya maupun penyeleggaraan pemerintahan. Penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan pemerintahan terkhusus pada pnyelenggaraan,pendataan dan pedaftaran tanah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional/(BPN) sudah menjadi prioritas utama demi menunjang keefektifan dan akuratnya penerbitan sertifikat tanah.16

Populasi penduduk Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya membuat ketersediaan lahan pemukiman semakin terbatas. Di daerah perkotaan lahan-lahan produktif yang biasanya menjadi lahan perkebunan dan pertanian di timbun untuk tempat mendirikan perumahan maupun perkantoran, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat perkotaan memasoknya dari daerah pedesaan di karenakan menipisnya lahan produktif di daerah perkotaan. Berdasarkan populasi penduduk semakin meningkat dan kebutuhan akan tanah semakin terbatas, maka diperlukan adanya pengaturan dari Negara. Pengaturan yang dimaksud dalam hal ini meliputi pemilikan, penguasaan, serta pemeliharaannya sehingga tertata secara sistimatis.17

Sempadan sungai merupakan bagian dari sungai. Sungai diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Berdasarkan PP tersebut, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis

15

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008), 4.

16

Hermit, Cara memperoleh sertifikat tanah hak milik, tanah Negara dan tanah Pemerintah Daerah , (Jakarta: Mandar Maju, 2004), 56.

17Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), 3

(9)

9 Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Pasal 4 PerMen No. 28/PRT/M/2015 menentukan bahwa “sempadan sungai meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai diantara garis sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau di antara garis sempadaan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul”. Pasal 1 angka 10 PerMen No. 28/PRT/M/2015 menentukan bahwa “garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai”.

Perlu diketahui fungsi sempadan sungai berdasarkan Pasal 5 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai yaitu “sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu”. Pada dasarnya Sempadan Sungai merupakan kawasan lindung. Aturan mengenai pendirian bangunan di bantaran sungai sebenarnya sudah ada yaitu merujuk pada Pasal 6 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, yang bunyinya: "(1) Garis sempadan sungai bertanggul diteptapkan sebagai berikut:

1. Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.

2. Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul

Tanah bantaran adalah tanah yang timbul di pinggiran atau di tengah sungai, danau atau laut akibat endapan lumpur, pasir yang di bawa oleh air, berlangsung terus-menerus. Tanah bantaran adalah tanah yang timbul secara alamiah yang disebabkan oleh endapan lumpur atau pasir yang di bawah oleh air, yang berlangsung secara terus-menerus dan biasanya di percepat oleh bantuan tangan manusia dan lingkungan.18

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah pada Pasal 12 mengatakan bahwa: “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara” Letak tanah yang dihuni masyarakat tersebut berada di dekat tanggul sungai yang sebenarnya digunakan sebagai penahan banjir. Tanah tersebut

18

(10)

10 sebenarnya adalah tanah negara namun beberapa orang penduduk mendirikan bangunan rumah tembok permanen. Rumah-rumah tersebut didirikan oleh penduduk tanpa izin dan tidak memiliki sertifikat tanah yang resmi. Padahal sertifikat itu sangat penting sekali dan di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 ayat (20) disebutkan: ”Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”. Artinya masyarakat yang mendirikan bangunan rumah tersebut tidak mempunyai bukti kepemilikan hak atas tanah yang kuat dan dilindungi oleh hukum.

Masyarakat di sekitar Sungai Aceh yang menduduki tanah dan mendirikan bangunan di sekitar bantaran sungai adalah tidak sah. Artinya dalam kasus ini pendirian bangunan rumah di bantaran sungai secara yuridis tidak dapat dibenarkan. Bahkan dapat dinyatakan bahwa penduduk yang menempati dan mendirikan bangunan di bantaran sungai tersebut telah melanggar peraturan keagrariaan. Hal ini mengingat tanah bantaran adalah tanah milik pemerintah yang tidak bisa dialih fungsikan hak milikinya kepada pihak lain.

Masyarakat yang mendirikan bangunan dan menempati areal bantaran sungai telah melanggar peraturan, maka pemerintah seharusnya memberi sanksi dengan menindak sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku di Indonesia. Tetapi yang terjadi sebaliknya yaitu Pemerintah Aceh tidak menindak atau memberi sanksi tetapi membiarkan bahkan pada akhirnya ada indikasi memberikan rekomendasi atau memberi ijin pada masyarakat tersebut untuk yang dikuasainya.

Hidup di bantaran sungai, wilayah yang notabene memang dilarang untuk dijadikan permukiman karena tidak selalu memberi nilai positif bagi warga. Bantaran sungai menguntungkan bagi warga yang tidak memiliki lahan untuk mendirikan rumah meski sederhana. Di tengah ketidakmampuan finansial untuk memiliki tempat hunian, bantaran sungai menjadi solusi bagi kelompok warga yang kurang beruntung. Namun, di sisi lain, karena tidak memiliki hak menempati wilayah bantaran sungai, mereka mendapat sanksi sosial, politik dan ekonomi.

Banyak tanah negara yang dijadikan untuk tempat tinggal tanpa mempunyai bukti kepemilikan sah hak atas tanah yang ditempati. Salah satu tanah negara yang diduduki

(11)

11 secara illegal adalah tanah yang berada di bantaran sungai, seperti tanah di bantaran sungai Aceh yang berderet mulai dari Sungai Seulimun, Indrapuri, hingga Alue Naga. Umumnya tanah bantaran sungai tersebut didiami oleh masyarakat golongan ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan yang cukup rendah.

Masyarakat di bantaran sungai terdapat masalah pertanahan yang harus diperhatikan dan diperlukan adanya kebijaksanaan dari pemerintah. Kasus yang terjadi di desa Limpok adalah terdapat beberapa tanah Negara di sekitar bantaran sungai yang belum dikelola. Adapun letak tanah tersebut di dekat tanggul yang sebenarnya digunakan sebagai penahan banjir. Di tanah Negara tersebut beberapa orang penduduk desa Limpok mendirikan bangunan rumah tembok (permanen). Rumah-rumah tersebut didirikan oleh penduduk dengan pengertian bahwa rumah tersebut didirikan tanpa memiliki izin dan tidak memiliki sertifikat tanah yang resmi.

Dalam kasus di atas maka pendirian bangunan rumah ini secara yuridis tidak dapat dibenarkan bahkan boleh dikatakan penduduk Sepanjang Sungai Aceh yang menempati dan mendirikan bangunan di bantaran sungai tersebut telah melanggar peraturan keagrariaan. Karena melanggar peraturan, maka pemerintah seharusnya memberi sanksi dengan menindak sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku di Indonesia. Tetapi yang terjadi sebaliknya yaitu Pemerintah Aceh tidak menindak atau memberi sanksi tetapi membiarkan bahkan pada akhirnya terindikasi memberikan rekomendasi atau memberi ijin pada masyarakat tersebut untuk menguasai.

Kasus yang kedua adalah masyarakat di sekitar Sungai Aceh terdapat tanah yang kosong dan tanah tersebut dikuasai oleh Negara. Adapun letak tanah tersebut di sepanjang Sungai Aceh. Oleh beberapa penduduk tanah tersebut mendirikan kandang ternak serta ditanami dengan tanaman rumput gajah untuk pakan ternak dan beberapa pohon pisang serta tanaman lainnya, mereka merawat tanaman tersebut dan mengambil hasilnya. Lama-kelamaan tanah yang ditanami rumput, pohon pisang dan lain-lain itu akhirnya dikuasai oleh masyarakat yang membuka usaha pengemukan sapi hingga turun menurun.

Namun dengan Maraknya masyarakat membangun rumah, sarana pertanian dan peternakan sapi, di balik adanya papan pengumuman yang terpasang sejak lama oleh

(12)

12 Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya air tentang “ Tanah Negara dilarang Masuk dan Memanfaatkannya” secara jelas ini melawan hukum sebagaimana dalam Pasal 167 (1) KUHP dihukum 8 Bulan Penjara dan Pasal 389 KUHP dihukum 2 Tahun 8 Bulan Penjara dan Pasal 561 KUHP dihukum denda.

Hak Menguasai Negara

Hak Menguasai dari Negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara negara dan tanah Indonesia yang dirinci isi dan tujuannya dalam UUPA No. 5 tahun 1960 Pasal 2 ayat 3 yaitu : Pasal 2 ayat 2 Hak Menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk

a. Mengatur dan menyelenggarakan pertuntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan di dalam UUPA No. 5 tahun 1960 Pasal 2 ayat 3 disebutkan, Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan tersebut merupakan pelimpahan tugas negara yang bersifat melayanni publik. Maka berbeda benar dengan hubungan hukum yang bersifat pemilikan antara negara dan tanah berdasar domein verklaring dalam hukum tanah administratif pada waktu sebelum berlakunya UUPA. Sebagaimana diketahui, berbagai domein verklaring sudah dicabut. Hak menguasai dari negara yang sebutannya diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit termasuk bidang hukum publik, tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia. Maka penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia, sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada negara Republik

(13)

13 Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Subyek Hak Menguasai dari Negara adalah Pemerintah Republik Indonesia,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.

Tanah yang di Kuasai Negara

Hak Menguasai dari Negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah ada hak di atasnya dengan hak-hak perorangan. Tanah-tanah yang dimiliki dengan hak perorangan oleh UUPA disebut tanah-tanah yang kuasai tidak langsung oleh negara. Untuk menyingkat pemakaian kata-kata, dalam praktik Administrasi digunakan sebutan tanah negara. Sudah barang tentu dalam arti yang berbeda benar dengan sebutan “tanah negara” dalam arti “landsdomein” atau “milik negara” dalam rangka

domeinverklaring. Tanah- tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas tanah primer,

disebut tanah- tanah hak dengan nama sebutan haknya, misalnya tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Usaha dan lain-lainnya.

Dengan berkembangnya Hukum Pertanahan Nasional lingkup pengertian tanah-tanah yang didalam UUPA di sebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yang semula disingkat dengan sebutan tanah- tanah negara itu.. mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara, diluar apa yang disebut dengan tanah-tanah hak. Dalam rangka Hak Bangsa dan Hak Menguasai dari Negara, tidak ada tanah yang merupakan “res

nullius”, yang setiap orang dengan leluasa dapat menguasai dan menggunakannya.

Menguasai tanah tanpa ada landasan haknya yang diberikan oleh negara atau tanpa izin pihak yang mempunyainya tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sangsi pidana.

Hak Milik Atas Tanah Dalam UUPA

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial. A.P. Parlindungan (1978:53) di dalam bukunya berbagai aspek pelaksanaan UUPA mengutip pendapat dari C. Von Vollenhoven, bahwa : Menurut C. Von Vollenhoven menerangkan dengan tegas dalam bukunya De Indonesier en Zijn Grond (orang Indonesia dan tanahnya) muka 5 dan seterusnya antara lain, bahwa hak milik

(14)

14 adalah suatu hak eigendom timur (Oorsters Eigendomsrecht), yang walaupun tidak berdasar BW mengandung banyak intin (essentialia) yang sama dengan hak eigendom menurut bukunya perdata barat BW. Hak milik adalah hak untuk menikmati sesuatu kebendaan (tanah) secara terkuat, terpenuh, turun-temurun dan pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh penguasa (negara).

1. Turun temurun Artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia.

2. Terkuat menunjukkan

3. Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan, yang jangka waktunya tertentu.

4. Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak” : Hak Milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang empunyai diberi “tanda bukti hak”. Berarti mudah dipertahankan pihak lain. Istilah “terpenuh” dan “terkuat” itu, tidak berarti tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan orang lain.

5. Di luar batas-batas itu, seorang pemilik mempunyai wewenang yang paling luas, ia paling bebas dalam mempergunakan tanahnya dibandingkan dengan pemegang hak-hak lainnya.

Tanah negara yang dimohon menjadi tanah hak milik betul-betul merupakan tanah Negara bebas. Sungai lamnyong merupakan bukan sungai besar, tetapi merupakan drainase kota banda Aceh dan Aceh Besar sebelah utara. Tanah disekitar sempadan sungai Krueng Aceh adalah tanah negara yang langsung dibawah penguasaan Pemerintah Kota Banda Aceh , di atas tanah tersebut tidak ada satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain Pemerintah Aceh dan pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum. Tanah di sekitar Sungai Aceh yang masuk wilayah Kelurahan Gilingan tadinya merupakan lereng tanggul yang ditanami pisang dan rumput kolonjono (rumput gajah). Jadi wilayah tersebut belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional. Wewenang Pemerintah Aceh berdasarkan Pasal 3, Perment PU No. 63/PRT/1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah

(15)

15 Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, bahwa: "Lingkup pengaturan yang tercantum pada Peraturan Menteri ini terdiri dari a. penetapan garis sempadan sungai termasuk danau dan waduk; b. pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai; c. pemenfaatan lahan pada daerah penguasaan sungai; dan pemanfaatan lahan pada bekas sungai." Sehingga penguasaannya dimiliki oleh Pemerintah Aceh.

Kesimpulan

Penguasaan tanah negara di bantaran sungai aceh tidak dibenarkan secara hukum baik dalam pembangunan rumah atau pemanfaatan yang lainnya.karena akan mengakibatkan permasalahan yang berkelanjutan.seperti pengkamplingan harta warisan dari anak cucu.

Tanah Negara dilarang Masuk dan Memanfaatkannya” secara jelas ini melawan hukum sebagaimana dalam Pasal 167 (1) KUHP dihukum 8 Bulan Penjara dan Pasal 389 KUHP dihukum 2 Tahun 8 Bulan Penjara dan Pasal 561 KUHP dihukum denda.

Bagi yang sudah menguasai tanah Negara di sekitar bantaran sungai Aceh tanpa izin resiko tanggung jawab sendiri, dalam arti di saat Negara membutuhkan maka konsekuensinya siap untuk memindahkan sendiri atau akan perusakan paksa oleh Negara.

(16)

16

Bibliography Books

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta,2002 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Surabaya, 1997, Herawan Sauni, Politik Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Kampus USU, 2006, Hermit,, Cara memperoleh sertifikat tanah hak milik, tanah Negara dan tanah

Pemerintah Daerah , Mandar Maju, Jakarta, 2004.

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008,

Maria S.W. Sumarjono. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi. Buku Kompas, Jakarta 2006.

Mariot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Teori dan Praktek), Rajawali Press, Jakarta, 2005

Roestandi Ardiwijaya, dalam Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas

Tanah,, Alumni, Bandung, 1991.

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2009, Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif , Kencana,Jakarta, 2012,

Referensi

Dokumen terkait

Baik dari proses penghitungan keuangan dalam rumah tangga sampai pengontrolan alat-alat sederhana dan berat dalam perusahaan.Modem merupakan alat komunikasi dua

Data dalam penelitian ini terdiri dari data realisasi PAD, realisasi Total Pendapatan Daerah, realisasi Total Belanja Daerah, target PAD, realisasi

Berdasarkan uji pengaruh pada tabel uji pengaruh yang menggunakan uji Wilcoxon pada kelompok kombinasi Kontraksi Isometrik dengan NMES didapatkan p 0,009

Karena dalam penelitian ini belum dimungkinkan untuk dilakukan penebangan pohon untuk memperoleh serbuk kayu dari bagian kayu teras sejumlah yang dibutuhkan untuk kegiatan

Keterbatasan informasi dan penelitian tentang kebutuhan nutrien pada sapi lokal khususnya sapi Madura maka uraian tersebut menjadi dasar pertimbangan untuk

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih setiaNya, penulis dapat memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan Buku Konsep

Ada beberapa faktor yang dapat menumbuh suburkan kreativitas anak disekolah yaitu SDM, manajemen sekolah, sarana dan prasarana, kondisi fisikm serta tempat dimana sekolah itu

Pengamatan terhadap variabel bobot kering ke- cambah normal menunjukkan adanya pengaruh nyata yang disebabkan oleh varietas dan perlakuan invigorasi benih secara tunggal, namun