ASPEK-ASPEK PERPAJAKAN
ASPEK-ASPEK PERPAJAKAN
DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Oleh Oleh
Ignatius Adisurya Kantus (120620120001) Ignatius Adisurya Kantus (120620120001)
Carry Viayunya (120620120010) Carry Viayunya (120620120010) Asep Nurdin (120620120007) Asep Nurdin (120620120007) Abstrak Abstrak
CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO (crude palm oil) dari Indonesia untuk tahun 2011 migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO (crude palm oil) dari Indonesia untuk tahun 2011 sekitar
sekitar 180 180 trilyun trilyun rupiah. Menurut rupiah. Menurut Kementrian Kementrian Pertanian, Pertanian, pertumbuhan pertumbuhan permintaan permintaan CPOCPO dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. Artinya, ditahun-tahun mendatang bisa jadi ekspor dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. Artinya, ditahun-tahun mendatang bisa jadi ekspor CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas unggulan nasional. Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah, termasuk dari
unggulan nasional. Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah, termasuk dari DJP DJP
sebagai regulator
sebagai regulator dan administrator perpajakan dan administrator perpajakan terhadap fenomena terhadap fenomena ini. Oleh ini. Oleh karena itu, karena itu, dalamdalam ba
bahashasan an inini i kamkami i memencncoba oba memenininjnjau au asaspepek-k-asaspepek k peperprpajajakakan an manmana a sasaja ja yayang ng dadapat pat meningkatkan potensi penerimaan Negara.
meningkatkan potensi penerimaan Negara.
Kata kunci: Pajak, Kelapa Sawit Kata kunci: Pajak, Kelapa Sawit
1
1.. PPeennddaahhuulluuaann
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO
-Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO - crude palm oil crude palm oil ) dan) dan in
inti ti kekelalapa pa sasawiwit t (C(CPK PK -- crucrude de palpalm m kerkernel nel ) ) mermerupakupakan an salsalah ah satsatu u priprimadmadona ona tantanamaamann perkebunan
perkebunan yang yang menjadi menjadi salah salah satu satu komoditi komoditi penting penting dalam dalam mendorong mendorong peningkatanpeningkatan pertumbuhan perekonomian dan sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia.
pertumbuhan perekonomian dan sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Cer
Cerahnyahnya a proprospespek k komkomodioditi ti miminyak nyak kelkelapa apa sawsawit it daldalam am perperdagdagangaangan n miminyanyak k nabnabatiati dunia maka sejak tahun 1970 telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal dunia maka sejak tahun 1970 telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal perkebunan
perkebunan kelapa kelapa sawit. sawit. Pertumbuhan Pertumbuhan areal areal kelapa kelapa sawit sawit pun pun terus terus mengalami mengalami peningkatanpeningkatan dimana pada periode 1980-an luas areal kelapa sawit sebesar 294.000 ha dan pada tahun 2009 dimana pada periode 1980-an luas areal kelapa sawit sebesar 294.000 ha dan pada tahun 2009 mencapai 7,32 juta ha. Di Indonesia, produsen CPO dapat dibedakan atas 3 kelompok yaitu: mencapai 7,32 juta ha. Di Indonesia, produsen CPO dapat dibedakan atas 3 kelompok yaitu: perkebunan
perkebunan besar besar negara negara (PBN) (PBN) dengan dengan luas luas lahan lahan 8,43%, 8,43%, perkebunan perkebunan besar besar swasta swasta (PBS)(PBS) dengan luas lahan 47,81%
dengan luas lahan 47,81% dan perkebunan rakyat (PR) dengan luas dan perkebunan rakyat (PR) dengan luas lahan 43,76%. Dengan luaslahan 43,76%. Dengan luas areal tersebut Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Per
Perkebukebunan nan negnegara ara terterdirdiri i dardari i 10 10 uniunit t perperkebukebunan nan dengdengan an satsatu u KanKantor tor PemPemasaasaranran Bersama. Perkebunan swasta didominasi oleh 10 konglomerat dan tidak mempunyai satu Kantor Bersama. Perkebunan swasta didominasi oleh 10 konglomerat dan tidak mempunyai satu Kantor Pem
Pemasaasaran ran BerBersamsama. a. NamNamun un demdemikiikian, an, mermereka eka semsemua ua terterdafdaftar tar sebsebagaagai i anganggotgota a GabGabungaungann Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Secara umum, luas satu perkebunan negara atau swasta Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Secara umum, luas satu perkebunan negara atau swasta berkisar antara 10
berkisar antara 10.000–25.000 ha .000–25.000 ha dan kebanyakan dan kebanyakan merupakan bagian merupakan bagian dari kelompok dari kelompok perkebunanperkebunan dengan luas berkisar antara 100.000–600.000 ha (Casson 2000). Umumnya, baik perkebunan dengan luas berkisar antara 100.000–600.000 ha (Casson 2000). Umumnya, baik perkebunan negara maupun swasta mempunyai integrasi vertikal, dengan industri hulu dan hilir, mulai dari negara maupun swasta mempunyai integrasi vertikal, dengan industri hulu dan hilir, mulai dari pembibitan
pembibitan sampai sampai pengolahan pengolahan minyak minyak goreng. goreng. Berbeda Berbeda dengan dengan perkebunan perkebunan rakyat, rakyat, yangyang um
umumumnynya a hanhanya ya memempmpunyunyai ai luluas as lalahan han kurkuranang g dardari i 20 20 ha ha dadan n titidadak k mememimililiki ki fafasisililitatass pembibitan
pembibitan atau atau pengolahan. pengolahan. Sehingga Sehingga kelompok kelompok petani petani perkebunan perkebunan rakyat rakyat belum belum dapatdapat dikategorikan sebagai salah satu kelompok
dikategorikan sebagai salah satu kelompok strategis dalam industri kelapa sawit Indonesia.strategis dalam industri kelapa sawit Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera dan Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara Jam
Jambi bi menmenyumyumbang bang miminyanyak k sawsawit it sebsebesaesar r 7,707,70% % dardari i proproduksduksi i nasnasionional al dengdengan an lualuas s lahlahanan mencapai 8,82% dari luas lahan nasional (Efendi, 2009).
mencapai 8,82% dari luas lahan nasional (Efendi, 2009). Sam
Sama a halhalnya nya dengdengan an perperusausahaanhaan-pe-perusrusahaahaan an yanyang g berbergergerak ak daldalam am seksektor tor apaapapun pun didi Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit tentunya memiliki kewajiban perpajakan yang Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit tentunya memiliki kewajiban perpajakan yang harus ditanggung dan dilunasi, baik pajak itu yang berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh harus ditanggung dan dilunasi, baik pajak itu yang berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh perusahaan
perusahaan (PPh), (PPh), terhadap terhadap proses proses produksi produksi atau atau produk produk yang yang dihasilkan dihasilkan perusahaan perusahaan yangyang dibebani pajak (PPN) oleh negara, ataupun aspek-aspek pajak lainnya. Oleh karena itu makalah dibebani pajak (PPN) oleh negara, ataupun aspek-aspek pajak lainnya. Oleh karena itu makalah ini akan mencoba mengidentifikasi aspek-aspek perpajakan yang melekat dalam perusahaan ini akan mencoba mengidentifikasi aspek-aspek perpajakan yang melekat dalam perusahaan kelapa sawit.
kelapa sawit.
Adapun rumusan masalah yang diajukan: (1) Apa saja standar akuntansi keuangan yang Adapun rumusan masalah yang diajukan: (1) Apa saja standar akuntansi keuangan yang dig
digunaunakan oleh kan oleh PT. SMARPT. SMART T Tbk. ? Tbk. ? dan (2) dan (2) Apa saja Apa saja bebbeban an pajpajak ak yanyang g ditditangganggung oleh ung oleh PT.PT. SMART Tbk. ?
SMART Tbk. ?
2
2.. KKeellaappa a SSaawwiitt
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak in
indusdustrtri, i, mamaupupun un bahbahan an babakar kar (( biodiesel biodiesel).). PerkebunannyaPerkebunannya menghamenghasilkasilkan n keuntukeuntungan ngan besar besar seh
sehingingga ga banybanyak ak huthutan an dan dan perperkebkebunan unan lamlama a dikdikonveonversi rsi menmenjadjadi i perperkebkebunan unan kelkelapa apa sawsawit.it. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di
Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di IndonesiaIndonesia penyebarannyapenyebarannya di daerah
Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak , hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas
sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan
mekar.
Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan.
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA - free fatty acid ) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin Mesoskarp, serabut buah
Endoskarp, cangkang pelindung inti
Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).
Hasil tanaman
Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut
lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.
Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah
kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar danarang.
Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan
dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.
3. Kajian Perusahaan PT. Smart Tbk 3.1. Profil Perusahaan
Didirikan tahun 1962 dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak tahun 1992, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (“SMART” atau “Perseroan”) adalah salah satu perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan terbesar di Indonesia, dengan nilai penjualan bersih sebesar Rp 31,7 triliun dan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 1,8 triliun pada tahun 2011. Aktivitas utama Perseroan dimulai dari penanaman dan pemanenan pohon kelapa sawit, pengolahan tandan buah segar (“TBS”) menjadi minyak sawit (“CPO”) dan inti minyak sawit (“CPK”), serta pemrosesan CPO menjadi produk industri dan konsumen seperti minyak goreng, margarin dan shortening .
Perseroan menanam kebun kelapa sawit di Indonesia seluas sekitar 139.000 hektar, termasuk plasma. Lima belas pabrik pengolahan kami memproses TBS menjadi CPO dan CPK, dengan total kapasitas sebesar 3,9 juta ton per tahun.
CPO diproses lebih lanjut menjadi produk bernilai tambah, baik curah, industri maupun bermerek, melalui pabrik hilir kami dengan kapasitas 1,4 juta ton per tahun. PK juga diproses lebih lanjut di pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 444 ribu ton per tahun, menghasilkan minyak inti sawit dan palm kernel meal yang memiliki nilai lebih tinggi.
SMART juga mendistribusikan, memasarkan dan mengekspor produk konsumen berbasis kelapa sawit. Selain minyak curah dan minyak industri, produk turunan SMART juga dipasarkan dengan berbagai merek, seperti Filma dan Kunci Mas. Saat ini, merek-merek tersebut diakui kualitasnya dan memiliki pangsa pasar yang signifikan di segmennya masing-masing di Indonesia.
3.2. Visi dan Misi Perusahaan
Visi / Vision
“We aim to be the best To become the largest integrated and most profitable palm-based consumer company”
Misi / Mission
Surpassing the highest standard of quality
Maintaining the highest level of sustainability and integrity Empowering society and community
Trend setting innovation and technology Achieving maximum value for shareholders
4. Tinjauan Perlakuan Standar Akuntansi Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan revisi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK). Standar-standar akuntansi keuangan tersebut akan berlaku efektif untuk laporan keuangan pada periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2012.
Adapun PSAK dan ISAK yang dipakai oleh group PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (“SMART” atau “Perseroan”) untuk menyusun laporan keuangannya sebagai berikut:
a. PSAK
1) PSAK No. 10 (Revisi 2010), Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing 2) PSAK No. 13 (Revisi 2011), Properti Investasi
3) PSAK No. 16 (Revisi 2011), Aset Tetap 3
4) PSAK No. 18 (Revisi 2010), Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya 5) PSAK No. 24 (Revisi 2010), Imbalan Kerja
6) PSAK No. 26 (Revisi 2011), Biaya Pinjaman
7) PSAK No. 28 (Revisi 2011), Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian 8) PSAK No. 30 (Revisi 2011), Sewa
9) PSAK No. 33 (Revisi 2011), Aktivitas Pengupasan Lapisan Tanah dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pertambangan Umum
10) PSAK No. 34 (Revisi 2010), Kontrak Konstruksi
11) PSAK No. 36 (Revisi 2011), Asuransi Kontrak Asuransi Jiwa 12) PSAK No. 45 (Revisi 2011), Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba 13) PSAK No. 46 (Revisi 2010), Pajak Penghasilan
14) PSAK No. 50 (Revisi 2010), Instrumen Keuangan: Penyajian 15) PSAK No. 53 (Revisi 2010), Pembayaran Berbasis Saham
16) PSAK No. 55 (Revisi 2011), Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran 17) PSAK No. 56 (Revisi 2011), Laba Per Saham
18) PSAK No. 60, Instrumen Keuangan: Pengungkapan
19) PSAK No. 61, Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah 20) PSAK No. 62, Kontrak Asuransi
21) PSAK No. 63, Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
22) PSAK No. 64, Aktivitas Eksplorasi dan Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya Mineral
b. ISAK
1) ISAK No. 13, Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri 2) ISAK No. 15, PSAK 24 - Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan
Minimum, dan Interaksinya
3) ISAK No. 16, Perjanjian Konsesi Jasa
4) ISAK No. 18, Bantuan Pemerintah - Tidak Berelasi Spesifik dengan Aktivitas Operasi
5) ISAK No. 19, Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
6) ISAK No. 20, Pajak Penghasilan - Perubahan dalam Status Pajak Entitas atau Para Pemegang Sahamnya
7) ISAK No. 22, Perjanjian Konsesi Jasa: Pengungkapan 8) ISAK No. 23, Sewa Operasi - Insentif
9) ISAK No. 24, Evaluasi Substansi Beberapa Transaksi yang Melibatkan Suatu Bentuk Legal Sewa
10) ISAK No. 25, Hak atas Tanah
11) ISAK No. 26, Penilaian Ulang Derivatif Melekat
c. PPSAK (Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan)
1) PPSAK No. 7, Pencabutan PSAK 44: Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat 2) PPSAK No. 8, Pencabutan PSAK 27: Akuntansi Perkoperasian
3) PPSAK No. 9, Pencabutan ISAK 5: Interprestasi atas Par.14 PSAK No. 50 (1998) tentang Pelaporan Perubahan Nilai Wajar Investasi Efek dalam Kelompok Tersedia untuk Dijual
4) PPSAK No. 11, Pencabutan PSAK 39: Akuntansi Kerja Sama Operasi
5. Tinjauan Perpajakan
5.1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) adalah salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sementara itu, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. PPh dipungut oleh pemerintah pusat dan secara teori perpajakan PPh adalah jenis pajak yang paling adil.
Dasar hukum yang digunakan saat ini terhadap pengenaan PPh berdasarkan kepada UU No. 7 Tahun 1983 tentang “Pajak Penghasilan” sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang “Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan”. Berdasarkan pasal 2 UU No. 7 Tahun 1983, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal ( fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif.
5.1.1. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi kerja / bendaharawan pemerintah / dana pensiun / badan lain / penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh dikreditkan
terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.
5.1.2. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemungutan pihak ketiga, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh
yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.
5.1.3. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan pihak ketiga, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final (terhadap PPh Pasal 21).
5.1.4. PPh Pasal 25
PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang pembayarannya oleh WP sendiri yang dilakukan setiap bulan/masa lain, yang merupakan angsuran PPh dalam tahun berjalan yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang bersangkutan, kecuali pembayaran PPh yang bersifat final.
5.1.5. PPh Pasal 26
Pajak Penghasilan yang dikenakan Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia. Wajib Pajak Luar Negeri bertempat tinggal di Indonesia atau di luar Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu:
Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
PPh Pasal 26 dikenakan terhadap laba BUT setelah dikurangi pajak penghasilan yang tidak ditanamkan kembali di Indonesia dan PPh Pasal 26 dilunasi melalui penyetoran sendiri serta dilaporkan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.
Pemenuhan kewajiban perpajakan melalui pemotongan oleh pihak yang wajib
membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya selain bentuk usaha tetap.
Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
5.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Salah satu kegiatan baik itu transaksi ataupun peristiwa yang oleh UU No. 42 Tahun 2009 tentang “Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah” ditetapkan sebagai objek pengenaan PPN adalah transaksi, kegiatan atau peristiwa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP). Ada dua terminologi penyerahan BKP yang menjadi objek pengenaan PPN yaitu penyerahan BKP yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) huruf a yang berbunyi: “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: (a) penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;” dan pasal 16D yang berbunyi: “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c”.
5.2.1. Pengertian Penyerahan BKP
Kata penyerahan BKP tersebut dalam UU No. 42 Tahun 2009 ternyata tidak selalu berarti penjualan BKP. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1A dimana dalam pasal ini ditegaskan bahwa pengertian kata “penyerahan BKP ” mencakup segala bentuk transaksi, kegiatan atau peristiwa
yang berujung pada perpindahan hak atau penguasaan atas BKP tesebut.
Dalam konteks UU No. 42 Tahun 2009, lahan perkebunan maupun pabrik termasuk dalam pengertian cabang yang secara administratif harus dikukuhkan sebagai PKP. Terutama
jika kedua cabang itu masing-masing berada di wilayah KPP yang berbeda. Dan manakala keduanya sudah menjadi PKP, maka pada saat kebun menyerahkan hasil perkebunannya (Tandan Buah Segar/TBS) ke pabrik untuk diolah, terjadilah apa yang disebut dengan penyerahan BKP antar cabang. Hal ini diatur dalam pasal 1A ayat (1) huruf f yang berbunyi: “Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: (f) penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;” adalah
terutang PPN.
Oleh karena TBS merupakan produk hasil perkebunan yang mendapat fasilitas pembebasan PPN maka pihak pabrik tidak perlu membayar PPN atas penyerahan TBS dari kebun sawit tersebut. Namun, sebagai konsekuensinya sesuai dengan ketentuan pasal 16B ayat (3) yang berbunyi: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.” maka pihak kebun pun tidak boleh mengkreditkan seluruh Pajak Masukan (PM) mereka seperti misalnya PM atas pembelian pupuk, PM atas pembelian peralatan perkebunan dan seluruh PM lainnya.
5.2.2. Kategori Pemakaian Sendiri BKP
Pada tanggal 3 Januari 2012 terbit PP No. 1 Tahun 2012 tentang “Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU No. 42 Tahun
2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah”. Salah satu klausul dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah klausul mengenai pemakaian sendiri BKP (berlaku juga untuk Jasa Kena Pajak atau JKP) untuk kegiatan yang bersifat produktif. Yang dimaksud dengan pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif adalah:
a. Pemakaian sendiri BKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya. Contohnya: pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti kelapa sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
b. Pemakaian sendiri BKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Contohnya: pabrikan minyak kelapa sawit
menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
Dalam pasal 5 PP No. 1 Tahun 2012, pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif dikategorikan sebagai bentuk penyerahan BKP yang dikenakan PPN berdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf a UU No. 42 Tahun 2009.
5.2.3. Pengkreditan PM Pemakaian Sendiri yang Bersifat Produktif
Pada dasarnya menurut PP No. 1 Tahun 2012, pemakaian sendiri BKP yang bersifat produktif juga terutang PPN. Berdasarkan memori penjelasan pasal 5 ayat (4) PP No. 1 Tahun 2012 mengatakan bahwa apabila BKP yang dipakai sendiri tersebut merupakan BKP yang tidak mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM yang dibayar untuk perolehan BKP yang digunakan dalam proses menghasilkan BKP tersebut tetap dapat dikreditkan. Tetapi apabila BKP yang dipakai sendiri itu merupakan barang atau jasa yang tidak terutang PPN atau merupakan BKP yang mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM atas perolehan BKP yang digunakan dalam proses produksi BKP yang dipakai sendiri tersebut tidak dapat dikreditkan.
Misalnya PT ABC merupakan pabrikan mobil dan dalam rangka memproduksi mobil Esemka tentunya PT ABC akan banyak membayar PM misalnya PM atas pembelian mesin pabrik, PM atas pembelian aktiva pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM yang
lainnya. Dalam hal ini karena mobil Esemka yang dihasilkan PT ABC tidak memperoleh pembebasan PPN, maka seluruh PM atas pembelian mesin pabrik, PM atas pembelian aktiva pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM yang lainnya tersebut tetap dapat
dikreditkan di SPT Masa PPN.
Tetapi jika ketentuan ini diterapkan terhadap industri lain, maka akan menjadi berbeda. Sebagai contoh, PT ABC merupakan pabrikan CPO yang memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri. Untuk memproduksi CPO, PT ABC menggunakan kelapa sawit hasil kebunnya sendiri. Dalam hal ini atas penggunaan hasil kebun tersebut tergolong pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif. Akan tetapi, karena hasil kebun kelapa sawit (TBS) merupakan BKP yang mendapat fasilitas pembebasan PPN (sesuai dengan PP No. 31 Tahun 2007 tentang “Perubahan Keempat Atas PP No. 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Penganaan Pajak Pertambahan Nilai”), maka seluruh PM yang dikeluarkan oleh PT ABC untuk lini kebun dalam menghasilkan kelapa sawit tersebut (seperti pupuk, peralatan perkebunan dan semua pajak masukan yang digunakan oleh kebun kelapa sawit) tidak boleh dikreditkan.
Meskipun PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS) sehingga tidak dapat dikreditkan, tidak demikian dengan perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated ) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran DJP No. SE-90/PJ/2011 tentang “Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integreted) Kelapa Sawit” bahwa:
PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan
BKP (CPO/CPK) dapat dikreditkan. Artinya, CPO akan dipungut PPN.
PM atas perolehan BKP atau JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP
sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya. Artinya, TBS yang dihasilkan dibebaskan PPN-nya sedangkan CPO akan dipungut PPN.
Hal ini memberikan ruang kepada perusahaan kelapa sawit (khususnya yang terpadu) untuk mengkreditkan seluruh pengeluarannya yang terkait dengan penyerahan yang terutang PPN tanpa harus memperhatikan apakah termasuk dalam kategori barang modal. Berdasarkan PMK No. 81/PMK.03/2010 tentang “Saat Penghitungan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi” barang modal adalah harta berwujud yang
memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan. Sedangkan tatacara perhitungan PM yang dapat dikreditkan yang berasal dari semua pengeluaran terkait dengan penyerahan yang terutang PPN mengacu pada pasal 3 PMK No. 78/PMK.03/2010 tentang “Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan
Yang Tidak Terutang Pajak” yaitu: P = PM x Z
dengan ketentuan:
P adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
Z adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap penyerahan seluruhnya
5.3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Tanah dan bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang ekonomi yang berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara dan penduduknya. Negara sebagai
organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal. Untuk itu sudah sejak zaman kerajaan sampai dengan berdirinya Negara, pendayagunaan tanah ini diatur oleh para penguasa atau Negara. Salah satu pengaturan pendayagunaan tanah disamping melalui
Undang-undang Pokok Peraturan Agraria, Land Use dan Land Reform adalah melalui Perpajakan Atas Tanah.
Dasar hukum yang digunakan saat ini terhadap pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berdasarkan kepada UU No. 12 Tahun 1985 tentang “Pajak Bumi dan Bangunan” yang telah disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang “Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan”. PBB merupakan Pajak Pusat bersifat
kebendaan, dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan yang hasilnya sebagaian besar diserahkan ke Pemerintah Daerah.
Menurut UU No. 12 Tahun 1994, objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Bumi dapat diartikan sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Sedangkan subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak.
5.4. Realisasi Pajak
Pajak Kini
Rekonsiliasi antara laba sebelum pajak penghasilan menurut laporan laba rugi komprehensif konsolidasian dengan laba kena pajak Perusahaan adalah sebagai berikut:
Laba kena pajak dan beban pajak Group tahun 2010 sesuai dengan Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang disampaikan Perusahaan kepada Kantor Pelayanan Pajak. Rekonsiliasi antara beban pajak yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku atas laba sebelum pajak dalam laporan laba rugi komprehensif konsolidasian adalah sebagai berikut:
6. Tinjauan Instrumen Fiskal
Pada hakekatnya kebijakan bea keluar (BK) ekspor CPO bukan bagian dari instrumen fiskal untuk menggenjot penerimaan Negara, melainkan merupakan suatu instrumen untuk menjaga agar kebutuhan dan pasokan CPO di dalam negeri tidak terganggu. Sistem BK yang saat ini berlaku secara progresif - mengikuti pergerakan harga komoditas itu di pasar internasional - sesuai dengan PMK No. 67/PMK.011/2010 tahun 2010 tentang “ Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar ”. Dalam PMK tersebut diatur
ekspor minyak kelapa sawit akan dikenakan bea keluar 0% jika rata-rata harga komoditas tersebut selama sebulan sebelumnya di CIF Rotterdam berada di bawah US$ 700 per ton, dan akan dikenakan tarif 1,5% saat harga rata-ratanya US$ 701 - 750 per ton. Tarif bea keluar akan dinaikan jadi 3% jika harga rata-rata CPO di CIF Rotterdam meningkat menjadi sekitar US$ 751 - 800 per ton.
Instrumen ini dapat menjadi insentif bagi industri hilir kelapa sawit sekaligus menjadi disinsentif bagi petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Instrumen ini dapat menjadi insentif dimana dengan adanya tarif fiskal tertinggi terhadap fluktuasi harga CPO internasional menjadikan harga CPO Indonesia terdiskon cukup besar. Bahkan, setiap kenaikan 1 persen tarif BK akan menekan harga TBS kelapa sawit petani hingga Rp. 250 per kilogram. Dampak lain dari adanya kebijakan tersebut telah memberikan hasil yang signifikan dengan adanya peningkatan investasi industri hilir minyak kelapa sawit terutama di Sumatera dan Jawa. Adanya aksi korporasi investor asing dan domestik tersebut diperkirakan bisa menembus pendapatan sekitar Rp. 20 triliun pada tahun 2015. Dampak BK CPO juga secara
langsung dapat dirasakan oleh petani dimana semakin tinggi tarif BK semakin besar diskon harga TBS petani. Karena kebanyakan petani biasanya menunda pemupukan saat harga TBS murah sehingga hal ini membuat produktivitas kebun enam bulan ke depan turun.
Namun, disisi lain dapat menjadi disinsentif sehingga merugikan petani terutama dengan adanya kebijakan BK CPO diberlakukan dengan tarif progresif. Seharusnya pemerintah lebih membuat kebijakan yang lebih memihak petani seperti menambah anggaran peremajaan kelapa sawit rakyat dan sertifikasi kebun rakyat. Tanpa perbaikan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan pelayanan publik, tujuan penerapan BK sebenarnya sulit tercapai. Instrumen BK CPO ini pun
lebih tepat disebut sarana pemerintah mengeruk keuntungan dari perkebunan kelapa sawit seperti petani. Pemerintah menerima sekitar Rp. 14 triliun per tahun dari BK CPO. Sudah sepatutnya pemerintah mengalokasikan minimal Rp. 1 triliun khusus untuk pengembangan industri kelapa
sawit.
Pemerintah perlu membiayai riset jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih kelapa sawit unggul yang pendek dengan produktivitas tinggi dan membantu petani meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton CPO pada 2020 tanpa mengandalkan perluasan lahan.
7. Simpulan
Perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan suatu bentuk badan usaha, seperti halnya badan usaha yang bergerak dalam sektor usaha lainnya, perusahaan perkebunan kelapa sawit
memiliki kewajiban perpajakan yang harus ditanggung. Kewajiban perpajakan yang harus ditanggung perusahaan perkebunan kelapa sawit diantaranya adalah Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).
Subjek pajak PPh Badan adalah Badan Dalam Negeri dan Badan Luar Negeri yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia. Objek Pajak PPh Badan adalah Penghasilan Badan Dalam Negeri dan Penghasilan Badan Luar Negeri. Sedangkan klasifikasi penghasilan dalam PPh Badan ada tiga:
Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh Final,
Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh tidak Final dan, Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
PPh Badan merupakan kewajiban perpajakan yang harus ditanggung perusahaan atas penghasilan yang diperoleh.
Untuk pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki oleh perusahaan dikenakan dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Atas produk yang dihasilkan, salah satunya adalah CPO tidak boleh dikreditkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas BKP strategis. PM atas perolehan BKP
atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP (CPO/CPK) atau untuk kegiatan menghasilkan BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis dapat dikreditkan.
Terhadap isu instrumen fiscal, upaya peningkatan produktivitas sekaligus penciptaan nilai tambah lewat industri hilir di dalam negeri harus menjadi isu sentral yang terintegrasi dalam peta jalan bisnis kelapa sawit nasional. Misalnya dengan adanya kualitas benih tanaman yang tinggi
dan frekuensi pemupukan bisa diperbaiki, rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit nasional saat ini sekitar 3,9 ton CPO per ha per tahun dapat melebihi apa yang dicapai oleh Malaysia yang bisa mencapai 6 ton CPO per ha per tahun.
Satu catatan penting lainnya adalah pada pengembangan kelapa sawit dalam bentuk riset jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih kelapa sawit unggul yang pendek dengan produktivitas tinggi dan membantu petani meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton CPO pada 2020 tanpa mengandalkan perluasan lahan. Riset tersebut harus tetap menjadikan prioritas pada kelestarian lingkungan.