ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S
DENGAN BATU URETER POST URS + DJ STENT HARI KE-0
DI RUANG PEMULIHAN, RUANG OPERASI
DI RSU GANESHA TANGGAL 8 JANUARI 2014
Oleh:
Ns. D.A. Eka Putri Ardarsini, S. Kep
I Komang Sujata, Amd. Kep
RUMAH SAKIT UMUM GANESHA
CELUK
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BATU URETER A. TINJAUAN TEORI
1. Konsep Dasar Batu Ureter a. Pengertian
Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter (Sue Hinchliff, 1999 Hal 451).
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).
b. Etiologi
Etiologi pembentukan batu meliputi idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease (Proteus mirabilis), dehidrasi, benda asing, jaringan mati (nekrosis papil) dan multifaktor.
Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran kemih; tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar. Beberapa teori pembentukan batu adalah :
a. Teori Nukleasi
Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.
b. Teori Matriks
Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.
c. Penghambatan kristalisasi
Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih.
(Basuki, 2000 hal. 63). c. Epidemiologi
Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di negara kita. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari.
Di Amerika Serikat 5 – 10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 – 12 % penduduk menderita batu saluran kemih (Basuki, 2000 Hal. 62).
d. Manifestasi klinis
Gerakan pristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke kemaluan.
Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa hidroureter/hidronefrosis (Basuki, 2000 Hal 69).
e. Patofisiologi
Komposisi batu saluran kemih yang dapat ditemukan adalah dari jenis urat, asam urat, oksalat, fosfat, sistin, dan xantin. Batu oksalat kalsium kebanyakan merupakan batu idiopatik. Batu campuran oksalat kalsium dan fosfat biasanya juga idiopatik; di antaranya berkaitan dengan sindrom alkali atau kelebihan vitamin D. Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit) kadang disebabkan hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia). Batu fosfat amonium magnesium didapatkan pada infeksi kronik yang disebabkan bakteria yang menghasilkan urease sehingga urin menjadi alkali karena pemecahan ureum. Batu asam urin disebabkan hiperuremia pada artritis urika. Batu urat pada anak terbentuk karena pH urin rendah (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).
Pada kebanyakan penderita batu kemih tidak ditemukan penyebab yang jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi, dan benda asing. Infeksi, stasis, dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau sirkulus visiosus.
Jaringan abnormal atau mati seperti pada nekrosis papila di ginjal dan benda asing mudah menjadi nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027). f. Pemeriksaan Diagnostik a) Air kemih 1) Mikroskopik endapan 2) Biakan 3) Sensitivitas kuman b) Faal ginjal 1) Ureum 2) Kreatinin 3) Elektrolit
c) Foto polos perut (90% batu kemih radiopak) d) Foto pielogram intravena (adanya efek obstruksi) e) Ultrasonografi ginjal (hidronefrosis)
f) Foto kontras spesial 1) Retrograd 2) Perkutan
g) Analisis biokimia batu
h) Pemeriksaan kelainan metabolik g. Komplikasi
a) Sumbatan : akibat pecahan batu
b) Infeksi : akibat desiminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
c) Kerusakan fungsi ginjal : akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan dan pengangkatan batu ginjal
h. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Ditujukan untuk batu yang ukurannya < 5 mm, karena batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar.
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif atau pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
3. Endourologi
1. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) : mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu.
2. Litotripsi : memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.
3. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi : memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi atau uretero-renoskopi ini.
4. Ekstraksi Dormia : mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya dengan keranjang Dormia.
5. Pemasangan DJ STENT
Setelah URS dapat ditinggalkan double-J stent dan biasanya dipertahankan antara 2-6 minggu. Indikasi pemasangan DJ stent:
- Laserasi dengan perdarahan - Laserasi tanpa perdarahan - Striktur ureter
- Batu di ginjal
Fungsi dari benda ini adalah untuk mempermudah aliran kencing dari ginjal ke kandung kencing, juga memudahkan terbawanya serpihan batu saluran kencing. Ketika ujung DJ stent berada di sistema pelvikokaliks maka peristaltik ureter terhenti sehingga seluruh ureter dilatasi.
4. Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.
5. Bedah terbuka :
1) Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal.
2) Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter.
3) Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria 4) Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Batu Ureter
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien secara sistematis.
Pengkajian keperawatan pada ureterolithiasis tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doenges, 1999 Hal 672).
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan di mana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas / mobilitas sehubungan kondisi sebelumnya.
2. Sirkulasi
Tanda : peningkatan TD / nadi, (nyeri, obstruksi oleh kalkulus) kulit hangat dan kemerahan, pucat.
3. Eliminasi
Gejala : riwayat adanya ISK kronis, penurunan haluaran urine, distensi vesica urinaria, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.
Tanda : oliguria, hematuria, piuruia, perubahan pola berkemih 4. Makanan / cairan
Gejala : mual / muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat / fosfat, ketidakcukupan intake cairan
Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tidak ada bising usus , muntah 5. Nyeri / kenyamanan
Gejala : episode akut nyeri berat, lokasi tergantung pada lokasi batu, nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat, tidak hilang dengan perubahan posisi atau tindakan lain
Tanda : melindungi, prilaku distraksi, nyeri tekan pada area abdomen 6. Keamanan
Gejala : pengguna alkohol, demam, menggigil 7. Penyuluhan dan Pembelajaran
Gejala : riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, ISK, paratiroidisme, hipertensi, pengguna antibiotik, antihipertensi, natrium bikarbonat, allopurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin
8. Pemeriksaan diagnostic : Urinalisis, urine 24 jam, kultur urine, survey biokimia, foto Rontgen, IVP, sistoureteroskopi, scan CT, USG
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin ditemukan pada pasien dengan batu ureter adalah :
Pre Operasi :
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
b) Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik
c) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi
d) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi
Post Operasi :
a) Resiko kurang volume cairan b.d. haemoragik/ hipovolemik b) Nyeri b.d insisi bedah
c) Perubahan eliminasi perkemihan b.d. penggunaan kateter d) Resiko infeksi b.d. insisi operasi dan pemasangan kateter.
3. Perencanaan
Dari diagnosa yang telah disusun berdasarkan data dari pengkajian, maka langkah selanjutnya adalah menyusun intervensi.
Pre Operasi :
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
1) Catat lokasi nyeri, lamanya intensitas, dan penyebaran
Rasional : membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan pergerakan kalkulus.
2) Jelaskan penyebab nyeri
Rasional : memberi kesempatan untuk pemberian analgetik dan membantu meningkatkan koping klien.
3) Lakukan tindakan nyaman
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot, dan meningkatkan koping.
4) Bantu dengan ambulasi sesuai indikasi Rasional : mencegah stasis urine
5) Kolaborasi : pemberian obat sesuai indikasi Rasional : mengurangi keluhan
b) Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik
Intervensi :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urine Rasional : memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. 2) Tetapkan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi Rasional :
kalkulus dapat menyebabkan eksibilitas saraf, sehingga menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera.
3) Dorong peningkatan intake cairan
Rasional : peningkatan hidrasi membilas bakteri, darah, dan dapat membantu lewatnya batu
4) Periksa semua urine, catat adanya batu
Rasional : penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe dan jenis batu untuk pilihan terapi.
5) Selidiki keluhan kandung kemih penuh Rasional : Retensi urine dapat terjadi, menyebabkan distensi jaringan
6) Kolaborasi : awasi pemeriksaan laboratorium Rasional : hal ini mengindikasikan fungsi ginjal
c) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi
Tujuan : Mencegah komplikasi Intervensi :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional : membandingkan keluaran aktual dan yang diantisipasi membantu dalam evaluasi adanya kerusakan ginjal
2) Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3-4 liter / hari dalam toleransi jantung
Rasional : mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis tindakan “mencuci” yang dapat membilas batu keluar.
3) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : indikasi hidrasi / volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi 4) Kolaborasi : awasi Hb. / Ht., elektrolit
Rasional : mengkaji hidrasi dan keefektifan / kebutuhan intervensi
d) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi
Tujuan : Memberikan informasi tentang proses penyakitnya / prognosis dan kebutuhan pengobatan
Intervensi :
1) Kaji ulang proses penyakit
Rasional : memberikan pengetahuan dasar di mana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi
2) Tekankan pentingnya peningkatan masukan cairan
Rasional : pembilasan sistem ginjal menurunkan kesempatan pembentukan batu
3) Kaji ulang program diet
Rasional : diet tergantung tipe batu Post Operasi :
a) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan haemoragik / hipovolemik
Tujuan :
- tanda tanda vital stabil - kulit kering dan elastis - intake output seimbang
- insisi mulai sembuh, tidak ada perdarahan melalui selang - insisi mulai semb
b) Nyeri berhubungan dengan insisi bedah
Tujuan : pasien melaporkan meningkatanya kenyamanan yang ditandai dengan mudah untuk bergertak, menunjukkan ekspresi wayah dan tubuh yang relaks.
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji balutan selang kateter terhadap perdarahan setiap jam dan lapor dokter.
2. Anjurkan pasien untuk mengubah posisi selang atau kateter saat mengubah posisi. 3. Pantau dan catat intake
output tiap 4 jam, dan laporan ketidak seimbangan.
4. Kaji tanda vital dan turgor kulit, suhu tiap 4-8 jam.
1. mengetahui adanya perdarahan.
2. mencegah perdarahan pada luka insisi
3. mengetahui kesimbangan dalam tubuh.
4. dapat menunjukan adanya dehidrasi / kurangnya volume cairan
1. Kaji intensitas,sifat, lokasi pencetus daan penghalang factor nyeri.
2. Berikan tindakan kenyamanan non farmakologis, anjarkan tehnik relaksasi, bantu pasien memilih posisi yang nyaman.
3. Kaji nyeri tekan, bengkak dan kemerahan.
4. Anjurkan pasien untuk menahan daerah insisi dengan kedua tangan bila sedang batuk.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik.
1. menentukan tindakan selanjutnya
2. dengan otot relkas posisi dan kenyamanan dapat mengurangi nyeri.
3. peradangan dapat menimbulkan nyeri.
4. untuk mengurangi rasa nyeri.
5. analgetik dapat mengurangi nyeri.
c) Perubahan eliminasi perkemihan berhubungan dengan pemasangan alat medik ( kateter).
Tujuan : pasien berkemih dengan baik, warna urine kuning jernih dan dapat berkemih spontan bila kateter dilepas setelah 7 hari.
Intervensi Rasional
1. Kaji pola berkemih normal pasien.
2. Kaji keluhan distensi kandung kemih tiap 4 jam
3. Ukur intake output cairan.
4. Kaji warna dan bau urine dan nyeri.
5. Anjurkan klien untuk minum air putih 2 Lt /sehari , bila tidak ada kontra indikasi.
1. untuk membandingkan apakah ada perubahan pola berkemih.
2. kandung kemih yang tegang disebabkan karena sumbatan kateter.
3. untuk mengetahui keseimbangan cairan
4. untuk mengetahui fungsi ginjal.
5. untuk melancarkan urine.
d) Resiko infeksi berhubungan dengan insisi bedah dan pemasangan kateter. Tujuan :
- Insisi kering dan penyembuhan mulai terjadi. - Drainase dan selang kateter bersih.
Intervensi Rasional
1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala infeksi luka (demam, kemerahan, bengkak, nyeri tekan dan pus) 2. Kaji suhu tiap 4 jam.
3. Anjurkan klien untuk menghindari atau menyentuk insisi.
4. Pertahankan tehnik steril untuk mengganti balutan dan perawatan luka.
1. mengintervensi tindakan selanjutnya.
2. peningkatan suhu menandakan adanya infeksi.
3. menghindarkan infeksi.
4. menghindari infeksi silang
4. Pelaksanaan
Implementasi keperawatan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan. Pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas – aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawatan pasien kemudian bila telah dilaksanakan memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya (Doenges, 1998 Hal 105). 5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan pelayanan asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Dalam tahap ini, akan terlihat apakah tujuan yang telah disusun tercapai atau tidak.
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN POST URS + DJ STENT HARI KE-0
DI RSU GANESHA TANGGAL 8 JANUARI 2014
C. Long Barbara, Perawatan Medikal Bedah , jilid 3, Yayasan IAPK Pajajaran,
Bandung, 1996
Carpenito, L.J. (2006). Diagnosa Keperawatan. (edisi enam). Jakarta : EGC.
Doenges ME, dkk., Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta, 2000 Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, volume I, EGC,
Jakarta , 1999
Engram, B. (2003).Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.Jakarta : EGC
Marry Ann Matteson, Introductory Nursing Care of Adults, Sounder Company, Philadelpia Penn
Sylvani, 1995
Purnomo, B. Basuki, Dasar-dasar Urolog , cetakan I, CV. Infomedika, Jakarta, 2000 Robert Prihardjo, Pengkajian Fisik Keperawatan, cetakan II, EGC, Jakarta, 1996 Mansjoer, A., dkk. (2006).Kapita Selekta Kedokteran 2.(Edisi ketiga).Jakarta:Media
Aesculapius
Wartonah, T. (2006).Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. (Edisi 3).Jakarta : Salemba Medika.
Wim de Jong dan Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1998