• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

III. TINJAUAN PUSTAKA

1.

UMUR SIMPAN

The Institute of Food Technologist (1974) dalam Robertson (1993)mendefinisikan umur

simpan produk sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi, dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sedangkan Rachtanapun (2009) mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan.

Floros dan Gnanasekharan (1993) dalam Herawati (2005) menyatakan umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu dalam kondisi penyimpanan tertentu. Enam faktor utama yang mengakibatkan penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan adalah massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan dan bahan kimia toksik. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, perubahan unsur-unsur organoleptik, dan kemungkinan terbentuknya racun. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam penentuan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat mengakibatkan timbulnya perubahan mutu selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi.

Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan,

sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:

a. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya

kepekaan terhadap air dan oksigen, atau kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik

b. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume

c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban)

d. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluarmasuknya air, gas, dan bau, termasuk

perekatan penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.

Menurut Robertson (1993), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi umur simpan produk, yaitu karekteristik produk, lingkungan dimana produk tersebut terpapar selama distribusi, dan sifat dari kemasan yang digunakan.Faktor karakteristik produk yang dapat mempengaruhi umur simpan antara lain perishability, efek konsentrasi dari bahan-bahan tertentu yang memicu reaksi deterioratif,

densitas kamba yang dipengaruhi oleh proses pengolahan dan kemasan, akan mempengaruhi area kosong pada pengemasan. Lingkunganselama distribusiakan terpengaruh oleh iklim, transfer massa, dan transfer panas. Sedangkan faktor pengemas sangat bergantung pada laju transportasi uap air dan transfer gas dan bau.

Sedangkan menurut Labuza (2002) empat faktor utama yang mempengaruhi umur simpan sebuah produk pangan adalah formulasi, proses pengolahan, pengemasan dan kondisi penyimpanan. Formulasi berkaitan dengan komposisi bahan, dapat meningkatkan nilai dari produk pangan, harus dipastikan keamanan dan keutuhannya untuk memperkirakan umur simpan, termasuk dalam

(2)

memastikan bahwa bahan yang digunakan tidak kehilangan masa simpan. Mengenai umur simpan, faktor kunci yang berpengaruh antara lain kadar air (maupun Aw), pH dan penambahan pengawet anti mikroba ataupun antioksidan. Proses pengolahan dimaksudkan untuk menghindari penurunan nilai mutu yang tidak diinginkan pada suatu bahan terformulasi serta mendukung perubahan fisik dan kimia yang memberikan nilai tambah produk akhir (terkecuali untuk produk yang membutuhkan

aging atau pemeraman seperti keju dan wine). Setelah melalui tahapan proses pengolahan, atribut dari

produk diharapkan dapat terjaga di dalam kemasan. Parameter penting yang dipengaruhi oleh pengemasan dan kondisi penyimpanan antara lain komposisi gas (oksigen, karbondioksida, gas inert, etilen dan lain sebagainya), kelembaban relatif (%RH), tekanan atau tegangan mekanik, cahaya dan suhu.

Lima pendekatan yang dapat digunakan dalam penentuan umur simpan menurut Labuza (2002), yaitu: 1) literature value, nilai pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai

pembanding dalam penentuan produk pangan karena keterlibatan fasilitas yang dimiliki produsen

pangan. 2) distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan

berdasarkan produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk sejenis di pasaran yang proses pengolahan, komposisi, maupun aspek lainnya sama dengan produk pangan yang ingin ditentukan umur simpannya. 3) distribution abuse test merupakan cara penentuan

umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk pangan selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim

(abuse test). 4) consumer complaints adalah penentuan umur simpan oleh produsen berdasarkan

komplain konsumen atas produk yang didistribusikan. 5) accelerated shelf life testing (ASLT) telah

sering digunakan untuk pengujian umur simpan di laboratorium dengan menyimpan produk akhir pada kondisi lingkungan yang mempercepat proses penurunan mutu produk pangan (abuse condition)

yang kemudian diproyeksikan umur simpan produk pada kondisi penyimpanan yang sebenarnya.

2.

METODA AKSELERASI

Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena

penetapan kadaluarsa pangan dengan metoda konvensional atau ESS (Extented Storage Studies)

dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai mutu kadaluarsa. Maka untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut, digunakan waktu penentuan metode

Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) atau metoda akselerasi, yaitu kondisi penyimpanan diatur di

luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Floros dan Gnanasekharan, 1993 dalam Herawati, 2005).

Tahapan melakukan percobaan ASLT adalah sebagai berikut meliputi penetapan parameter kriteria kadaluarsa, pemilihan jenis dan tipe pengemas, peentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu

penyimpanan dan analisis pendugaan umur simpan berdasarkan batas akhir penurunan mutu yang ditolerir. (Kusnandar, 2008)

Menurut Syarief dan Santausa,1989,penentuan umur simpan produk dengan metode

akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu 1) pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi dengan menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kadar air sebagai kriteria kadaluwarsa, dan 2) pendekatan semiempiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu dengan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau ordo satu untuk produk pangan. Model persamaan matematika pada pendekatan kadar air diturunkan dari hukum difusi Fick

(3)

undireksional. Terdapat empat model matematika yang sering digunakan, yaitu model Hess dan Eichner (1971), model Rudolf (1986), model Labuza (1982) dan model paruh waktu (Herawati, 2005).

Model Arrhenius umumnya digunakan untuk melakukan pendugaan umur simpan produk pangan yang sensitif oleh perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Di antara produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model ini adalah makanan

kaleng komersial, susu UHT, susu bubukformula, produk chip/snack, jus buah, mie instan,

frozenmeat/shrimp/fish, saus sambal/tomat, bumbu dan kondimen, selai, pasta,tepung-tepungan,

kacang goreng, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadi oksidasi lemak) atau gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadi reaksi pencoklatan). Pada prinsipnya metode Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan pada suhu ektrim, dimana kerusakan produk pangan terjadi lebih cepat, kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Oleh karena itu, umur simpan yang diperoleh bersifat ‘pendugaan’ yang validitasnya sangat ditentukan oleh model matematika yang diperoleh dari hasil percobaan.

Untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan, penentuan umur simpan berdasarkan pada metode kadar air kritis. Dalam metode kadar air kritis tersebut, kerusakan didasarkan semata-mata pada kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan sudah tidak dapat diterima secara organoleptik disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik yang akan spesifikuntuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan metode ini antaralain biskuit, wafer, produk konfeksionari, makanan ringan (snack, chips), dan produk instan (powder) (Kusnandar,

2008).

3.

MODEL KADAR AIR KRITIS (Labuza,1982)

Model kadar air kritis atau persamaan Labuza (1982) merupakan permodelan berdasarkan perubahan fisik, yaitu untuk produk pangan yang sensitif terhadap perubahan kadar air. Model persamaan Labuza mengkorelasikan total jumlah penetrasi uap air (q) dengan berat produk, yaitu:

dWHR2RO

dt R R R R .  

dimana:

dWH2O = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram)

k/x = permeabilitas kemasan (g H2O/ hari.m2.mmHg)

A = luas permukaan kemasan (m3)

Pout = tekanan uap air di luar kemasan (mmHg)

Pout= Po*RH

Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)

Pin= Po*Aw

Dalam model ini, terdapat dua pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan kurva sorpsi Isotermis. Penentuan umur simpan dengan pendekatan ini memperhitungkan pengaruh: 1) perbedaan kadar air awal dan kadar air kritis, semakin besar perbedan antara kadar air awal, maka umur simpan akan semakin lama, 2) perbedaan tekanan udara di luar dan dalam kemasan,

(4)

semakin besar perbedaannya, maka perpindahan uap air semakin lambat dan umur simpan lebih panjang, 3) permeabilitas kemasan, semakin besar permeabilitas kemasan, maka uap air akan semakin mudah bermigrasi, sehingga umur simpan menjadi lebih pendek, dan 4) luasan kemasan yang digunakan, semakin besar luasan kemasan, maka uap air yang masuk akan tersebar dan memperlambat tercapainya kadar air kritis, sehingga umur simpan menjadi semakin panjang. Dengan demikian umur simpan berdasarkan laju perubahan kadar air dapat ditentukan dengan persamaan Labuza (1982), yaitu: t= ln Me-Mi Me-Mc k x WsA Pob Dimana:

t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari)

Mc = kadar air kesetimbangan pada suhu dan RH tertentu (%bk)

Mo = kadar air awal produk di awal penyimpanan (%bk)

Mc = kadar air kritis pada suhu tertentu (%bk)

k/x = WVTR/Po= permeabilitas kemasan (g/m2/hari/mmHg)

WVTR adalah water vapor transmission rate (g/m2/hari) pada suhu dan RH tertentu

(%)

A = luas kemasan yang dihitung berdasaarkan dimensi kemasan yang digunakan

(m2)

Ws = berat solid produk awal (gram)

Po = tekanan uap air jenuh (mmHg)

b = slope kurva isotermis

Parameter-parameter persamaan Labuza (1986) di atas dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu: unsur sifat fisik produk (Mc, Mi, Mc, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x, A) dan lingkungan luar atau dalam pengemas (RH penyimpanan dan b).

Untuk produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang mengandung sukrosa yang tinggi, maka sulit dicapai kadar air kesetimbangan dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linear, karena pada RH tertentu kadar airnya akan semakin meningkat (tidak tercapai kondisi kesetimbangan). Dengan demikian, persamaan Labuza di atas tidak dapat diterapkan karena tidak dapat diperoleh nilai kadar air kesetimbangan (Mc) dan slope kurva linear sorpsi isotermis (b).

untuk produk yang memiliki kelarutan tinggi i za telah memodifikasi persamaan di atas

sebagai berikut:

seperti ni, Labu t

Dimana:

t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari) Mc = kadar air kritis pada suhu dan RH tertentu (%bk)

Mo = kadar air awal produk di awal penyimpanan (%bk)

Mc-Mo= selisih antara kadar air kritis dengan kadar air awal (%bk)

k/x = WVTR/Po= permeabilitas kemasan (g/m2/hari/mmHg)

A = luas kemasan yang dihitung berdasaarkan dimensi kemasan yang digunakan

(m2)

Ws = berat solid produk awal (gram)

(5)

Dalam persamaan tersebut, tekanan udara luar bergantung pada suhu dan kelembaban relatif penyimpanan. Adanya perbedaan tekanan udara luar (Pout) dan tekanan udara dalam kemasan (Pin) akan menyebabkan mobilisasi uap air. Jika Pout > Pin, maka terjadi migrasi uap air ke dalam kemasan, dan sebaliknya jika Pout < Pin, maka terjadi perpindahan uap air dari dalam kemasan. Bila migrasi tersebut telah mencapai batas kritisnya, maka produk dinyatakan telah mencapai batas umur simpannya (Kusnandar, 2008).

4.

PERISA

Perisa merupakan gabungan karakteristik dari makanan yang dikonsumsi, yang menimbulkan sensasi dari rasa bau, dan juga oleh tanggapan trigeminal dalam mulut, diingat kembali dan diinterpretasikan oleh otak. Perisa dalam makanan memiliki makna berbeda dengan perisa sebagai bahan tambahan makanan atau yang dikenal dengan perisaing. Perisa dalam makanan dihasilkan oleh komponen kimia beraroma yang terbentukpada saat metabolisme di dalam tumbuh-tumbuhan dan hewan, dapat pula terjadi pada saat pemasakan atau pengolahan. Perisa sebagai bahan tambahan makanan dibuat oleh manusia, dengan cara mencampurkan komponen kimia beraroma alami atau sintetis, yang tidak ada di alam. Tujuannya adalah menghasilkan berbagai alternatif perisa, memodifikasi perisa, atau untuk menutupi perisa yang tidak diinginkan sehingga meningkatkan penerimaan produk akhir (Reineccius, 1994 ).

Definisi perisa menurut SNI-01-7152-2006 adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat, dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi

flavor, dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara

langsung dan tidak diperlakukan sebagai bahan pangan. perisa dibedakan menjadi tujuh jenis yaitu senyawa perisa alami, bahan baku aromatik alami, preparat perisa, perisa asap, senyawa perisa identik alami, senyawa perisa artifisial, dan perisa hasil proses panas. Pada Tabel 1 disajikan perbandingan pengertian dari ketujuh jenis perisa tersebut.

Terdapat lima alasan penggunaan perisa. Alasan pertama, proses pembuatan produk makanan mungkin mengharuskan penambahan perisa, misalnya karena kehilangan perisa akibat pemanasan. Alasan kedua, tidak tersedianya bahan aroma alami, sehingga mengharuskan penggunaan perisa. Alasan ketiga, faktor ekonomi dapat membatasi penggunaan bahan alami. Alasan keempat, bentuk dari bahan alami tidak dapat digunakan. Alasan kelima, potensi dari bahan alami sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan secara praktis dalam produk akhir (Mayasari, 2009). Menurut deMan (1999), yangtermasuk dalam golongan perisa adalah rempah-rempah, oleoresin, minyak atsiri dan ekstrak alami. Dan yang termasuk perisa sintetik yang kebanyakan mengandung senyawa kimia yang sama seperti yang ada di alam, meskipun biasanya memiliki susunan yang lebih rumit. Tiga kategori dari perisa adalah a) perisa alami adalah senyawa tunggal yang diperoleh secara eksklusif dari bahan alam dalam keadaan alamiahnya atau diproses untuk konsumsi manusia b) perisaidentik-alami dihasilkan secara sintetis atau dari bahan mentah aromatic, dan secara kimia sama dengan bahan alam

yang digunakan untuk konsumsi manusia c) perisa buatan atau sintetik adalah senyawa perisa yang tidak terdapat dalam bahan alam.

5.

CAKING

Caking adalah aglomerasi partikel yang kecil ke dalam potongan massa solid yang lebih

besar. Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya gumpalan pada padatan dengan kadar air rendah (Johanson dan Paul, 1996). Agregasi dan penggumpalan partikel masalah serius pada banyak pengolahan bahan granular. Penggumpalan atau caking yang disebabkan oleh migrasi uap air

(6)

Secara umum, tahapan terjadinya caking karena migrasi uap air adalah sebagai berikut: 1) adsorpsi

uap air dan secara penampakan, bubuk menjadi basah, 2) liquid bridging, perlusan kelembaban, 3)

pengeringan dan desorpsi uap air, 4) pengerasan dan solid bridging, 5) penggumpalan(Christakis,

2006).

Cakingbergantung pada aktivitas air, waktu, dan suhu serta berhubungan

dengan fenomena hancurnya bubuk oleh gaya grafitasi. Tahapan dalam caking meliputi bridging,

aglomerasi, pemadatan, dan liquefaction. Faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kinetika caking

dapat dipengaruhi oleh bubuk itu sendiri (distribusi ukuran partikel, higroskopisitas dan

muatan partikel, keadaan bahan, kotoran) dan faktor eksternal seperti suhu, kelembaban relatif dan

tekanan mekanik. Untuk mempertahankan sifat-sifat aliran yang tepat dari bubuk dan

mencegah penggumpalan serbuk, dapat diterapkan: (a) pengeringan hingga kadar air yang

rendah, (b) pengkondisian bubuk pada kelembaban atmosfer rendah dan kemasan dengan

permeabilitas rendah (c) penyimpanan pada suhu rendah, (d) penggunaan dessicant pada

kemasan, (e) aglomerasi, dan (f) panambahan anti-caking agent.

Anti-cakingagent adalah bahan makanan yang ditambahkan ke bubuk higroskopis untuk

meningkatkan kemampuan aliran serta menghambat penggumpalan. Anti-caking yang baik dapat

bersaing dengan bubuk inti dalam penyerapan kelembaban sehingga mengurangi higroskopisitas dan kecenderungan untuk menggumpal. Bahan-bahan ini dari menyerap dan melindungi bahan pangan dengan menyerap uap air dalam jumlah yang besar dengan daya ikat yang tinggi, sehingga dapat menekan Aw pada kadar air yang relatif tinggi (Anonim, 2006). Aluminum calcium silicate, Calcium silicate, Magnesium silicate, Sodium aluminosilicate, Sodium calcium aluminosilicate, Tricalcium silicate merupakan anti-caking yang tercatat sebagai

bahan tambahan Generally Recognized As Safe (GRAS). GRAS merupakan setiap zat

yang sengaja ditambahkan pada makanan adalahmakanan aditif, yang ditinjau premarket dan

persetujuan oleh FDA(Food and Drug Administration),kecuali substansi yang umumnya diakui

oleh ahli dan telah cukup terbukti aman di bawah kondisipenggunaan yang

dimaksudkan, terkecuali penggunaansubstansi yang dinyatakan dikecualikan dari

Referensi

Dokumen terkait

Responden masyarakat Kota Semarang menilai bahwa apabila dilakukan daur ulang terhadap barang-barang elektronik yang sudah tidak dipakai atau yang rusak, hal tersebut

Terlihat dari tingkat rasio kemandirian keuangan daerah Kota Ternate bersifat instruktif karena memiliki rata- rata 18,76%(&lt;25%), rasio efektivitas prosentase rata-ratanya

ada dapat dikembangkan sebagai alat pengendalian Simanjuntak G, Umar AI, Pitoyo PD, et al. vektor DBD yang produktif dan aplikatif. Pencegahan dan penanggulangan penyakit

Dalam mengatasi persoalan-persoalansebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, program Kuliah Kerja Sibermas (KKS) Pengabdian pada masyarakat

[r]

Kedepannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah kulit kopi sebagai media budidaya jamur tiram, terutama pada variasi komposisi, sehingga

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Namun kenyataannya sampai pada hari ini di Daerah Istimewa Yogyakarta, masih digunakan istilah WNI pribumi dan WNI nonpri, dan WNI nonpri tidak dapat memiliki tanah dengan status