• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang

Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, dengan cara meningkatkan produksi nasional lebih cepat dari pertumbuhan penduduk, disertai usaha peningkatan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi dicapai melalui proses penyesuaian ke majuan teknologi, dimana terjadi pergeseran struktur perekonomian dari pertanian ke industri, termasuk adanya pergeseran tenaga kerja. Strategi pembangunan pangan adalah untuk meningkatkan pendapatan petani untuk mencapai swa-sembada pangan, dengan pengaaneka-ragaman hasil pertanian, kualitas dan nilai tambah hasil pertanian, dukungan sistem pengairan, dan penyuluhan handal (Kuntjoro, 1997).

Subsektor pertanian tanaman pangan memberikan kesempatan kerja yang luas untuk meningkatkan pendapatan keluarga, sebagai penggerak kegiatan agribisnis, dan mampu memberdayakan pengusaha kecil dan menengah serta koperasi secara lintas sektoral dan nasional (Simatupang, 1995). Dalam pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian (Saragih, 2001), memerlukan strategi agribisnis bagi komoditas unggulan berskala ekonomis yang menghasilkan produk berdaya saing tinggi, termasuk pengembangan usahatani non-padi seperti kedelai (Simatupang, 1988). Dengan demikian target swa-sembada kedelai yang dicanangkan tahun 2012 adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik, menghemat devisa negara, dan mendorong kegiatan agribisnis.

Dalam kegiatan agroindustri, sentuhan teknologi pada industri sekunder berbasis tanaman pangan atau non-pangan, menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dari segi ekonomi dan kegunaan hasil pertanian. N ilai tambah diperoleh melalui proses pengolahan pasacapanen, untuk menghasilkan produk yang awet, bergizi, mudah dikonsumsi, dan memiliki peluang pasar luas.

Pada awal pembangunan (PJPT I) Indonesia telah berhasil mewujudk an swasembada pangan, khususnya beras, sejak tahun 1984. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja paling besar, dan semakin berat bebannya sejak terjadi

(2)

krisis ekonomi dan moneter. Sumbangan subsektor tanaman pangan semakin meningkat terhadap Produk Domestik Bruto sejak dari Pelita I hingga Pelita V. Hal ini berpeluang besar sebagai sumber pertumbuhan baru pada akhir PJPT I, walaupun produksi dan produktivitasnya masih rendah.

Sejak tahun 1975, Indonesia menjadi negara pengimpor kedelai, yaitu sekitar 607.40 ribu ton atau senilai US$. 180.60 juta pada tahun 1995. Bahkan prediksi oleh Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura pada tahun 2000 terjadi kekurangan kedelai 1.12 juta ton, dimana ketergantungan penyediaan pangan nasional, terhadap Pulau Jawa cukup tinggi (sekitar 65%), karena adanya kesenjangan teknologi. Sebelum penelitian ini dilakukan, luas areal panen kedelai mencapai 1.12 juta ha, dengan produksi 1.36 juta ton, dan produktivitas 1.21 ton/ ha. Banyaknya areal sawah subur yang beralih fungs i menjadi lahan industri, pemukiman dan jalan, menghambat perluasan areal panen kedelai. Karena teknologi produksi belum dapat diandalkan, maka perlu identifikasi sumber pertumbuhan baru kedelai, untuk mengimbangi laju permintaan kedelai domestik.

Pertumbuhan permintaan kedelai pada dasawarsa terakhir cukup tinggi, namun belum mampu diimbangi oleh produksi dalam negeri, sehingga harus diimpor dalam jumlah cukup besar. Harga kedelai impor yang murah dan tidak adanya tarif impor, menyebabkan tidak kondusifnya pengembangan kedelai di dalam negeri. Dari sisi prospek pengembangan kedelai untuk menekan impor, cukup tersedia sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang memadai, dan SDM yang terampil dalam usahatani, dengan pasar komoditas kedelai yang masih terbuka luas.

Ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan pada kegiatanon-farm, terdiri atas berbagai jenis tanaman pangan yang menjadi bagian integral dari usahatani. Petani sulit dalam menentukan jenis tanaman yang dianggap sebagai tanaman sela atau secondary-crops setelah tanaman utama padi dalam sistem usahatani. Masing- masing tanaman memiliki agrospesifik lokasi dan po la tanam berbeda, kesesuaian lahan, dan sifat agroekologi lainnya. Tanaman kedelai di beberapa daerah merupakan komponen penting dalam struktur ekonomi rumahtangga petani, karena menjadi sumber pendapatan tunai, apalagi dengan adanya pasar terbuka di setiap tempat dan waktu.

(3)

Usahatani kedelai sebenarnya menguntungkan dari segi finansial, dengan pendapatan bersih sekitar Rp. 2.05 juta/ha, walaupun luas areal panen kedelai menurun dari 1.48 juta ha (1995) menjadi 0.55 juta ha (2004), atau turun rata-rata 10% pertahun (Balitbangtan, 2005). Sasaran peningkatan produksi 15% pertahun untuk mencukupi kebut uhan da lam negeri, dengan produksi meningkat 60% pada tahun 2009, berarti swasembada baru tercapai tahun 2015. Investasi yang dibutuhkan adalah Rp.5.09 triliun (2005-2009) dan Rp.16.19 triliun (2010-2025), dimana swasta menyumbang sebesar Rp.0.68 triliun dan Rp.2.45 triliun.

Tujuan da n sasaran pengemba ngan kede lai tercapai jika ada dukungan da n partisipasi dari seluruh stakeholder, yaitu: (1) kebijakan pemerintah dari subsistem hulu hingga subsistem hilir, (2) komitmen stakeholder swasta/ pengusaha untuk berpartisipasi dalam menekan ketergantungan pangan dari impor, dan (3) partisipasi Pemda dan aparat pertanian (penyuluh), serta masyarakat pertanian.

Kebijakan yang dapat dilakukan meliputi: (Balitbangtan, 2005)

1. Kemudahan prosedur untuk mengakses modal kerja (kredit usahatani) bagi

petani dan swasta yang berusaha dalam bidang agribisnis kedelai.

2. Percepatan alih teknologi/ diseminasi hasil penelitian dan percepatan

penerapan teknologi ditingkat petani melalui revitalisasi tenaga penyuluh pertanian.

3. Pembinaan/ pelatihan produsen/ penangkar benih dalam aspek teknis

(produksi benih), manajemen usaha perbenihan, serta pemasaran benih, termasuk penyediaan kredit usaha perbenihan bagi produsen benih.

4. Pengembangan usaha kecil/ rumahtangga dalam subsistem hilir (pengolahan

produk tahu, tempe, kecap, tauco, susu, minyak-goreng), untuk menghasilkan produk olahan yang bermutu tinggi sesuai tuntutan konsumen.

5. Kebijakan makro yang mendorong pengembangan kedelai dalam negeri

seperti tarif impor yang tinggi.

6. Pengembangan prasarana / infrastruktur pertanian (pembukaan sawah / lahan

pertanian, fasilitas irigasi, dan jalan).

7. Kebijakan alokasi sumberdaya (SDM dan anggaran) yang memadai,

(4)

Kedelai mempunyai nilai strategis serta menjadi sumber kalori dan protein nabati, yang dapat diproses menjadi berbagai produk pangan fermentasi seperti tempe, kecap, tauco, natto, dan produk pangan non- fermentasi seperti tahu, susu, yuba, daging tiruan, serta produk minyak kasar untuk pangan dan industri seperti minyak salad, minyak goreng, mentega putih, margarine. Disamping itu kedelai juga diproses menjadi produk lesitin untuk pangan dan farmasi seperti roti, es krim, yoghurt, makanan bayi, kembang gula, obat-obatan, dan produk kecantikan/ kosmetika, dan produk konsentrat protein untuk pangan dan farmasi, serta produk bungkil kedelai untuk pakan ternak (Balitbangtan, 2005). Penganeka-ragaman pola konsumsi masyarakat adalah dengan memanfaatkan sumber karbohidrat, protein, dan mineral selain beras, seperti misalnya kedelai, jagung, kacang tanah, singkong, dan ubi-jalar.

Dari berbagai tanaman pangan yang diusahakan oleh para petani, maka keputusan untuk menanam kedelai sangat dipengaruhi oleh penerapan paket teknologi budidaya kedelai maju di berba gai agro-ekosistem, yaitu meningkatkan produksi, produktivitas, dan pendapatan petani (Manwan et.al., 1990). Masalah usahatani kedelai di tingkat petani adalah rendahnya produktivitas dan terbatasnya peluang perluasan areal panen, kurangnya keahlian dan ketrampilan, serta rendahnya pennggunaan teknologi yang efisien di berbagai agro-ekos istem (Sumarno et.al., 2007). Tingkat partisipasi petani relatif rendah dan terintegrasi dalam kelompok tani melalui koperasi, sehingga memerlukan pola kemitraan yang sejajar untuk pengembangan usaha (Lim, 1997). Faktor pembatas produktivitas adalah pada penyediaan benih bermutu, pola tanam, introduksi teknologi baru, pengendalian hama penyakit dan gulma, permodalan, dan kepemilikan lahan. Kelemba gaan pe ndukung seperti penangkar benih dan penyuluh lapangan masih belum berfungsi (Adisarwanto dan Suyamto, 1997; Adnyana dan Kariyasa, 1997).

Dalam sistem produksi terpadu ditentukan oleh faktor internal, eksternal, lingkungan bio-fisik, da n sos ial eko nomi (Somaatmadja, 1985). Faktor internal mencakup ketersediaan sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan modal. Faktor eksternal berupa permintaan produk, kelembagaan (pemasaran, kredit usahatani, penyuluhan, pemilikan lahan, koperasi), dan sarana/prasarana (irigasi, transportasi). Faktor alami adalah lingk ungan fisik seperti lahan (jenis tanah,

(5)

ketinggian/ kemiringan, radiasi, topografi), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), dan lingkungan biologi (varietas, hama, penyakit, gulma). Faktor sos ial-ekonomi adalah ketersediaan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida.

Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan, khususnya kedelai, telah banyak dilakukan. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (1998), kebijakan yang dilakukan adalah introduksi paket teknologi baru yang tepat guna, program intensifikasi kede lai IP-300, Gemapalagung (gerakan mandiri padi, kedelai, dan jagung), dan diversifikasi pangan. Program ini ditujukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor kedelai. Pengembangan sentra produksi kedelai seperti di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, dan Lampung, memerlukan dukungan lapangan kerja di luar pertanian, mengingat karakteristik kesempatan kerja sektor pertanian bersifat musiman. Bahkan kedelai dianggap sebagai tanaman sela setelah tanaman padi, yang kurang diminati petani, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak. Status tanaman kedelai adalah tanaman

secondary-crops untuk lokasi/daerah sub-trop is.

Peningkatan produksi dan produktivitas kedelai dapat dilakukan melalui: (1) perluasan areal panen di lahan sawah dan lahan kering (ekstensifikasi), (2) intensifikasi, (3) stabilitas hasil dengan menangkal hama penyakit dan gulma, (4) penekanan senjang hasil dengan penyuluhan intensif, penggunaan varietas benih unggul bermutu, pola tanam, pengolahan tanah, dan pemupukan sesuai dosis anjuran, (5) penekanan susut hasil melalui perbaikan pasca-pa nen da n rehabilitasi lahan, da n (6) penetapan harga yang stabil di musim panen dan musim paceklik.

Proses diversifikasi eko nomi pada rumahtangga petani pada umumnya masih terbatas pada keragaman jenis usahatani, sehingga masih tergolong pada skala usaha kecil (rumahtangga). Dengan demikian tambahan pendapatan bagi rumahtangga petani kedelai masih rendah, sehingga sumber pendapatan dan pembagian kerja dalam keluarga belum mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya secara proporsional.

Perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa, mengakibatkan proporsi angkatan kerja sektor pertanian menurun,

(6)

sedangkan sektor industri dan jasa meningkat. Pada tahun 1990 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian adalah 50.40%, sektor industri 16.80%, dan sektor jasa 32.80%. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian berkurang dari 64% (awal PJPT I.) menjadi 51% (akhir PJPT I.), dan pangsanya terhadap PDRB turun dari 34 % menjadi 19%. Kualitas tenaga kerja di sektor ind ustri dan jasa lebih tinggi dibandingkan di sektor pertanian, karena menggunakan jenis teknologi yang lebih maju dengan disiplin tinggi.

Pada umumnya produktivitas tenaga kerja rendah, maka tingkat pemanfaatan tenaga-kerjanya juga rendah, sehingga menimbulkan pengangguran tidak kentara. Produktivitas tenaga kerja rendah tercermin pada tingkat pengetahuan dan ketrampilan serta sikap para pekerja, sedangkan pemanfaatan tenaga kerja terlihat pada jam kerja dan tingkat upah. Menurut Mangkuprawiro (1985), tenaga kerja rumahtangga petani miskin bersedia menerima upah rendah asal tidak menganggur.

Peranan keluarga dalam rumahtangga sebagai unit dasar pengambilan keputusan, hampir mirip perusahaan dalam teori permintaan tenaga kerja. Setiap rumahtangga berusaha memenuhi kebutuhan minimum, dan memperbaiki tingkat hidup dengan bekerja mencari upah. Pendapatan yang diterima dalam bentuk upa h tenaga kerja aka n menambah kesejahteraan keluarga, sehingga rumahtangga yang rasional akan berusaha memanfaatkan waktunya seoptimal mungkin untuk mencapai kesejahteraan keluarga.

Prioritas pembangunan di era milenium dialihkan dari bidang pertanian ke bidang industri dengan pertanian sebagai pendukungnya. Setelah terjadi krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, bidang industri belum bisa diandalkan, sebaliknya bidang pertanian lebih mampu dijadikan alternatif yang lebih baik, yaitu melalui pembangunan pertanian sebagai suatu sistem agribisnis (Saragih, 2001). Petani perlu diberdayakan, dengan melibatkan partisipasi pemerintah daerah dan swasta. Periode 1981-1995 agroindustri menyumbang 50% dari total ekspor Indonesia, sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja, dalam rangka untuk meningkatkan penghasilan dan daya beli masyarakat.

Krisis ekonomi tahun 1998, menyebabkan jumlah petani miskin bertambah karena kesempatan berusaha masih kurang. Kendalanya terletak pada modal yang

(7)

terlalu kecil, pasar yang terbatas, teknologi sederhana, tingkat pendidikan rendah, dan akses pelaku ekonomi yang terbatas. Sifat ketergantungan petani dalam berusaha berakibat ketidak-bebasan petani dalam berproduksi dan memasarkan hasilnya. Petani harus mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya agar menguntungkan, dan petani harus responsif.

Kebijakan perluasan lapangan kerja antara lain dengan pengembangan agroindustri. Untuk melihat keterkaitan berbagai aktivitas ekonomi seperti produksi dan produktivitas, penggunaan input teknologi, penggunaan tenaga kerja, pendapatan rumahtangga dan pengeluaran petani, memerlukan pengkajian dan analisis secara simultan menggunakan pendekatan eko nometrika.

Dalam rangka peningkatan produksi dan penerimaan usahatani kedelai serta pendapatan rumahtangga petani, maka identifikasi permasalahan makro seringkali dirasakan kurang mencukupi, sehingga memerlukan kebijakan pembangunan yang terkait dengan rumahtangga petani, untuk menjawab permasalahan mikro yang tergantung ko ndisi setempat (loka l). Berdasarkan hal tersebut sangat relevan untuk melakukan kajian perilaku rumahtangga petani kedelai yang spesifik lokasi.

Sektor pertanian di negara berkembang seperti Indo nesia memiliki karakteristik tertentu, seperti teknologi produksi pertanian, rumahtangga petani sebagai satu unit ekonomi, dan produk pertanian sebagai komoditas (Nakajima, 1986). Rumahtangga petani penting karena sumbangan kegiatan usahatani rumahtangga terhadap produk sektor pertanian cukup besar. Data BPS pada sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa total rumahtangga pertanian sebesar 24.87 juta, terdiri dari usahatani padi 13.77 juta atau 55.37%, dan usahatani palawija 10.86 juta atau 43.66% (Kusnadi, 2005).

Konsentrasi distribusi rumahtangga petani di Pulau Jawa menyebabkan luas lahan yang dimilikin menjadi lebih sempit. Tekanan penduduk dan alih fungs i lahan pertanian akan mempersempit penguasaan atas lahan kepemilikan rumahtangga petani, sehingga sering disebut sebagai rumahtangga petani gurem. Karakteristik rumahtangga pertanian ini berpengaruh pada aspek teknologi dan dan aspek produksi pertanian, dimana resistensi terhadap perubahan teknologi adalah cukup besar, dengan resiko gagal panen yang cukup tinggi. Akibatnya petani kecil cenderung memilih teknologi tradisional, dengan resiko gagal panen

(8)

yang rendah. Penelitian Mulyana (1998) menganalisis bahwa produktivitas padi sawah di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi, tidak responsif terhadap peningkatan penggunaan pupuk, atau mengalami kejenuhan, sehingga perlu terobosan baru dalam bidang teknologi baru seperti rekayasa perbenihan atau perbaikan teknologi budidaya. Lambatnya laju peningkatan produksi dan produktivitas berpengaruh pada ketergantungan pada impor komoditas padi/gabah, termasuk kedelai dan jagung.

Menurut laporan tahunan FAO, produktivitas kedelai Indonesia pada dasawarsa 1990-an, meningkat dari 0.85 ton/ha menjadi 1.11 ton/ha, tetapi masih jauh dibawah rata-rata dunia sebesar 1.84 ton/ha, apalagi terhadap Amerika Serikat (2.18 ton/ha) dan Brazil (1.97 ton/ha). Perbedaan ini dipengaruhi oleh iklim, panjang hari, teknik budidaya, dan penggunaan input produksi sesuai anjuran. Faktor lainnya adalah luas lahan usaha yang sempit, serangan hama-penyakit dan gulma, fluktuasi harga, kecilnya kredit usahatani, dan belum terjalinnya kerjasama antar instansi. Menurut data BPS, selama kurun waktu 1970-2003, perkembangan luas areal panen dan produksi relatif tidak meningkat secara berarti, dan sejak tahun 2000 terlihat menurun.

Kesenjangan antara permintaan dan penawaran kedelai domestik, akan meningkatkan jumlah impor, dan menimbulkan defisit neraca perdagangan. Titik impas hasil kedelai dalam negeri adalah 1.90 ton/ha, sedangkan untuk bersaing dengan harga dunia adalah 3.10 ton/ha dengan teknologi maju, atau 2.00 ton/ha dengan teknologi produksi rata-rata (Rosegrant et.al., 1987). Hal ini tidak mungkin dapat dicapai pada kondisi agro-ekologi Indonesia, sekalipun potensial untuk pengembangan kedelai (Adnyana dan Kariyasa, 1997).

Produksi dan pendapatan petani akan meningkat dengan adanya kebijakan harga dasar, pengendalian impor, subsidi sarana produksi pertanian, kelancaran pemasaran dan perdagangan, serta pengembangan teknologi. Pemerintah telah beberapa kali menyesuaikan harga kedelai dan harga dasar palawija (Kuntjoro,1997), tetapi harga rata-rata yang diterima petani lebih tinggi dari harga dasar, sehingga kebijakan harga dasar tidak efektif. Meskipun harga kedelai lebih tinggi daripada harga padi, namun produktivitasnya masih rendah (1.21 ton/ha), sehingga penerimaan usahatani padi per- hektar masih lebih besar dari usahatani

(9)

kedelai. Akibatnya, permintaan lebih besar daripada penawaran, sehingga kebutuhan kedelai domestik harus ditutup dengan impor kedelai.

Untuk mendorong adopsi teknologi pemupukan sesuai anjuran, pemerintah memberikan subsidi pupuk, dimana beban subsidi pupuk sejak tahun 1987 mulai dikurangi dan dihapuskan tahun 1998. Peningkatan harga pupuk masih dianggap sebagai cara terbaik untuk mengurangi beban subsidi, khususnya terhadap harga pupuk Urea, pupuk SP36/TSP, dan pupuk KCL/ZA.

Pengembangan teknologi produksi kedelai (Adisarwanto dan Suyamto, 1997) dapat dilakukan melalui penyediaan benih unggul berumur genjah, program pengapuran tanah masam, agro-ekosistem dan sistem pertanaman. Peningkatan produktivitas kedelai dilakukan melalui subsidi pupuk, pengadaan benih bermutu, kredit usahatani, stabilitas harga dan harga patokan, pemasaran dan perdagangan domestik, tenaga kerja upahan, dan penyuluhan pertanian (Adnyana dan Kariyasa, 1997). Sistem pengadaan benih kedelai yang bebas virus berperan penting dalam peningkatan produksi dan produktivitas kedelai (Sadjad, 1997; Nugraha et.al.,1997). Produktivitas kedelai yang dilakukan kelompok tani maju dapat mencapai 2.00-2.50 ton/ha, tetapi terkendala pada iklim yang kurang cocok.

Pengembangan kedelai perlu mempertimbangkan kesesuaian lahan dan teknologi budidaya. Dalam penyediaan benih bermutu, memerlukan teknologi penyimpanan dan penangkaran yang handal, serta penyediaan benih antar lapang dan musim tanam. Pemberian hara mikro dapat diberikan dalam bentuk pupuk daun, pupuk cair, kombinasi pupuk Urea dengan zat perangsang tumbuh, dan inok ulan yang mengandung bakteri Rhizobium spp. Lahan yang baru pertama kali ditanami kedelai, responsif terhadap inokulasi Rhizobium spp (Sumarno et.al., 2007). Penyediaan sarana produksi seperti pupuk mikroba dan pestisida hayati untuk intensifikasi kedelai, dapat lebih mengefektifkan pengendalian hama secara terpadu (Damardjati et.al., 1997).

Rendahnya produktivitas kedelai disebabkan oleh ketidak-cocokan iklim tropis, belum tersedianya lokasi spesifik, dan keengganan petani untuk mengadopsi teknologi maju yang berbiaya tinggi (Sumarno et.al., 1989). Resiko kegagalan tanaman kedelai tinggi, karena tidak toleran terhadap hama-penyakit, hujan dan kekeringan, sehingga produksi dan produktivitasnya rendah. Rendahnya

(10)

produktivitas dan lambatnya perkembangan areal tanam kedelai, menandakan bahwa produksi kedelai belum mampu mengimbangi konsumsi kedelai. Potensi pengembangan kedelai di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, dan Lampung adalah cukup besar, baik di lahan sawah maupun lahan kering bekas padi, terutama sawah golongan air I-II (Adnyana dan Kariyasa, 1997). Untuk melihat dampak penggunaan teknologi Rhizob ium, seperti pupuk mikroba (Rhizoplus), zat perangsang tumbuh, dan inokulan Legin, perlu dikaji faktor- faktor yang mempengaruhi arah dan besaran produksi, konsumsi, pendapatan dan alokasi tenaga kerja, investasi, kredit pertanian, dan tabungan seperti analisis Simatupang (1988).

Dari permasalahan di tingkat petani dimana produksi dan produktivitas rendah, perluasan areal panen lambat, serta penggunaan teknologi budidaya maju yang efektif dan efisien di berbagai agro-ekosistem masih rendah, maka diperluka n penelitian yang tepa t untuk mencari solus i yang pa s da n solid.

1.2. Perumusan Masalah

Dengan melihat latar-belakang tersebut, pengembangan usahatani ditingkat rumahtangga petani kedelai sebagai tanaman sela setelah padi (secondary crops), berperan penting dalam peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarga, serta penyediaan lapangan kerja, melalui kegiatan produksi dan konsumsi. Harapan petani adalah produksi dan produktivitas meningkat, tenaga kerja tidak menganggur, dan kesejahteraan keluarga akan meningkat. Peningkatan produksi dan pendapatan petani akan dialokasikan untuk pengeluaran, investasi, kredit pertanian, dan tabungan.

Peningkatan jumlah pe nduduk da n ko nversi lahan pertanian ke industri dan jasa, mengakibatkan semakin terbatasnya lahan yang tersedia untuk pertanian. Sempitnya penguasaan lahan mengakibatkan penghasilan dari usahatani tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup rumahtangga petani, apalagi harga-harga barang konsumsi melambung tinggi tidak sebanding dengan kenaikan harga komoditas pertanian. Jadi keputusan produksi pada tanaman pangan seperti kedelai merupakan unit rumahtangga pertanian dengan skala usahatani kecil, yang berperan ganda seba gai prod usen da n ko nsumen.

(11)

Perilaku ekonomi rumahtangga petani adalah rasional, baik dalam mengalokasikan sumberdaya rumahtangga untuk menghasilkan barang dan jasa, maupun dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Alokasi sumberdaya dikelompokkan dalam keputusan produksi, sedangkan penggunaan barang dan jasa dikelompokkan dalam keputusan konsumsi. Keputusan produksi dan konsumsi yang rasional memerlukan informasi harga sumberdaya, barang dan jasa, secara tepat, yaitu untuk harga pasar yang dihasilkan dari struktur pasar persaingan sempurna, walaupun pasar yang dihadapi oleh rumahtangga petani di Indonesia pada umumnya adalah pasar persaingan tidak sempurna, karena adanya biaya transaksi, informasi pasar yang asimetrik, adanya kekuatan monopoli dan monopsoni, maupun kebijakan yang diintervensi pe merintah (Kus nadi, 2005).

Karakteristik pekerjaan di sektor pertanian tanaman pangan adalah lamanya masa menunggu hasil panen, sehingga memungkinkan petani memanfaatkan waktu luangnya untuk kegiatan di luar usahatani. Usahatani kedelai banyak menghadapi resiko kegagalan panen akibat serangan hama-penyakit dan gulma atau cuaca yang tidak bersahabat. Ditambah pula dengan ketidak-pastian harga produk karena berfluktuasi tajam. Dengan demikian rumahtangga petani memerlukan pekerjaan dan pendapatan tambahan untuk mengurangi resiko gagal panen atau merugi. Kendalanya terletak pada tingkat pendidikan petani, luas kepemilikan lahan, ketrampilan, dan akses dalam memilih jenis pekerjaan yang terbatas, apalagi kesempatan kerja di pedesaan terbatas.

Peningkatan jumlah angkatan kerja keluarga serta sempitnya lapangan kerja baru diberbagai sektor ekonomi, menyebabkan sektor pertanian tanaman pangan seperti usahatani kedelai, menjadi terbatas penyerapan tenaga kerja-nya. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menurun dari 67% tahun 1971 menjadi 46% tahun 1994, sedangkan sektor manufaktur meningkat dua kali lipat pada periode yang sama, dan sektor jasa meningkat 75%. Perkembangan teknologi di luar sektor pertanian, menciptakan kesempatan kerja baru, baik di perkotaan maupun di pedesaan, termasuk sektor informal.

Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan di pedesaan menyebabkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat menjadi rendah dan kurang berkembang

(12)

dalam berusaha. Pemberdayaannya perlu melibatkan pemerintah daerah dan swasta, seperti program pelayanan kesehatan, permodalan, informasi pasar, teknologi baru, perlindungan dari persaingan pasar yang tidak seimbang, serta eksploatasi pekerja.

Peningkatan produksi di tingkat petani, menjamin tercapainya ketersediaan pangan khususnya kedelai. Kemandirian dalam pemberdayaan masyarakat golongan bawah, membutuhkan perubahan struktural di berbagai aspek, sehingga produksi dan produktivitas serta pendapatan petani meningkat.

Dalam pengambilan keputusan, petani di pedesaan mengkombinasikan antara keputusan produksi, konsumsi, dan keputusan lainnya. Becker (1965) mengatakan bahwa rumahtangga petani tidak hanya sebagai produsen tetapi juga berfungsi sebagai konsumen, sehingga keputusan produksi dan konsumsi dilakukan sekaligus. Keputusan menghasilkan produksi yang tinggi akan berdampak pada pendapatan yang tinggi, dan ditentukan oleh faktor- faktor ketersediaan input dan harganya, lahan, modal, tenaga kerja, juga faktor musim dan ketrampilan petani. Keberhasilan prod uksi petani perlu diikuti oleh tersedianya pasar dengan harga yang layak bagi petani, transportasi yang memadai, dan lembaga keuangan pedesaan yang mampu mendorong akses pasar bagi petani. Kepuasan untuk mengkonsumsi pangan dan non-pangan ditentuka n oleh besarnya pendapatan yang diterima petani dan harga-harga yang be rlaku di pasar. Keputusan berinvestasi tergantung pada modal, pendidikan, kondisi pasar dan harga, termasuk investasi sumberdaya manusia (pendidikan dan kesehatan).

Rumahtangga petani sebagai penyedia tenaga kerja, juga berperan sebagai produsen dan konsumen, sehingga berpengaruh terhadap keputusan penggunaan tenaga kerja dan proses produksi pertanian. Pendapatan petani dari pertanian dan sumber lainnya, akan mempengaruhi tingkat dan pola konsumsi rumahtangga. Untuk meningkatkan kesejahteraan, rumahtangga petani memerlukan kegiatan investasi, modal kredit, dan tabungan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor- faktor yang mempengaruhi arah dan besaran produksi, konsumsi, tenaga kerja, investasi, kredit pertanian, dan tabungan.

Rumahtangga petani selalu berinteraksi dengan lingkungannya, dalam melakukan kegiatan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung. Krisis

(13)

ekonomi dan moneter sangat dirasakan para petani, karena terjadi kenaikan harga barang konsumsi, apalagi dengan adanya kebijakan penghapusan subsidi pupuk, maka harga pupuk dan pestisida meningkat sekitar 250%, ditamba h imbas dari kenaikan nilai tukar Rupiah. Upah tenaga kerja dan luas lahan garapan petani, berpengaruh langsung pada perilaku ekonomi rumahtangga petani kedelai. Dengan demikian perlu dikaji faktor- faktor dominan yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani kedelai.

Di tingkat petani, produksi dan produktivitas rendah, perluasan areal panen lambat, serta penggunaan teknologi budidaya maju yang efektif dan efisien di berbagai agro-ekosistem masih rendah, sehingga mempengaruhi produksi kedelai, penerimaan usahatani kedelai, dan pendapatan rumahtangga petani kedelai.

Berdasarkan kenyataan diatas maka beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik dan pola aktivitas ekonomi rumahtangga petani

kede lai di Indonesia, khususnya kegiatan produksi dan konsumsi ?

2. Bagaimana keterkaitan berbagai aktivitas ekonomi rumahtangga petani

kedelai, khususnya tenaga kerja, pendapatan rumahtangga, dan pengeluaran rumahtangga petani ?

3. Bagaimana pe ngaruh input teknologi dan teknologi baru terhadap produksi

dan pendapatan rumahtangga petani kedelai ?

4. Bagaimana pengaruh kebijakan perubahan harga- harga terhadap

peningkatan penerimaan usahatani kedelai dan pendapatan rumahtangga ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah menganalisis perilaku rumahtangga petani kedelai di Indo nesia, dan secara khusus:

1. Mengidentifikasi perilaku rumahtangga petani dan faktor- faktor dominan

yang mempengaruhi pengambilan keputusan produksi dan pengeluaran rumahtangga petani.

2. Menganalisis keterkaitan antara penggunaan tenaga kerja, pendapatan dan

(14)

produksi, tenaga kerja, pendapatan, konsumsi, investasi, tabungan, dan kredit pertanian.

3. Menganalisis pengaruh input teknologi produksi da n inovasi teknologi baru

pada rumahtangga petani kedelai, dalam meningkatkan prod uks i kedelai dan pendapatan rumahtangga petani kedelai.

4. Menganalisis dampak kebijakan kenaikan harga terhadap produksi kedelai

dan pendapatan rumahtangga petani kedelai.

Rumahtangga petani tidak hanya sebagai unit ekonomi yang mencari keuntungan, tetapi merupakan kompleksitas antara ciri rumahtangga dan ciri perusahaan, dimana kegiatan dan jenis komoditas yang diusahaka n lebih dari satu. Sehingga perlu metodologi khusus dalam proses pengumpulan dan pengolahan data, serta aplikasi atau uji teorinya. Analisis tentang kebijakan di bidang usahatani kedelai penting dilakukan oleh pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, agar dapat dengan tepat sasaran dan target dalam mencari solusi bagi peningkatan produksi kedelai, sehingga dapat menghemat devisa negara dan menambah pendapatan rumahtangga. Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi

studi usahatani kedelai lanjutan dalammengaplikasikanmodel ekonomi

rumahtangga.

1.4. Ruang Lingk up Penelitian

Perilaku ekonomi rumahtangga pada penelitian ini didefinisikan sebagai hubungan struktural antara peubah endogen dan peubah eksogen dalam ekonomi rumahtangga petani. Hubungan struktural dinyatakan dalam bentuk persamaan simultan. Rumahtangga petani dalam penelitian ini dinamakan rumahtangga petani kedelai, namun demikian komoditas yang diusahakan petani dalam periode satu tahun adalah beragam, termasuk padi/gabah, jagung, palawija, ternak, ikan, sayuran dan hortikultura. Status tanaman kedelai adalah sebagai tanaman sela setelah padi/gabah (secondary crops).

Penelitian ini dibatasi pada analisis dampak kebijakan perubahan harga terhadap tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani kedelai, termasuk didalamnya luas areal panen kedelai, produksi kedelai, input teknologi

(15)

produksi dan inovasi teknologi baru (benih, pupuk, zat perangsang tumbuh dan rhizoplus), tenaga kerja, pendapatan, konsumsi,investasi, tabungan, da n kredit pertanian. Peuba h kebijaka n meliputi harga kede lai, harga gaba hKP, harga sarana produksi (benih, pupuk, pestisida), upah tenaga kerja kerja, dan ko mbinasi harga kedelai dengan harga sarana prod uksi, upa h tenaga kerja, da n harga gaba hKP. Harga palawija sepertijagung, singkong, ubi-jalar, dan kacang-tanah, tidak disimulasikan.

Kendala dan batasan yang perlu diperhatikan adalah: (1) produktivitas sebagai rasio produksi kedelai dengan luas areal panen kedelai dihitung manual;(2) tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga, sedangkan curah kerja adalah tenaga kerja dalam keluarga ditamba hcurah kerja usahatani milik orang lain; (3) upa h tenaga kerja adalah yang dibayarkan langsung kepada tenaga kerja per-hari pe r-orang kerja (HOK), sedangkan upah tenaga kerja dalam keluarga tidak diperhitungkan; (4) input teknologi prod uksi terdiri dari benih kedelai, pupuk (Urea, SP36/TSP, KCL/ZA), serta pestisida (obat, zat perangsang tumbuh, rhizop lus), sedangkan pupuk hijau/kandang sebagai peubah eksogen; (5) biaya usahatani kedelai meliputi biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi, sedangkan pendapatan usahatani kedelai merupaka n penerimaan usahatani kedelai dikurangi biaya usahatani kedelai; (6) pendapatan rumahtangga adalah pendapatan usahatani kedelai ditambah pendapatan usahatani non-kedelai dan pendapatan non-usahatani lain, sedangkan pendapatan disposable adalah pendapatan rumahtangga dikurangi pajak/iuran;(7) konsumsi rumahtangga terdiri dari konsumsi pangan tunai dan konsumsi non-pangan serta konsumsi lainnya; (8) kedelai jual sebagai surplus pasar merupakan selisih antara produksi kedelai dengan konsumsi kedelai (dalam kilogram); (9) investasi rumahtangga terdiri dari investasi sumberdaya dan investasi produksi pertanian, dimana investasi sumberdaya terdiri atas investasi pendidikan dan investasi kesehatan;dan (10)pengeluaran rumahtangga merupakan penjumlahan konsumsi rumahtangga dengan investasi rumahtangga.

Kendala kepemilikan lahan seperti status lahan seba gai milik sendiri dan lahan sewa/sakap, dapat diatasi dengan dummy area (wilayah), sedangkan kendala perbedaan type lahan garapan seperti irigasi teknis dan irigasi setengah teknis,

(16)

serta tadah hujan, dapat diatasi dengan dummy irigasi. Kendala perbedaan gender antara tenaga kerja laki- laki dan perempuan serta anak-anak, dapat diatasi dengan

dummy gender. Kendala perbedaan keterampilan dan pengalaman kerja serta

pendidikan (skill), dapat diatasi dengan dummy skill. Kendala agronomis adalah pola tanam tumpangsari, penggunaan varietas benih unggul dan lokal, pemakaian zat perangsang tumbuh dan rhizoplus.Kendala dan batasan ini, cukup representatif untuk menjawab tujuan penelitian dalam disertasi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Pensejajaran ontologi atau ontology alignment adalah identifikasi relasi antar elemen yang individual dari berbagai ontologi dengan tujuan membangun interoperabilitas

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik penjodohan pola, yaitu dengan membandingkan data pola peran Humas atau aktivitas yang senyatanya terjadi di Biro

hubungan antara derajat kaki diabetes kalsifikasi Wagner dengan nilai ABI, sehingga semakin berat komplikasi penyakit arteri perifer semakin berat derajat kaki

biaya langsung dan tidak langsung dari produk jasa pelatihan SDM yang dilakukan Pumping Learning Center, menganalisis objek biaya pada produksi sebuah training yang dilakukan

Adapun pada bagian kedua dijelaskan mengenai bilangan acak, pembangkit bilangan acak semu dan berbagai algoritma yang sudah ada, pembangkit bilangan acak semua

Per 30 September 2007, rugi atas nilai wajar kontrak opsi di atas sebesar Rp2.705 (ekuivalen dengan AS$296), sedangkan per 30 September 2008 laba atas nilai wajarnya sebesar Rp114.021

Varietas Tahan adalah varietas tanaman yang mempunyai kemampuan untuk menolak atau menghindar, sembuh kembali dan mentolelir dari serangan hama atau penyakit

dan memberikan reward kepada siswa yang membuat karya baik itu tulis ataupun karya yang lain yang sesuai materi.8 Dalam penerapan nilai kreatif peneliti melakukan observasi di