• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Isu mengenai keterbukaan informasi publik saat ini masih menjadi hal yang aktual menjadi perbincangan dalam masyarakat. Apalagi hal-hal yang terkait dengan informasi dari pemerintahan untuk dapat dikonsumsi publik.

Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik seharusnya semakin memiliki integritas tinggi dalam melaksanakan fungsi sebagai pelayan masyarakat dalam memberikan keterbukaan informasi, apalagi setelah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dikeluarkan, pemerintah semakin diawasi oleh masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan hingga kini masih menjadi “barang yang langka”. Hal ini dibuktikan dari hasil penilaian Komisi Informasi Pusat Tahun 2013 terhadap kepatuhan Badan Publik dalam menerapkan UU KIP, yang menunjukkan nilai rata-rata tingkat keterbukaan informasi badan publik masih dibawah 50 (http://www.komisiinformasi.go.id/news/view/perlunya-grand-design-keterbukaan-informasi-publik pada 04/02/2014).

Pada pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan salah satu bukti belum berjalannya keterbukaan informasi kepada publik yakni terkait dengan tidak terealisasinya proyek atau proyek gagal pada tahun 2014. Seperti dilaporkan oleh harian Banjarmasin Post, Pemprov Kalsel dikeluhkan masih belum terbuka dalam menyampaikan informasi yang sudah seharusnya diketahui oleh masyarakat. Informasi tersebut terkait proyek pembangunan di Kalsel setiap tahunnya (http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/01/09/tak-ada-data-gagal-lelang pada tanggal 09/01/2015) serta juga pada tanggal 10/01/2015 (http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/01/10/menutupi-informasi-publik).

(2)

Terlihat pada beberapa instansi di Pemprov Kalsel mulai DPRD, pejabat di Dinas Pekerjaan Umum hingga Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemprov Kalsel terkesan menutup diri dan tidak transparan, terkait data proyek APBD 2014 yang tidak selesai sampai akhir anggaran. Pihak terkait tidak memberikan data mengenai kegagalan proyek pada website LPSE yang biasanya dilakukan oleh pemerintah lain, sebagai perbandingan Pemerintah Kota Banjarmasin memberikan data proyek apa saja yang gagal dan mensertakan alasannya. Sedangkan pemerintah Provinsi Kalsel enggan memberikan data dengan berbagai alasan sehingga menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Biro Humas yang sedianya menjadi corong informasi yang dibutuhkan masyarakat seakan tidak tahu menahu mengenai kegagalan proyek yang terjadi di daerahnya.

Hal lain yang juga menjadi perhatian baru-baru ini adalah peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2014 tentang Wewenang Perizinan Tambang di UU No. 23/2014 dan Pemerintahan Daerah/PerPu No 2/2014, yakni mengenai kewenangan terhadap perizinan pertambangan. Dalam PerPu tersebut dijelaskan bahwa Bupati dan Walikota tidak lagi berwenang menetapkan wilayah usaha pertambangan (WIUP) serta izin usaha pertambangan (IUP) ke perusahaan. Kewenangan tersebut kini hanya dimiliki pemerintah Provinsi yakni Gubernur dan pemerintah pusat/ ESDM. Harian Republika (23/09/2014) memberitakan dialihkannya kewenangan dikarenakan pertambangan merupakan hal yang bersifat ekologis dan rawan dengan penyimpangan maka diharapkan pengawasan dan fungsi kontrol berjalan lebih baik apabila kewenangan dikontrol oleh pemerintah Provinsi (http://www.republika.co.id/berita/koran/nusantara-koran/14/09/23/ncc8k97-gubernur-kuasai-izin-pertambangan).

Selain itu, menurut Dirjen Otonomi Daerah masih dalam harian Republika, dari aspek sumber daya manusia, pemerintahan tingkat provinsi lebih mencukupi, baik kuantitas maupun kualitas. Kalsel yang diketahui

(3)

memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk dalam 12 provinsi bermasalah dalam hal perizinan tambang. Dari data Dinas Pertambangan Kalsel pada akhir 2013 lalu yang dilansir Koran Tempo (10/02/2014), diketahui dari 845 perusahaan pemegang IUP di Kalimantan Selatan, hanya 435 yang sudah berstatus Clear and Clean (http://www.tempo.co/read/news/2014/02/20/090556111/Banyak-Perusahaan-Batu-Bara-Belum-Berstatus-CNC).

Dengan kewenangan yang dipindahkan ke pemerintah Provinsi, maka perluasan tugas yang sedianya hanya terletak di Kabupaten/Kota, kini juga ditarik ke pemerintah Provinsi. Peran Biro Humas saat ini dalam pelayanan informasi publik semakin kompleks, selain menjalankan fungsi komunikasinya untuk memberikan citra baik pemerintah, humas pemerintah pada Biro Humas Kalsel juga bekerjasama dengan instansi lain dalam memberikan informasi publik terkait perizinan tambang yang kini telah menjadi kewenangan pemerintah Provinsi.

Keberadaan Government Public Relations atau yang kerap disebut humas pemerintah merupakan suatu keharusan secara fungsional dan operasional dalam upaya menyebarluaskan dan mempublikasikan suatu kegiatan atau kebijakan pemerintahan pada publiknya. Terlebih kini dengan tuntutan keterbukaan informasi publik, humas sebagai corong informasi pemerintah diharapkan dapat berperan lebih dalam pelayanan keterbukaan informasi publik di pemerintahan. Terbitnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008 memerlukan untuk dibentuknya Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) pada badan publik termasuk pemerintah Provinsi/Kab/Kota di Indonesia. PPID merupakan struktur yang bertanggungjawab dalam penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan informasi serta memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat yang membutuhkan. Pembentukan PPID ini pada provinsi di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sumatera Utara,

(4)

Kalimantan Timur dan Tengah misalnya, PPID utama berada pada Dinas Komunikasi dan Informatika.Sedangkan Provinsi lainnya diantaranya

Kalimantan Selatan dan Barat serta Sumatera Selatan, meletakkan Biro Humas sebagai PPID utama.

Provinsi Kalimantan Selatan termasuk salah satu yang memasukkan Biro Humas bukan saja sebagai humas pemerintah yang menjalankan peran sebagai fasilitator komunikasi lingkup Sekretariat Daerah Kalsel, namun juga sebagai Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) utama. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Kalsel No.188.44 Tahun 2014 tentang Penetapan PPID di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalsel. Dalam hal ini Biro Humas Provinsi Kalsel ditunjuk sebagai PPID utama dengan memiliki PPID pembantu yang berada pada setiap instansi/ SKPD di Provinsi Kalsel. Hal inilah yang berbeda dengan kebanyakan Provinsi lain, yakni meletakkan PPID utamanya pada Dinas Perhubungan dan Komunikasi.

Dalam konteks menjalankan amanat Undang-Undang KIP, Provinsi Kalsel termasuk lamban dalam merespon terbitnya UU KIP. Dapat terlihat dalam data Kementerian Dalam Negeri tahun 2013 (http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2013/10/01/p/p/ppid_prov_se _indonesia.pdf), maupun rekap Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (https://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2014/07/tabel-rekap-ppid-per-1-juli-2014.pdf) per tanggal 1 Juli 2014, Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu Provinsi yang paling lambat dalam membentuk PPID dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Bahkan juga tertinggal dengan ketiga Provinsi di Kalimantan lainnya yakni, Kalimantan Tengah, Timur dan Barat yang telah jauh lebih dulu membentuk PPID dan kelengkapannya. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008, PPID di setiap badan publik seharusnya sudah terbentuk selambat-lambatnya pada Agustus 2011. Namun yang terjadi di Provinsi Kalsel, PPID terbentuk baru pada awal tahun 2014.

(5)

Selain pembentukan PPID Kalsel yang terlambat, pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) juga dianggap terlambat. Menurut data dari Komisi Informasi Pusat (KIP), Kalsel termasuk dalam 6 Provinsi yang baru membentuk KID pada tahun 2014. Sedangkan 21 Provinsi lainnya telah lebih dahulu membentuk dalam rentang tahun 2011-2013, sementara 6 Provinsi lainnya masih dalam proses (http://www.komisiinformasi.go.id/category/view/ki-provinsi). KID Kalsel terbentuk pada Agustus tahun 2014 berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur No. 188.44/0391/KUM/2014 tentang penetapan anggota Komisi Informasi Provinsi Kalsel 2014-2018. Pembentukkan KID Kalsel termasuk terlambat karena dalam penjelasan UU KIP No.14 Tahun 2008, Komisi Informasi terbentuk paling tidak setelah 2 tahun UU KIP dikeluarkan.

Pada Provinsi Kalsel sistem informasi publik yang berjalan masih dikendalikan oleh masing-masing SKPD/ instansi dan menjadi kewenangan mereka untuk memberikan informasi kepada publik. Sedangkan Biro Humas Kalsel menjadi pelayan informasi lingkup Sekretariat Daerah saja. Namun dengan Biro Humas Kalsel merangkap sebagai PPID utama, maka Biro Humas juga berperan untuk mengakomodir semua informasi publik dari seluruh instansi Provinsi Kalsel, tidak hanya yang berada pada lingkup Sekretariat Daerah. Menjadi penting ketika Biro Humas mengetahui dan ikut memahami hal-hal yang merupakan informasi publik dari instansi-instansi di Kalsel, sehingga informasi yang didapatkan oleh publik dapat berjalan satu pintu yakni melalui Biro Humas Kalsel, Seperti yang selama ini terjadi pada Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sementara itu hubungan yang terjadi antara Biro Humas Kalsel dengan Komisi Informasi Daerah (KID) sama-sama memberikan pengertian mengenai UU KIP kepada publik, namun apabila Humas pada publik internal pemprov Kalsel, KID mensosialisasikan kepada publik eksternal yakni masyarakat luas. Namun dalam hal pelayanan keterbukaan informasi publik, Biro Humas lah yang berperan untuk melayani publik secara luas.

(6)

Menjadi konsentrasi Biro Humas Kalsel kini yang juga menjadi PPID utama ikut berperan sebagai jembatan komunikasi antar instansi dalam memutuskan pelayanan keterbukaan informasi publik. Dalam konteks pelayanan informasi publik, selama ini Biro Humas provinsi Kalimantan Selatan melakukannya dengan cara membina hubungan baik dengan media massa. Biro Humas menginformasikan berita pemerintahan melalui press release, advertorial maupun acara khusus di televisi maupun radio. Sementara itu penggunaan website resmi Provinsi Kalsel dalam layanan informasi publik kepada masyarakat, telah lama dilakukan namun belum maksimal, dikarenakan belum beroperasi secara online sehingga publik yang ingin memberikan feedback atas informasi dari pemerintah masih kesulitan.

Biro Humas juga memiliki media sosial yakni facebook namun dari pengamatan yang dilakukan pada facebook Biro Humas tidak didapati perbedaan karakteristik informasi yang diberikan juga pada website. Sementara itu pada twitter Biro Humas sejak akhir bulan November tahun 2014 sudah tidak lagi terdapat twit dari Biro Humas atau dapat dikatakan nonaktif. Kedua media sosial tersebut sama-sama tidak ada menunjukkan komunikasi interaktif antara publik dan pemerintah, yang seharusnya hal tersebut dapat dimanfaatkan dengan keberadaan media sosial.

Sebagai pintu informasi, Biro Humas Kalsel berfungsi sebagai tempat keluar dan masuknya informasi dari dan untuk masyarakat. Berbagai kebijakan dari pemerintah disosialisasikan melalui humas, serta informasi dan masukan dari masyarakat diserap oleh humas untuk diserahkan kepada pimpinan selaku penentu kebijaksanaan. Dari berbagai uraian diatas yang menjadi dasar dilakukannya penelitian peran Biro Humas Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam melayani informasi publik di Lingkungan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012-2014.

(7)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana peran Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dalam melayani informasi publik di Lingkungan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012-2014?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dalam melayani informasi publik di Lingkungan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012-2014.

D.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepentingan praktis maupun akademis. Bagi kepentingan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan perbadingan kepada praktisi Humas Pemerintah dalam mengembangkan peran Humas di Pemerintahan yang lebih efektif sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan memberikan masukan kepada Biro Humas Pemprov Kalsel untuk masa yang akan datang.

Sedangkan bagi kepentingan akademis diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan kajian ilmu komunikasi, terkait peran humas di pemerintahan melayani pemberian informasi publik di Lingkungan Provinsi Kalimantan Selatan dan juga dapat menjadi salah satu referensi pada penelitian serupa selanjutnya.

E.Obyek Penelitian

Obyek pada penelitian ini adalah Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan yang juga sebagai PPID Provinsi/ utama, Kabag Pemberitaan dan Penerbitan (Pelayanan Informasi), Kabag Pengelolaan Informasi (Pengelolaan Informasi, dokumentasi dan arsip),

(8)

Kabag Pengolahan Data Elektronik (Pengolahan dan Pelayanan Data Elektronik) dan fungsional pranata Humas. Selain itu, obyek penelitian ini juga mencakup media komunikasi online juga offline yang memuat layanan keterbukaan informasi publik. Media online dalam penelitian ini difokuskan pada website, twitter, dan facebook. Fokus penelitian ini adalah Biro Humas Pemprov Kalsel yang menjalankan layanan keterbukaan informasi publik di pemerintah provinsi.

F. Literature Review

Dalam melakukan penelitian tentang peran humas pemerintah, perlu dilakukan tinjauan pustaka untuk mengetahui penelitian sebelumnya yang memiliki tema serupa, baik tentang peran humas maupun keterbukaan informasi publik. Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan tentang penelitian-penelitian terdahulu, ditemukan tema yang serupa dengan penelitian yang sedang dilakukan saat ini.

Penelusuran pertama didapat dari hasil penelitian David Welkinson (2012). Penelitian tersebut meneliti tentang peran humas pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) No.14 tahun 2008. Dalam penelitiannya Welkinson menggunakan 4 teori Dozier yakni Expert Prescriber, Problem Soving Facilitator, Communication Facilitator dan Communication Technician. Welkinson mengelaborasi 4 peran tersebut dengan teori tahapan manajemen kehumasan oleh Jefkins. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan aktivitas humas DPR RI lebih mengarah kepada peran sebagai manajer namun terletak pada peran fasilitator komunikasi dan juga berperan sebagai teknisi komunikasi. Sedangkan dua peran lainnya tidak terlalu menonjol dan apabila di bandingkan dengan konsep teori peran humas dari Dozier, Humas DPR RI masih menjalankan perannya pada tingkat fasilitator dan teknisi komunikasi.

(9)

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Titis Hidayati (2014). Dalam penelitiannya, Hidayati mendeskripsikan peran humas dalam implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No.14 tahun 2008 di Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) RI di Jakarta. Hidayati menganalisis penelitiannya dengan memakai elaborasi konsep standar kewajiban pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 di badan publik. Penelitiannya tersebut menghasilkan sebuah temuan yang juga menegaskan hasil penelitian yang dilakukan Welkinson. Temuan tersebut berupa realita bahwa humas dalam badan publik pemerintah berada pada posisi peran sebagai fasilitator komunikasi dan teknisi komunikasi. Humas BPK RI yang menjadi obyek penelitian ini, disimpulkan sangat berperan dalam memberikan masukan dan kebijakan mengenai keterbukaan informasi publik namun masih sangat bergantung kepada pimpinan yang berada diatasnya lagi atau yang disebut dengan pemangku kepentingan.

Penelitian ini mirip dengan penelitian Welkinson dan penelitian Hidayati, yakni sama-sama menggunakan 4 konsep peran humas pemerintah. Namun perbedaannya dalam membantu analisis, penelitian ini menggunakan tupoksi Biro Humas Kalsel dan tupoksi PPID Pemprov Kalsel yang dielaborasikan dengan 4 konsep peran humas pemerintah, selain itu waktu dan setting tempat penelitian ini pun berbeda dengan dua penelitian diatas.

G. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan acuan peneliti dalam menjelaskan teori yang digunakan dalam menganalis rumusan masalah, agar elemen-elemen dalam penelitian ini menjadi jelas. Adapun kerangka pemikiran yang di gunakan adalah Peran humas pemerintah sebagai pelayan informasi publik.

1. Peran Humas Pemerintah Sebagai Pelayan Informasi Publik

Dalam buku Practice of Government Public Relations, dijelaskan memberikan pelayanan publik merupakan hal yang paling penting dan

(10)

diperlukan oleh humas pemerintah, tidak hanya sekedar mengatur strategi komunikasi yang efektif demi mewujudkan misi dari pemerintahan semata. Informasi publik merupakan salah satu aspek kunci untuk akuntabilitas pemerintah, praktisi humas pemerintah perlu membangun komunikasi eksternal dalam menyampaikan informasi publik yang dapat digunakan untuk memajukan kinerja pemerintahan itu sendiri (Lee,2012:1).

Seperti yang diungkapkan oleh Cutlip, Center dan Bromm (2006:388), dua premis fundamental tentang pentingnya pemerintah mempraktekkan public relations. Pertama, pemerintah yang demokratis harus menyampaikan kegiatan-kegiatannya kepada warga negara. Kedua, administrasi pemerintahan yang efektif memerlukan partisipasi dan dukungan aktif dari warga negara. Dua pernyataan ini menyiratkan bahwa suatu pemerintahan yang demokratis perlu mempraktekkan proses pertukaran informasi agar tercipta partisipasi warga negara yang dapat mendukung kegiatan pemerintah. Selain itu pemerintah sebagai pelayan publik memiliki kewajiban memberitahu publik dan mendengar publiknya sehingga terjadi komunikasi dua arah yang penting bagi keberlangsungan organisasi dan publiknya (Putra, 2004).

Dalam aktivitasnya untuk menyentuh seluruh lapisan masyarakat pada pelayanan informasi publik, pemerintah mengandalkan peran dari humas pemerintah. Seperti yang diungkapkan Cutlip, dkk (2006) tugas utama humas pemerintah adalah memberikan layanan informasi tentang pemerintah. Cutlip dkk juga mengemukakan beberapa tujuan dari humas pemerintah yakni pemberian informasi publik tentang aktivitas pemerintah, melayani sebagai advokat publik untuk administrator pemerintah, mengelola informasi internal dan memfasilitasi hubungan media.

Dalam pemerintahan, hubungan masyarakat identik dengan perannya sebagai sumber informasi atau menjadi fasilitator pembicara dalam pemerintahan. Peran humas sendiri sebenarnya merupakan gambaran dari kegiatan atau aktivitas humas dalam keseharian, hal ini merujuk pada

(11)

pemaknaan oleh Dozier yakni peran humas sebagai abstraksi atas pola perilaku individu-individu dalam organisasi saat melakukan praktik kehumasan (“abstractions of behavior patterns of individuals in organization when practicing public relations”). Dalam hubungannya dengan fungsi humas, Dozier (dalam Grunig, 1995) mengungkapkan, peranan praktisi public relations dalam organisasi merupakan salah satu kunci penting dalam memahami fungsi public relations dan komunikasi organisasi.

Telah banyak diungkapkan, penelitian mengenai peran public relations penting karena penelitian tentang peran memungkinkan untuk menghubungkan pekerjaan public relations dengan identifikasi lebih luas dari seberapa baik departemen humas yang terstruktur dalam organisasi (Dozier, LA Grunig, & JE Grunig, 1995), sementara itu Holtzhausen, Petersen, dan Tindall (dalam Boudreaux, 2005) mendefinisikan peran sebagai tindakan berulang yang dilakukan untuk menetapkan sistem praktek atau model.

Penelitian terdahulu mengenai peran public relations oleh Broom dan Dozier (dalam Grunig, 1995), menghasilkan empat peran public relations yang sampai saat ini masih relevan untuk dipakai dalam penelitian dan kemudian oleh mereka pula tahun 1992 dibagi kembali peran tersebut menjadi dua bagian,yaitu peran sebagai manajer public relations (communication manager role) yakni: expert prescriber, problem solving process facilitator, communication facilitator dan peran sebagai teknisi komunikasi public relations (communication technician role).

a. Expert Prescriber

Praktisi public relations dipercaya sebagai praktisi yang ahli dalam memberikan solusi bagi masalah kehumasan dalam organisasinya, tanpa melibatkan manajemen puncak. Hal ini dikarenakan praktisi dianggap memiliki pengalaman dan kecerdasan tersendiri mengenai kehumasan (Dozier & Broom 1995). Diungkapkan pula oleh Toth (dalam Kelleher, 2009) dalam peran ini, ketika terjadi permasalahan kehumasan dalam organisasinya, manajemen

(12)

puncak bertindak pasif dan menerima saja apa yang telah diusulkan oleh praktisi public relations. Moss (2005) menyebut peran ini sebagai peran menajerial monitoring dan evaluation ketika praktisi public relations menjalankan tanggung jawab manajerial dengan menyusun tujuan dan sasaran program komunikasi, memantau implementasi program tersebut lewat pengukuran yang tepat.Kemudian Dozier memaparkan peran expert prescriber dapat dilihat apabila praktisi humas melakukan aktivitasnya yakni mendefinisikan dan memecahkan masalah kehumasan dalam organisasinya melalui perumusan kebijakan, membuat dan mengawasi rencana pelaksanaan program, bertanggung jawab dalam implementasi dan mengelola sumber daya manusia (Cutlip, dkk, 2006:46).

Dalam konteks pelayanan informasi publik dalam penelitian ini, peran expert prescriber yang disebutkan tadi dielaborasikan dengan tugas pokok fungsi (Tupoksi) Biro Humas Kalsel dan tupoksi Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) Utama, yang juga dijalankan oleh Biro Humas Kalsel. Maka peran expert prescriber Biro Humas Kalsel dapat dinilai dari tupoksi Biro Humas Kalsel yakni, perumusan kebijakan terkait kegiatan Humas, kemudian pertanggung jawaban implementasi dapat dilihat dari kegiatan monitoring dan evaluasi informasi yang dilakukan praktisi humas, Selain itu aktivitas lainnya yakni membuat rencana program dan mengawasi pelaksanaan program dalam pengelolaan kegiatan kehumasan, dan mengelola sumber daya manusia (SDM) dengan menyiapkan bahan pendidikan dan pelatihan pengembangan SDM sesuai kebutuhan kehumasan juga merupakan indikator hasil elaborasi dari tupoksi Biro Humas Kalsel.

b. Problem Solving Process Facilitator

Peran ini digambarkan praktisi public relations bekerjasama dengan manajemen puncak atau bagian lain di luar organisasi untuk menemukan pemecahan masalah secara sistematis yang memuaskan bagi permasalahan

(13)

kehumasan (Dozier & Broom dalam Kelleher, 2005). Selanjutnya, Broom & Smith (Boudreaux, 2005) mengidentifikasi peran ini sebagai praktisi yang bekerja sama dengan anggota organisasi untuk memecahkan masalah public relations, diungkapkan pula praktisi yang menjalankan peran ini merupakan anggota dari tim manajemen, ikut terlibat dalam proses pemecahan masalah yang rasional melibatkan seluruh bagian organisasi dalam perencanaan public relations.

Keterlibatan praktisi humas dalam menyelesaikan masalah organisasi merupakan salah satu peran yang juga dikemukakan oleh Moss yakni trouble shooter/problem solver. Ini juga merupakan prinsip dalam konsep excellence public relations yang dirumuskan oleh Grunig yakni humas merumuskan program untuk berkomunikasi dengan publik-publik strategis baik itu publik internal ataupun eksternal yang terpengaruh oleh keputusan dan tindakan organisasi, untuk itu humas harus memiliki akses koalisi dominan dalam organisasi (Moss,et al, 2005). Broom dan Dozier (Boundreaux, 2005) menyatakan bahwa partisipasi peran ini di organisasi dalam proses pengambilan keputusan ditandai dengan sejauh mana praktisi berpartisipasi dalam pertemuan dengan manajemen untuk mengadopsi kebijakan baru, membahas masalah-masalah besar, mengadopsi prosedur baru, melaksanakan program-program baru, dan mengevaluasi hasil program. Mereka berpendapat bahwa partisipasi tersebut memiliki implikasi penting bagi praktek profesionalisasi praktisi humas.

Dengan melihat indikator peran problem solving process facilitator yang disebutkan diatas, maka peran tersebut juga dapat dilihat dalam tupoksi PPID Utama Kalsel yakni melakukan verifikasi bahan informasi publik merupakan bagian dari pembahasan prosedur baru dalam organisasi, dan melakukan inventarisasi informasi yang dikecualikan untuk dilakukan uji konsekuensi oleh tim pertimbangan merupakan bentuk keterlibatan praktisi humas dalam tim manajemen puncak. Indikator tersebut merupakan hasil

(14)

elaborasi teori peran dan tupoksi PPID utama yang dijalankan oleh Biro Humas Kalsel berdasarkan konteks dalam penelitian ini.

c. Communication Facilitator

Peran praktisi public relations bertindak sebagai perantara dan membantu manajemen dengan menciptakan kesempatan-kesempatan untuk mendengar apa kata publiknya dan menciptakan peluang agar publik mendengar apa yang diharapkan manajemen (Dozier & Broom, 1995). Toth mendefinisikan peran ini adalah sebagai pendengar yang peka dan broker (perantara), interpreter dan mediator komunikasi antara organisasi dan publiknya (Boudreaux, 2005). Peran ini juga menjaga komunikasi dua arah dan memfasilitasi komunikasi dengan menyingkirkan rintangan dalam hubungan dan menjaga agar saluran komunikasi tetap terbuka. Selain itu bertindak sebagai sumber informasi dan juru komunikasi antara organisasi dan publik. Tujuannya adalah memberi informasi yang dibutuhkan oleh baik itu manajemen maupun publik untuk membuat keputusan demi kepentingan bersama (Cutlip, 2006: 47).

Dalam konteks penelitian ini, peran communication facilitator yang diungkapkan oleh Dozier dapat dilihat pula dari hasil elaborasi indikator dengan tupoksi Biro Humas yakni menciptakan kesempatan untuk mendengar apa kata publik dan menciptakan peluang agar publik mendengar apa yang diharapkan manajemen dapat dinilai dari aktivitas pelaksanaan penyiaran informasi kegiatan pemerintah melalui media komunikasi dan penghimpunan informasi eksternal yang masuk serta menyediakan informasi dan dokumentasi untuk diakses oleh masyarakat. Indikator selanjutnya yakni pendengar yang peka dan broker (perantara), interpreter dan mediator komunikasi antara organisasi dan publiknya juga menjaga komunikasi dua arah dan menjaga agar saluran komunikasi tetap terbuka hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan bakohumas dan jumpa pers yang dilakukan setiap bulannya.

(15)

Sementara dalam tupoksi PPID utama terdapat penilaian yang termasuk dalam indikator tersebut yakni mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan pengumpulan bahan informasi dan dokumentasi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemprov Kalsel dan menyimpan, menyediakan serta memberi pelayanan informasi kepada publik kemudian membuat laporan pelayanan informasi seperti jumlah pemohon infomasi, permintaan informasi yang ditolak dan diterima, alasan penolakan dan waktu yang dibutuhkan dalam proses permohonan informasi publik.

d. Communication Technician

Peran ini merupakan kegiatan praktisi humas dalam menjalankan layanan teknis komunikasi. Berkowitz dan Hristodoulakis menyebutkan peran Communication technic biasanya meliput kegiatan menulis dan mengedit newsletter karyawan, menulis news release dan feature, komunikasi penanganan produksi informasi, mengembangkan isi Web, dan menangani kontak dengan media (Boudreaux, 2005). Praktisi yang melakukan peran ini biasanya tidak hadir saat manajemen mendefinisikan masalah dan memilih solusi. Mereka baru bergabung untuk melakukan komunikasi dan mengimplementasikan program yang telah diputuskan. Meskipun begitu praktisi inilah yang diberi tugas untuk menjelaskannya kepada publik internal dan pers (Cutlip dkk, 2006). Peran ini bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan public relations kegiatan seperti konferensi pers atau acara, produksi bahan seperti pidato dan rilis berita. Broom dan Dozier mengidentifikasi peran ini sebagai yang bertanggung jawab untuk memproduksi dan menyebarkan pesan organisasi (Boudreaux, 2005).

Untuk menemukan indikator yang sesuai dengan konteks penelitian ini, dilakukan kembali elaborasi indikator dengan tupoksi Biro Humas Kalsel, kegiatan penanganan produksi informasi dapat dinilai dengan pengolahan informasi kegiatan bidang pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan,

(16)

menyajikan dan memberikan pelayanan data informasi pemerintahan, mengolah data dokumentasi informasi seperti klipping berita, foto, audio visual, pelaksanaan dan penyiapan bahan kegiatan pelayanan pers, seperti pers release, menyiapkan dan menyusun jadwal kegiatan pemerintah daerah untuk peliputan media massa. Kemudian terdapat juga pemahaman indikator tersebut dalam tupoksi PPID utama yakni berupa aktivitas mengolah data yang akan disajikan sebagai informasi publik dan mendokumentasikan informasi yang dikuasai.

Indikator lainnya yakni, pengembangan isi website dapat dilihat dari pelaksanaan kegiatan informasi dalam teknologi informasi, pengumpulan, verifikasi dan updating data berbasis Informasi Teknologi. Indikator berikutnya yakni menangani kontak dengan media dapat dilihat dari menyiapkan bahan pelaksanaan kegiatan pelayanan pers. Indikator terakhir yakni bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan public relations dalam memproduksi dan menyebarkan informasi dapat dilihat pula dalam tupoksi PPID utama yakni melakukan pemutakhiran informasi dan dokumentasi dan mengolah data informasi berbasis informasi teknologi.

Peran public relations oleh Dozier yang telah dikemukakan diatas selain di terapkan pada perusahaan swasta atau organisasi profit, juga dapat di terapkan pada organisasi non profit. Misalkan saja pada humas pemerintah. Ini seperti apa yang diungkapkan Liu & Levenshus (2010) meskipun komunikator pemerintah enggan apabila label kegiatan mereka sebagai “public relations”, namun mereka bergantung pada toolbox yang sama dengan perusahaan swasta pada umumnya. Sementara itu dalam buku Cutlip dkk (2006), peran public relations dominan yang dimiliki oleh humas pemerintah adalah sebagai communication facilitator dan communication technician. Hal ini dikarenakan kedua peran ini mendominasi dalam organisasi dengan setting yang relatif bergejolak namun tidak banyak ancaman. Sedangkan problem solving process facilitator dan expert prescriber cenderung bekerja untuk organisasi swasta

(17)

yang harus menghadapi persaingan sengit, aturan pemerintah, konflik tenaga kerja, dan mendapat pengawasan publik.

Namun untuk melihat secara keseluruhan peran humas pemerintah di Provinsi Kalsel, terutama pada konteks penelitian peran dalam pelayanan informasi publik. Penelitian ini tetap menggunakan 4 peran humas menurut Dozier and Broom yakni expert prescriber, problem solving process facilitator, communication facilitator dan communication technic. Ke empat peran ini dianalisis dengan mengelaborasikannya dengan tupoksi humas yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No.093 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No.042 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Unsur-Unsur Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor : 188.44/12/KUM/2014 Tentang Penetapan Pejabat Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang didalamnya terdapat tupoksi PPID Pemprov Kalsel.

Kemudian konteks keterbukaan informasi publik dalam penelitian ini berupa Instrumen perundangan yang mengatur masalah keterbukaan informasi publik di Indonesia adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008). UU ini merupakan salah satu upaya dalam perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan konsep pemerintahan terbuka (open government) di Indonesia. Karena, konsep pemerintahan yang terbuka mensyaratkan beberapa jaminan hak publik, salah satunya adalah hak publik untuk mendapatkan dan mengakses informasi. Dengan hadirnya UU No. 14 Tahun 2008, maka setiap badan publik wajib untuk menunaikan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik yang tertuang dalam undang-undang tersebut termasuk pemerintah Provinsi Kalsel.

Informasi publik yang dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 2008 adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan

(18)

negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya. Oleh karenanya, UU No. 14 Tahun 2008 banyak mengatur mengenai kewajiban, tugas, dan wewenang badan publik dalam menjalankan praktik keterbukaan informasi publik.

Sementara itu, masyarakat dan media merupakan bagian publik eksternal yang berhak mendapatkan informasi publik mengenai pemerintahan ataupun kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat berasal dari sumber pemberitaan yang benar. Oleh sebab itu pemerintah melalui humas menyampaikan atau memberikan layanan informasi publik yang dapat dipertanggung jawabkan, melibatkan partisipasi masyarakat dalam perbaikan maupun kemajuan pemerintah pada era demokrasi.

Di era demokrasi saat ini, informasi publik sangat penting bagi masyarakat/ publik karena dengan informasi yang diperoleh, publik dapat ikut menilai mengenai kebijakan dan aktivitas pemerintahan. Melalui informasi ini, publik akan menggunakannya untuk berpartisipasi penuh dalam pembentukan kebijakan pemerintah. Fairbanks dalam Graham (2014) mengemukakan bahwa dalam teori demokrasi menekankan pada pemerintahan yang terbuka, interaktif, dan partisipatif. Kemudian untuk mengatasi kebutuhan transparansi atau keterbukaan informasi publik, Fairbanks mengembangkan model transparansi dalam komunikasi pemerintah. Model dapat divisualisasikan sebagai segitiga dimensi, dasar dari model ini adalah komitmen untuk menjalankan proses komunikasi yang transparan. Terdapat elemen-elemen kunci dari model transparansi yakni praktik komunikasi, dukungan organisasi, dan ketersediaan sumber daya.

Dalam menjalankan perannya sebagai humas pemerintah tantangan yang dihadapi tidak kalah pelik dengan humas swasta pada umumnya, dalam penelitian Vos dan Westerhoudt (2008) juga yang respondennya merupakan praktisi humas pemerintah, diungkapkan tantangan utama komunikasi pemerintah yang mereka hadapi adalah lebih kepada warga dan keterlibatan

(19)

pemangku kepentingan. Kedua hal tersebut mencakup pada partisipasi, transparansi, layanan informasi yang lebih baik dan hubungan yang lebih kuat antara warga dan pemerintah. Kemudian selain hal tersebut diatas, tantangan kedua dalam komunikasi pemerintah juga menyangkut komunikasi digital, yang mencakup sekitar e-government, pengembangan situs internet dan intranet, transaksi elektronik dan hubungan pelanggan.

Berkaitan dengan konteks penelitian mengenai peran humas dalam pelayanan informasi publik, penelitian yang dilakukan oleh Steiner dalam Castelli (2007) mengenai akuntabilitas komunikasi pemerintah, menemukan bahwa tidak semua pemerintahan yang diteliti olehnya responsif terhadap permintaan informasi dari publik. Terdapat tingkat respon yang berbeda dari pemerintah terhadap publik tertentu dalam melayani informasi publik. Penelitiannya mencatat 4 poin utama yakni; pertama, tujuan utama komunikasi harus bisa menempatkan dan memastikan bahwa setiap permintaan informasi dihormati dan menyelesaikan permintaan tersebut tepat waktu serta dengan cara sebaik mungkin. Kedua, sebuah sistem yang terkoordinasi secara rutin harus diciptakan untuk menangani pertanyaan. Ketiga, pemerintah harus menolak gagasan bahwa lebih aman apabila pemerintah menahan informasi dari pada memiliki kebijakan untuk membuka informasi bagi publik, informasi yang diberikan memang tidak selalu informasi positif pemerintahan, melainkan hal tersebut merupakan informasi yang berhak untuk diketahui oleh publik. Keempat, pemerintah harus lebih berani dalam menanggapi pertanyaan publik secara langsung.

H. Konsep Penelitian

Penelitian ini mengangkat judul Peran Humas Dalam Keterbukaan Informasi Publik. Dalam penelitian ini, penulis coba mengindentifikasi dan menganalisis peran humas dalam pelaksanaan pelayanan informasi publik di Biro Humas Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

(20)

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa peran humas adalah gambaran dari berbagai kegiatan atau aktivitas praktisi humas pemerintah di dalam organisasinya. Konteks peran humas yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pelaksanaan segala aktivitas Biro Humas pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam pelayanan informasi publik, dengan melakukan elaborasi terhadap tupoksi Biro Humas Kalsel dan tupoksi PPID Pemprov Kalsel. Maka konsep penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1: Operasionalisasi Konsep Penelitian

Konsep Makna Konsep Indikator

1. Expert Prescriber

Praktisi public relations dipercaya sebagai praktisi yang ahli dalam memberikan solusi bagi masalah kehumasan dalam organisasinya, tanpa

melibatkan manajemen puncak melalui perumusan kebijakan

• Merumuskan kebijakan • Membuat rencana program

• Monitoring dan evaluasi informasi dan pelaksanaan program dalam

pengelolaan kegiatan kehumasan • Menyiapkan bahan pendidikan dan

pelatihan pengembangan SDM sesuai kebutuhan kehumasan

2. Problem Solving Process

Facilitator

Praktisi public relations bekerjasama dengan

manajemen puncak atau bagian lain di luar organisasi untuk menemukan pemecahan masalah

• Melakukan verifikasi bahan informasi publik dan inventarisasi informasi yang dikecualikan untuk dilakukan uji konsekuensi oleh tim

3. Communication Facilitator

Peran praktisi public relations bertindak sebagai perantara dan membantu manajemen dengan menciptakan kesempatan untuk mendengar publiknya dan menciptakan peluang agar publik mendengar harapan manajemen

• Pelaksanaan penyiaran informasi kegiatan pemerintah melalui media komunikasi

• Menyediakan informasi dan dokumentasi untuk diakses oleh masyarakat

• Mengkoordinasikan dan

mengkonsolidasikan pengumpulan bahan informasi dan dokumentasi dari SKPD Pemprov Kalsel

• Melaksanakan bakohumas dan jumpa pers

• Menyimpan, menyediakan serta memberi pelayanan informasi kepada publik dan membuat laporan

(21)

Sumber: diadaptasi dikembangkan dari Dozier dan Broom (dalam Castelli, 2007; Kelleher, 2001) serta tupoksi Biro Humas Kalsel dan tupoksi PPID Pemprov Kalsel (dalam Pergub 2012 dan Kepgub 2014)

I. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif. Pendekatan kualitatif dipilih karena dapat menggali data secara mendalam untuk lebih mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi layaknya opini, keinginan, perasaan dan perilaku dari objek yang diteliti. Penelitian kualitatif juga merupakan sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah (Creswell, 2003).

Pada ranah komunikasi, studi kasus diyakini merupakan metode yang sesuai untuk menjawab tipe pertanyaan ”how” dan “why” (Yin,2014: 13), oleh karena itu metode ini dianggap mampu membantu peneliti dalam memahami secara mendalam dan menjawab pertanyaan mengenai bagaimana peran Biro Humas Provinsi Kalsel dalam melayani informasi publik di lingkungan Provinsi Kalsel.Lebih lanjut, studi kasus deskriptif dalam penelitian ini merupakan studi kasus intrinsik yang berangkat dari keinginan peneliti untuk memahami suatu permasalahan.

4. Communication Technician

Peran praktisi public relations dalam kegiatan menjalankan layanan teknis komunikasi

• Pengolahan informasi kegiatan pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan dan disajikan sebagai informasi publik

• Pelaksanaan kegiatan informasi dalam teknologi informasi

• Menyiapkan dan menyusun jadwal kegiatan pemerintah daerah untuk peliputan media massa

(22)

2. Lokasi Penelitian dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di kantor Biro Humas Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Jl. Aneka Tambang Banjarbaru, pada bulan Maret sampai dengan Mei 2015.

3. Teknik Pengumpulan Data

Salah satu karakteristik dan kekuatan utama dari studi kasus adalah dimanfaatkannya berbagai sumber dan teknik pengumpulan data. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan observasi langsung, telaah terhadap dokumen tertulis berupa surat masuk dan surat keluar, disposisi, laporan-laporan, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan peran Biro Humas dalam keterbukaan informasi publik. Kemudian pengumpulan data yang terakhir yaitu, wawancara mendalam.

Teknik pengumpulan data pertama yakni observasi yaitu merupakan metode pengumpulan data penelitian dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti. Observasi juga dilakukan untuk mengamati website www.kalselprov.go.id kemudian website PPID utama ppid.kalselprov.go.id yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab Biro Humas Kalsel, berikut juga media online seperti facebook “Biro Humas Kalimantan Selatan” dan twitter @kalselprov.

Sumber data kedua yaitu dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data penelitian yang bertujuan untuk memperoleh jenis data dalam bentuk dokumentasi. Dalam penelitian ini, data dokumentasi yang dicari berasal dari dua sumber, yaitu dari dalam internal Biro Humas dan dari eksternal Biro Humas. Kategori dokumen dapat berupa surat, e-mail pelayanan informasi publik, agenda, laporan kemudian kliping berita dan artikel dari media massa.

Kemudian teknik pengumpulan data terakhir yakni wawancara mendalam dengan menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara akan dilakukan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan dalam interview guide agar

(23)

terarah dan sesuai dengan kebutuhan data peneliti, namun tidak menutup kemungkinan juga akan muncul pertanyaan yang bersifat spontan (namun tetap relevan) agar peneliti bisa mendapatkan pembahasan tuntas mengenai informasi yang ingin digali.

Penentuan Key person yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini dengan memperhatikan tingkat kesesuaian (relevansi) antara kedudukan/jabatan dan keterlibatan informan dalam proses keterbukaan informasi publik. Informan-informan yang dirasa dapat membantu peneliti untuk mencapai tujuan penelitian, antara lain:

Tabel 1.2 : Daftar Informan Penelitian

No. Nama Informan Kedudukan Informan Alasan pemilihan

Informan

1. Abdul Haris Makkie Kepala Biro Humas

Provinsi Kalsel

Sebagai PPID utama yang terlibat langsung sejak awal KIP akan diberlakukan pada pemerintah Provinsi Kalsel

2. Zainuddin Kepala Bagian Pengolahan

Informasi

Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam pengumpulan dan verifikasi informasi

3. Khairil Saleh Kepala Sub Bagian

Penyiaran dan Layanan Pers

Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam pelayanan informasi publik dan berhubungan dengan media massa

4. Syah Yulianda Kepala Sub Bagian

Pelayanan Informasi dan Data

Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam ketersediaan dokumentasi dan informasi publik untuk dapat diakses

5. Allen Petugas PPID Pembantu

pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalsel

Sebagai PPID pembantu yang menyediakan informasi diinstansinya dan pernah menangani permintaan informasi secara langsung dari publik

6. Bahrommajie Kepala Seksi

Telekomunikasi Dishubkominfo Provinsi

Perwakilan yang dipercaya oleh Kepala Dishubkominfo Kalsel dalam menjelaskan

(24)

Kalsel asal mula PPID utama tidak berada pada Dishubkominfo

7. Reza Wartawan dan Manajer

Siaran Radio Abdi Persada

Perwakilan dari media massa sebagai pihak yang intensif dalam meminta dan memberitakan tentang keterbukaan informasi publik serta memiliki hubungan kerjasama dengan Biro Humas Kalsel

8. Mufith Afif Direktur LSM LKOMDEK Sebagai pihak perwakilan

dari publik yang pernah meminta informasi pada salah satu instansi di Pemprov Kalsel dan pernah melayangkan surat

ketidakpuasan dalam pelayanan informasi pada Pemprov Kalsel

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah selesai dikumpulkan diolah melalui dua tahap. Pertama, reduksi data. Reduksi data sebagai sebuah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang diperoleh dari lapangan. Oleh karenanya, data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun dokumentasi, telah dipilih dan kemudian dapat memberikan data yang siap pakai. Proses reduksi ini dilakukan untuk mensortir data-data yang tidak relevan dan relevan dengan pertanyaan penelitian. Setelah prose itu selesai, tahap yang kedua, yakni kategorisasi data. Data-data yang telah dikumpulkan dijabarkan dalam bentuk kategori agar proses verifikasi menjadi mudah sehingga diperoleh kumpulan data yang siap dianalisis. Kategorisasi data tersebut ditentukan berdasarkan indikator yang terdapat pada konsep penelitian untuk menjawab pertanyaan pokok penelitian ini.

(25)

5. Teknik Penyajian Data

Teknik penyajian data dilakukan dengan cara penguraian dalam deskripsi kata-kata (naratif) dan juga disajikan data formal berupa tabel kegiatan atau aktivitas humas sesuai dengan indikator yang terdapat pada konsep peran humas yang disajikan dalam bentuk deskripsi yang terintegrasi.

6. Teknik Analisis Data

Menurut Yin, terdapat tiga teknik analisis data dalam metode studi kasus, yaitu: (1) Penjodohan Pola, (2) Pembuatan Penjelasan, dan (3) Analisis Deret Waktu. Teknik penjodohan pola dilakukan dengan membandingkan pola kejadian atau fenomena yang senyatanya terjadi dengan pola kejadian yang diprediksikan (proposisi/prediksi alternatif). Jika kedua pola ini menunjukkan persamaan, maka akan menguatkan validitas internal sebuah studi kasus. Teknik pembuatan penjelasan dilakukan dengan cara membuat eksplanasi tentang kasus yang diteliti. Teknik analisis deret waktu menyelenggarakan analisis deret waktu yang secara langsung analog dengan analisis deret waktu yang diselenggarakan dengan eksperimen dan kuasi eksperimen. (Yin, 2014: 140-158).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik penjodohan pola, yaitu dengan membandingkan data pola peran Humas atau aktivitas yang senyatanya terjadi di Biro Humas Provinsi Kalsel dengan pola peran Humas menurut proposisi atau prediksi alternatif peneliti berdasarkan teori Dozier dan Broom (1995) dan Cutlip (2006). Adapun proposisi atau prediksi alternatif peneliti mengenai peran Biro Humas Provinsi Kalsel dalam keterbukaan informasi publik adalah “Peran Humas yang sarat akan dukungan organisasi, ketersediaan sumber daya dan praktik komunikasi yang lancar dari pemerintah ke publik pada setiap dimensi peran akan membawa dan mengarahkan Humas memiliki peranan yang menonjol dan aktif dalam pemerintahan”.

(26)

Hasil penjodohan pola antara data temuan dengan proposisi teori di atas kemudian disajikan dalam bentuk narasi agar lebih mudah dipahami.Hasil akhir penelitian ini adalah pembahasan menyeluruh mengenai gambaran organisasi Biro Humas Provinsi Kalsel menjalankan peran Humas yang juga sebagai PPID utama terkait dengan keterbukaan informasi publik.

7. Validitas Data

Validitas merupakan derajat ketepatan data yang terjadi pada objek penelitian yang dilaporkan oleh peneliti. Penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai uji validitas dalam mempertajam hasil analisis data. Terdapat tiga jenis triangulasi yaitu, 1) triangulasi metode, menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda dalam menguji konsistensi penemuan penelitian yang dihasilkan; 2) triangulasi sumber, menguji konsistensi hasil temuan penelitian dari sumber data yang berbeda didalam metode yang sama; 3) triangulasi analisis, menggunakan beragam analisis untuk me-review hasil temuan penelitian; 4) triangulasi teori, menggunakan beragam perspektif atau teori menginterpretasikan data.

Validitas data penelitian ini dilakukan menggunakan triangulasi sumber yakni membandingkan konsistensi hasil temuan dalam satu metode penelitian kualitatif dari observasi, wawancara dan dokumen. Peneliti menganalisis pembicaraan dan mencocokannya dengan data-data umum yang ada. Pada tahapan ini, peneliti telah memiliki data-data awal yang telah didapatkan sebelumnya, kemudian dikonfirmasikan kesesuaiannya dengan fakta dilapangan. Kemudian seluruh pendapat dari subjek penelitian didiskusikan dengan pendapat dari subjek lainnya. Peneliti tidak hanya menggali data dari satu subjek penelitian, akan tetapi terdapat beberapa subjek penelitian yang kemudian antara pendapat satu dengan lainnya dikonfirmasikan sedemikian rupa untuk mendapatkan data-data yang akurat.

(27)

8. Limitasi Penelitian

Penelitian ini memiliki sejumlah batasan. Berdasarkan ruang lingkupnya, penelitian ini hanya mengkaji peran humas di Provinsi saja. Sehingga, pembahasan persoalan peran humas di kabupaten/kota tidak akan dibahas. Analisis peran humas yang digunakan dalam penelitian ini hanya memotret peran humas di provinsi Kalimantan Selatan dengan dimensi peran dan maknanya yang sudah ditetapkan dalam konsep penelitian. Namun, pembahasan di luar indikator tersebut dimungkinkan jika ada hal menarik dan penting yang dapat memperkuat kajian penelitian ini.

9. Sistematika Tesis

Peneliti memaparkan keseluruhan hasil penelitian ini dalam empat bab. Pada Bab I meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, obyek penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. Pada Bab II, peneliti menjelaskan gambaran umum Biro Humas Pemerintah Provinsi Kalsel dan PPID Kasel yang merupakan tempat dimana data-data primer dalam penelitian ini diperoleh.

Pada Bab III, merupakan hasil penelitian dan analisa tentang peran humas Provinsi Kalsel dalam menjalankan pelayanan keterbukaan informasi publik berdasarkan variabel dan indikator yang telah ada di konsep. Setelah itu pada Bab IV, peneliti membuat kesimpulan dari seluruh proses penelitian beserta saran sebagai tawaran solusi bagi keberhasilan pelayanan keterbukaan informasi yang dilakukan oleh Humas Provinsi Kalsel.

Gambar

Tabel 1.1: Operasionalisasi Konsep Penelitian
Tabel 1.2  : Daftar Informan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

belakangi oleh faktor ekonomi, dikarenakan untuk mengadakan pernikahan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, jika mengadakan pernikahan dua mempelai dalam waktu yang sama

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

and you can see from the radar screen – that’s the screen just to the left of Professor Cornish – that the recovery capsule and Mars Probe Seven are now close to convergence..

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Aktív kritikus volt ellenben Schöpflin Aladár, aki minden különbség ellenére Horváthoz hasonlóan úgy látta, hogy „(…) az irodalom organikus valami, a

Pengukuran frekuensi pukulan pendeta dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dengan metode pengukuran jumlah pukulan dalam tiga puluh

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek