• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak Abstract Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstrak Abstract Pendahuluan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI RATA-RATA KETEBALAN TULANG KORTIKAL MANDIBULA

PADA SUBJEK YANG BERISIKO MENGALAMI OSTEOPOROSIS

Nissia Ananda, Hanna Bachtiar Iskandar¸ Bramma Kiswanjaya Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia

Abstrak

Berkembangnya populasi lansia secara global termasuk di Indonesia tidak diikuti dengan kualitas hidup yang baik, yang salah satu penyebabnya adalah penyakit. Osteoporosis adalah salah satu penyakit dengan usia lanjut sebagai faktor risikonya. Deteksi awal osteoporosis antara lain dapat dilakukan melalui pengukuran tebal tulang kortikal mandibula pada radiograf panoramik. Tujuan penelitian ini adalah mencari nilai rata-rata lebar/tebalnya tulang kortikal mandibula pada individu yang berisiko mengalami osteoporosis dengan rentang usia 40-80 tahun tanpa membedakan wanita dan pria. Sampel penelitian adalah radiograf panoramik yang berjumlah 89 dengan usia 40-80 tahun. Pengukuran tebal tulang kortikal mandibula dilakukan pada regio sekitar foramen mental kiri dan kanan. Didapatkan hasil nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula 4,80618 mm pada populasi kelompok usia 40-80 tahun dengan kecenderungan lebih tebal pada kelompok usia 40-59 tahun dibandingkan pada kelompok usia 60-80 tahun. Maka nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-80 tahun pada penelitian ini masih tergolong normal.

Kata Kunci: Tebal/lebar tulang kortikal mandibula; osteoporosis; lansia

Abstract

The increasing number of elderly population in the world, which including Indonesia, is not followed by enhanced quality of life of the elderly, that partly caused by diseases. Osteoporosis is one of the diseases with age as its risk factor. Panoramic radiographs can be used as early detection of osteoporosis, which one of the methods is measuring mandibular cortical bone thickness. Objective of this research is to obtain the average width / thickness of the mandibular cortical bone in individuals at risk of osteoporosis with age ranged 40-80 years without differentiating women and men. The research sample is panoramic radiographs. The study subjects were 89 people aged 40-80 years. Measurements of cortical bone thickness done in the left and right foramen mental region. Average width/thickness of the mandibular cortical bone in individuals at risk of osteoporosis with age range 40-80 years is 4,80618 mm. There is a tendency of thicker mandibular cortical bone in age ranged 40-59 years population than in age ranged 60-80 years population. The average thickness / width of the mandibular cortical bone in the age group 40-80 years were within the normal range.

Keywords: Length/width of the mandibular cortical bone; osteoporosis; elderly

Pendahuluan

Pada tahun 1996 jumlah penduduk lansia sebesar 6,3% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang akan menjadi duakali lipatnya dalam 30 tahun (1996-2025). Hal ini berdampak pada posisi Indonesia yang saat ini sebagai negara ke-7 di dunia dengan jumlah penduduk lansia terbanyak.1-3 Peningkatan jumlah penduduk lansia dan usia harapan hidup, ternyata tidak serta merta diikuti oleh tingkat kualitas hidup yang baik.4 Seringkali ditemui lansia yang berusia

(2)

panjang namun tidak mampu melakukan apa-apa karena terbaring menderita suatu penyakit. Salah satu penyakit yang membayangi para lansia adalah osteoporosis yang dikenal sebagai the silent killer,5 Penyakit ini baru terdeteksi setelah mencapai tahap yang sangat parah misalnya saat tulang pinggulnya patah.6 Osteoporosis pada tulang terjadi merata di seluruh tulang tubuh,termasuk tulang rahang. Dalam lingkungan mulut, pengurangan jaringan tulang untuk yang diklasifikasikan sebagai osteoporosis dapat terlihat dari kualitas maupun kuantitas tulang. Kualitas tulang adalah pola trabekula dan densitas tulang sedangkan kuantitas tulang berupa tebal dan tinggi tulang. Kuantitas tulang yang dievaluasi pada osteoporosis, antara lain berupa berkurangnya ketebalan tulang kortikal mandibula atau penurunan tulang alveolar.7,8 Selain itu osteoporosis juga dapat dideteksi dari kualitas tulang berupa penurunan densitas tulang. Baik kualitas maupun kuantitas tulang dapat diketahui melalui gambaran radiografis. Sebagai dokter gigi, peran kualitas dan kuantitas tulang sangat besar dalam menentukan prognosis perawatan suatu kasus, khususnya yang berkaitan dengan bidang prostodonsia, ortodonsia, dan periodonsia. Di Indonesia masih banyak dokter gigi yang belum mempertimbangkan osteoporosis dalam merencanakan perawatan padahal peran dari kualitas tulang sangat besar dalam menentukan keberhasilan perawatan gigi dan mulut terlebih pada pasien yang berada pada kelompok lanjut usia.9 Selain itu juga belum pernah di lakukan pengumpulan basis data mengenai kuantitas tulang terkait osteoporosis. Tujuan penelitian ini adalah mencari nilai rata-rata lebar/tebalnya tulang kortikal mandibula pada individu yang berisiko mengalami osteoporosis dengan rentang usia 40-80 tahun.

Tinjauan Teoritis

Proses utama pembentukan tulang ada dua, yaitu bone formation dan bone resorbtion. Bone formation adalah aktivitas pembentukan tulang melalui sel osteoblas, sedangkan bone resorbtion adalah penguraian atau penghancuran tulang yang terjadi karena adanya aktifitas osteoklas. Secara keseluruhan, kedua proses tersebut dinamakan bone turnover yang dipengaruhi secara signifikan oleh keberadaan vitamin D dan hormon, yaitu hormon estrogen, hormon paratiroid dan hormon kalsitonin. Utamanya hormon paratiroid mempengaruhi kerja sel osteoklas sedangkan hormon kalsitonin mempengaruhi sel osteoblas. Selain itu proses remodeling tulang juga dipengaruhi oleh biofosfonat dan sodium fluoride.10-12

(3)

Pada dasarnya, tulang memiliki tiga aktifitas yaitu modeling yang merujuk pada proses pencapaian karakteristik bentuk tulang yang akan dicapai, repair sebagai aktifitas penyembuhan jika terjadi fraktur, dan yang terakhir adalah remodeling yang merupakan siklus dari penghancuran dan pembaharuan tulang.10 Untuk mempertahankan keberadaan tulang, maka tubuh secara alami memiliki proses modeling dan remodeling tulang yang berlangsung secara terus menerus. Modeling adalah proses pembentukan tulang baru pada daerah berbeda dengan tulang yang dihancurkan sehingga menyebabkan perubahan bentuk tulang. Sedangkan remodeling adalah proses utama yang terjadi pada tulang manusia dewasa. Pada proses ini, komponen organik dan mineral dari matriks tulang secara kontinu di daur ulang dan diperbaharui sehingga memungkinkan untuk mengganti matriks tulang namun tidak mengubah bentuk tulang.13,14

Proses remodeling tulang terdiri dari beberapa tahap yang diawali dengan tahap aktivasi dan migrasi prekursor osteoklas ke sekitar permukaan tulang yang akan diresorbsi, setelah itu terjadi perlekatan dan penggabungan sel prekursor menjadi osteoklas multinukleus. Selanjutnya, osteoklas meresorbsi tulang dengan bantuan fagosit mononukleus. Tahap ketiga sel menjadi fagosit mononukleus dan atau sel tipe lain yang mengubah permukaan yang mengalami resorbsi dan mendepositkan struktur cement line. Tahap formasi, osteoblas berdiferensiasi di daerah yang sudah teresorbsi dan mulai melakukan deposit tulang dan osteoid. Yang terakhir adalah tahap istirahat yang dalam tahap ini tidak ada osteoid di antara lining cells dan tulang yang mengalami mineralisasi.10,15

Jika proses modeling dan remodeling berjalan dengan baik maka resorbsi dan formasi tulang akan berjalan seimbang. Namun banyak dijumpai remodeling yang berjalan tidak seimbang sehingga terjadi defisit pada siklus, hal ini jika terjadi dalam jangka waktu panjang akan mengakibatkan berkurangnya densitas tulang.14

Ketika memasuki usia dua puluh lima tahun, pertumbuhan dan perkembangan tulang mencapai batas maksimum (puncak massa tulang). Batas maksimum tulang ini bervariasi pada setiap individu, biasanya lebih tinggi pada pria dibanding wanita, dan pada orang yang berangka tubuh besar dibandingkan dengan yang berangka tubuh kecil. Apabila nilai massa tulang rendah maka kemungkinan kehilangan massa tulang yang diikuti dengan terjadinya kerapuhan tulang dengan risiko terjadi osteoporosis akan lebih besar dibandngkan bila nilai puncak massa tulangnya tinggi. Kehilangan massa tulang berhubungan langsung dengan peningkatan usia baik

(4)

pada pria maupun pada wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir massa kehidupan.16

Osteoporosis merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hilangnya kepadatan tulang secara abnormal dan disertai kerusakan jaringan tulang secara mikroarsitektural sehingga tercipta keadaan dengan massa tulang rendah yang menyebabkan meningkatnya risiko patah tulang.17,18 Osteoporosis dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yaitu nutrisi, usia, pajanan sinar matahari, aktivitas fisik, indeks massa tubuh, penggunaan obat-obat tertentu, dan adanya penyakit sistemik.14,19,20 Menurut catatan dari International Osteoporosis Foundation, tiap wanita memiliki risiko fraktur akibat osteoporosis sebesar 40 persen dalam hidupnya sedangkan bagi pria angka risikonya adalah 13 persen. Fakta lainnya adalah sekitar 20 persen orang usia lanjut yang mengalami patah tulang akan meninggal dunia tiap tahun. Saat ini di seluruh dunia terdapat 200 juta orang yang memiliki massa tulang rendah atau di bawah normal dan di Indonesia sendiri diperkirakan angka osteoporosis telah mencapai 20 persen.21 Perubahan kualitas tulang pada keadaan osteoporosis, yaitu termanifestasi dalam densitas dan kuantitas tulang. Densitas tulang adalah kepadatan tulang, yaitu berapa gram mineral per volume tulang, kualitas tulang yang menyangkut arsitektur, penghancuran, dan pembentukan kembali (mineralisasi) tulang. Densitas tulang bisa diukur dengan berbagai alat, sedangkan kualitas tulang yang sebenarnya, tidak dapat dihitung dengan angka.21

Pengukuran tulang yang mengacu pada densitas radiografik trabekula tulang tersebut dapat menggunakan radiograf periapikal, namun untuk pengukuran yang mengacu pada ketebalan tulang kortikal digunakan radiograf panoramik.22 Pengukuran melalui panoramik dapat menggunakan indeks yang dkemukakan oleh Benson et al pada bulan Maret tahun 1991, yaitu Panoramic Mandibular Index (PMI). Panoramic Mandibular Index mengadaptasi sebagian metode dari Wical dan Swoope23 yang menyatakan bahwa jarak dari foramen mentale ke batas bawah mandibula relatif konstan sepanjang hidup seseorang dibandingkan dengan terjadinya resorpsi tulang alveolar di atas foramen mentale. Panoramic Mandibular Index diukur dengan menggunakan skala milimeter, tinggi dari batas bawah tulang kortikal di bagian kanan mandibula dibagi tinggi dari batas bawah mandibula hinga batas bawah dari foramen mentale. Pada indeks ini, 0,5 mm adalah nilai keakuratan pengukuran yang digunakan.23-25

(5)

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel radiograf ekstraoral panoramik yang bermutu baik dari pasien berusia 40-80 tahun di RSGM-P FKG UI dan Paviliun Khusus RSGM FKG UI. Alat yang digunakan adalah alat tulis, borang hasil penelitian, serta penggaris dengan tingkat ketelitian 0,5 mm. Variabel bebas adalah usia sedangkan variabel terikat adalah ketebalan tulang kortikal mandibula yang diukur pada daerah foramen mentale kiri dan kanan. Pengukuran dilakukan pada tiga titik yang berbeda di regio kiri dan tiga titik di kanan, kemudian dicari nilai rata-ratanya. Setiap pengukuran dilakukan dua kali. Data diolah dengan menggunakan analisa dengan piranti lunak pengolah data statistik.

Hasil Penelitian

Sebanyak 89 dari 96 sampel radiograf panoramik bermutu baik dari subyek penelitian beruaia 40-80 tahun yang telah memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan dari bulan Oktober sampai dengan November 2012. (Tabel 5.1)

Tabel 5.1. Gambaran Pengambilan Sampel Penelitian

Waktu Penelitian Sampel Terkumpul Sampel Terpilih

Oktober – November 2012 96 89

Pada penelitian ini diperoleh dua variabel yaitu usia dan lebar tulang kortikal dalam jarank superior-inferior mandibula, yang keduanya dalam bentuk data numerik. Pengukuran lebar kortikal mandibula pada radiograf panoramik dilakukan oleh dua orang pengamat pada dua kali waktu pengukuran, yaitu pengukuran I dan II. Untuk menguji reabilitasnya pengukuran dilakukan secara berulang oleh dua orang pengamat, yang dalam penelitian ini, reliabilitas intra dan inter-observer ini digunakan formula Dahlberg.26 Formula Dahlberg digunakan untuk menghitung

besar kesalahan pada suatu prosedur pengukuran. Formula Dahlberg menggunakan pengukuran pada suatu grup subjek untuk mencari nilai kesalahan teknis pengukuran (Technical Error of Measurement/TEM), dengan perhitungan sebagai berikut:[26]

TEM = 𝑑𝑖²/2𝑛 Keterangan:

(6)

n = jumlah sampel

Nilai Dahlberg yang diperoleh pada uji reliabilitas intra- dan interobserver dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Nilai Dahlberg pada uji reliabilitas intra- dan interobserver Uji Interpretasi Pengukuran nilai TEM (mm) Reliabilitas Intraobserver AI VS AII 0,074

BI VS BII 0.051 Reliabilitas interobserver AI VS BI 0.046 AI VS BII 0.065 AII VS BI 0.102 AII VS BII 0.106 Keterangan: A = pengamat/observer pertama B = pengamat/observer kedua I = waktu pengamatan pertama II = waktu pengamatan kedua

Berdasarkan data TEM di atas, pada pengujian reliabilitas intraobserver, nilai terendah ialah 0.051 pada BI VS BII dan nilai tertinggi ialah 0.074 pada AI VS AII.. Pada pengujian reliabilitas interobserver, nilai terendah ialah 0.046 pada AI VS BI dan nilai tertinggi ialah 0.106 pada AII VS BII.

Menurut formula Dahlberg, nilai toleransi pengukuran yang dapat diterima (measurement tolerance/MT), untuk pengukuran tulang dan gigi adalah 1 mm, dan pada penelitian ini dilakukan pengukuran dengan nilai MT ≤ 1 mm. Dari hasil uji dengan formula Dahlberg yang dilakukan, didapatkan nilai TEM pada semua data adalah ≤ 1 mm.26

Data yang digunakan adalah variabel dengan nilai pengukuran TEM yaitu hasil pengukuran pengamat AI dengan BI (nilai 0.046). Gambaran umum karakteristik data penelitian tersebut dapat terlihat pada tabel 5.3 di bawah ini.

(7)

Tabel 5.3. Gambaran umum karakteristik data penelitian

Variabel Nilai Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal

Usia (tahun) 59.7416 6,72939 45 77

Tebal Tulang Kortikal Mandibula (mm)

4.80618 0,971238 2,5 8

Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rata-rata usia pasien 59,74 tahun dengan ketebalan rata-rata tulang kortikal mandibula 4.8 mm. Dalam analisis variabel usia dikelompokkan menjadi kelompok usia 40-59 tahun dan 60-80 tahun, didasari kenyataan bahwa pada usia 40-59 tahun angka kejadian osteoporosis lebih kecil dibandingkan usia 60-80 tahun. Distribusi tersebut dapat dilihat dalam pie diagram di bawah ini.

Gambar 5.1. Grafik Pembagian Kelompok Usia

Dari diagram di atas terlihat bahwa pasien yang berusia 40-59 tahun (53,93%) lebih banyak dibandingkan usia 60-80 tahun. Grafik 5.2 memperlihatkan gambaran umum distribusi dan frekuensi tebal tulang kortikal mandibula pada kedua kategori usia ini, yaitu 40-59 tahun dan 60-80 tahun.

(8)

Gambar 5.2. Distribusi dan frekuensi tebal tulang kortikal mandibula pada kategori usia 40-59 tahun dan 60-80 tahun

Tampak dari grafik di atas bahwa pada kelompok usia 40-59 tahun ketebalan tulang kortikal terbanyak berada pada kisaran nilai 4,8 - 5,2 mm sedangkan kelompok usia 60-80 tahun ketebalan tulang kortikal terbanyak berada pada kisaran nilai 4 - 4,4 mm. Pada tabel 5.3 terlihat pembagian rata-rata tebal tulang kortikal mandibula berdasar kelompok usia.

Tabel 5.4. Rata-rata tebal tulang kortikal mandibula berdasar kelompok usia

Nilai Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Eror

Usia 40-59 4,88542 0,970094 0,140021

Usia 60-80 4,71341 0,976290 0,152471

Tabel 5.4 menunjukkan nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-59 lebih besar dibandingkan kelompok usia 60-80.

(9)

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara ketebalan tulang kortikal mandibula pada kedua kelompok usia digunakan uji t-test independen. Langkah awal uji t-test independent adalah menguji normalitas data, dalam penelitian ini digunakan uji shapiro wilk karena sampel dari tiap kategori usia jumlahnya dibawah 50, yaitu 48 pada kategori usia 40-59 tahun dan 41 pada kategori usia 60-80 tahun. Hasil uji normalitas data terlihat pada table 5.5

Tabel 5.5. Uji Normalitas

df Sig.

Usia 40-59 48 0,063

Usia 60-80 41 0,411

Dari hasil uji normalitas terlihat nilai p > 0.05, yaitu 0.063 dan 0.411. Hasil ini memiliki makna bahwa data tersebut terdistribusi normal sehingga data dapat dilanjutkan dengan uji bivariat t-test independent. Selanjutnya dilakukan uji perbedaan yang signifikan antara pengukuran tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-59 tahun dan 60-80 tahun (tabel 5.6).

Tabel 5.6. Beda rata-rata ketebalan tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-59 tahun dan 60-80 tahun

Variabel Nilai

Rata-rata Standar Deviasi P Beda Rata-rata 95% Interval Kepercayaan Ketebalan tulang kortikal pada

usia 40-59 tahun 4,88542 0,970094

0,408 0,172002 0,239245

-0,583249 Ketebalan tulang kortikal pada

usia 60-80 tahun 4,71341 0,976290

Dari tabel di atas dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rata-rata ketebelan tulang kortikal mandibula pada usia 40-59 tahun dan 60-80 tahun.

Pembahasan

Pada penelitian ini, usia pasien saat pembuatan radiograf panoramik dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kelompok 40-59 tahun, yaitu usia pada saat seseorang sudah melewati masa puncak tulang sehingga mengalami penurunan masa tulang secara fisiologis namun belum memasuki usia lanjut, dan kelompok usia 60-80 tahun yang merupakan kategori

(10)

usia lanjut sesuai klasifikasi WHO Dari 97 radiograf panoramik yang berhasil terkumpul 86 memenuhi criteria inklusi, dengan 48 radiograf pasien usia 40-59 tahun dan 41 radiograf pasien yang berada usia 60-80 tahun, jumlah sampel dari kedua kategori mendekati seimbang. Tujuan penelitian adalah mencari nilai rata-rata tebalnya tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40 - 80 tahun tanpa membedakan gender.

Pada penelitian ini digunakan Technical Error of Measurement (TEM) untuk menentukan realibilitas atau kesesuaian pengukuran yang dilakukan sehingga dianggap akurat. Pengukuran dilakukan oleh dua pengamat dengan masing-masing pengamat melakukan dua kali pengukuran. Setiap pengukuran dengan pengukuran lainnya diuji dengan TEM, hasil yang didapatkan adalah nilai TEM terendah pada pengukuran pertama pengamat satu dengan pengukuran pertama pengamat kedua. Oleh karena itu, kesesuaian data dengan TEM terendah dianggap akurat sehingga datanya digunakan pada penelitian ini.

Pengukuran pertama pengamat satu dan pengukuran pertama pengamat dua memiliki nilai TEM terendah atau kesesuaian tertinggi karena didukung oleh belum adanya faktor kelelahan dari kedua pengamat sehingga hasil pengukuran dapat dikatakan maksimal. Sedangkan pengukuran intraobserver yang memiliki nilai TEM lebih tinggi dapat disebabkan faktor kelelahan pengamat.

Pada penelitian Horner, dkk dengan 653 subjek wanita rentang usia 45-70 tahun.27 secara

umum diperoleh hasil bahwa subjek dengan tebal tulang kortikal mandibula di bawah 3 cm dianggap memiliki kecenderungan osteoporosis. Penelitian lain oleh Taguchi, dkk pada tahun 2004 mendapatkan batas tebal tulang kortikal mandibula untuk kecenderungan osteoporosis adalah 4,5 cm dengan subjek wanita yang sudah mengalami menopause.28 Pada penelitian ini nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-80 adalah 4,80618 mm. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa populasi usia 40-80 tahun di Indonesia memiliki tulang kortikal mandibula tergolong normal. Hal ini dapat disebabkan faktor pajanan matahari yang relative cukup di Indonesia. Dalam pembagian kelompok usia yang lebih sempit, nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-59 tahun (4,88542 mm) lebih besar dibandingkan nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 60-80 tahun (4,71341 mm). Hal ini memperlihatkan kecendrungan adanya perbedaan bahwa lebar atau tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia yang lebih muda lebih tinggi/lebih tebal walaupun

(11)

Banyak penelitian di berbagai belahan dunia yang menyatakan bahwa tebal tulang kortikal mandibula memiliki hubungan dengan usia dan jenis kelamin. Penelitian di Turki pada tahun 2007 oleh Serdar Uysal, dkk, memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, penelitian mereka memaparkan bahwa usia serta jenis kelamin memiliki hubungan bermakna dengan mandibular cortical index walaupun penelitian mereka memiliki sebaran usia yang lebih jauh, yaitu 21 – 86 tahun dengan 119 perempuan dan 70 laki-laki.29

Di tahun 2000, Anne-Marie Bollen, dkk, dari University of Washington dan Hiroshima University melakukan penelitian dengan hasil bahwa jenis kelamin memiliki hubungan bermakna terhadap ketebalan tulang kortikal mandibula. Hasil penelitiannya memaparkan bahwa hanya sedikit laki-laki yang mengalami fraktur osteoporotik dan juga tidak ada laki-laki yang memiliki penipisan tulang kortikal mandibula parah sedangkan jumlah wanita yang mengalami fraktur osteoporotik dan penipisan tulang kortikal mandibula parah cukup bermakna.30

Di Indonesia sudah dilakukan penelitian ketebalan tulang kortikal mandibula pada perempuan usia menopause. Dari hasil penelitian dengan memperhitungkan berbagai faktor risiko ini ketebalan tulang kortikal pada wanita menopause yang menderita osteoporosis lebih tipis dibandingkan wanita menopause yang tidak menderita osteoporosis.19

Dalam penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah perbedaan tebal tulang kortikal mandibula pada subyek yang berisiko mengalamai osteoporosis dengan rentang usia 40 – 80 tahun yang dibedakan menjadi kelompok usia 40-59 tahun dengan kelompok usia 60-80 tahun. Pada uji kebermaknaan menunjukkan hasil tidak bermakna. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berbedanya hasil penelitian ini dengan penelitian lain sebelumnya adalah dalam penelitian ini, sesuai dengan tujuan penelitiannya, tidak mempertimbangkan perbedaan gender, serta faktor risiko lain yang berperan dalam menyebabkan osteoporosis, seperti densitas radiografik, asupan gizi, pajanan matahari dan lainnya. Gender telah dibuktikan memiliki hubungan yang bermakna dengan ketebalan tulang kortikal mandibula seseorang, hal ini berkaitan dengan hormon estrogen yang dimiliki wanita. Hormon estrogen pada wanita yang memasuki masa menopause akan berkurang secara gradual hingga tidak ada sama sekali. Penurunan ketebalan tulang kortikal mandibula pada wanita utamanya dipengaruhi oleh penurunan hormon estrogen ini, terlebih ditambah dengan bertambahnya usia sedangkan pada laki-laki penurunan ketebalan tulang kortikal mandibula utamnya dipengaruhi hanya oleh bertambahnya usia.

(12)

Pada penelitian Kusdhany dkk dipaparkan bahwa terdapat perbedaan bermakna nilai tebal tulang kortikal mandibula pada wanita menopause yang menderita osteoporosis dan yang tidak menderita osteoporosis. Hal ini menunjukkan bahwa dengan rentang usia yang sama dapat memiliki perbedaan bermakna dengan adanya keterlibatan osteoporosis, dimana osteoporosis berkaitan dengan densitas tulang trabekula.19

Selain kedua faktor yang sudah disebutkan di atas, hal lain yang mungkin juga turut berperan adalah bahwa rata-rata usia subyek pada penelitian ini 59,74 tahun, yaitu lebih banyak subyek dalam kategori 40-59 tahun. Pada proses penurunan tebal tulang kortikal mandibula secara fisiologis maupun patologis karena osteoporosis, yang pertama kali mengalami perubahan adalah tulang trabekula, hal ini biasanya terjadi ketika seseorang memasuki masa awal menopause pada wanita atau memasuki masa awal lansia. Tulang kortikal mandibula mengalami perubahan setelah terjadi beberapa perubahan pada tulang trabekula sehingga tampak pada kisaran usia yang lebih tua dibandingkan ketika melihat erbedaan pada tulang trabekula. Oleh karena itu, salah satu faktor yang juga mempengaruhi hasil dari penelitian ini adalah sebaran usia. Kelebihan penelitian ini adalah terstandarisasinya pembuatan dan pengambilan radiograf panoramik dengan operator dan peralatan yang sama, sehingga seluruh sampel layak dibandingkan. Pembagian kelompok usia menjadi pre-lansia (40-60 tahun) dan lansia (60-80 tahun) dalam analisis juga belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun kekurangan dari penelitian ini, yaitu tidak membedakan gender, yang dari referensi penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan perbedaan yang bermakna. Kekurangan lainnya adalah tidak mempertimbangkan densitas radiografik tulang trabekula serta faktor risiko lain yang dapat berpengaruh seperti antara lain asupan gizi dan pajanan matahari.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, diperoleh nilai tebal/lebar rata-rata tulang kortikal mandibula pada populasi yang berisiko osteoporosis di Indonesia yaitu sebesar 4,80618 mm. Dari hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-59 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia 60-80 tahun.

(13)

Saran

Diperlukan penelitian lanjutan sejenis yang mempertimbangkan variabel gender, mengaitkan dengan densitas tulang trabekula, dan juga memperhatikan faktor risiko lainnya yang berpengaruh pada kemungkinan terjadinya osteoporosis seperti asupan nutrisi dan pajanan sinar matahari.

Kepustakaan

1. United Nations Population Division, World Population Prospects: 2002 revision. 2003, New York: United Nation.

2. Wibowo, Indonesia's elderly: Problem and Potential. Oxford: Oxford Institute of Aging, 2004: p. 1837-1847.

3. Pranarka, K., Penerapan Geriatrik Kedokteran Menuju Usia Lanjut yang Sehat. Universa Medicina, 2004. 25: p. 187-197.

4. Rahardjo, T.B.W., Profil Lanjut Usia Aktif, Studi Kasus di Jakarta Selatan. Majalah Kesehatan Perkotaan, 2005. 12: p. 42-45.

5. Lansia Hati-hati dengan “Silent Killer” Osteoporosis. 2012 [cited 4 Oktober 2012; Available from: http://sehatnews.com/kilausenjaensure/?p=113.

6. Elliott, J. I had a silent killer and I didn't know. 2006; Available from:

http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/5198628.stm.

7. Kribbs PJ, C.C., Kilcoyne RF, Relationship between Mandibular and Skeletal Bone in an Osteoporosis Population. Vol. 62. 1989: J Prosthet Dent. 703-7.

8. Taguchi A, e.a., Oral Signs as Indicator of Possible Osteoporosis in Elderly Women. J Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol, Oral Radiol, Endo, 1995. 80(5): p. 612-6.

9. Lindawati S. Kusdhany, T.B.W.R., Bambang Sutrisna, The Development of Mandibular Bone Density Index to Detect Mandibular Osteoporosis of Postmenopausal Women. Int J Oral Helath, 2005. 2: p. 21-25.

10. Gideon A. Rodan, S.B.R., The Cells of Bone, in OSTEOPOROSIS etiology, diagnosis, and management, L.J.M.I. B. Lawrence Riggs M.D., M.D., Editor 1995, Lippincott - Raven: Philadelphia. p. 1-39.

(14)

11. Dempster, D.W., Bone Remodeling, in OSTEOPOROSIS etiology, diagnosis, and management, M.D. B. Lawrence Riggs, L. Joseph Melton III, M.D., Editor 1995, Lippincott - Raven: Philadelphia. p. 67-91.

12. Speroff L, G.R., Kase NG, Menopause and the Perimenopausal Transition, in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, K.N. Speroff L, Editor 1999, Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia. p. 643-707.

13. Martini, F.H., Fundamentals of Anatomy and Physiology2006, San Fransisco: Pearson Education, Inc.

14. WHO, Assesment of Fracture Risk and Its Application to Screening for Postmenopause Osteoporosis. WHO Technical Report Series, 1994: p. 1-26.

15. Heersche JN, B.C., Ishida Y, The Decrease in Bone Mass Associated with Aging and Menopause: J Prosthet Dent 1998.

16. L.K. Hong, L.Z., 101 Question & Answers about Osteoporosis1995, Singapura: Armour Publishing.

17. Osteoporosis. 2007 07-09-2012]; Available from:

http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/osteoporosis.

18. Lindsay R, C.C., Einhorn TA, McKay Hart D, Ljunghall S, Mutalen CA, et al, Who are candidates for prevention and treatment for osteoporosis? Osteoporosis Int, 1997. 7: p. 1-6.

19. Kusdhany, M.L.S., Penentuan Indeks Densitas Tulang Mandibula Perempuan Pascamenopause dengan Memperhatikan Beberapa Faktor Risiko Terjadinya Osteoporosis, in Program Doktor Bidang Ilmu Kesehatan Program Studi Ilmu Kedokteran Gigi Universitas Indonesia2003, Universitas Indonesia: Jakarta.

20. WHO, Prevention and Management of Osteoporosis. WHO Technical Report Series, 2003.

21. Tandra, H., Segala Sesuatu yang harus Anda Ketahui tentang OSTEOPOROSIS Mengenal, mengatasi, dan mencegah TULANG KEROPOS2009, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

22. Christina Lindh, A.P., Madeleine Rohlin, Assesment of Trabecular Pattern before Endosseous Implant Treatment. Oral and Maxillofacial Radiology, 1996. 82(3): p.

(15)

335-23. Wical KE, S.C., Studies of Residual Ridge Resorption. Prosthet Dent, 1974. 32: p. 7-12. 24. Esa Klemetti, S.K., Pia Heiskanen, Pauli Vainio, Veijo Lassila, Panoramic Mandibular

Index and Bone Mineral Densities in Postmenopausal Women. Oral Surgery, Oral Med, Oral Pathology, 1993. 75: p. 774-9.

25. Benson BW, P.T., Glass BJ, Variations in Adult Cortical Bone Mass Measured by a Panoramic Mandibular Index. Oral Surgery, Oral Med, Oral Pathology, 1991. 71: p. 349-56.

26. Gore, C.J., Physiological Test for Elite Athletes. Australian Sports Comm, 2000: p. 83-85. 27. K Horner, K.K., A Mitsea, L Berkas, M Mastoris, R Jacobs, C Lindh, P F van der Stelt, E

Harrison, J.E Adams, Pavit S, Devlin H, Accuracy in osteoporosis diagnosis of a combination of mandibular cortical width measurement on dental panoramic radiographs and a clinical risk index (OSIRIS): The OSTEODENT project. Elsevier, 2006.

28. A Taguchi, Y.S., M Sanada, M Ohtsuka, M Nakamoto, H Sumida, K Ohama, K Tanimoto, Validation of Dental Panoramic Radiography Measures for Identifying Postmenopausal Women with Spinal Osteoporosis. AJR, 2004: p. 1755-1760.

29. Serdar Uysal, B.L.Ç., Müjgan Güngör Hatipoğlu, Do gender and torus mandibularis affect mandibular cortical index? Head & Face Medicine, 2007.

30. Anne-Marie Bollen, A.T., Philippe P. Hujoel, Lars G. Hollender, Case-control study on self-reported osteoporotic fractures and mandibular cortical bone. ORAL SURGERY ORAL MEDICINE ORAL PATHOLOGY, 2000. 90(ORAL AND MAXILLOFACIAL RADIOLOGY): p. 518-524.

Gambar

Tabel 5.1. Gambaran Pengambilan Sampel Penelitian
Tabel 5.2. Nilai Dahlberg pada uji reliabilitas intra- dan interobserver  Uji  Interpretasi  Pengukuran nilai TEM (mm)
Gambar 5.1. Grafik Pembagian Kelompok Usia
Gambar 5.2. Distribusi dan frekuensi tebal tulang kortikal mandibula   pada kategori usia 40-59 tahun dan 60-80 tahun
+2

Referensi

Dokumen terkait

Adapun fokus masalah dalam penelitian ini bagaimana pelaksanaan bimbingan Islami yang diberikan aparatur gampong dan apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat

Potensi Sumberdaya Berdasarkan peta kelayakan sumberdaya yang dihasilkan maka Perairan Pulau Lirang memiliki potensi sumber daya kelautan yang layak untuk dikembangkan

Juara I, Nasyid Putri Tingkat Jawa Timur, diselenggarakan oleh Jaringan Sekolah Islam Terpadu. Juara I, Komik Tingkat Korwil, diselenggarakan oleh Jaringan Sekolah

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Bahwa penderita cacat kejiwaan yang melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP, tidaklah dipidana karena penderita cacat kejiwaan tidak mampu

Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan perubahan atas Piagam Jakarta atau Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan Rancangan Hukum Dasar (RHD). Pengesahan

Warung Pojok No.12 Kabid Bina Program dan Museum Istiqlal, Komplek Rt.05/05 Semanan Peloporan Hasil Penelitian Taman Mini Indonesia Indah Kalideres Jakarta

Sedangkan biaya (cost) yang digunakan untuk pengembangan software dari semua data hasil observasi mempunyai nilai rata-rata 92,6 juta rupiah dengan nilai minimum biaya proyek