1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang banyak dialami
masyarakat Indonesia pada saat ini. Seiring dengan gaya hidup yang tidak sehat,
tidak hanya orang tua tetapi para remaja sekarang ini juga banyak yang menderita
diabetes melitus. Manifestasi dari penyakit diabetes melitus dikaitkan dengan
konsekuesnsi defisiensi metabolik insulin dimana pasien tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma pada saat keadaan normal (Price dkk.,
1995).
Glibenklamid atau yang sering disebut gliburid merupakan salah satu obat
antidiabetik oral. Glibenklamid ini salah satu pilihan pengobatan awal yang
digunakan untuk diabetes melitus tipe 2 (non insulin-dependent) pada pasien
dengan hiperglikemia yang tidak dapat dikontrol hanya dari diet makanan.
Mekanisme kerja dari glibenklamid adalah dengan menurunkan konsentrasi
glukosa darah.
Glibenklamid sebagai agen hipoglemik memiliki kelarutan rendah. Kelarutan
glibenklamid praktis tidak larut dalam air dan dalam eter, sukar larut pula dalam
etanol dan methanol, dan pada kloroform hanya terlarut sebagian. Glibenklamid
termasuk salah satu obat dalam BCS (Bio-Pharmacceutical Classificstion) kelas II,
yang memiliki permeabilitas tinggi namun kelarutan dalam air sangat rendah. Hal
ini menyebabkan absorbsi obat ke dalam tubuh akan lambat dan akibatnya efek
Sediaan glibenklamid yang sering dijumpai yaitu dalam bentuk tablet. Suatu
obat harus mempunyai kelarutan dalam pelarut pembawanya agar obat tersebut
manjur secara terapi sehingga obat dapat masuk ke sistem sirkulasi dan
menghasilkan efek terapetik yang diharapkan. Pembuatan bentuk sediaan tablet
dengan menggunakan teknik likuisolid merupakan salah satu upaya peningkatan
kelarutan dari suatu obat yang mempunyai kelarutan kecil atau praktis tidak larut
dalam air.
Teknik likuisolid merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam
pembuatan tablet yang dapat meningkatkan kelarutan dan memperbaiki disolusi
sehingga dapat meningkatkan bioavaibilitas suatu obat. Teknik ini didasarkan
dengan mencampurkan obat dengan pelarut non-volatile, bahan pembawa yang
tepat serta bahan pelapis. Penggunaan pelarut non-volatile ini dapat meningkatkan
pembasahan dan dispersi molekuler dari obat sehingga dapat meningkatkan
kelarutan obat.
Dalam penelitian kali ini dilakukan optimasi formula glibenklamid
menggunakan PEG 400 dan Avicel PH 200 dengan menggunakan teknik likuisolid
sehingga dapat meningkatkan kelarutan glibenklamid. Pelarut non-volatile
digunakan karena dapat meningkatkan pembasahan dimana obat akan terdispersi
secara molekular sehingga dapat meningkatkan kelarutan obat (Syed dan Pavani,
2012). Pelarut non-volatile yang sesuai untuk obat glibenklamid yaitu Poly Ethilene
Glycol 400 (PEG 400). Bahan pembawa yang dapat digunakan yaitu Avicel PH 200
sebagai penyerap cairan obat sekaligus mempertahankan sifat alir dan
B. Rumusan Masalah
1. Apakah PEG 400 dan Avicel PH 200 berpengaruh terhadap sifat fisik tablet
likuisolid glibenklamid?
2. Berapa proporsi PEG 400 dan Avicel PH 200 untuk menghasilkan tablet
likuisolid glibenklamid yang optimum?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh variasi kadar PEG 400 dan Avicel PH 200 terhadap sifat
fisik tablet likuisolid glibenklamid.
2. Mengetahui proporsi optimum PEG 400 dan Avicel PH 200 dalam pembuatan
formulasi tablet likuisolid glibenklamid.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
penyusunan formula obat yang mengandung glibenklamid dengan menggunakan
teknik likuisolid sehingga dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi obat serta
mampu meningkatkan efek terapetik sebagai antidiabetik oral.
E. Tinjauan Pustaka 1. Glibenklamid
Glibenklamid merupakan turunan dari klormetoksi yaitu merupakan obat
pertama dari antidiabetika oral generasi ke-2 dengan khasiat hipoglikemisnya yang
Glibenklamid banyak digunakan pada pengobatan Non-Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) ringan sampai sedang atau DM tipe 2. Mekanisme utama adalah
merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas, sehingga hanya efektif bila sel
beta pankreas masih dapat berproduksi.
Menurut Biopharmaceutics Classification System (BCS), Glibenklamid
merupakan obat yang mempunyai kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi.
Sehingga masuk dalam BCS kelas II. Pada BCS kelas II obat memiliki kelarutan
rendah dan permeabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan
atau dibatasi tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat
diabsorbsi (Sulaiman, 2007).
2. Tablet likuisolid a) Definisi
Teknik likuisolid merupakan suatu teknik pembuatan tablet yang relatif baru,
dimana digunakan untuk mengubah suatu bentuk cairan menjadi keadaan serbuk
kering yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas baik, melalui pencampuran fisik
sederhana dengan bahan pembawa dan penyalut tertentu (Spireas, 2002).
Teknik likuisolid memiliki tujuan antara lain untuk meningkatkan
pelepasan obat dari bahan aktif yang sukar larut atau memiliki kelarutan buruk
dalam air. Pembuatan tablet dengan teknik likuisolid akan melibatkan beberapa
bahan tambahan selain bahan obat, seperti bahan pembawa, bahan penyalut, dan
Keuntungan tablet likuisolid antara lain:
a. Banyak obat yang masuk dalam BCS kelas II (permeabilitas tinggi, kelarutan
rendah) dapat diformulasi menjadi tablet likuisolid.
b. Meningkatkan permeabilitas obat sukar larut air yang digunakan per oral.
c. Biaya produksi lebih rendah dibanding kapsul lunak gelatin.
d. Obat berada dalam bentuk terlarut sehingga meningkatkan wetting properties
dan bioavailabilitas.
e. Luas area obat yang kontak dengan medium disolusi lebih besar.
f. Dapat dibuat menjadi sediaan konvensional (immediate release) atau sediaan
lepas lambat (susteined release).
g. Obat terdispersi molekuler dalam formula.
h. Dapat diproduksi dalam skala industri.
Kekurangan tablet likuisolid antara lain:
a. Sulit memformulasi obat lipofilik dengan dosis tinggi.
b. Untuk mendapatkan sifat alir dan kompaktibilitas yang baik maka diperlukan
penambahan bahan pembawa (carrier) dan bahan penyalut (coating) dalam
jumlah banyak. Hal ini akan meningkatkan bobot tablet menjadi lebih dari satu
gram sehingga tablet menjadi sulit ditelan (Syed dan Pavani, 2012).
Cara pembuatan tablet dengan teknik likuisolid secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Bahan obat, pertama-tama didispersikan dalam pelarut non volatile dengan
2. Campuran antara bahan pembawa dan bahan penyalut ditambahkan pada
liquid medication dengan pengadukan berkelanjutan di dalam mortir. Jumlah
bahan pembawa yang digunakan harus cukup untuk menghasilkan campuran
dengan sifat alir dan kompresibilitas yang baik.
3. Terhadap campuran tersebut, ditambahkan bahan penghancur dan bahan
tambahan lain yang diperlukan, campur di dalam mortir.
4. Campuran (serbuk likuisolid) diuji sifat alirnya dan jika memenuhi
persyaratan kemudian dicetak menjadi tablet.
5. Tablet yang dihasilkan diuji mutu tablet, meliputi keseragaman sediaan
(bobot dan kandungan) kekerasan tablet, kerapuhan tablet, waktu hancur
tablet, kandungan bahan aktif di dalam tablet, dan selanjutnya dilakukan uji
disolusi (Yadav dan Yadav, 2009).
b) Metode pembuatan dengan kempa langsung
Tablet likuisolid glibenklamid dibuat dengan metode kempa langsung.
Metode kempa langsung merupakan proses serbuk yang merupakan campuran
bahan aktif dan bahan tambahan yang sesuai dikempa secara langsung menjadi
tablet (Gohel dan Jogani, 2002). Bahan penyusun yang akan digunakan untuk
membuat tablet dengan metode kempa langsung harus mempunyai sifat alir dan
kompaktibilitas yang baik (Taher dan Sengaputra, 2013).
Keuntungan metode kempa langsung adalah:
i. Lebih ekonomis karena unit operasi yang dibutuhkan sedikit
ii. Cocok digunakan untuk bahan aktif yang tidak stabil terhadap panas dan
iii. Tablet yang dibuat dengan kempa langsung menunjukkan disolusi yang
lebih cepat disbanding tablet yang dibuat dengan granulasi basah
iv. Kontaminasi yang disebabkan oleh mikroba lebih rendah
Sedang kekurangan dari metode ini antara lain:
i. Terdapat kecenderungan terjadinya segregasi antara bahan aktif dengan
bahan tambahan karena perbedaan densitas dan muatan statis yang terjadi
saat pencampuran
ii. Bahan baku untuk kempa langsung umumnya lebih mahal
iii. Bahan aktif yang mempunyai flowability rendah sulit ditablet dengan kempa
langsung (Gohel danJogani, 2002).
c) Kontrol kualitas i. Sifat alir
Sifat alir dari granul memegang peran penting dalam pembuatan tablet. Uji
sifat alir granul dapat dilakukan dngan cara:
a. Sudut diam
Sudut diam adalah sudut tetap yang terjadi antara timbunan pertikel
berbentuk kerucut dengan bidang horizontal, jika sejumlah serbuk atau granul
dituang ke dalam alat pengukur. Besar kecilnya sudut diam dipengaruhi oleh
bentuk, ukuran, dan kelembaban granul. Granul akan mengalir dengan baik jika
mempunyai sudut diam antara 25°-45°, nilai yang lebih rendah memiliki sifat
ii. Keseragaman bobot
Keseragaman bobot adalah salah satu pengujian yang penting karena jika
bobot tablet seragam maka kemampuan mengalir dari campuran bahan yang
akan dikempa baik. Keseragaman bobot tablet tiap bets produksi digunakan agar
zat aktif yang terkandung tiap tablet sama sehingga menimbulkan efek sama.
Perhitungan nilai penerimaan (NP) berdasarkan rata-rata nilai presentase dari
target bobot tablet yang didapat. Persyaratan keseragaman bobot terpenuhi
apabila NP kurang dari 15% (Departemen Kesehatan RI, 2014).
iii. Kekerasan
Tablet harus mempunyai kekuatan atau kekerasan tertentu agar dapat
bertahan terhadap berbagai guncangan mekanik pada saat pembuatan,
pengepakan, pendistribusian, dan penyimpanan. Alat yang digunakan untuk
mengukur kekerasan tablet adalah hardness tester. Kekerasan tablet menurut
Parrott (1971) adalah antara 4-8 kg.
iv. Kerapuhan
Kerapuhan adalah salah satu parameter dari ketahanan tablet dalam
melawan pengikisan dan goncangan selama proses pengangkutan dan
penyimpanan. Besaran yang digunakan adalah % bobot yang hilang selama
pengujian dengan alat abrassive. Kerapuhan dinyatakan sebagai massa partikel
yang dilepas dari tablet akibat beban pengisi mekanis. Tablet mempunyai
v. Keseragaman kandungan
Tablet bersalut, tablet yang mengandung zat aktif 50 mg atau kurang, dan
bobot zat aktif lebih kecil dari 50% bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji
keseragaman kandungan yang pengujiannya dilakukan tiap tablet (Departemen
Kesehatan RI, 2014).
vi. Waktu hancur
Waktu hancur adalah waktu waktu yang diperlukan untuk hancurnya tablet
dalam medium yang sesuai, kecuali dinyatakan lain waktu yang diperlukan untuk
menghancurkan kelima tablet tersebut tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak
bersalut dan untuk tablet bersalut gula bersalut selaput tidak lebih dari 60 menit
(Departemen Kesehatan RI, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu hancur tablet adalah sifat fisika
kimia granul, kekerasan, dan porositas tablet (Parrott, 1971). Faktor lain yang
dapat mempengaruhi waktu hancur antara lain bahan pengisi, bahan pengikat dan
jumlah yang ditambahkan, tipe dan jumlah bahan pengisi, serta tekanan kompresi
(Gordon dkk., 1990).
3. Bahan Tambahan Tablet
Bentuk sediaan tablet yang digunakan secara peroral selain mengandung
bahan aktif biasanya juga digunakan beberapa komponen tambahan. Komponen
yang ditambahkan masing-masing memiliki fungsi yang berbeda (Banker dan
a) Bahan pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan pada formula dengan jumlah
zat aktif yang relatif kecil untuk menambah besar tablet agar sesuai. Bahan pengisi
yang ditambahkan harus memenuhi beberapa kriteria, seperti:
a) Bersifat tidak toksik dan memenuhi peraturan-peraturan dari negara dimana
produk akan dipasarkan
b) Tersedia dalam jumlah yang cukup di negara tempat produk itu dibuat
c) Harganya murah
d) Tidak saling berkontraindikasi dalam tiap bagian dalam populasi
e) Secara fisiologis harus inert dan netral
f) Stabil secara fisika dan kimia
g) Tidak boleh mengganggu bioavailabilitas tablet
h) Bebas mikroba (Banker dan Anderson, 1986).
Berdasarkan kelarutan, bahan pengisi dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
a) Bahan pengisi yang larut air, misalnya laktosa, sukrosa, manitol, glukosa, dan
dekstrosa.
b) Bahan pengisi tidak larut air, misalnya dikalium fosfat, kalium fosfat, amilum
termodifikasi, mikrokristalin selulosa (Sheth dkk., 1980).
b) Pelarut non volatile
Bahan ini untuk melarutkan atau mensuspensikan bahan obat yang
kelarutannya dalam air rendah. Pelarut non volatile yang digunakan sebaiknya
bersifat inert, dapat campur dengan pelarut organik, viskositas tidak terlalu tinggi,
dalam formulasi tablet likuisolid antara lain polietilen glikol 200 dan 400,
gliserin, polisorbat 80 dan propilen glikol. Pelarut non volatile tidak dikeringkan
selama proses, namun akan membawa obat dalam sistem cair sampai terbentuk
produk akhir (Spireas, 2002).
c) Bahan pembawa
Bahan Pembawa adalah bahan berpori yang memiliki kemampuan absorbsi
yang baik seperti mikrokristalin dan selulosa amorf. Bahan pembawa digunakan
untuk mengabsorbsi kelebihan cairan obat dalam teknik likuisolid, bahan dipilih
yang mempunyai sifat hidrofilik, misalnya Avicel PH 102, Avicel PH 200, laktosa
monohidrat, dan laktosa spray-dried (Spireas, 2002).
d) Bahan penghancur
Bahan penghancur dimaksudkan untuk memudahkan pecahnya atau
hancurnya tablet dalam medium, sehingga pecah menjadi granul atau partikel
penyusunnya. Fragmen-fragmen tablet ini memungkinkan untuk larutnya obat dan
tercapai bioavaibilitas yang diharapkan. Jenis bahan penghancur yang umum
digunakan dan harganya murah yaitu pati dan jenis lainnya. Biasanya digunakan
dengan konsentrasi 5-20% dari berat tablet. Bahan penghancur yang sering
digunakan antara lain: amilum kering, derivat amilum, derivat selulosa, alginat,
agar (Lachman dkk., 1994).
e) Bahan penyalut (coating material)
Bahan penyalut merupakan bahan berukuran halus dan memiliki sifat
adsorbtif yang tinggi seperti berbagai macam silika. Bahan penyalut berkontribusi
kering dengan jalan mengadsorbsi kelebihan cairan. Partikel adsorbtif tersebut
memiliki diameter ukuran partikel antara 10 nm sampai 5000 nm (Spireas, 2002).
f) Bahan pelicin
Bahan pelicin digunakan untuk memudahkan pendorongan tablet ke atas
keluar ruang cetak melalui pengurangan gesekan antara dinding dalam lubang cetak
dengan permukaan tablet. Bahan pelicin sebaiknya dapat mengurangi dan
mencegah penggesekan stempel bawah pada ruang cetak, jika tidak stempel bawah
akan melekat pada ruang die (Voigt, 1984). Bahan pelicin yang biasa digunakan
adalah Mg stearat 0,1%-2% atau talk 1%-5% (Gunsel dan Kanig, 1976).
Bahan pelicin terbagi atas 3 fungsi, yaitu:
a. Anti adherent, berfungsi mencegah supaya bahan yang dikempa tidak melekat
pada dinding ruang cetak.
b. Glidant, berfungsi memperbaiki sifat alir granul yang akan dikempa.
c. Lubrikan, berfungsi mengurangi gesekan selama proses pengemmpaan antara
granul dengan dinding die serta mencegah gesekan antara punch dan die.
4. Simplex Lattice Design (SLD)
Simplex Lattice Design merupakan suatu cara untuk menentukan optimasi
pada berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan yang dinyatakan dalam berapa
bagian. Simplex Lattice Design dapat digunakan untuk optimasi kadar komponen
suatu formula sediaan padat.
Suatu formula adalah campuran yang terdiri dari beberapa komponen. Setiap
satu variabel atau bahkan lebih fraksi komponen lain. Jika Xi merupakan fraksi dari
komponen ini dalam campuran maka:
0 ≤ Xi ≤ 1 i=1,2,3,....,... (1)
Campuran akan mengandung sedikitnya komponen dan jumlah fraksi semua
komponen adalah tetap (=1). Hal ini berarti
X1 + X2 + .... + Xq = 1 ... (2)
Area yang menyatakan semua kemungkinan kombinasi dari
komponen-komponen dapat dinyatakan oleh interior dan garis batas dari suatu gambaran
dengan q titik sudut dan q-1 dimensi. Jika 2 komponen berarti menunjukkan adanya
2 titik dan 1 dimensi (Bolton, 1997).
Profil saat campuran biner didapat dengan memplotkan persamaan yang
diperoleh berdasarkan SLD.
Untuk 2 campuran berbeda (A dan B) yaitu:
Y= X1 (A) + X2 (B) + X1,2(A)(B) ... (3)
Keterangan: Y = Respon
(A), (B) = Besarnya komponen A dan B
X1, X2, X1,2 =Koefisien dapat dihitung dari percobaan
Besarnya tiap komponen, bila campuran yang dibuat terdiri dari 2 faktor atau
komponen, didapatkan dengan melakukan tiga percobaan, yaitu:
a. Percobaan yang mempergunakan 1 bagian A, berarti 100% A dan 0% B
b. Percobaan yang mempergunakan 1 bagian B, berarti 0% A dan 100% B
c. Percobaan yang mempergunakan 1/2 bagian A dan ½ bagian B, berarti 50% A
Dengan demikian dengan metode SLD, dapat diketahui respon pada campuran
berapapun sepanjang bila dijumlahkan merupakan satu bagian.
5. Monografi Bahan a) Glibenklamid
Gambar 1. Struktur Glibenklamid
Glibenklamid1-(4-(2-(5-Kloro-2-metoksibenzamido)etil)benzenasulfonil)-3-sikloheksiurea. Glibenklamid mengandung tidak kurang 99,0 % dan tidak lebih dari
101,0 % C23H28CIN3O5S dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian
serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau.
Kelarutan praktis tidak larut dalam air dan dalam eter, sukar larut dalam etanol dan
dalam methanol, larut sebagian dalam kloroform (Departemen Kesehatan RI,
2014).
b) PEG 400
PEG 400 adalah poli etilen glikol H-(O-CH2-CH2)nOH dengan harga n antara
8 dan 9 berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, bau khas lemah, agak
higroskopis. Kelarutan: larut dalam air, dalam etanol (95%), aseton P, dalam glikol,
dan dalam hidrokarbon aromatik. Praktis tidak larut dalam eter P dan dalam
c) Avicel PH 200
Avicel merupakan nama dagang dari selulosa mikrokristal. Avicel diperoleh
melalui proses depolimerisasi dan pemurnian selulosa sehingga diperoleh serbuk
berwarna putih, tidak berbau, dan tidak berasa (Guy, 2009). Sebagai bahan farmasi
avicel digunakan untuk bahan pengisi tablet yang dibuat secara granulasi maupun
cetak langsung, bahan penghancur tablet, adsorben dan bahan anti lekat. Avicel
diketahui mempunyai sifat alir dan kompresibilitas yang sangat baik.
Avicel sering dilakukan co-processing dengan karagenan, sodium
karboksimetil-selulosa dan guar gum (Rowe dkk., 2009). Partikel berukuran lebih
besar dengan densitas masa yang lebih tinggi umumnya memberikan sifat alir
serbuk yang lebih baik (Guy, 2009). Jenis Avicel yang digunakan dapat
mempengaruhi kekerasan, kerapuhan dan jumlah obat yang dilepaskan dari sediaan
tablet (Bastos dkk., 2008).
Selulosa mikrokristal dapat diperoleh secara komersial dari berbagai kualitas
dan merek dagang. Salah satu produk selulosa mikrokristal di perdagangan dikenal
dengan merek dagang Avicel. Ada beberapa macam jenis avicel, salah satunya
avicel PH 200. Pemerian berupa serbuk kristal poros, putih, tidak berbau, tidak
berasa, dan memiliki aliran yang baik. Praktis tidak larut dalam air, cairan asam,
dan kebanyakan pelarut organik, sedikit larut dalam larutan NaOH 5% b/v.
F. Landasan Teori
Berdasarkan Biopharmaceutics Classification System (BCS) obat
memiliki kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi. Karena masuk dalam kelas II
maka kecepatan absorbsi obat tersebut akan ditentukan atau dibatasi oleh tahapan
kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorbsi. Karena
memiliki kelarutan rendah, obat yang akan diabsorbsi sedikit, sehingga
bioavaibilitas dalam tubuh juga rendah. Bioavaibilitas obat akan meningkat dengan
adanya kecepatan disolusi.
Teknik likuisolid merupakan suatu teknik pembuatan tablet yang relatif baru
yang berguna untuk mengubah suatu bentuk cairan ke keadaan serbuk kering
sehingga memiliki sifat alir dan kompresibilitas baik, melalui pencampuran fisik
sederhana dengan bahan pembawa dan penyalut tertentu (Spireas, 2002). Jika tablet
glibenklamid yang dibuat dengan teknik likuisolid mempunyai kelarutan baik
sehingga obat yang akan diabsorbsi ke dalam tubuh akan tinggi dan bioavaibilitas
juga tinggi sehingga obat akan segera memberikan aksi yang lebih cepat dari tablet
biasa.
Pada penelitian kali ini dilakukan optimasi terhadap PEG 400 sebagai pelarut
non volatile dan Avicel PH 200 sebagai bahan pembawa dalam pembuatan tablet
likuisolid glibenklamid. Bahan Pembawa yang merupakan serbuk berpori yang
dapat mengabsorbsi cairan obat. Avicel PH 200 merupakan mikrokistalin selulosa
yang telah digunakan sebagai pembawa dalam formulasi tablet likuisolid
hidrokortison dan prednison. Avicel PH 200 mampu menghasilkan sifat alir lebih
baik dari Avicel PH 102. Sifat alir Avicel PH 200 pada kelarutan methyclothiazid
dalam penyerap PEG 400 (5% w/w) sebesar 9,2 g/detik, sedangkan Avicel PH 102
Penelitian Hadisoewignyo dkk pada tahun 2011 menunjukkan tablet
ibuprofen yang dibuat dengan teknik likuisolid dengan menggunakan gliserin
maupun propilen glikol sebagai pelarut non volatile dan PVP K-30 sebagai polimer
akan dapat meningkatkan disolusi ibuprofen dibandingkan dengan tablet ibuprofen
konvensional. Sediaan tablet yang mengandung bahan obat dengan kelarutan
rendah juga dapat di lakukan peningkatan kelarutan menggunakan teknik likuisolid
dengan pelarut non volatile dan bahan pembawa yang sesuai.
G. Hipotesis
1. Peningkatan proporsi PEG 400 dapat mempercepat waktu hancur, disolusi
serta menurunkan kekerasan dan kerapuhan tablet likuisolid glibenklamid,
sedangkan peningkatan Avicel PH 200 dapat mempercepat sifat alir tablet
likuisolid glibenklamid
2. Jumlah proporsi pelarut non volatile PEG 400 dan pembawa Avicel PH 200