• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah

KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

(Kajian dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ide tentang “negara hukum” telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam sistem hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep “rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep “rule of law” yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon.

Keberadaan paham Rechtsstaat didasarkan pada filsuf liberal yang individualistik maka ciri individualistik yang sangat menonjol adalah pemikiran atau paham Eropa Kontinental sehingga disebut paham negara hukum liberal. Pemikiran konsep negar hukum ini diintroduksir oleh Immanuel Kant yang kemudian pemikiran Kant disempurnakan oleh Friederich Julius. Paham negara hukum ditandai dengan unsur-unsur yakni :

(1) pengakuan adanya hak-hak asasi manusia (grondrechten);

(2), pemisahan kekuasaan (Scheiding van machten);

(3), pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan (4) peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).

(2)

dipelopori oleh AV Dicey (1885) dengan sebutan Rule of Law. Sebagaiman dijelasakan oleh John Alder paham Rule of law Dicey memiliki tiga ciri yaitu :

(1), supremasi hukum (supremacy of law);

(2), persamaan di depan hukum (equality before the law) dan;

(3), konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perseorangan (constitution based on individual rights).

Kedua konsep tersebut berkaitan dengan tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara negara (pemerintah) sebagai pihak yang memerintah (mengusai) dan warga negara sebagai pihak yang dikuasai (yang diperintah). Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan panjang menentang absolutisme kekuasaan negara (machtstaat), sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem common law yang bersifat memutus perkara yang didelegasikan kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di Inggris (common custom of England).

Negara hukum tidak dapat diwujudkan apabila kekuasaan negara masih bersifat absolut atau tidak terbatas, karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa kekuasaan negara harus di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.Jadi pada negara hukum dapat dipahami, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan suatu norma obyektif yang mengikat pihak yang memerintah. Adapun yang dimasud dengan norma obyektif adalah hukum yang tidak hanya berlaku secara formal tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea

hukum.

Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan latar belakang historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara.

(3)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah yaitu : Bagaimanakah kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari : 1 Aspek ontologi (mengenai hakikat dan sumber kekuasaan)

2 Aspek epistemologi (tentang rule of law sebagai cara atau metode untuk membatasi kekuasaan)

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Aspek Ontologi

Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis).. Istilah kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu.

(5)

Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut: “hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.

Secara analitik dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Kekuatan fisik (force) dan wewenang resmi (formal authority) merupakan dua sumber kekuasaan. Kekuasaan bukan wewenang dan kekuatan.Wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan. Memang dalam kenyataan, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa dari pada orang yang berwenang atau memiliki kekuatan fisik. Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan pun tak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan. Jadi, kekuasaan adalah fenomena yang beraneka ragam bentuknya dan banyak macam sumbernya. Hanya, pada hakekatnya kekuasaan itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain.

2. Aspek Epistemologi

Menurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas, yakni ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan. Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan.

(6)

Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang kekuasaan diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap

kepentingan masyarakat. Ia merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti negara). Akan tetapi karena sifat dan hakikatnya, supaya baik dan bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya. Sekali ditetapkan, hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari pengertian bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.

Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service). Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai, di satu pihak ia mempunyai kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap diri dan harta bendanya. Yang dimaksud “penguasa” dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam suatu negara.Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi dalam empat bidang perundang-undangan, peradilan, polisi, dan pemerintahan. Tugas penguasa di bidang perundang-undangan adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil, yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang peradilan, menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di bidang kepolisian, tugas penguasa adalah pengawasan dari penguasa atas paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang mentaati hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang pemerintahan, tugas penguasa adalah mencakup semua tindakan penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan, dan polisi. Istilah “tugas penguasa” dalam hal ini mencakup seluruh tugas “negara” yang dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.

(7)

dimaksudkan untuk membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat penyelenggara pemerintahan.

Penggunaan kekuasaan pemerintah harus berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan. Segenap peraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak pembuat undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturan-peraturan umum. Pembuat undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun memihak individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan kontrol personal secara langsung. Pelaksana undang-undang (administrator) berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan, dan aturan-aturan-aturan-aturan ini bukan dia yang membuatnya. Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-undang terhindar dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim (judge).

Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim, maka mungkin saja makna aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah “dipelintir” sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa pula timbul kekacauan dalam metode administratif dan metode peradilan, sebab masing-masing metode memiliki keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya.Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan yang sudah ditentukan di dalam batasan-batasan hukum. Baginya, rule of law adalah kerangka tempat pengambilan keputusan dilaksanakan. Sebaliknya, bagi hakim, hukum disahkan dari batas luar ke pusat perhatian. Hukum adalah bidang kajian utama bagi aktivitasnya. Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya menuntut institusi dan personel khusus.

(8)

paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara hasil dari revolusi tersebut.

Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun Montesquieu sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi ada perbedaannya. John Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of power; separation du pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan (separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration of powers). Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur “power” dalam negara itu dalam dua bidang pokok, yakni: “legislatio” yang meliputi “law creating function”; dan “legis executio”, yang meliputi: legislative power dan judicial power.

Tugas “legis executio” menurut Kelsen bersifat luas, yakni melaksanakan “the constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif. Dengan demikian, ia mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh “judicial power”. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu dalam dua bidang, yaitu:

(a) “political function” yang disebutnya “government” dan meliputi tugas kepolisian; (b) “administrative function” (Verwaltung; Bestuur).

Pembagian kekuasaan negara dalam dua bidang ini disebutnya “dichotomy”. Demikian juga pendirian Hans Nawiasky yang pendapatnya, ini sangat dekat dengan teori “dichotomy”-nya Kelsen. Adanya pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hak-hak kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara. Kendatipun demikian, dalam prakteknya ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Pemisahan kekuasaan secara absolut yang meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan (checks and balance) antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan itu.

(9)

Berdasarkan UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal sistem “pembagian kekuasaan” (division of powers) yang menekankan adanya pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ-organnya. Adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang berasal dari ajaran Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive power dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran tersebut.

Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945. Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga cabang kekuasaan, tetapi dalam praktek ada negara-negara tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang kekuasaan yang dimaksud. Di antaranya adalah Indonesia yang ternyata mempunyai 6 (enam), bahkan lebih, cabang kekuasaan negara yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang ada (MPR, DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden) (Bagir Manan, 1999: 11). Di samping itu, dalam amandemen UUD 1945 juga dikenal lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).

3. Aspek Aksiologi

Pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah tunggal. Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris yang lebih melihat hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun, kedua pandangan itu sama-sama sependapat bahwa seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Ketika kita melihat teori yang ditawarkan oleh Roscue Pound, bahwa “law as a tool as social engineering”, maka kita akan melihat bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jika kita mengacu ajaran Von Savigny, yang mengatakan bahwa “hukum berubah jika masyarakatnya berubah”, maka hukum semestinya harus mampu mengikuti perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat.

(10)

Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang melakukan telaah tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang dapat digunakan untuk menilai hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu:

a. Hukum menentukan dan mempengaruhi kekuasaan (politik) yang menyertai wawasan negara hukum yang das sollen; di sini hukum, terutama hukum dasar (konstitusi) menjadi pemberi batas yang tegas atas lingkup kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.

b. Hukum dipengaruhi, ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan) seperti yang sering terlihat di dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum lebih dijadikan sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan, sehingga hukum tidak dapat memainkan perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.

Dalam kajian ini, tak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara kedua model ini. Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang ada dan terjadi secara ajeg. Dalam konteks inilah dua model atau pandangan mengenai hubungan hukum dan kekuasaan dapat diberi tempat. Sehingga kebenarannya menjadi benar menurut model dan asumsi yang dipergunakan oleh sang analisis; tinggal model mana yang akan dipergunakan. Idealnya, memang hukum dan kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti, hukum harus ditegakkan dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya, kekuasaan harus dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenang-wenang. Tetapi, apa yang ideal itu kerapkali tidak realistik, sehingga kerapkali pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi supreme atas hukum.

Dalam kenyataan justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung dan ditentukan oleh kekuasaan, sehingga timbul berbagai kondisi yang lebih realistik sejak zaman dulu yang melihat hukum sebagai wujud dari keinginan penguasa belaka. Keinginan ini menurut John Austin dinyatakan secara rasional oleh penguasa, yang bagi pihak lain merupakan hal yang harus dilakukan atau dihindari.

Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik yang mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri.

1 Kaum Sophist di Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat.

(11)

hubungan kekuasaan yang nyata; orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian dan dalam keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. 3 Gumplowics mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh

yang kuat, ia merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.

4 Bahkan sebagian dari pengikut aliran positivisme berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum itu merupakan hak orang yang terkuat.

(12)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Kajian tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum secara dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek ontologis, epistemologis dan filosofis.

1 Dari aspek ontologi, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan dalam koridor hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.

(13)

berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim, yang memiliki kekuasaan mengadili menurut (prosedur) hukum.

3 Dari aspek aksiologi, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-citakan keadilan. Meskipun, keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum, karena hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak. Dalam perspektif ini, hukum tidak bebas nilai, karena terkait dengan hati nurani (moral), termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985

Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001

Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999

Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005

I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002

(14)

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

Binacipta, Jakarta, t.t.

Mukthie Fadjar, A., Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang, 2003

Peters, A.A.G., dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977

Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,

Referensi

Dokumen terkait

perjanjian-perjanjian internasional yang disahkan dengan Keppres atau Perpres dapat diuji di MA. Bola panas ketiga, yaitu adanya sikap MK yang terkesan dilematis

Berdasarkan hasil analisis IFAS dan EFAS atau faktor internal dan eksternal bahwa diketahui ada banyak macam kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.

Penelitian yang akan dilakukan adalah merrubah dan merintis kehidupan anak jalanan agar dapat memperoleh pendidikan ketrampilan minimal yang dapat meningkatkan ”

Dalam hal ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau mediator untuk membantu pihak manajemen dalam hal untuk mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan oleh

[r]

Untuk proses ujiannya dimulai dari Guru membuat ujian pada Master Ujian dengan mengisi kolom-kolom sesuai dengan kebutuhan, pada master soal ini soal akan diacak

Untuk meminimalisir penurunan akurasi Indoor Positioning System karena minimnya jumlah access point atau persebaran access point yang kurang merata, maka

a) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau