• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES SOSIAL BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES SOSIAL BUDAYA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES SOSIAL, BUDAYA , DAN POLITIK BAHRUR ROSYIDI DURAISY

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan terdiri dari 17.508 pulau, 485 suku

bangsa dan 583 bahasa daerah. Kenyataan itu sangat fantastis. Dengan begitu

beragamnya suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat.Kita tetap dipersatukan oleh

satu bahasa, yaitu Bahasa Indonesia. Sehingga informasi atau pesan kebudayaan

dari masing-masing suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda itu tetap bisa

disimak dan dipahami.

Hubungan yang terjadi di antara berbagai suku bangsa tersebut tentu saja

melalui suatu proses komunikasi. Jika komunikasi tersebut di tinjau dari segi

komunikasi sebagai proses sosial dan proses budaya, maka bukanlah semata-mata

terjadi proses tukar menukar barang seperti di pasar, tetapi terjadi suatu proses

tukar menukar segi kebudayaan dan proses sosial. Hal itu meliputi bahasa, religi,

sistem ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem organisasi sosial

dan kesenian. Yang dimana proses sosial itu sendiri dapat menghubungkan antar

individu dengan individu lainnya untuk saling berinteraksi dan tidak dapat dihindari

dari hubungan tersebut dapat terjadi perubahan maka dari itu dari makalah ini akan

membahas secara khusus bagaimana komunikasi itu sebagai proses sosial dan

proses budaya.

Ketidak mampuan manusia untuk berkomunikasi menjadikannya bagai

seekor katak dalam tempurung. Kita tidak mengelak bahwa kita, manusia adalah

makhluk individu. Konsekuensinya, bahwa kita akan memenuhi kebutuhan individu

kita terlebih dulu setelah itu baru kebutuhan uang lain (kebutuhan sosial). Akan

tetapi kita menyadari penuh bahwa kita tidak bisa hidup atau lebih tepatnya tidak

bisa memenuhi kebutuhan hidup kita sendiri tanpa orang lain. Meskipun sebagai

makhluk individu yang mencintai dirinya sendiri manusia adalah bagian dari semesta

alam dan secara lebih sempit bagian dari masyarakat, yang merupakan

(2)

Pribadi). Maka bersamaan dengan itu ia harus juga menjaga dan mempertahankan

masyarakatnya. Akibat pernyataan tersebut, maka manusia dalam mempertahankan

hidup atau lebih tepatnya memenuhi kebutuhannya, perlu bekerja sama dengan

orang lain.

Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima macam kebutuhan, yaitu:

1. Kebutuhan fisik biologis, contoh: makan, minum, buang air, bernafas, dan seks.

2. Kebutuhan keamanan dan jaminan hidup, mencakup perlindungan dan

ketetapan.

3. Kebutuhan diri dan penghargaan, contoh: gelar, pangkat, status, hadiah,

penghargaan, etc.

4. Kebutuhan akan pemenuhan dan pencapaian diri, kebutuhan ini bisa tercapai

dengan mendapatkan pertumbuhan dan pengembangan kemampuan dan

pemenuhan kebutuhan diri sendiri.

5. Kebutuhan sosial dan bergabung dengan kelompok, kebutuhan ini meliputi

kebutuhan unutk diterima, dicintai, berteman, dan diakui oleh orang lain.

Yang perlu diperhatikan disini adalah, manusia adalah makhluk individu

bersamaan dengan itu manusia juga merupakan makhluk sosial. Ia membutuhkan

pengakuan dari lingkungannya. Seorang manusia akan kelihatan jati dirinya ketika

sudah terpenuhi kebutuhan sosialnya, begitu pun sebaliknya ia akan kehilangan jati

diri kemanusiaannya jika mengasingkan diri dengan manusia lain.

John Donne pernah mengatakan bahwa “Tidak seorang manusia pun

merupakan sebuah pulau yang cukup diri, setiap manusia adalah kepingan dari

benua dan merupakan bagian dari keseluruhan.” Esensi manusia yang tidak bisa

hidup atau tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri inilah yang menjawab

pertanyaan mengapa manusia harus membuat hubungan dan berinteraksi dengan

orang lain.

Pada posisi inilah komunikasi menjadi sangat berperan sebagai salah satu

manifestasi untuk memenuhi kebutuhan kita, manusia. Melalui komunikasi manusia

membangun atau menghancurkan diri dan lingkungannya, melalui komunikasi

manusia bisa memajukan atau memundurkan peradabannya, dan melalui

(3)

Saat ini kita telah memasuki era yang disebut ”Revolusi Komunikasi” dari

Daniel Lerner, ”Masyarakat Pasca Industri” (The Post Industrial Society) dari Daniel

Bell, ”Abad Komunikasi” atau ”Gelombang Ketiga” (The Third Wave) dari Alvin

Toffler. Salah satu ciri yang menyertai berbagai sebutan era dari para ahli tersebut

adalah penggunaan alat komunikasi sebagai media yang sangat penting di dalam

pergaulan manusia. Globalisasi sendiri telah memporakporandakan sebuah negara

yang berusaha mengisolasi diri dari pergaulan dunia, bahkan Marshall McLuhan

mengatakan bahwa kita telah memasuki Global Village (kampung global).

Global Village artinya dunia diibaratkan sebuah kampung dengan suatu ciri

apa yang terjadi di sebuah wilayah negara dalam waktu singkat segera diketahui

oleh negara lain. Sama persis suatu kejadian yang ada di sebuah sudut kampung

dalam waktu singkat cepat diketahui oleh seluruh masyarakat di kampung tersebut.

Menurut Collin Cherry kasus semacam itu sering diistilahkan dengan ledakan

komunikasi massa. Ledakan komunikasi massa ternyata membawa implikasi

geografis dan geometris. Implikasi geografis artinya suatu negara pada akhirnya

akan terseret arus pada jaringan komunikasi dunia. Sedangkan implikasi geometris

adalah berlipatnya jumlah lalu lintas pesan yang dibawa dalam sistem komunikasi

yang jumlahnya berlipat-lipat. Saat ini kita tidak bisa membayangkan bahwa satelit

kita dilewati (menjadi perantara) banyak informasi dan pesan.

Berbagai perkembangan komunikasi tersebut sebenarnya merupakan proses

yang terus menerus diperbaharui dari hari ke hari. Kalau dahulu sistem komunikasi

dilakukan lewat pelayanan pos (Curtus Publicus) yang terjadi di kota Roma,

kemudian berkembang menjadi lebih maju dengan ditemukannya telegraf satu abad

sesudahnya, penemuan kristal transistor pada 1948, satelit dan saat ini sudah ada

bentuk komunikasi yang semakin canggih dengan menggunakan istilah electronic

memory chips (chips) berupa peralatan mikro komputer.

Daniel Lerner, dalam tulisannya yang berjudul Technology, Communication,

and Change pada 1976, mencatat lima revolusi komunikasi yang pernah terjadi di

(4)

Teknologi Media Rentang waktu ke tahun 1975

Mesin cetak cetakan + 500 tahun

Kamera atau film visual 100 tahun

Transmitter atau tabung hampa

audio 50 tahun

Transistor atau tabung gambar

audio visual 20 tahun

Satelit Jaringan dunia pertama 10 tahun

Setiap revolusi komunikasi berbeda rentang waktunya. Seperti, antara

revolusi pertama ke revolusi kedua membutuhkan waktu lebih dari 400 tahun. Waktu

selama empat abad itu dibutuhkan untuk mengembangkan sebuah kelas sosial yang

bisa memanfaatkan teknologi cetak tersebut.

Di Indonesia perkembangan tersebut juga terasa sekali. Komunikasi

antarpersona yang dahulu menjadi andalan dalam proses komunikasi lambat laun

posisinya sudah tergeser oleh media radio dan surat kabar yang digunakan untuk

alat perjuangan. Kemudian tergeser oleh peran media televisi ketika di tanah air

sudah ada siaran televisi pada 1962.

Pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kaitan antara realitas

komunikasi tersebut dengan sosial, budaya, dan politik? Atau dengan kata lain

bagaimana komunikasi bisa dijelaskan sebagai proses sosial, budaya, dan politik?

HAKIKAT PROSES SOSIAL

Studi tentang peranan komunikasi dalam proses sosial banyak dikaitkan

dengan asumsi-asumsi bahwa perubahan sosial (social change) dapat disebabkan

karena komunikasi. Para ahli umumnya menitikberatkan perhatiannya pada studi

tentang efek komunikasi. Para pakar dari berbagai disiplin ilmu sangat percaya

bahwa komunikasi merupakan sebuah kekuatan yang bisa digunakan secara sadar

untuk mempengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat, terutama dalam

menerima gagasan-gagasan baru dan teknologi baru.

Arifin mencatat bahwa keyakinan tersebut telah menyebabkan

berkembangnya kajian tentang difusi. Sesungguhnya kajian difusi ini telah dilakukan

(5)

Para pakar psikologi ini menemukan bahwa peranan yang dimainkan oleh media

massa dalam mempengaruhi khalayak sangat kecil, bila dibandingkan dengan

komunikasi langsung.

Lain lagi yang dicatat Wilbur Schramm dan Daniel Lezner bahwa konsep

difusi dan adopsi inovasi pada akhirnya melandasi terjadinya dua revolusi besar

yang melanda Dunia Ketiga, yakni revolusi hijau dan revolusi pengendalian

penduduk.

Pada masa yang akan datang, masalah difusi dan inovasi terasa masih

sangat urgent atau penting. Bukan saja diharapkan masyarakat dapat menerima dan

menyebarkan inovasi pembangunan, tetapi juga mampu berpartisipasi secara aktif

dalam proses perubahan sosial yang direncanakan (development).

Santoso S. Hamijoyo mengemukakan konsep tentang komunikasi

partisipatoris di mana partisipasi masyarakat secara sadar, kritis, sukarela, murni,

dan bertanggungjawab memang baik. ”Baik” bukan sekedar karena bahwa dengan demikian ada kemungkinan biaya pembangunan menjadi murah, tetapi ”baik” karena

memang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar membangun masyarakat, bangsa, dan

negara.

Kendala partisipasi tersebut, menurut Santoso S. Hamijoyo, bukan hanya

karena tingkat pendidikan dan peradaban, tetapi juga karena sulitnya pelaksanaan

partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, kendala partisipasi tersebut lebih banyak

bersumber dari kurangnya kemauan atau itikad baik, komitmen moralitas dan

kejujuran dari sebagian para komunikator, pemimpin dan penguasa, baik di

kalangan pemerintah, swasta, maupun masyarakat dari semua tingkatan.

Maka dari itu, masalah komunikasi pembangunan bukan hanya menyangkut

bagaimana melakukan transformasi ide dan pesan melalui penyebaran informasi.

Difusi dan inovasi merupakan problem struktural. Artinya, penerimaan dan

penyebarluasan ide baru tersebut sangat tergantung pada sifat atau karakteristik

lapisan masyarakat (stratifikasi sosial).

Pada pertemuan ini akan dibahas bagaimana perubahan sosial terjadi secara

teoritis, bagaimana persoalan-persoalan komunikasi yang muncul di dalam

(6)

Komunikasi dan Perubahan Sosial

Jurnal Komunikasi Audientia, Vol. I, 2 April – Juni 1993, menurunkan tulisan

Bruce H. Westley. Ia sudah sejak lama menekuni pemikiran di sekitar komunikasi

sebagai domain perubahan sosial. Dalam buku Process and Phenomena of Social

Change pada 1978, Westley menulis panjang lebar tentang komunikasi dan

perubahan sosial.

Beberapa asumsi yang mendasari kajian perubahan sosial di mana

komunikasi terlibat di dalamnya antara lain:

pertama, bahwa proses komunikasi menghasilkan perubahan-perubahan

pengertian. Hal itu bukan saja terjadi secara individual, bahkan bisa bersifat

sistemik. Young Yun Kim mendefinisikan komunikasi sebagai pertukaran informasi di

antara dua sistem yang mengatur dirinya sendiri.

Kedua, pertukaran informasi mempunyai tujuan pendidikan, hiburan, persuasi,

dan sebagainya. Melalui proses inilah teori pembelajaran sosial melihat bahwa

setiap manusia memiliki suatu sikap atau nilai atau pandangan tertentu terhadap

dunianya. Sebaliknya, dunia sekitarnya membangun dan mempengaruhi persepsi

kita. Peranan media massa dalam hubungannya dengan teori pembelajaran sosial

tersebut bisa mengisi keempat proses yang diajukan oleh Albert Bandura, yakni

proses memperhatikan, proses mengingatkan kembali, proses gerakan untuk

menciptakan kembali, dan proses mengarahkan gerakan sesuai dorongan.

Ketiga, bahwa dalam proses komunikasi terjadi sosialisasi nilai. Wilbur

Schramm menyatakan bahwa kegiatan komunikasi juga dapat dilihat dari kedudukan

fenomena dalam kehidupan sosial. Komunikasi pada dasarnya membuat individu

menjadi bagian dari lingkungan sosial.

Hubungan yang terbentuk akibat informasi, jika memiliki pola (pattern), akan

disebut sebagai instruksi atau perantara komunikasi. Rogers dan Kincaid

menggambarkan terbentuknya suatu realitas sosial (social reality) akibat proses

komunikasi, yakni berupa saling pengertian (mutual understanding), persetujuan

(7)

Keempat, bahwa kegiatan komunikasi mempunyai efek yang spesifik. Teori

komunikasi yang paling banyak membahas masalah efek adalah komunikasi massa,

khususnya efek media. Horton Cooley sejak awal abad ke-20 sudah mengatakan

bahwa media massa dapat memanusiakan dan meningkatkan kemampuan

masyarakat, dalam menanggapi persoalan-persoalan baru, dan memberikan

konteks umum dalam rangka pengambilan keputusan yang demokratis serta

menghentikan monopoli pengetahuan yang aristokratis (sebuah sistem

pemerintahan yang dipimpin oleh individu yang terbaik). Dalam pandangan

strukturalisme, C. Wright Mills mengatakan sebaliknya bahwa kekuatan elite dalam

mengontrol massa adalah dengan mengontrol ekses terhadap media massa.

Asumsi kelima, komunikasi telah terbukti sebagai cara yang efektif dalam

penyebaran ide-ide baru kepada masyarakat yang terdiri atas inovasi. Kemudian,

asumsi keenam ialah komunikasi merupakan cara penularan perilaku. Asumsi

ketujuh bahwa motivasi berprestasi secara korelatif digunakan dengan cara

memanfaatkan media massa. Asumsi kedelapan bahwa komunikasi memiliki

keterbatasan dalam menjalankan perannya sebagai agen perubahan. Karena,

komunikasi bukan satu-satunya komponen yang menentukan perubahan.

A. Komunikasi Sebagai Proses Sosial

Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah cara

dalam melakukan perubahan sosial (social change). Komunikasi berperan

menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena mampu merekatkan kembali

sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan. Namun

begitu, komunikasi juga tak akan lepas dari konteks sosialnya. Artinya ia akan

diwarnai oleh sikap, perilaku, pola, norma, pranata masyarakatnya. Jadi

keduanya saling mempengaruhi dan saling melengkapi, seperti halnya hubungan

antara manusia dengan masyarakat. Little John (1999), menjelaskan hal ini

dalam genre interactionist theories. Dalam teori ini, dijelaskan bahwa memahami

kehidupan sosial sebagai proses interaksi. Komunikasi (interaksi) merupakan

(8)

Masyarakat tidak akan ada tanpa komunikasi. Struktur sosial-struktur sosial

diciptakan dan ditopang melalui interaksi. Bahasa yang dipakai dalam

komunikasi adalah untuk menciptakan struktur-struktur sosial.

Hubungan antara perubahan sosial dengan komunikasi (atau media

komunikasi) pernah diamati oleh Goran Hedebro (dalam Nurudin, 2004) sebagai

berikut :

1. Teori komunikasi mengandung makna pertukaran pesan. Tidak ada

perubahan dalam masyarakat tanpa peran komunikasi. Dengan demikian,

bisa dikatakan bahwa komunikasi hadir pada semua upaya bertujuan

membawa ke arah perubahan.

2. Meskipun dikatakan bahwa komunikasi hadir dengan tujuan membawa

perubahan, namun ia bukan satu-satunya alat dalam membawa perubahan

sosial. Dengan kata lain, komunikasi hanya salah satu dari banyak faktor

yang menimbulkan perubahan masyarakat.

3. Media yang digunakan dalam komunikasi berperan melegitimasi bangunan

sosial yang ada. Ia adalah pembentuk kesadaran yang pada akhirnya

menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka

hidup.

4. Komunikasi adalah alat yang luar biasa guna mengawasi salah satu kekuatan

penting masyarakat; konsepsi mental yang membentuk wawasan orang

mengenai kehidupan. Dengan kata lain, mereka yang berada dalam posisi

mengawasi media, dapat menggerakkan pengaruh yang menentukan menuju

arah perubahan sosial.

Komunikasi sebagai proses sosial adalah bagian integral dari masyarakat.

Secara garis besar komunikasi sebagai proses sosial di masyarkat memiliki

fungsi-fungsi sebagai berikut : (1) Komunikasi menghubungkan antar berbagai

komponen masyarakat. Komponen di sini tidak hanya individu dan masyarakat

saja, melainkan juga berbagai bentuk lembaga sosial (pers, humas, universitas);

(2) Komunikasi membuka peradaban (civilization) baru manusia; (3) Komunikasi

adalah manifestasi kontrol sosial dalam masyarakat; (4) Tanpa bisa diingkari

(9)

akan diketahui jati dirinya sebagai manusia karena menggunakan komunikasi. Itu

juga berarti komunikasi menunjukkan identitas sosial seseorang.

B. Komunikasi sebagai proses budaya

Dalam hubungannya dengan proses budaya komunikasi yang ditujukan

kepada orang atau kelompok lain adalah sebuah pertukaran budaya. Dalam

proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah

bahasa, sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian,

komunikasi juga disebut sebagai proses budaya.

Koentjaraningrat (dalam Nurudin, 2004) menyatakan kebudayaan adalah

keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan

belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Dari definisi tersebut

layak diamati bahwa dalam kebudayaan itu ada; gagasan, budi dan karya

manusia; gagasan dan karya manusia itu akan menjadi kebudayaan setelah

sebelumnya dibiasakan dengan belajar. Memandang kebudayaan hanya dari

segi hasil karyanya adalah tidak tepat. Demikian juga melihat sesuatu hanya dari

gagasan manusia juga terlalu sempit. Dengan kata lain, kebudayaan

menemukan bentuknya jika dipahami secara keseluruhan.

Apakah kebudayaan hanya sekedar konsep? Tidak. Paling tidak kebudayaan

mempunyai wujud sebagai berikut : 1) wujud sebagai suatu kompleks gagasan,

konsep dan pikiran manusia; 2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas; dan 3)

wujud sebagai benda.

Melihat wujud kebudayaan tentu secara operasional bisa dilihat dari isi

kebudayaan yang sering disebut sebagai cultural universal meliputi :

a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat rumah

tangga, senjata alat produksi, transpor);

b. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan,

sistem produksi, sistem distribusi);

c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum

dan sistem perkawinan);

(10)

e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak);

f. Sistem pengetahuan;

g. Religi (sistem kepercayaan).

Komunikasi adalah salah satu wujud kebudayaan. Sebab, komunikasi hanya

bisa terwujud setelah sebelumnya ada suatu gagasan yang akan dikeluarkan

oleh pikiran individu. Jika komunikasi itu dilakukan dalam suatu komunitas, maka

menjadi sebuah kelompok aktivitas (kompleks aktivitas dalam lingkup komunitas

tertentu). Dan pada akhirnya, komunikasi yang dilakukan tersebut tak jarang

membuahkan suatu bentuk fisik misalnya hasil karya seperti sebuah bangunan.

Bukankah bangunan didirikan karena ada konsep, gagasan, kemudian

didiskusikan (dengan keluarga, pekerja atau arsitek) dan berdirilah sebuah

rumah. Maka komunikasi, nyata menjadi sebuah wujud dari kebudayaan.

Dengan kata lain, komunikasi bisa disebut sebagai proses budaya yang ada

dalam masyarakat.

Jika ditinjau secara lebih kongkrit, hubungan antara komunikasi dengan isi

kebudayaan akan semakin jelas.

1. Dalam mempraktekkan komunikasi manusia membutuhkan

peralatan-peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana

berbicara seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi ujaran.

Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi non

verbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas dengan

penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah peralatan

komunikasi massa seperti televisi, surat kabar, radio dan lain-lain.

2. Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia. Komunikasi yang

dilakukan lewat televisi misalnya membutuhkan orang yang digaji untuk

“mengurusi” televisi.

3. Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi,

misalnya sistem hukum komunikasi. Sebab, komunikasi akan efektif manakala

diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar norma-norma masyarakat.

Dalam bidang pers, dibutuhkan jaminan kepastian hukum agar terwujud

kebebasan pers. Namun, kebebasan pers juga tak serta merta dikembangkan

(11)

4. Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala

menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain.

Wujud banyaknya bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi

menunjukkan bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi.

Bagaimana penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa

yang menjadi sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses

budaya. Termasuk di sini juga ada manifestasi komunikasi sebagai proses

kesenian misalnya, di televisi ada seni gerak (drama, sinetron, film) atau seni

suara (menyanyi, dialog).

5. Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang tak

lepas dari komunikasi. Bagaimana mungkin suatu komunikasi akan

berlangsung menarik dan dialogis tanpa ada dukungan ilmu pengetahuan?

Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang berbicara dan

menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi berbeda dalam

penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki menunjukkan realitas

tersebut.

Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi obyektivasi

(meminjam istilah Berger) antara budaya dengan komunikasi. Proses ini meliputi

peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya. Komunikasi adalah

proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti layaknya sebuah proses

kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks keseluruhan. Sesuatu dikatakan

komunikasi jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga

hanya bisa disebut kebudayaan jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya

yang membentuk sebuah sistem.

C. Komunikasi sebagai proses politik

Oliver Garceau (dalam Dan Nimmo, 1994) menulis tentang proses politik

sebagai pola interaksi yang berganda, setara, bekerja sama, dan bersaingan

yang menghubungkan warga negara partisipan yang aktif dalam posisi utama

pembuat keputusan. Serupa dengan Garceau, Nurudin (2004) menyatakan

(12)

politik (tuntutan dan dukungan) ke kekuasaan untuk diproses. Proses itu

kemudian dikeluarkan kembali dan selanjutnya menjadi umpan balik (feedback).

Dalam suatu sistem politik yang demokratis, terdapat subsistem suprastruktur

politik (lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif) dan subsistem infrastruktur politik

(partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, dll) –nya.

Proses politik berkenaan dengan proses input dan output sistem politik. Dalam

model komunikasi politik, dijelaskan bahwa komunikasi politik model input

merupakan proses opini berupa gagasan, tuntutan, kritikan, dukungan mengenai

suatu isu-isu aktual yang datang dari infrastruktur ditujukan kepada suprastruktur

politiknya untuk diproses menjadi suatu keputusan politik (berupa

undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan sebagainya). Sedangkan

komunikasi politik model output adalah proses penyampaian atau sosialisasi

keputusan-keputusan politik dari suprastruktur politik kepada infrastruktur politik

dalam suatu sistem politik.

Dewasa ini, contoh proses politik yang paling aktual dalam sistem politik kita

adalah isu tentang harga bahan bakar minyak (BBM). Tuntutan-tuntutan

pembatalan kenaikan harga BBM dari berbagai kalangan masyarakat

(mahasiswa, partai politik, organisasi kemasyarakatan) ditujukan kepada

wakil-wakil rakyat mereka yang duduk di DPR dan DPRD, juga kepada pemerintah

eksekutif (presiden dan para pembantunya). Kemudian DPR mengadakan sidang

paipurna untuk membahas isu ini.

Sebagai proses politik, komunikasi berperan menghubungkan bagian-bagian

dari sistem politik. Gabriel Almond (dalam Alfian, 1994) mengibaratkan

komunikasi sebagai aliran darah yang mengalirkan pesan-pesan politik yang

berupa tuntutan, protes, dukungan ke jantung pemrosesan sistem politik.

Dengan komunikasi, maka realitas, sejarah, tradisi politik bisa dihubungan

dan dirangkaikan dari masa lalu untuk dijadikan acuan ke masa depan. Dengan

komunikasi sebagai proses politik, berbagai tatanan politik berubah sesuai

dengan tuntutan masyarakat akan berubah. Misalnya, tradisionalisme. Berbagai

adopsi tradisi luar juga tidak akan mudah diterima begitu saja dan suatu saat

(13)

ada. Ada beberapa catatan yang bisa ditarik ketika kita memperbincangkan

komunikasi sebagai proses politik, yakni sebagai berikut:

1. Komunikasi memiliki peran signifikan dalam menentukan proses perubahan

politik di Indonesia. Ini bisa dilihat dari perubahan format lembaga

kepresidenan yang dahulunya sakral kemudian menjadi tidak sakral. Ini

semua diakibatkan terbinanya komunikasi politik yang baik antara masyarakat

dan pemerintah.

2. Kita pernah mewarisi komunikasi politik yang tertutup sehingga

mengakibatkan ideologi politik yang tidak terbuka. Kemudian timbul

penafsiran ada pada pihak penguasa yang mendominasi dan mengontrol

semua bagian, sehingga memunculkan hegemoni dan pola atau arus

komunikasi top down yang indoktrinatif.

3. Komunikasi masih dipengaruhi oleh tradisi politik masa lalu. Tradisi politik

yang mementingkan keseimbangan, harmoni, dan keserasian masih

diwujudkan meskipun dalam kenyataannya tradisi itu justru dijadikan alat

legitimasi politik penguasa atas nama stabilitas. Keterpengaruhan ini juga

termanifestasikan pada budaya sungkan yang masih kental dalam tradisi

komunikasi kita.

4. Sebagai proses politik, komunikasi menjadi alat yang mampu untuk

mengalirkan pesan politik (berupa tuntutan dan dukungan) ke pusat

kekuasaan untuk diproses. Proses itu kemudian dikeluarkan kembali dan

selanjutnya menjadi umpan balik. Ini artinya, komunikasi sebagai proses

(14)

SIMPULAN

Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah

cara dalam melakukan social change. Komunikasi berperan menghubungkan

perbedaan dalam masyarakat karena mampu merekatkan kembali sistem sosial

masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan. Meski demikian, komunikasi

juga tak akan lepas dari monteks sosialnya. Itu artinya ia akan tetap di warnai oleh

sikap perilaku, pola, norma, dan pranata masyarakatnya. Jadi keduanya saling

mempengaruhi dan saling melengkapi.

Dalam hubungannya dengan dengan proses budaya, komunikasi yang

ditujukan kepada orang atau kelompok lain adalah sebuah pertukaran budaya.

Dalam proses tersebut terkandung unsur – unsur kebudayaan, salah satunya adalah

bahasa, sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi

juga disebut sebagai proses budaya.

DAFTAR PUSTAKA

 Alfian, 1994, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta

 Dan Nimmo, 1984, Komunikasi Politik, Rosdakarya, Bandung  Keraf, A. Sonny,Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik

Pribadi,Kanisius,Yogyakarta,1997.

 Koentjaraningrat,Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan,PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1997.

 Littlejohn, 1999, Theories of Human Communication 6th, Longman  Nurudin , 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta  Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia,PT Rajawali Pers,Jakarta,2007.  Panuju,Redi,Sistem Komunikasi Indonesia,Pustaka Belajar,Pustaka

Belajar,Yogyakarta,1997.

Gambar

gambar Satelit

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menetapkan

Partipasi masyarakat terkait penyusunan dan peninjauan dokumen rencana terkait tata ruang juga dapat dilakukan tanpa harus melakukan tatap muka dengan

Minsel, Kota Kotamobagu, Perjalanan Dinas Luar Daerah 2.10.. TUMIWA,

setiap individu yang berasal dari pengaruh lingkkungan yang berbeda, dan itu merupakan sifat manusia yang tidak dapat dipungkuri, karena manusia memiliki perbedaan perilaku

dan wakaf mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat pada semua aspek kehidupan (Kumi, 2019). Jika memiliki aturan yang jelas

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keberadaan pergeseran regime yang ditunjukkan dengan adanya Structural Breaks dalam data runtun waktu pada indikator

koordinat mesin menjadi indeks mesin Indeks yang telah didapat dari hasil konversi tersebut akan digunakan sebagai representasi parameter algoritma genetik yang

Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 2 diatas, terlihat bahwa losses terbesar terjadi pada titik sebar di piringan kelapa sawit. Perhitungan ini didapat dari perhitungan