50 BAB V
INDONESIA DALAM MENGATASI PERMASALAHAN TRAFFICKING 5.1 Indonesia dan Trafficking
Trafficking di Indonesia juga tidak terlepas dari konsep hak asasi manusia. Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia mengalami jatuh bangun. Pada awal mula kemerdekaan Indonesia, hak asasi manusia telah dirumuskan dalam UUD 1945, namun rumusan ini masih belum spesifik dan tersusun rapih terlebih mengenai hak asasi manusia. Hal ini wajar dimana perumusan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 dibawah tekanan sehingga perumusan UUD 1945 terkesan apa adanya, yang sesuai dengan situasi Indonesia pada waktu itu (Budiardjo, 2016). Disamping itu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) pada saat penyusunan UUD 1945 belum ada, sehingga Indonesia sendiri merumuskan berdasarkan apa yang dialami oleh Indonesia dalam bertahun-tahun masa penjajahan negara lain. Walaupun pada saat itu konsep hak asasi manusia masih dirasa kurang, namun Indonesia telah memiliki gambaran mengenai hak asasi manusia yang perlu diperjuangkan sebagaimana mestinya. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan konsep hak asasi masusia serta Deklarasi Hak Asasi Manusia telah ada, maka barulah Indonesia membahasnya kembali.
Banyak permasalahan yang menyebabkan trafficking, serta banyak permasalahan
51
Penduduk Indonesia yang banyak, dengan sedikitnya lapangan pekerjaan membuat banyak orang berlomba mendapatkan pekerjaan agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Pendidikan juga ikut mengambil bagian dalam pengangguran yang terjadi di Indonesia. Hal ini mengakibatkan keputusasaan bagi mereka yang ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia menyebabkan perekonomian masyarakat Indoneisa yang tidak stabil.
Pengangguran yang terjadi dimana-mana menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Badan Pusat Statistik (2016), pengangguran Indonesia dari umur pekerja diatas 15 tahun dari tahun 2010 sebesar 7.1%, tahun 2011 sebesar 6.6%, tahun 2012 sebanyak 6.1%, tahun 2013 sebanyak 6.1%, dan tahun 2014 sebanyak 5.9%. Dari Tabel 5.1 (lihat lampiran 1), menunjukkan bahwa tingginya tingkat pengangguran juga dipengaruhi berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh. Angka menunjukkan pengganguran yang tertinggi adalah lulusan Sekolah Dasar (SD)/sederajat, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, dan Sekolah Menegah Atas (SMA)/sederajat. Disisi lain, kenaikan bahan pokok di masyarakat menambah buruk keadaan. Karenanya suatu pekerjaan dirasa sangat penting. Setiap orang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah pelaku
trafficking mengembangkan sayapnya. Para sindikat pelaku trafficking mulai menjaring korban-korbannya dengan berkedok sebagai penyalur atau penyedia tenaga kerja dengan gaji yang besar.
Kasus trafficking Indonesia meningkat dari tahun 2005-2010. Korban trafficking
mencapai 3.735 orang menurut IOM, 2010 dan kemungkinan angka sebenarnya melebihi
yang tercatat. Data dari Bareskrim Polri (Badan Reserse Kriminal Polisi Republik Indonesia), kasus trafficking mencapai 607 kasus pada tahun 2010 dengan 857 orang
sebagai pelaku. Korbannya terdiri dari orang dewasa 1.570 orang dan 485 anak-anak.
52
kedalam kelompok yang rentan dan termajinalkan. Dari sisi pekerjaan, perempuan lebih memiliki peluang untuk dipekerjakan dalam berbagai sektor, sedangkan pria hanya dibutuhkan dalam sektor pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik yang lebih besar. Dalam Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia (2003) adanya kenaikan permintaan perempuan dan anak dalam bidang prostitusi.
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Tabel 5.2 Informasi Umum Mengenai Korban Trafficking Jumlah Korban Berdasarkan Jenis Kelamin/Usia
Jenis Kelamin Berdasarkan Umum Total
Anak-Anak Dewasa
Perempuan 741 2636 3377
Laki-laki 148 210 358
Total 889 2846 3735
Sumber: IOM Maret 2005-2010
Jumlah korban trafficking pada anak saja bervariasi disetiap tahunnya. Dari data Bareskrim Polri, dari tahun 2011-2013, terdapat peningkatan dan penurunan. Tahun
Laki-laki 30% Perempu
an 70%
Gambar 5.1 Trafficking Berdasarkan Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
87% 13%
Gambar 5.2 Trafficking Berdasarkan Usia
53
2011, korban trafficking pada anak sebanyak 87 kasus. Tahun 2012 naik menjadi 72 kasus. Tahun 2013 mengalami penurunan dengan 40 kasus yang ditangani.
Korban trafficking Indonesia biasanya dipekerjakan sebagai pekerja domestik, dengan tidak mendapatkan hak-hak mereka atau tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh pelaku. Beberapa tindakan yang didapatkan oleh para korban dalam keadaan
trafficking, mulai dari kekerasan fisik serta psikis. Berbagai kasus trafficking yang terjadi di dalam negeri (Indonesia) kebanyakan para korban dipekerjakan secara paksa di bidang prostitusi. Sedangkan untuk kasus trafficking yang dikirimkan keluar negeri (luar Indonesia) selain bidang prostitusi, pekerja paksa dalam sektor informal seperti pekerja rumah tangga atau buruh migran yang tidak memiliki keterampilan yang spesifik juga terjadi.
Jika dilihat dari laporan IOM Indonesia (2015) terkait korban trafficking
berdasarkan tingkat pendidikan, kebanyakan korban yang masuk dalam kondisi
54
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Selain dari daerah yang memiliki permasalahan ekonomi dan pendidikan yang kurang, terdapat juga faktor geografis yang mudah mempengaruhi terjadinya trafficking,
dalam maupun luar negeri, seperti daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan. Diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak lebih banyak memiliki batas laut dibandingkan darat yang sulit untuk diawasi. Selain faktor umum, terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan trafficking di Indonesia (Rosenberg, 2003), mulai dari bertumbuhnya kelompok kriminal transnasional, kurang kewaspadaan saat mencari atau ditawari pekerjaan, serta kurangnya penegakan hukum dalam mengatasi permasalahan trafficking. Terdapat kasus diantaranya tidak ditindak lanjuti dalam proses hukum karena adanya korupsi (menerima suap) yang dilakukan aparat terkait. Menurut perpindahan trafficking Indonesia (IOM, 2015), sebanyak 74% perpindahan korban menggunakan lebih dari 1 jasa transportasi. Hal ini dilakukan karena tempat tujuan yang sering berubah-ubah atau medan perjalanan yang ditempuh untuk
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%
Tidak sekolah
SD Drop out SD
SMP Drop out SMP
SMA Drop out SMA
Perguruan Tinggi atau Drop
out Perguruan
Tinggi
55
mencapai tempat tujuan sangatlah sulit. Disamping itu hal tersebut dilakukan untuk mencegah aparat berwenang mengagalkan operasi mereka.
Gambar 5.4 Peta Indonesia
56
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Walaupun kriminalisasi trafficking ini dapat terkait dengan siapa saja, orang
memang seringkali mengidentikan korbannya dengan perdagangan perempuan dan anak.
Trafficking atau perdagangan manusia sejatinya adalah kegiatan ilegal kejahatan terorganisasi yang melanggar HAM, seperti hak untuk hidup bebas, merasa aman, bebas dari penyiksaan, kekejaman, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
5.1.1 Sulawesi Utara dan Trafficking
Pada awalnya, trafficking yang terjadi di Sulawesi Utara adalah dampak dari salah satu bentuk ketimpangan gender, dimana perempuan dalam fungsi, status dan peran dalam pembangunan, serta dalam pengambilan keputusan masih belum setara dengan pria, sehingga belum mendapatkan perhatian dari pemerintah (Lapian, 2006). Perempuan memang masih menjadi objek eksploitasi dimana dipengaruhi oleh budaya 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
Laut Udara Darat Lebih dari satu
57
yang mengesampingkan perempuan dalam bermasyarakat. Trafficking
juga terjadi akibat gaya hidup masyarakat Sulawesi Utara yang sangat konsumtif. Terbukti dengan slogan yang berkembang dalam masyarakat Sulawesi Utara ‘lebe bae kalah nasi daripada kalah aksi’(lebih baik kalah nasi daripada kalah aksi)yang memiliki arti dimana gaya atau penampilan fisik lebih penting (Aswiyanti et.al, 2013:98). Total pengeluaran terhadap
makanan di Sulawesi Utara menurut Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara (lampiran 2 Tabel 5.3) sebesar 50.44%, dan total pengeluaran terhadap non-makanan sebesar 49.56%. Terkadang gaya hidup yang konsumtif ini tidak diimbangi dengan keadaan ekonomi mereka yang sebenarnya, sehingga orang yang konsumtif cenderung menjadi sasaran empuk bagi pelaku trafficking untuk menjaring calon korbannya seperti menawarkan pekerjaan dengan gaji yang besar.
Dalam Kajian Sejarah Trafficking Perempuan dan Anak di Kota Manado dan Kabupaten Minahasa, perempuan daerah Sulawesi Utara yang dikenal dengan sebutan ‘cewek Manado’ pada umumnya putih, cantik, dan modis, yang tinggal di lingkungan yang terbuka (welcome), dapat dengan mudah bagi para pelaku trafficking untuk merayu, memberikan janji palsu kepada calon korbannya. Adanya pergeseran gaya hidup yang dengan mudah diadopsi oleh kalangan muda yang lebih konsumtif, modern, dan semacamnya memperparah keadaan. Dalam jurnal oleh Siti Nurbayani K yang berjudul Penyebab Terjadinya Human
Trafficking di Jawa Barat, pergaulan dan gaya hidup menjadi salah satu dari beberapa faktor terjadinya trafficking, seperti menerima ajakan dari
58
Hukum mengenai hak wanita, yang berlaku di daerah Sulawesi Utara memang telah ada namun pelaksanaannya masih belum maksimal serta masih bersifat umum. Belum adanya pembicaraan mengenai permasalahan-permasalahan lain yang terkait seperti trafficking, sehingga belum cukup untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam masyarakat. Permasalahan yang menimpa wanita, terkhususnya dalam trafficking
masih kurang untuk diperjuangkan karena landasan hukum dalam bentuk perda belum ada, sehingga rancangan-rancangan terkait perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap wanita yang dibuat oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara terhambat. Namun, dengan dukungan atas keseriusan dan keaktifan beberapa dosen hukum Universitas Sam Ratulangi dan beberapa orang terkait dalam rancangan perda, sampai memberikan hasil Perda No. 1 tahun 2004 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia terutama Perempuan dan Anak (Lapian, 2006).
Manado dan Bitung, Sulawesi Utara menjadi tempat keberangkatan dan singgah (transit untuk keberangkatan atau perjalanan selanjutnya) bagi korban trafficking. Dari kasus-kasus yang ada, banyak korban trafficking yang digagalkan dari Tim Kepolisian Sulawesi Utara yang sengaja dibentuk untuk menanggulangi permasalahan yang ada seperti trafficking di kota ini. Kebanyakan pelaku dan korban digagalkan di kawasan Bandar Udara Sam Ratulangi, pelabuhan Manado, dan
pelabuhan Bitung. Banyak korbannya berasal dari daerah Minahasa dan Manado. Untuk permasalahan ekonomi sendiri, presentase kemiskinan di
59
kemungkinan korban akan dipindahkan kembali ke tempat lain di dalam maupun luar negeri.
Tabel 5.5 Angka Partisipasi Murni Sulawesi Utara (Pendidikan)
Tahun/Year SD/MI SMP/Mts SM/MA
1 2 3 4
2010** 92.25 67.07 50.7
2011** 85.88 60.94 50.15
2012 87.78 62.39 51.15
2013 91.61 64.55 57.26
2014 93,42 72,32 61,69
** Mulai tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya APM mencakup pendidikan non formal (paket A setara
SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SM/SMK/MA)
Sumber: BPS Sulawesi Utara
60
Tabel 5.6 Korban TPPO yang Digagalkan
Tahun Jumlah Daerah Tujuan Daerah Asal
2010 4 orang
4 orang
4 orang
Batam
Jakarta
Jakarta
Tondano
Manado, Minahasa
Tondano
2011 2 orang
1 orang
Tobelo
Manado
Tondano
Manado
2012 3 orang Makasar-NTT
Airmadidi-Minahasa Utara
2013 2 orang
4 orang
Gorontalo
Ternate
Manado
Tomohon
61
Tabel 5.7 Korban TPPO yang Dipulangkan (Evakuasi)
Tahun Jumlah Daerah Tujuan Daerah Asal
2010 20 orang
62
Tabel 5.8 Data Kasus TPPO yang ditangani Polda Sulawesi Utara (2007-2016)
Tahun Jumlah Kasus Jumlah Korban Dewasa
Jumlah Korban Anak
Jumlah Pelaku
2007 10 9 17 24
2008 17 24 14 30
2009 16 11 19 17
2010 24 27 30 23
2011 17 (belum ada data) (belum ada data) 17
2012 13 2 11 5
2013 13 2 9 -8(?)
2014 5 (belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
2015 7 (belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
2016 8 (belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
Sumber: Polda Sulawesi Uatara
63
Polda Sulut untuk menuntaskan terkait kasus oknum polisi ini, dan meminta kepada Pemerintah Provinsi melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (BPP-PA) untuk mengawal kasus tersebut.
Dalam mengatasi permasalahan trafficking, tertama pada perempuan dan anak, Kepala BPP-PA menyebutkan bahwa mereka telah bekerjasama dengan 18 Provinsi (membuat MoU) untuk memberantas
kejahatan trafficking beberapa diantaranya Kalimantan Utara, Papua, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan, yang merupakan tempat paling sering dituju oleh pelaku trafficking dari Sulawesi Utara.
Dari penjabaran diatas, nasional maupun daerah, dapat disimpulkan bahwa
trafficking terjadi berdasarkan beberapa faktor yang saling berkaitan, seperti Vicious Cycle (lingkaran setan). Vicious Cycle (Nurkes) menggambarkan relasi berputar dalam suatu permasalahan dalam sisi permasalahan dasar seperti permintaan dan penawaran dengan berbagai latar belakang. Konsep ini sering digunakan dalam permasalahan kesejahteraan. Dengan kata lain, merupakan merupakan sebuah situasi yang tidak menyenangkan, yang dibuat dari satu masalah yang menimbulkan permasalahan lainnya yang pada akhirnya membuat kondisi masalah pertama menjadi lebih buruk. Vicious
cycle ini seperti rantai yang saling mengikat satu dengan yang lain, yang akan terlepas jika salah satu rantai dihilangkan. Korban trafficking kebanyakan dari mereka yang memiliki latar belakang kemiskinan (ekonomi), kurang mendapat pendidikan, serta gaya hidup (sosial).
Latar belakang kemiskinan yang sering dicari pelaku trafficking, dimana masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia, Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota,
64
hidup diri sendiri maupun keluarga. Karenanya sering modus operandi yang digunakan oleh pelaku trafficking yang menyamar sebagai penyalur TKI. Migrant Care
menyebutkan bahwa kurang-lebih 450.000 orang Indonesia diberangkatkan sebagai TKI yang 70% diantaranya adalah perempuan, kemudian 46% terindikasi korban trafficking. Pengiriman TKI yang paling sering dilakukan oleh Indonesia di kawasan Asia Pasifik paling banyak ke Singapura, Malaysia, dan Brunei Darrussalam (lihat lampiran 4, Tabel
5.9). Kemudian adanya indikasi dimana kurang diberdayakannya TKI yang telah menyelesaikan tugas di luar negeri, sehingga ketika kembali ke Indonesia dengan tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, maka mereka cenderung untuk kembali bekerja di luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhannya ini, maka tidak jarang dari mereka memilih untuk melakukan pekerjaan apa pun bentuknya tanpa melihat dampak atau konsekuensi yang akan didapatkan nantinya. Dari segi pendidikan, semakin tingginya harga yang dikeluarkan untuk mendapatkan akses pendidikan formal, dimana mempersulit masyarakat yang dibawah garis kemiskinan. Terlepas dari adanya beasiswa atau bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun swata kepada mereka yang tidak mampu, namun tetap meninggalkan tingginya anak yang tidak bersekolah atau tidak menuntaskan pedidikan ke tingkatan selanjutnya. Kurangnya pendidikan formal, dengan tidak memiliki keahlian khusus, akan membuatnya susah untuk mendapatkan pekerjaan. Juga kurangnya pengetahuan dasar menjadikan seseorang mudah untuk ditipu oleh pelaku trafficking. Dalam segi sosial, selain karena budaya Indonesia yang kebanyakan menganut partiarki, dimana perempuan terkesan menjadi objek dalam kehidupan bermasyarakat, serta gaya hidup yang konsumtif juga menjadi salah satu pendorong terjadinya trafficking.
Konsumsi seseorang yang semakin tinggi akibat dari perkembangan teknologi dan globalisasi, yang tidak diimbangi dengan ekonomi yang kuat, juga dapat dengan mudah
65
Gambar 5.6 Vicious Cycle of Trafficking
Sumber: dari data yang ada, olah sendiri
5.2 Lingkungan Kebijakan Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking Permasalahan trafficking merupakan permasalahan yang populer dikalangan
masyarakat saat ini, seperti fenomena gunung es dimana kasus-kasus berhasil diproses atau ditangani secara hukum masih sedikit dibandingkan dengan fakta yang terjadi dilapangan (Budiardjo, 2016). Terdapat dua hal utama yaitu ekonomi dan pendidikan, dimana terjadi kemiskinan, pengangguran, banyaknya pekerja di bawah umur, serta migrasi juga keadaan sosial-kultural yang mempengaruhi permasalahan trafficking di Indonesia. ASEAN Responses on Trafficking in Persons (2006) menjelaskan bahwa aksi nasional Indonesia terhadap penghapusan trafficking, korban atau objek trafficking masih terfokus kepada perempuan dan anak.
Mengingat bahwa kejahatan trafficking merupakan tindak kekerasan yang melanggar hak asasi manusia dan melanggar martabat manusia, maka dibentuklah Gugus
Trafficking
Ekonomi
Pendidikan
Sosial (gaya
66
Tugas implementasi Rancangan Aksi Nasional (RAN) no. 88 tahun 2002 yang terdiri dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Direktorat Jendral Imigrasi, dan Kementerian Luar Negeri diberikan mandat untuk menyusun peraturan dalam perundang-undangan mengenai penghapusan trafficking di Indonesia.
5.2.1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dasar hukum nasional Indonesia terkait dengan tindak pidana
trafficking dibuat dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini juga disebut sebagai salah satu komitmen Indonesia dalam Protokol Palermo tentang Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons pada tahun 2000 yang telah disepakati. Namun, dokumen ratifikasi perjanjian Protokol Palermo baru diserahkan oleh Indonesia pada tahun 2009 dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, Supplementing The United Nation
Convention Against Transnational Organized Crime. Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga dibuat agar dapat bersinergis dalam mengatasi permasalahan trafficking, termasuk perlindungan dan
pemulihan korban.
Ada juga perjanjian bilateral yang dilakukan oleh Indonesia dalam
67
tahun 2007 tentang Perjanjian Ekstradiksi Buronan, dimana dalam Pasal 2 (1):
“… tindak pidana yang termasuk dalam daftar tindak pidana berikut ini …” (a)(ix) “pembelian, atau perdagangan wanita atau anak
-anak”.
Indonesia-Vietnam pada tahun 2005 mengadakan kerja sama dalam
pencegahan dan memerangi kejahatan kriminal (Coorporation in Preventing and Combating Crimes). Dengan Malaysia, Indonesia juga memiliki nota kesepahaman tentang tenaga kerja migran, dimana Indonesia banyak mengirimkan tenaga kerja migran, terlebih tenaga kerja dalam bidang domestik seperti pembantu rumah tangga. Namun, kesepakatan tersebut belum membahas mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja migran, padahal mereka tergolong rentan menjadi bagian dalam permasalahan trafficking. Pada tahun 2004, Malaysia sepakat untuk berunding kembali dengan Indonesia terkait dengan nota kesepahaman tersebut, tentang perlindungan terhadap tenaga kerja migran (Rismawanharsih, 2012). Perjanjian ekstradiksi juga dilakukan oleh Indonesia-Thailand.
Dengan peningkatan komitmen dalam berbagai bidang oleh pemerintah Indonesia dalam penanganan dan pencegahan kejahatan
trafficking, membuat Indonesia memiliki kemajuan dalam standar minimum pencegahan dan penanganan terhadap kejahatan trafficking yang
sesuai dengan ketentuan internasional. Dengan hal itu dibuatlah berbagai peraturan seperti adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
68
rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial; (4) memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; (5) melakukan pelaporan dan evaluasi. Gugus tugas ini dibentuk di 20 provinsi dan 72 Kabupaten/Kota. Instansi-instansi pemerintahan dan swasta yang ikut serta dalam penanggulangan dan pencegahan kejahatan trafficking, kemudian dengan upaya lokal, nasional, dan internasional dala berbagai bentuk
kerjasama terkait.
Sanksi yang diterima oleh pelaku trafficking dalam Undang-Undang ini paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun pidana dan dengan denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Sanksi ini dapat berlipat ganda atau bertambah minimal-maksimal waktu penahanan dan denda sesuai dengan kategori pelanggaran yang dilakukan pelaku, seperti pelaku yang merupakan aparat pemerintahan, atau korban yang menderita luka berat.
69
5.2.2 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara No 1 Tahun 2004 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) Terutama Perempuan dan Anak.
Beberapa pertimbangan bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dalam mengesahkan peraturan daerah tentang pencegahan dan pemberantasan trafficking terutama perempuan dan anak, dimana bahwa
trafficking menjadikan perempuan dan anak menjadi objek yang diperdagangkan dan dieksploitasi yang membawa penderitaan dan merendahkan martabat manusia. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara berupaya untuk melindungi warganya, terlebih khusus perempuan dan anak dari tindakan trafficking yang dilakukan dalam maupun luar negeri. Dengan pertimbangan-pertimbangan juga mengenai undang-undang terkait serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sendiri, maka terbentuklah sebuah Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) terutama Perempuan dan Anak yang ditetapkan di Manado, 6 Januari 2004.
Permasalahan trafficking yang terjadi di Sulawesi Utara merupakan bentuk dari ketidaksetaraan gender di Sulawesi Utara dimana adanya perbedaan peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat di beberapa tempat di daerah Sulawesi Utara. Kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Utara terkhususnya dalam kasus trafficking sangat
banyak terjadi. Maka dari itu beberapa kalangan akademisi Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi bersama dengan Biro Pemberdayaan
70
rancangan aksi penghapusan trafficking terhadap perempuan dan anak Sulawesi Utara dalam bentuk Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah Sulawesi Utara tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) merupakan Peraturan Daerah pertama yang dikeluarkan di Indonesia terkait dengan penghapusan praktek trafficking yang meresahkan. Trafficking yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 poin a Perda Provinsi Sulawesi Utara tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) terutama Perempuan dan Anak:
“Trafficking adalah rangkaian kegiatan dengan
maksud eksploitasi terhadap perempuan dan atau anak yang meliputi kegiatan Perdagangan manusia (trafficking) khususnya perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafficking, yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau ditempat tujuan, perempuan dan anak dengan cara anca man, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan ketenaran (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana peremuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat-obatan terlarang dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk
eksploitasi lainnya.”
Selanjutnya dalam poin c,
71
Jadi, yang termasuk dalam tindak trafficking dalam Peraturan Daerah ini adalah manusia terutama perempuan dan anak yang diperjual-belikan dalam maupun luar negeri, serta korban dieksploitasi baik dalam bentuk eksploitasi seksual ataupun eksploitasi dalam pekerjaan.
Dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa:
“Tujuan dari Peraturan Daerah ini a dalah untuk mencegah dan memberantas bentuk-bentuk trafficking baik untuk pekerjaan tertentu maupu untuk kegiatan seks komersial, menyelamatkan dan merehabilitasi korban trafficking, serta memberikan keadilan dan hukuman yang efektif terhadap perilaku maupun pihak-pihak yang
mendukung trafficking.”
Peraturan Daerah ini juga berisikan mengenai partisipasi
masyarakat dalam pencegahan trafficking (dalam Pasal 13 dan 14), serta perlidungan terhadap korban dimana memberikan fasilitas seperti
pemulihan kesehatan fisik dan mental korban (dalam Pasal 15). Untuk sanksi pelaku, peraturan ini menyebutkan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap korban dan sanksi dalam Pasal 23:
“Korban/sanksi kasus trafficking berhak mendapatkan
perlindungan kerahasiaan diri, identitas dan keluarganya, tempat tinggal dan tempat kerja dari suatu publikasi untuk tidak disebarkan pada khalayak umum termasuk dari
petugas berwenang, pers, maupun terdakwa”
Namun, Peraturan Daerah ini memiliki celah hukum dimana pembahasan dalam peraturan ini sangat terspesifik kepada perempuan dan
72
5.3 Kepentingan Indonesia dalam ASEAN Convention Against Trafficking in Persons Expecially Woman and Children (ACTIP)
Dalam hubungan internasional kontemporer, prinsip kedaulatan negara telah berubah dari kedaulatan yang mengontrol menjadi kedaulatan yang bertanggungjawab. Dalam prinsip tersebut memiliki tiga arti yaitu negara bertanggungjawab terhadap fungsi-fungsi untuk perlindungan keamanan dan kehidupan warga negaranya serta memajukan
kesejahteraan, bertanggungjawab terhadap warga negaranya, dan aparatur negara bertanggungjawab atas segala tindakannya (Sefrani, 2015: 23). Atas dasar tanggungjawab tersebut, juga berkaitan dengan kepentingan nasional, maka negara akan melakukan yang terbaik untuk mejaga keamanan warga dan negaranya dalam permasalahan yang dihadapi.
Hukum bukanlah sesuaitu yang netral, melainkan memiliki keberpihakan kepada para pembuat hukum yang memiliki kekuasaan lebih atas hal tersebut. Hukum internasional dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan tertib dalam masyarakat internasional. Hukum internasional berfungsi sebagai instrument politik yang didasarkan atas kepentingan dalam hubungan antarnegara (Sefrani, 2015). Kepentingan Indonesia dalam hal ini berkaitan dengan keamanan, masyarakat maupun negrara.
Indonesia merupakan tempat dimana trafficking banyak terjadi kepada perempuan dan anak-anak. Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia tidak hanya menjadi tempat penyedia trafficking, tapi juga menjadi tempat transit dan tujuan trafficking. Trafficking
yang terjadi dari Indonesia ke luar negeri biasanya tersebar di kawasan Asia tenggara,
Timur Asia, Timur Tengah, Australia, Amerika Selatan, dan Eropa (Rosenberg. 2003). Menurut data dari IOM Indonesia periode tahun 2005-2015, di Indonesia, menurut jenis
73
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Letak geografis Indonesia yang strategis membuat negara ini rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan transnasional, seperti trafficking. Karenanya dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan kejahatan transnasional, maka instansi terkait seperti Kementerian Luar Negeri melakukan berbagai kerjasama bilateral maupun regional/internasional untuk melindungi kepentingan dan kedaulatan Indoneisa (Kementerian Luar Negeri, 2016). Indonesia saat ini telah aktif dalam berbagai kerjasama mengatasi permasalahan kejahatan transnasional seperti drugs trafficking, trafficking in persons, terrorisme, dan kejahatan lingkungan hidup. Kejahatan trafficking merupakan kejahatan yang tidak dapat dibiarkan karena menyebabkan banyaknya korban dan kerugian dalam berbagai hal, terutama perempuan dan anak.
Permasalahan trafficking menjadi salah satu isu strategis yang dibahas oleh Indonesia dalam kerjasama Pilar Politik-Keamanan ASEAN. Dengan diangkatnya permasalahan trafficking, maka akan memberikan perlindungan yang efektif bagi para korban trafficking serta solusi untuk memerangi permasalahan trafficking yang ada di
Dalam Negeri Indonesia
16%
Lintas Negara 84%
Gambar 5.7
Trafficking
Berdasarkan Jenis
Perpindahan
Dalam Negeri Indonesia
74
ASEAN. Kaitannya dalam mengatasi permasalahan trafficking, yang merupakan permasalahan transnasional yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh negara bersangkutan, Indonesia berpegang pada prinsip burden sharing dimana negara-negara bekerjasama untuk mencari solusi dalam permasalahan kejahatan ini serta menghindari pengalihan beban kepada negara lain. Prinsip yang kedua adalah prinsip shared
responsibility dimana adanya tanggung jawab bersama negara yang terlibat (asal, transit, dan tujuan) dalam mengatasi permasalahan ini (Kemlu, 2016). Kepentingan Indonesia disini terlihat dalam mencapai keamanan secara nasional dan regional dengan perlindungan terhadap masyarakat, terkhususnya bagi korban dan saksi trafficking dan yang rentan untuk masuk kedalam situasi trafficking dengan sifat instrument yang legally binding. Pengesahan konvensi ini juga merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia, yang dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kepentingan Indonesia dalam berbagai hubungan luar negeri seperti yang telah disampaikan diawal yaitu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kepentingan Indonesia dalam ASEAN sendiri selain untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, terlebih kepentingan masyarakat Indonesia, juga untuk meningkatkan
bargaining power yang dimiliki Indonesia dalam berbagai forum internasional.
Di sisi lain, Indonesia tergolong kedalam penyumbang tenaga kerja migran, yang secara legal maupun ilegal kurang lebih berjumlah 700.000 pekerja untuk bekerja yang kebanyakan di Malaysia dan Timur Tengah (IOM Indonesia, 2006). Dengan kebanyakan
pekerja migran yang bekerja di luar Indonesia berada pada sektor informal, dimana mereka tidak memerlukan keahlian khusus dalam pekerjaan (unskilled workers), serta
75
posisi Indonesia di ASEAN sendiri, Indonesia menyumbang 40% populasi di ASEAN dan 38% untuk ekonomi ASEAN (IMF, 2014). Dilihat dari data yang ada, banyak pekerja Indonesia yang bekerja di ASEAN, dan data ini akan naik jika digabungkan dengan data tenaga kerja yang tidak memiliki dokumen (undocumented workers). Kebanyakan diantara kekerasan kepada pekerja migran yang terjadi, terlebih kepada pekerja migran ilegal merupakan salah satu indikasi akan adanya campur tangan dari agensi penyedia
tenaga kerja, dimana mereka yang mengetahui proses dari awal pengurusan terhadap calon tenaga kerja Indonesia. Korupsi dan kurang trasparansi merupakan unsur pendukung terjadinya trafficking.
Indonesia secara aktif terlibat dalam beberapa forum ASEAN terkait dengan perbincangan mengenai permasalahan keamanan seperti trafficking. Indonesia mendapat dukungan dari Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam menyampaikan untuk memfokuskan pembuatan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) dan instrumen hukum lainnya untuk menangani kejahatan transnasional sebagaimana yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN. Akhirnya Working Group
menyepakati usulan dari Indonesia untuk membentuk draft ACTIP dan RPoA. Pembahasan rancangan ACTIP selesai pada pertemuan ke-9 Experts Working Group di Manila tahun 2014. Pembahasan RPoA juga selesai di waktu yang sama dan akhirnya mendapat kesepakatan mengenai ACTIP pada tahun 2015 dalam ASEAN Summit ke-27. Indonesia baru-baru ini menyelenggarakan Jakarta Declaration Rountable Meeting on
Addressing the Root Causs of Irregula r Movement of Persons pada 27-28 November 2015 di Jakarta dengan bidang kerja sama dalam mengatasi permasalahan migrasi
ireguler seperti trafficking .
Indonesia aktif dalam forum-forum internasional dan regional seperti Converence
of State Parties dan Working Grup lainnya yang merupakan agenda dari United Nation Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC), Global Forum on Migration and Development, ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
76
Transnational Crimes (Bali Process). Dalam Bali Process, Indonesia dan Australia merupakan pendiri dan Co-chair.
Kepemimpinan Indonesia di ASEAN memberikan peran penting bagi Indonesia. Banyak gagasan yang disetujui yang merupakan salah satu bentuk dari eksistensi Indonesia dalam kerja sama regional ASEAN. Dalam pertemuan ASEAN Leaders’s Joint Statement in Enchancing Cooperation against Trafficking in Persons in Southeast Asia
tahun 2011 di Jakarta, serta ditegaskan kembali dalam pertemuan Joint Statement of 8th
AMMTC di Bali tahun 2011, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membuat ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP). Negara anggota ASEAN sadar bahwa permasalahan trafficking hanya dapat diselesaikan dengan cara kerjasama, terlebih dalam level regional.
Indonesia dalam ASEAN Regional Formum (ARF) berusaha untuk memasukkan memerangi permasalahan trafficking menjadi prioritas kerja dalam ARF. ARF dianggap sebagai wadah yang tepat untuk kewaspadaan regional akan trafficking (Majalah ASEAN, 2015:13). Keseriusan Indonesia dalam mempercepat kesepakatan instrument ACTIP dan dengan mengajuka Workpla n on Trafficking in Persons di ARF dengan menunjukkan kevokalan Indonesia terhadap permasalahan trafficking yang ada. Upaya Indonesia dalam memasukan Workplan ini dimulai sejak ARF Inter-Sessional Meeting
on Counter-Terrorism and Transnational Crime ke 9 tahun 2011 dan ke 13 pada tahun 2012, serta kesediaan Indonesia menjadi lead countries TIP (trafficking) di ARF bersama dengan Uni Eropa.
Dr. Dianna Wisnu dalam pertemuan konsultasi antara AICHR dan Senior
77
untuk melengkapi hak dan kebutuhan korban didalam berbagai bidang dalam memerangi permasalahan trafficking. Dalam kesempatan yang sama, Brigjen M. Naufal Yahya mengatakan bahwa untuk mempercepat dalam memerangi permasalahan trafficking, Indonesia harus mengambil langkah bersama anggota ASEAN, mengenai pencegahan dan perlindungan, bantuan, rehabilitasi dan langkah-langkah yang lainnya dengan kerja sama regional, dengan pendekatan HAM.
Pada tahun 2015, Thailand, Kamboja dan Singapura memasukan dokumen ratifikasi ACTIP ke Sekretariat ASEAN. Pada awal tahun 2017 ini, Vietnam dan Myanmar memasukan dokumen ratifikasi terkait. Sampai sekarang ini tersisa Indonesia, Malaysia, Brunei Darrussalam, Laos, dan Fillipina yang belum memasukan dokumen ratifikasi atas perjanjian ACTIP ini. Namun, secra resmi dikemukakan oleh Direktur Kerjasama ASEAN, Jose Tavares, bahwa Indonesia merencanakan akan ratifikasi perjanjian ACTIP, melalui proses harmonisasi perjanjian kedalam hukum nasional Indonesia. ACTIP ini akan mejadi instrument hukum yang legallybinding (mengikat) kepada semua anggota menyetujui, 30 hari setelah semua dokumen ratifikasi oleh anggota-anggota telah diserahkan kepada Sekretariat ASEAN. Selanjutnya, sesudah semua anggota telah meratifikasi, maka akan diimplementasikan ASEAN Plan of Action (APA) Against
Trafficking in Persons Especially Woman and Children dalam level regional dan nasional.
Dalam buku Peran Hukum Internasional (2015: 15), dikatakan bahwa apabila negara telah menerima aturan hukum sebagai suatu yang adil, maka dengan sendirinya negara tesebut akan mematuhi aturan tersebut. Kemudian ada juga apabila negara selalu
menjustifikasi apa yang dilakukan negara mitra kerjasamanya berdasar kepada aturan dalam perjanjian, maka dengan sendirinya negara secara sukarela mematuhi aturan
perjanjian tersebut. Oleh karena itu, ACTIP disepakati dan akan diratifikasi oleh negara anggota ASEAN sebagai sebuah aturan yang adil dalam menangani permasalahan
78
V.4 Roadmap Kebijakan ASEAN dan Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking.
Roadmap adalah rincian rencana yang berisikan mengenai tahapan bersifat sistematis mengenai pelaksanaan suatu yang memiliki tujuan misalnya menangani suatu permasalahan1. Singkatnya roadmap dapat dikatakan sebagai sebuah instrument yang
menjadi acuan suatu hal.
Dalam mengatasi permasalahan hak asasi manusia, manusia harus dilihat sebagai komunitas global, bukan hanya sekedar bagian dari suatu negara. Namun hal tersebut tidak berarti bahwa kedaulatan suatu negara tidak dilihat atau dihilangkan. Negara harus menyesuaikan hukum nasionalnya (ratifikasi) agar sejalan dengan aturan atau standar nilai yang diakui dalam masyarakat internasional (Sefrani, 2015: 23). Untuk menyesuaikan perjanjian internasional kedalam hukum nasional, maka harus melihat lingkungan kebijakan nasional agar tidak melenceng dari kepentingan nasional yang ada. Kebijakan memerangi permasalahan trafficking dilakukan oleh ASEAN dan Indonesia, dimana saling membantu dalam penyelesaian permasalahan trafficking. Indonesia yang juga adalah anggota ASEAN memiliki permasalahan yang sama dalam hal trafficking, seperti dalam laporan kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Negara anggota ASEAN masuk dalam list Tier 2 (kategori rendah) dalam penanganan trafficking. Disamping itu, semua Negara anggota ASEAN kecuali Brunai Darrussalam dan Singapura sudah meratifikasi Protokol Palermo tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Trafficking.
Protokol Palermo dan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons
memiliki isi yang hampir sama, dengan isinya yang normatif dan mengatur dalam tataran
internasional dan regional mengenai trafficking. Pertimbangan yang terdapat dalam
1Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Pemeritah Provinsi. Retrieved from
79
Protokol Palermo, dimana adanya berbagai aturan hukum yang berbeda-beda dalam mengatasi permasalahan eksploitasi terutama pada perempuan dan anak, serta tidak adanya aturan hukum universal yang mengatur tentang hal serupa dengan seluruh aspek dari trafficking, sehingga seseorang yang rentan tidak bisa dikatakan aman dari
trafficking. (Tabel 5.10).
Terdapat beberapa kekurangan dalam peraturan daerah Sulawesi Utara dalam
menangani permasalahan trafficking. Dilihat dari segi bahasa yang digunakan, peraturan daerah Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 ini masih mengkategorikan korban trafficking
yang adalah perempuan dan anak, padahal dalam peraturan internasional, regional maupun nasional, korban disini tidak hanya perempuan dan anak melainkan manusia/orang (tidak mengkhususkan jenis kelamin tertentu). Selain itu beberapa kata atau kalimat seperti pemindahan seseorang dengan ancama penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain, dan seterusnya, hilang dalam Perda Sulawesi Utara. Hal ini terlihat dalam Tabel V.10 bagian Definisi.
Di sisi lain, UU No. 21 Tahun 2007 dan Perda Sulawesi Utara juga menghilangkan unsur hak asasi manusia seperti yang ada dalam peraturan ACTIP, dimana dalam objektivitasnya dalam Art 1 (b)
‘Protect and assist victims of trafficking in persons, with full respect
for their human rights.’
Menjadi:
80
Menimbang masih banyaknya kekurangan yang ada bagian peraturan daerah Sulawesi Utara, maka dirasa penting untuk merevisi peraturan ini, sesuai dengan nasional maupun dengan perjanjian internasional atau regional yang telah disepakati oleh Indonesia. Kemudian, peraturan yang ada di Indonesia baik UU No. 21 Tahun 2007 dan juga Perda Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 lebih banyak membahas mengenai korban dan pelaku yang merekrut atau menjual, hal ini baik adanya, namun lebih baik juga
mengatur mengenai pelaku sebagai pembeli korban yang di traffick.
81
Tabel 5.10 Roadmap Kebijakan Internasional, Regional, dan Nasional Tentang Mengatasi Permasalahan Trafficking
Instrument deception, of the abuse of power or of the
position of
vulnerability or of the giving or receving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of other or other forms of sexual exploitation, force labour or service, slavery or practices similar to slavery, by means of the threat or use of force or other forms of
coercion, of
abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of the position of vulnerability or of the giving or receving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the prostitution of other or other forms of sexual exploitation, force labour or service, slavery or practices similar to slavery, servitude or
Pasal 1 (1) kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan kendali atas orang lain tersebut, baik yang
Pasal 1 (a) Trafficking
adalah rangkaian
trafficking, yang mengandung salah
82 memiliki pilihan lain, terisolasi, tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi tahun 19 April 2007
Manado, Sulawesi Utara, 6 Januari 2004
83
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayarn atau manfaat walaupun meperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengekspolitasi tujuan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan didenda paling sedikit Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta ruiah)”
Pasal 8 ayat 1 dan 2, yaitu “(1) Setiap penyelenggara negara yang
84 combat trafficking in persons, paying particular attention to women and children.
(b) To protect and assist the victims of such trafficking, with full respect for human victims of trafficking in persons, with full
85
to meet those
objectives.” (c) corporation Promote among the Parties in order to
meet these
Merupakan salah satu bentuk kerjasama penjualan senjata api ilegal; penyelundupan imigran; dan human trafficking.
Merupakan inisiasi dari Indonesia dan pada tahun 2000 serta adopsi Protokol PBB dihargai, serta masih belum ada peraturan
Terdiri dari IV Bab, 20 Pasal, yaitu Bab I Prevention (Art. 11-13), Chapter IV Protection (Art. 14-15), Chapter V (Art.
Terdiri dalam IX Bab dan 67 Pasal yaitu Bab I (Pasal 1) tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Tindak Pidana
86 63), Bab VIII tentang Ketentuan Peralihan
*juga atas
masukan-masukan atau
kerjasama dengan NGO terkait.
* 40 dokumen ratifikasi yang sudah diserahkan.
*juga atas masukan-masukan atau Rakyat Indonesia dan Presiden Republik Indonesia
*juga atas masukan-masukan atau
87 ditunjuk oleh
Pemerintah dalam masing-masing negara.
Negara anggota ASEAN.
dan LSM terkait, dan masyarakat.
terkait dan