• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan dan Rumah Adat: Studi tentang Posisi dan Peran Perempuan dalam Perspektif Rumah Adat Sumba di Suku Loliampung Tarungabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur T1 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan dan Rumah Adat: Studi tentang Posisi dan Peran Perempuan dalam Perspektif Rumah Adat Sumba di Suku Loliampung Tarungabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur T1 BAB V"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

45

BAB V

POSISI DAN PERAN PEREMPUAN DALAM RUMAH

ADAT SUMBA DAN KONDISI YANG MEMPENGARUHI

5.1. Posisi dan peran Perempuan dalam rumah adat Sumba

5.1.1. Posisi perempuan dalam rumah adat

Menurut Marwell dalam Budiman (1981-24), peran yang didasarkan atas perbedaan seksual selalu terjadi, ini sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dibantah. Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan pola tingkah laku yang berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. di dalam satu keluarga, ada dua fungsi yang harus dikembangkan secara khusus, yakni mendidik anak-anak dan memproduksikan makanan. Karena keluarga selalu terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka akan sangat menguntungkan kalau salah satu fungsi ini diberikan kepada salah satu jenis seks, dan fungsi lainnya kepada jenis seks lainnya. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sudah dapat dididik ke arah fungsi yang akan mereka mainkan ketika membentuk rumah tangga.

Dalam budaya masyarakat Sumba khususnya di kampung Tarung, pembagian posisi antara laki-laki dan perempuan tidak saja terjadi pada pembagian bahwa

perempuan posisinya di rumah sebagai ibu rumah tangga yang mengurus segala kebutuhan dapur dan laki-laki posisinya sebagai kepala rumah tangga dan bekerja di

luar sebagai pencari nafkah seperti yang dikatakan oleh Marwell diatas. Namun ada pembagian lain yang meliputi posisi atau area mereka di dalam rumah adat.

(2)

46

“Tidak ada pengaruh laki-laki dalam pembagian tersebut, laki-laki hanya sebagai kepala keluarga sehingga adat istiadat tersebut seolah-olah direkayasa oleh laki-laki, namun pada kenyataannya memang datang dari para leluhur atau sang pencipta”16

Dari pernyataan di atas Rato Lado ingin menyampaikan bahwa memang ada pembagian dalam rumah adat namun unsur tersebut semata-mata hanya berkaitan dengan kepercayaan Marapu yang melarang beberapa tempat dalam rumah untuk dimasuki atau lewati oleh istri dan anak mantu. Mereka hanya menjalankan tradisi tersebut yang diyakini datang dari para leluhur atau sang pencipta tanpa mencari tahu alasan mengapa hal tersebut terjadi. Beliau mengatakan bahwa pembagian tersebut tidak ada pengaruh laki-laki dan memang begitu adanya karena tradisi tersebut sudah dijalankan sejak rumah adat dibangun dan dijalankan turun-temurun.

Rato adat (imam) adalah seorang laki-laki sehingga keputusan untuk menentukan posisi tersebut sering kali dianggap sebagai rekayasa dari laki-laki. Namun pembagian tersebut bisa menimbulkan asumsi bahwa memang kekuasaan laki-laki atas perempuan

tetapi bukan dalam konteks pembagian tetapi dalam larangan itu bisa dilihat dari semua larangan yang ada dalam rumah adat, laki-laki sama sekali tidak mendapatkan larangan

baik itu mengenai posisi atau hal-hal yang berhubungan dengan kesakralan. Kesakralan hanya terjadi untuk perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu di dalam rumah adat.

Menurut Nasaruddin Umar, Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. (Umar 1999:35). Peranan gender pada penataan ruangnya tidak memiliki perbedaan yang mencolok melainkan memiliki perbedaan peranan yang sama kuatnya. Hal ini bisa dilihat pada posisi “jantung” rumah yang terletak tepat di bawah ruang Marapu, kita bisa melihat tiang penyangga “menara” Marapu ada empat tiang utama. Tiang penyangga itu sebagai tiang laki-laki dan perempuan, penempatannya sangat unik yaitu ditempatkan berpasangan. Konsep rumah adat ini sedikit bisa menggambarkan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah adat yang kurang lebih sama. Beberapa konsep gender pun tampak pada pembagian ruang-ruang di dalam rumah adat, salah satunya pembagian

16

(3)

47

ruang yang menjadikan dua bagian, yaitu mbalekatounga (ruang untuk laki-laki) dan kere pandalu (ruang untuk perempuan) dengan pintunya masing-masing.

Secara harafiah pembagian tersebut meliputi hal-hal spiritual (sakral), dimana ruang Mbalekatonga atau ruang untuk laki-laki merupakan ruang yang dipercayai merupakan tempat yang sakral. Menurut Rato Lado fungsi dari pembagian ruang laki-laki dan perempuan untuk membagi tempat sembayang atau ibadah (nobba) yang merupakan tempat bersemayamnya Marapu, yaituarwah-arwah nenek moyang dalam rumah adat.

Nobba tidak melibatkan perempuan karena nobba hanya dilakukan oleh seorang Rato (imam) yaitu laki-laki. Pembagian ruang laki-laki mbalekatounga dan perempuan

kere pandalu membagi antara posisi perempuan dalam rumah adat, tetapi tidak untuk semua perempuan ini hanya berlaku untuk istri dan menantu perempuan saja yang ketika berada dalam rumah adat tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruang laki-laki karena tempat tersebut merupakan tempat yang paling sakral dalam sebuah rumah adat. Kesakralan itu berkaitan langsung dengan Marapu, selain berhubungan dengan Marapu

larangan untuk istri dan anak mantu dikarenakan berhubungan dengan kerahasiaan leluhur dari kabisu laki-laki dalam hal ini suami sebagai pemilik rumah.

Di atas loteng persis bagian tiang uratta terdapat gerabah anyaman yang berbentuk bola yang bernama (nukku sara) dengan “Nukku” yang artinya bertahan atau

menanti sedangkan “Sara” artinya hukum yang merupakan tempat dari jiwa-jiwa atau roh-roh para leluhur dari dulu kala menunggu kapan dia kembali kedunia untuk hidup.

Nukku sara juga merupakan tempat bertenggernya hukum-hukum adat, inilah mengapa perempuan sangat dilarang untuk masuk ruang ini. Selain larangan untuk tidak memasuki ruang laki-laki, perempuan juga tidak boleh memegang dua tiang dari ke empat tiang yang ada yaitu tiang kanan depan dengan nama lain parii utta atau nama lainnya tiang

uratta dan tiang kanan belakang Pari’i woleta atau nama lainnya Pari’i tutungaba

balikatonga. Larangan-larangan untuk perempuan letaknya dari pintu utama (mbalekatonga) lalu masukke ponnu karo tillu (ditengah yang merupakan tempat duduk) sampai ke mbalekatonga yang berada dibelakang.

(4)

48

dengan ritual adat sering melibatkan perempuan namun tidak mengharuskan mereka memasuki ruang yang dilarangan tersebut, hanya laki-laki atau Rato yang melakukan dan memulai ritual adat. Rato Lado menyatakan bahwa dalam rumah adat tidak ada maksud untuk memisahkan tempat laki-laki dan perempuan. Berikut pernyataan Rato Lado;

“Perlu saya beritahu dalu bahwa dalam rumah adat tidak ada maksud untuk membagi atau memisahkan tempat laki-laki dan perempuan, jadi kalau ditanya pembagian ya tidak ada. Yang ada hanya aturan atau adat istiadat yang melarang perempuan untuk tidak diboleh di tempat-tempat yang sudah di tentukan”17

Sama seperti apa yang diungkapkan Rato Lado sebelumnya tidak ada maksud untuk memisahkan posisi atau tempat perempuan dan laki-laki dalam rumah adat, hal tersebut terjadi karena adat istiadat yang melarang perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu untuk tidak boleh ditempat-tempat yang sudah ditentukan karena tempat-tempat tersebut berada pada wilayah mbalekatounga yang merupakan tempat yang sakral dan tempat yang sama sekali tidak boleh dilewati oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu karena tepat di atas tiang-tiang yang berada di daerah mbalekatounga merupakan tempat dari para leluhur (Nukku Sara) kabisu dari si pemiliki rumah sehingga untuk menghormati dan menghargai tempat ini tidak boleh dilewati oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu perempuan.

Nukku sara merupakan tempat dari arwah para leluhur yang berada di dalam rumah, nukku sara tidak saja ditempati oleh si pemilik rumah yang berjenis kelamin laki-laki, perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu juga mendapatkan tempat di atas sana, jadi bisa dikatakan bahwa larangan tersebut hanya berlaku selama istri dan anak mantu hidup dan tinggal di dalam rumah adat karena ketika mereka meninggal mereka boleh masuk dan tinggal di atas di dalam Nukku sara dan bergabung dengan para leluhur.

Kesakralan dalam rumah adat berbeda dengan pandangan Durkheim yang mengatakan bahwa sesuatu yang dipercayai masyarakat sebagai sesuatu yang sakral

berlaku untuk semua orang tidak memandang gender, sedangkan dalam konteks rumah adat Sumba kesakralan tentang nukku sara berbeda dengan dikatakan oleh Durkheim

17

(5)

49

karena sakral yang dimaksud oleh masyarakat di Sumba khususnya yang berada di kampung terkait posisi perempuan yaitu sakralnya hanya berlaku untuk perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu. Sehingga konsep sakral menurut Durkheim ini perlu diperluas dalam konteks kesakralan dalam rumah adat Sumba, bahwa sakral dalam rumah adat Sumba hanya berlaku untuk perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu. Kesakralan ini juga berhubungan dengan kerahasian karena ketika ditanya mengapa hanya istri dan anak mantu saja menadapat larangan dalam rumah adat, Rato sebagai ketua adat tidak menyampaikan secara eksplisit terkait hal pertanyaan tersebut.

Walaupun memiliki larangan dalam rumah adat perempuan pun memiliki tempat atau ruang khusus untuk mereka selain dapur dan perapian (tempat memasak) di dalam rumah adat,ini membuktikan bahwa pembagian ruang dalam rumah adat Sumba tidak hanya untuk kepentingan laki-laki tetapi mementingkan juga untuk kebutuhan perempuan. Tempat atau ruang untuk perempuan dalam rumah adat terletak dibagian belakang rumah laddo poddu yaitu tempat atau ruang untuk melahirkan dan memberi nama anak.

Pembagian posisi perempuan dalam rumah adat hanya diperuntukan untuk perempuan yang dalam hal ini istri dan menantu, lalu bagaimana dengan anak perempuan kandung dalam rumah adat, anak perempuan kandung tidak mendapatkan larangan yang sama yang diterima oleh ibunya karena ia memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam rumah, sama-sama memiliki kebebasan baik dalam tempat perempuan kere pandalu maupun tempat laki-laki mbalekatounga dengan kata lain seluruh rumah. Berikut penjelasan Rato Lado mengenai anak kandung perempuan :

“Anak perempuan merupakan anak yang lahir dalam rumah dan memiliki kebebasan yang sama dengan sang ayah atau kepala rumah tangga, jadi dalam rumah tersebut larangan-larangan tersebut tidak apa-apa untuk mereka, tetapi ketika mereka menikah dan keluar dari rumah mereka akan mendapatkan perlakuan yang sama”18

18

(6)

50

Anak perempuan mendapatkan kebebasan yang sama seperti sang ayah membuat mereka bebas untuk masuk ke dalam mbalekatounga namun kebebasan tersebut tidak berlaku untuk bagian loteng yang merupakan tempat untuk para leluhur dan benda-benda pusaka hampir sama dengan apa yang dialami oleh istri dan anak mantu perempuan.

Laki-laki dalam rumah adat memiliki kebebasan tidak sama seperti perempuan dalam hal ini istri dan menantu, peran laki-laki fleksibel atau luas dalam sebuah rumah dikarenakan mereka sebagai kepala keluarga yang melakukan segala aktifitas penunjung

kehidupan baik dari kebutuhan pangan,sandang dan papan. Hal tersebut membuat laki-laki semakin terlihat superior karena mereka ingin melakukan semua hal yang mereka anggap bisa dan perempuan tidak bisa sehingga timbul anggapan bahwa perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga saja dan mengurusi urusan dapur sehingga tidak memerlukan tempat atau akses yang luas dalam rumah adat. Secara posisi dan peran memang posisi istri dan suami terpisah namum mereka bekerja sama saling melengkapi sehingga pada gilirannya mampu menghasilkan kesuburan, kelangsungan hidup dan kekayaan. Berikut di bawah ini pernyataan Rato Lado terkait alasan mengapa laki-laki memiliki kebebasan dalam rumah adat dan sebaliknya perempuan memiliki larangan-larangan:

“Laki-laki dalam rumah adat dibebaskan karena peran antara laki-laki dan perempuan tidak boleh sama, karena laki-laki sebagai kepala keluarga, jika perempuan bebas untuk masuk ke tempat laki-laki berarti peran mereka dalam rumah adat sama”19 Pernyataan di atas mempertegas praktek budaya patriarki terjadi dalam rumah adat Sumba. Laki-laki tidak ingin peran mereka sama dengan perempuan, itu membuat mereka terasa tersaingi dan merasa bahwa jika perempuan memasuki tempat dari laki-laki berarti peran mereka akan sama dan tidak ada beda. Sebagai seorang kepala keluarga dan pencari nafkah laki-laki melihat itu sebagai sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Laki-laki menganggap bahwa perannya tidak boleh sama dengan perempuan, perempuan harus melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sepeti memasak dan mengurusi anak.

19

(7)

51 5.1.2. Peran Perempuan dalam rumah adat

Struktur sosial masyarakat yang membagi-bagi mengenai peran antara laki-laki dan perempuan seringkali merugikan perempuan. Perempuan diharapkan dapat mengurus dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka bekerja di luar rumah tangga, sebaliknya tanggung jawab laki-laki dalam mengurus rumah tangga sangat kecil namun tidak demikian yang terjadi dalam rumah adat Sumba khususnya yang terjadi di kampung Tarung laki-laki mempunyai tanggung jawab yang

lebih besar dari perempuan itu bisa dilihat dalam posisi dan aksesnya dalam rumah yang lebih luas sehingga perannya lebih banyak dalam rumah adat.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa, tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan anak adalah tugas perempuan, walaupun perempuan tersebut bekerja. Aktivitas domestik ini sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Hal itu kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Namun panadangan tersebut berbeda denga yang terjadi dalam masyarakat Sumba, dalam konteks perempuan Sumba di kampung Tarung peran yang dilakukan oleh perempuan bukan hanya pada aktifitas-aktifitas rumah tangga saja tetapi mereka meiliki peran yang lebih besar terhadap bertahannya Marapu itu sendiri. Peran mereka bisa terlihat pada saat mereka menjaga adat istiadat yang terdapat pada marapu dengan mengikuti aturan-aturan yang berkaitan dengan kesakralan dari marapu di dalam rumah adat. Seperti yang diuangkapkan istri dari Rato Yusuf Lele Wadda ;

“Selamanya kita masih hidup dan tinggal di rumah adat, kita tidak boleh melanggar atau merubah, karena dengan mematuhi larangan tersebut, merupakan cara kita untuk menghargai dan menghormati adat dan budaya”20

Pembagian ruang dalam rumah adat Sumba sepenuhnya tidak menyulitkan peran perempuan, mereka tetap beraktifitas seperti biasa layaknya ibu-ibu rumah tangga pada umumnya, seperti memasak, mengurus anak, memberikan makan ternak, memetik sayur

20

(8)

52

untuk menjual ke pasar dan penyiapkan segala kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya. Alasan sederhananya, karena segala aktifitas mereka tidak berada pada area yang dilarangan untuk mereka, contohnya dapur dan tempat memasak (perapian), letak dapur berada pada kere pandalu (ruang perempuan), sedangkan letak tungku (perapian) ditengah-tengah rumah diapit oleh empat tiang utama. Seperti yang diungkapkan ina Laka terkait perannya dalam rumah adat:

“Pada saat kita kerja tidak ada masalah, karena kita punya pekerjaan rumah tangga tidak sampai pada tempat larangan-larangan itu”21

Pernyataan di atas sama dengan hasil observasi bahwa dalam aktifitas perempuan yang dalam hal ini istri dan anak mantu perempuan, tidak terlihat pengaruh pembagian posisi dalam rumah adat. Mereka beraktifitas seperti biasa layaknya ibu rumah tangga pada umumnya dengan kebiasaan tersebut ina Laka merasa bahwa tidak ada yang yang harus dipermasalahkan baik mengenai posisi maupun peran, karena kalau posisi tersebut menyulitkan peran perempuan bisa saja membuat mereka kesusahan dalam melakukan aktifitas dalam rumah.

Peran perempuan tak hanya di dalam rumah saja, terkadang perempuan juga membantu laki-laki untuk bertani dan berkebun seperti menanam padi dan sayur-sayuran. Dalam ritual-ritual adat di kampung, perempuan memiliki peran untuk menyiapkan segala sesuatu keperluan yang dibutuhkan dalam acara adat, seperti sirih pinang, makan dan minum. Jika ada pembicaran mengenai urusan adat misalnya dalam perkawinan perempuan dilibatkan. Berikut pernyataan Rato Lado terkait keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan:

Dalam pengambilan keputusan perempuan dimintai pendapat agar keputusan ini bisa menjadi keputusan bersama, walau pada akhirnya yang memutuskan semua di tangan laki-laki.22

Dalam proses pengambilan keputusan, biasanya yang lebih dominan adalah laki-laki hal itu tidak bisa dipungkiri dan terjadi dalam masyarakat Sumba, seperti yang

21

Wawancara bersama ina Laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016

22

(9)

53

diungkapkan oleh Rato Lado, biasanya setiap perundingan perempuan diberi hak untuk berbicara dan diminati pendapat, tujuannya agar ada masukan dari perempuan terkait hal yang dibahas dan pada akhirnya bisa menjadi keputusan bersama. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam perundingan adat Sumba walupun perempuan diberikan kesempatan bicara dan dimintai pendapat pada akhirnya keputusan tersebut lebih berat pada keputusan laki-laki.

Aktifitas-aktifitas sehari-hari yang perempuan lakukan selain sebagai ibu rumah

tangga, mereka melakukan suatu karya tangan yang memiliki nilai kesenian yang tinggi yaitu menenun kain dan membuat ayaman pandan untuk dijadikan kaleku, mblola dan lain-lain. Kain bagi orang Sumba memiliki makna yang ganda, pertama ia adalah barang kebutuhan sehari-hari yang fungsi praktisnya adalah sebagai penutup tubuh. Kedua ia adalah simbol benda ikonik yang terkait dengan praktek-praktek sosioreligius. Kain juga dalam beberapa ritual adat salah satunya dalam proses pernikahan kain tenun yang diberikan pihak perempuan saat melepas anak gadis mereka adalah simbol naungan dan perlindungan, yang diharapkan akan selalu diberikan oleh pihak laki-laki, namun sewasa ini tenun bermakna ekonomis, sebagai tambahan penghasilan yang bisa dianggap remeh. Proses pembuatan tergantung dari besar kain yang ditenun. Seperti selendang perlu waktu tiga hari penenunan. Sedangkan kain, memakan waktu sampai dua minggu.

Biasanya penjualan kain tenun hanya dilakukan di kampung Tarung, ditawarkan pada turis, tapi masih lebih banyak turis asing dari pada turis domestik yang tertarik untuk membeli kain tenun asli buatan perempuan Sumba ini. Turis asing biasanya berasal dari Perancis, Amerika, dan Belgia. Setiap ada turis, para penjual kerajinan pun bermunculan dan mengerubungi wisatawan dan mulai menawarkan kain tenun mereka, tapi mereka tidak memaksa agar turis-turis ini harus membeli. Menurut nene Ledda Goko tentang tenunnya :

“Kalau ada setiap orang yang berkunjung di Kampung Tarung kita hanya menawarkan. Kalau tidak dibeli, tidak apa-apa. Yang penting kita sudah menunjukan tenunan yang kita buat”23

23

(10)

54

Peran perempuan Sumba dalam bekerja memang harus diberi apresiasi, mereka bekerja membantu sang suami, dan melakukan secara suka rela berdasarkan passion yang dimiliki oleh mereka, salah satunya menghasilkan kain tenun khas Sumba Barat yang dibuat dengan cara tradisional tentu dengan corak yang menarik. Keuntungan dalam penjulan bisa saja menjadi lebih baik jika dipasarkan di luar namun kebanyakan dari perempuan di Kampung tidak menjual di luar, mereka hanya menjual kain tenun di dalam kampung Tarung dan menawarkan kepada turis yang datang berkunjung ke kampung Tarung. Hal ini justru menarik bagi mereka kalau memang turis tertarik atau tidak, bukan

menjadi persoalan karena dengan memperkenalkan kain tenun, bercerita mengenai sejarah dan menunjukan cara menenun bagi mereka itu sudah cukup. Maka tak heran kalau setiap turis yang datang sesekali mereka diperlihatkan cara menenun secara langsung. Seperti yang dilakukan oleh ina Lakadoru dibawah ini :

Gambar. 5.1

Aktivitas Menenun

Sumber Foto penelti

5.1.3. Perempuan Dalam Pandangan Orang Sumba

(11)

55

masyarakat di Sumba, perempuan selalu menjadi salah satu faktor yang mendasari kesuksesan seorang laki-laki.

Walaupun Dalam rumah adat perempuan memiliki banyak larangan, tetapi tidak menyulutkan peran perempuan dalam rumah adat, karena segala jenis persiapan dalam rumah adat pasti selalu ada campur tangan perempuan tidak bisa hanya diurus oleh seorang laki-laki saja. Seperti yang diungkapkan Lango Manpele tentang perempuan Sumba:

“Perempuan bukan hanya sebagai pendamping didalam rumah tangga, tetapi sebagai penopang yang kuat, bagi seorang suami, karena tidak ada laki-laki yang sukses sendiri tanpa dukungan dan kerja keras seorang istri”24

Menurut Lango Manpele tokoh masyarakat kampung Tarung, rumah adat yang berada di kampung Tarung memiliki makna yang begitu berkaitan dengan perempuan, seperti Uma Mawinne, yang nama lainnya adalah rumah perempuan yang fungsinya sebagai penentu tibanya bulan suci untuk ritual wulla poddu bagi orang Loli, ritual ini bertujuan untuk memohon berkat, sebagai sarana mengucap syukur dan untuk

menceritakan asal usul nenek moyang dan menggambar proses penciptaan manusia. Di kampung Tarung ritual ini hanya bisa ditentukan oleh uma mawinne atau rumah perempuan untuk menentukan kapan tibanya bulan suci, seperti layaknya perempuan yang mengetahui soal kegenapan bulan kelahiran yaitu bulan kesembilan. Ini lah yang menjadikan perempuan sebagai sosok yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sumba khususnya masyarakat kampung Tarung.

Dalam pembagian posisi dan peran perempuan dalam rumah adat bukan saja membagi tempat bagi seorang ibu dan seorang istri, tetapi pembagian tersebut membuat perempuan menjalankan adat-istiadat dan larangan dalam rumah adat untuk menjaga adat

Marapu dalam hal ini berkaitan juga dengan eksistensi dari Uma Mawinne. Perempuan menerima dan menjalankan larangan-larangan dalam rumah adat bukan ingin menunjukan bahwa laki-laki lebih berkuasa atas perempuan dan perempuan tunduk terhadap laki-laki, melainkan perempuan ingin mempertahankan simbolisasi kekuasaan

24

(12)

56

perempuan dalam Uma mawinne (rumah perempuan) yang merupakan satu-satunya rumah adat yang menentukan kapan tibanya bula suci bagi masyarakat Loli atau yang sering disebut dengan Wulla poddu.

Di dalam kampung Tarung, ritual wulla poddu merupakan salah satu ritual yang sangat besar. Ritual wulla poddu ini hanya ditentukan oleh Uma mawinne atau rumah adat yang melambangkan perempuan. Jika perempuan melanggar adat dan istiadat yang ada dalam rumah adat, secara tidak langsung perempuan menghilangkan kesakralan dari

Uma mawinne. Dengan melanggar dan menghilangkan kesakralan dalam rumah adat, dengan begitu makna dan fungsi dari Uma mawinne pun runtuh dan tatanan budaya dari masyarakat Sumba pun runtuh.

5.2. Pemahaman Perempuan Mengenai Posisi Dan Perannya Dalam

Rumah Adat

5.2.1. Pemahaman Perempuan mengenai Posisi

Pemahaman perempuan mengenai posisi mereka dalam rumah adat sudah dipahami sejak mereka kecil, tentang pemahaman bahwa ada larangan-larangan untuk

mereka dalam rumah adat. Seperti yang dikatakan Rato Yusuf Lele Wadda, “Setiap perempuan Sumba harus mengerti terhadap budayanya bahkan sebelum ia memasuki

(13)

57

“Tidak ada masalah dengan aturan-aturan yang melarang, apa yang sudah menjadi larangan dari nenek moyang, itulah yang harus kita taat. Dan ini bisa jadi pedoman buat generasi penerus agar tetap di pertahankan”25

Tidak pernah melanggar aturan, karena sudah dari awal saat memasuki rumah sudah diberitahukan, ada aturan-aturan untuk tidak boleh menyentuh dan melewati tempat yang di larang. Termasuk saat membersihkan loteng rumah, saat membersihkan tidak boleh melihat ke atas.26

Bagi perempuan Sumba, peraturan yang berlaku bagi mereka itu sakral dan tidak boleh untuk dilanggar termasuk posisi mereka dalam rumah adat. Karena ada keyakinan

mereka jika melanggar akan terkena sanksi adat seperti mengalami kesialan atau hal-hal yang tidak diinginkan jika melanggar. Sehingga ketakutan akan hal tersebut membuat untuk tidak melanggar dan menjaga batasan-batasan mereka di dalam rumah adat. Dengan aturan dan sanksi yang ada membuat perempuan Sumba yang tinggal dalam rumah adat sudah terbiasa dengan aturan tersebut, dimana mereka punya batasan-batasan untuk dilewati di dalam rumah adat bahkan pemahaman tersebut sudah jauh diketahui sebelum menikah dan masuk dalam rumah adat.

Namun larangan tersebut bukan menjadi masalah yang besar karena larangan tersebut merupakan bentuk dari menghormati adat yang sudah ada. Bahkan ketika mereka melanggar baik sengaja maupun tidak sengaja larangan tersebut mereka siap menerima sanksi yang akan menimpa mereka yang melanggar, biasanya untuk meminta maaf karena sudah melanggar diberitahui kepada Rato adat dengan membawa satu ayam untuk disembeli dan didoakan . Seperti yang dikatakan oleh Ina Laka mengenai kesialan atau sanksi ;

“Tidak masalah, karena larangan itu sudah ada dari leluhur sampai saat ini. Soal melanggar itu adalah kesalahan kita sendiri karena sudah diingatkan untuk tidak melanggar, tapi masih melanggar peraturan tersebut.”27

Pemahaman perempuan mengenai posisi dan dampak jika melanggar tempat-tempat yang dilarang sudah diberitahui dan diingatkan, jadi ketika perempuan memasuki

25

Wawancara bersama Nenek Lidda Mawo Mude di kampung Tarung tanggal 21-11-2016 26

Wawancara bersama Ina Nonce di Kampung Tarung tanggal 22-11-2016

27

(14)

58

rumah mereka sudah tau tempat-tempat yang tidak boleh dilewati dan dampak apa yang mereka terima jika melanggar. Pemahaman ini membuat mereka terbiasa untuk melakukan aktifitas-aktifitas tanpa merasa terganggu dengan batasan-batasan posisi mereka dalam rumah adat. Berbedanya perlakuan terhadap laki-laki dalam rumah adat membuat perempuan menanggapi bahwa peran laki-laki yang mendominasi dalam rumah adat merupakan sesuatu hal yang wajar karena bagi mereka laki-laki merupakan kepala keluarga sehingga tidak ada tempat terlarang bagi laki-laki di dalam rumah adat. Posisi perempuan di dalam rumah adat adalah posisi kedua, bukan berarti mereka tidak punya

hak di dalam rumah adat untuk menegur laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Ina Laka bahwa ;

“Memang mereka (kaum laki-laki) bebas, dan kita tidak, namun ketika suami atau kepala keluarga keluar rumah, kita sebagai orang nomor dua di dalam rumah berhak untuk menegur laki-laki jika berbuat kesalahan. Bukan berarti karena kita banyak dilarang tapi tidak punya hak dalam rumah. Kalau tetang posisi laki-laki lebih bebas dari perempuan, memang sudah seperti itu sejak jaman dahulu maka kami sudah terbiasa sejak kecil.”28

Dari keterangan Ina Laka di atas perempuan dalam rumah adat juga memiliki hak

untuk menegur ketika laki-laki melakukan kesalahan. Mereka tidak mempermasalahkan ketika mereka menjadi posisi kedua di dalam rumah karena pemahaman tentang posisi mereka sudah diketahui sejak kecil. Mereka merasa nyaman dengan keadaan mereka yang memiliki batasan-batasan dalam rumah adat, karena sudah terbiasa. Perempuan selalu menghindarai pelanggaran tersebut karena tahu bahwa larangan tersebut berkaitan dengan tiga unsur yang pertama menjaga kekuasaan perempuan melalui simbolisasi Uma Mawinne yang jika dilanggar maka Uma Mawinne akan runtuh dan hilang. Unsur kedua yaitu menjaga keutuhan Marapu yang terletak pada Nukku Sara. Unsur yang ketiga rasa takut akan sanksi atau kesialan merupakan unsur yang membuat perempuan menghindari perempuan untuk melanggar. Berikut wawancara dengan Ina Nonce yang telah 10 tahun tinggal di dalam rumah adat ketika ditanya mengenai pemahaman mereka tentang peran mereka dalam rumah adat:

28

(15)

59

“Kalau dari posisi memang ada tempat-tempat yang tidak boleh dengan sembarangan untuk kita injak, karena memang sudah dari dulu aturannya seperti itu. Jika aturan yang berlaku dalam rumah adat itu sudah tidak ditaati atau sudah hilang, itu berarti hal-hal adat yang ada di dalam rumah ini juga akan hilang.29”

Pemahaman perempuan mengenai aturan adat membuat mereka memahami jika aturan tersebut dilanggar dan dihilangkan maka adat istiadat Sumba yang dalam hal ini Uma Mawine dan kepercayaan Marapu pun akan hilang dan pun runtuh, pernyataan diatas semakin meyakinkan bahwa memang peran perempuan dalam menjaga simbolisasi kekuasaannya melalui rumah adat Uma Mawinne dan menjaga keutuhan dari marapu itu sangat nyata yaitu dengan menjalankan aturan-aturan tersebut.

Lalu bagaimana dengan posisi anak kandung perempuan ketika berada dalam rumah adat, bagi anak perempuan di dalam rumah adat tidak mendapat larangan ketika masih tinggal di dalam rumah adat bersama dengan kedua orang tuanya, meraka bebas mau kemana saja tapi tidak semua tempat bisa mereka lewati atau tempati seperti loteng dalam rumah dan uma kabbu. Hal ini ditanggapi oleh Ina Laka sebagai ibu yang tinggal di dalam rumah adat. Ina Laka menyatakan bahwa ;

“Memang mereka (anak perempuan ) tidak dilarangan, tapi ketika mereka keluar dari rumah orang tua, mereka juga akan mendapatkan posisi yang sama dengan kita ketika tinggal dalam rumah adat bersama suaminya. Tapi jangan salah mengartikan bahwa anak perempuan bebas berada di dalam rumah adat bukan berarti semua tempat dapat di akses oleh mereka. Ada tiga tempat yang tidak boleh dilalui atau diinjak oleh anak perempuan yaitu loteng dalam rumah, tempat ronggeng atau menari dan

Uma kabbubu yaitu tempat sakral yang berada tepat di depan rumah (luar rumah).”30

Posisi anak kandung perempuan dalam rumah adat bisa dikatakan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan istri dan anak mantu dalam rumah adat, mereka bisa saja dengan leluasa mengelilingi rumah adat tanpa mendapatkan larangan. Mereka juga sudah memahami bahwa ada juga tempat-tempat yang mereka tidak boleh

29

Wawancara bersama Ina Nonce di Kampung Tarung tanggal 22-11-2016

30

(16)

60

tempati. Berikut pernyataan dari Ina lakadoru yang merupakan anak kandung perempuan yang tinggal dalam rumah adat mengenai posisinya;

Sebagai anak langsung saya bebas mau kemana saja, mau melangkah kemana saja bebas, tetapi ada juga tempat-tempat yang tidak boleh ditempati. Walaupun saya sudah kawin dan keluar dari rumah saya tetap bebas ketika memasuki rumah.31

Pemahaman perempuan mengenai posisi mereka tidak saja ketika mereka berada dalam rumah, ketika diluar rumah pun dalam hal ini di kampung mereka mengetahui posisi-posisi mereka yang tidak boleh dilewati atau tempati. Anak kandung perempuan memang tidak menadapatkan larangan yang sama seperti ibunya, namun bukan berarti semua tempat sakral yang ada di Kampung Tarung boleh diakses oleh mereka, Di bagian tengah dari kampung Tarung ada satu rumah kecil. Yang bernama „Uma Kabubu’ atau rumah suci dimana leluhur Marapu bersemayam. Tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalamnya termasuk perempuan baik anak langsung maupun istri dan menantu. Hanya „Rato‟ atau tetua adat yang boleh masuk ke dalam dan biasanya hal itu dilakukan saat „Wulla Poddu‟, bulan suci bagi masyarakat Sumba dimana mereka tidak boleh membunyikan apa pun, tidak boleh mengadakan pesta kelahiran, perkawinan atau

kematian.

Gambar 5.2

Uma Kabubu

Foto hasil penelitian

31

(17)

61

Dengan pemahaman-pemahaman perempuan mengenai posisi mereka dalam rumah adat bisa dikatakan bahwa perempuan Sumba dalam hal ini istri dan menantu sudah memahami posisi mereka dalam rumah adat jauh sebelum ia menikah dan memasuki rumah adat, karena pemahaman terkait posisi mereka dalam rumah adat sudah diberitahu sejak kecil. Pemahaman mereka tentang posisinya dalam rumah adat membuat mereka nyaman dan tidak pernah berfikir untuk meninggalkan tradisi dan adat isriadat tersebut. Berikut pernyataan ina Laka ;

“Memang tidak pernah terfikir dan terlintas untuk merubah dan meninggalkan tradisi ini, orang dari luar negeri saja, buang uang banyak-banyak hanya untuk mau datang lihat ini adat dengan budaya, kenapa kita harus kasih hilang Seharusnya kita mempertahan dan melestarikan”.32

Pernyataan diatas seakan menjadi jawaban kenapa kampung Tarung masih

begitu kokoh dan tetap menajalankan adat istiadat dan ritual-ritual adat, karena bagi mereka apa yang sudah seharusnya kita jaga dan kita pertahankan sudah seharusnya dilakukan bukan terpengaruhi oleh medernisasi. Maka tak heran banyak beberapa kampung yang sudah mulai mengganti atap dari jerami menjadi seng. Bagi orang tarung satu saja bagian dari rumah adat yang diganti atau dihilangkan maka akan perpengaruh pada kesakralan dalam rumah adat itu sendiri dan bisa saja rumah adat tersebut tidak disebut lagi sebagai rumah adat bagi orang-orang yang menganut kepercayaan Marapu.

5.2.2. Pemahaman Perempuan mengenai Peran

Sama halnya dengan posisi perempuan dalam rumah adat, pemahaman perempuan mengenai peran sudah mereka tahu sebelum mereka menikah bahkan ketika mereka masih kecil. Menjadi orang hanya bekerja dirumah dan tidak memiliki peran yang sama seperti kaum laki-laki, tidak menjadi masalah bagi mereka, peran mereka memang harus dibedakan dengan laki-laki agar bisa saling mengisi satu sama lain, seperti laki-laki bekerja diluar mencari nafkah lalu perempuan beperan sebagai ibu rumah tangga yang

siap untuk menyidankan makanan untuk disantap bersama.

32

(18)

62

Mereka sangat menghormati aturan adat yang sudah berlaku sejak dahulu itu bisa dilihat pada peran mereka yang bisa saja dibatasi oleh posisi yang dibagi yang hanya untuk membagi tempat untuk melakukan aktifitas kerohanian (sakral). Mereka menjalani peran mereka dalam rumah adat walaupun ada pembagian posisi bagi mereka istri yang menikah lalu masuk ke dalam rumah sang Suami dan tinggal bersama, bagi mereka tidak menjadi masalah jika peran mereka dibatasi oleh posisi yang telah dibagi untuk mereka dan laki-laki dalam rumah adat. Aktifitas mereka sebagai ibu rumah tangga tetap berjalan dari memasak sampai membersihkan rumah, yang menjadi menarik disini yaitu ketika

mereka membersihkan rumah, bagian yang dilarang tersebut tidak lagi menjadi kewajiban mereka untuk membersihkan karena sudah dari awal mereka diberi pemahaman agar tidak memasuki ruang-ruang yang dilarang sekali pun untuk membersihkan. Seperti ini ungkapkan ina Nonce mengenai perannya ketika Ia tidak boleh memasuki dan melewati tempat-tempat yang dilarang:

“Saat menyediakan minum tidak boleh melewati batas yang sudah di tentukan, untuk menyapu halaman depan rumah pun tidak boleh melewati”.33

Pernyataan diatas menggambarkan salah satu contoh bahwa dalam rumah adat yang dibagi memang ada beberapa hal yang setelah dijalankan dalam rumah ada sedikit kesan perempuan mengalami kesulitan. Sebenarnya kesulitan tersebut tidak terjadi terus menerus itu hanya tergantung dimana posisi dari tamu berada kalau memang berada dibagian yang dilarang maka memang perempuan dalam hal ini istri hanya memebrikan dari seberang bambu saja tanpa melanggar batas larangan tersebut. Untuk membersihkan dihalaman depan rumah saja sudah tidak boleh apa lagi dibagian dlam rumah tentu lebih tidak boleh. Biasanya tempat yang dilaranga untuk istri tersebut dibersihkan oleh suami atau anak-anak mereka.

Perempuan bisa dikatakan sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam menjaga adat dan kebudayaan Marapu. Peran mereka dalam menjaga keutuhan Marapu

bisa dilihat pada ketaatan mereka dalam menjaga agar ruang mbalekatonga atau ruang yang merupakan tempat dari arwah para leluhur tidak dilanggar, alasan mengapa

33

(19)

63

perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu perempuan dilarang tidak begitu jelas namun setelah dianalisis kelihatan karena perempuan berasal dari luar atau orang luar yang masuk kedalam rumah adat dan tinggal didalamnya . Selain menjaga keutuhan dari Marapu perempuan juga memiliki peran yang sangat penting dalam setiap upacara-upacara adat. Berikut pernyataan ini Laka ;

Peran-peran mereka ketika acara adat seperti pada Bulan Poddu yaitu menyiapkan tarian dengan berbagai perlengkapan tarian seperti kapouta (ikat kepala), giring-giring, katoupo (parang), sarung dan kain adat. 34

Hal ini juga bisa berarti ketika acara adat, perempuan juga berperan untuk memeriahkan acara adat dengan tarian-tarian adat yang akan ditampilkan. Selain itu peran mereka ketika acara adat berlangsung yaitu menyiapkan nasi yang pamali (sakral) atau sesajen dengan syarat bahwa sesajen itu tidak boleh jatuh, biasanya sesajen ini di adakan pada saat bulan Poddu. Tak hanya itu peran Perempuan-perempuan dalam rumah adat juga menyiapkan sirih pinang untuk para tamu yang datang. Untuk peran mereka

sehari-hari di dalam rumah adat tidak ada bedanya dengan ibu rumah tangga pada umumnya yang menyiapkan segala sesuatu di dalam rumah seperti makan dan minum

serta kebutuhan lain untuk digunakan oleh penghuni rumah.

Dari pemahan-pemahan perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu mengenai posisi dan peran mereka dalam rumah adat diatas bisa dilihat bahwa ada dua versi yaitu yang pertama perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu paham mengenai posisi mereka dalam rumah adat dan menerima secara total aturan tersebut, secara total disini yang dimaksudkan adalah penerimaan itu disadari bahwa larangan itu adalah bentuk dari menjalankan dan mempertahankan adat istiadat dan simbolisasi keuasaan perempuan melalui Uma Mawinne. Mereka menerima dan menjalani dengan senang dan rasa nyaman, walau ada larangan-larangan tersebut. Sedangkan versi yang kedua mereka memahami posisi mereka dan menjalakan aturan-auturan itu sebagai mana yang sudah seharusnya dilakukan dan memahami bahwa ada efek yang terjadi kepada mereka jika mereka melanggar. Jadi penerimaan itu bisa juga didasari bahwa ada sesuatu hal yang ditakutkan yaitu sanksi. Namun seiring berjalannya waktu dan

34

(20)

64

sudah tinggal lama dalam rumah adat membuat pemahaman yang bersi kedua tadi seakan dianggap hal yang biasa dan tidak menjadi masalah yang berarti bagi mereka yang tinggal dalam rumah adat dengan status istri dan anak mantu. Berikut pernyataan ina Nonce yang berasal dari suku anakalang dan beragama Kristen yang menikah dengan sang suami yang beragama Marapu, lalu dia memutuskan untuk masuk dalam agama sang suami yaitu Marapu, ketika masuk pertama kali dan mulai tinggal dalam rumah adat :

“Pas pertama dikasih tau larangan-larangannya dan sanksi, saya langsung hafal memang, dari situ sudah saya tau ada aturan-aturan yang harus di patuhi, dari situ tidak ada rasa kaget lagi” “Kita sudah menyatu dengan rumah adat, jadi tidak ada hal yang harus dipermasalahkan untuk tidak bebas atau tidak mempunyai tempat yang luas dalam rumah”35

Seperti pernyataan di atas yang disampaikan ina Nonce memang pada awalnya pada saat masuk, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan kebiasan yang dia lakukan dalam rumah sebelum dia menikah, pada awalnya dia merasa kaget dengan posisinya dalam rumah adat namun ketika dia diberitahu bahwa ada tempat-tempat yang tidak boleh dilewati dan disentuh jika melanggar akan terkena sanksi dia menerima perlahan-lahan untuk menjalankan laranga-larangan tersebut, setelah diberikan pemahaman kepada ina Nonce dan dia tidak pernah bertanya mengapa larangan itu bisa ada dan kenapa hanya saya (istri) yang mendapatkan larangan tersebut. Rasa takut beliau pun ada ketika dia tahu bahwa jika larangan tersebut dilanggar maka dia akan terkena sial bahkan bisa sakit dan gila, sperti ini yang diungkapkan ina Nonce “Saya tidak pernah melanggar, karena saya takut”.

Setelah tinggal lama dalam rumah adat membuat membuat ina Nonce sudah terbiasa dan sudah merasa nyaman walupun ada larangan-larangan tersebut membatasi posisinya di dalam rumah adat. Beliau merasa sudah menyatu dan nyaman dengan rumah adat karena semua perempuan di kampung tersebut yang berstatus istri juga

melakukan hal yang sama.

35

(21)

65

5.2.3. Pembagian Kerja antara Perempuan dan laki-laki Dalam Perspektif Ruang dalam Rumah Adat

Dari pemahaman-pemahaman perempuan diatas mengenai posisi dan peran

mereka dalam rumah, bisa dikatakan bahwa perempuan sudah sangat memahami mengenai posisi dan peran mereka dalam rumah adat. Maka dalam sub bagian ini ingin menjelaskan bagaimana pemahan itu dilihat pada perspekktif ruang dalam rumah adat. Dalam pembagaian ruangan bisa dilihat bahwa posisi perempuan dan

laki-laki dibedakan menjadi ruang domestik untuk laki-laki dan ruang domestik untuk perempuan. Perempuan dilarang untuk memasuki ruang domestik laki-laki. Namun sebaliknya laki-laki tidak dilarang untuk memasuki ruang domestik perempuan.

Jika dilihat dari kaca mata gender bisa dikatakan bahwa perempuan tidak mendapatkan keadilan mengenai posisi mereka dalam rumah adat, namun jika melihat lebih jauh sebenarnya pernyataan bahwa perempuan tidak mendapatkan keadilan itu sepenuhnya tidak begitu dirasakan, karena setelah dibagi ruang tersebut baik laki-laki dan perempuan sama-sama mengurus ruangnya masing-masing. Tidak bisa laki-laki dalam hal ini suami menyuruh istrinya untuk membersihkan dan membereskan ruang domestik dari laki-laki. Ini membuktikan bahwa perempuan dalam rumah adat tidak sepenuhnya dikatakan tidak mendapatkan keadilan.

(22)

66 Gambar 5.3

Konstruksi Ruang Kesetaraan

Perempuan dan Laki-laki dalam Rumah adat

Gambar diatas bisa memperjelas posisi antara istri dan suami, garis dibagian tengah itu merupakan garis pembatas antara posisi ruang domestik laki-laki dan ruang domestik perempuan yang dalam hal ini istri. Jika seorang istri tidak bisa memasuki ruang domestik sang suami maka pertemuan mereka pada ruang publik untuk mereka yaitu kamar tidur untuk suami dan istri. Ruang tidur ini bisa dikatakan sebagai ruang keadilan dimana disanalah suami dan istri bertemu.

Peran istri bisa dilihat pada area atau ruang domestiknya saja dalam rumah adat, Ia hanya bergerak pada area atau ruang tersebut sedangkan sang suami bebas untuk memasuki area atau ruang dari istri. Gambar diatas juga memperjelas bahwa laki-laki dalam hal ini sang suami memiliki kekbebasan dalam rumah adat, dia bisa masuk dalam ruang istri dan dia juga masuk pada ruang keadilan dimana disana merupakan salah satu tempat yang paling privat untuk suami dan istri dalam rumah adat.

Dalam aktifitas peran dan kerjanya istri tidak akan melakukan aktifitas-aktifitas dalam rumah adat yang dimana tempat-tempat tersebut dilarang untuk mereka. Walau sekalipun peran itu sering diberikan untuk mereka dalam hal ini seorang istri, seperti membersihkan dan membereskan rumah di area atau ruang dari sang suami, bagi mereka itu tidak boleh. Bahkan untuk halaman rumah saja mereka tidak akan membersihkan jika

(23)

67

5.3. Kondisi yang Mempengaruhi Posisi Perempuan Dalam Rumah

Adat

5.3.1. Kesadaran Perempuan

Seperti yang telah dijelaskan pada pemahaman perempuan mengenai posisi mereka dalam rumah adat. Perempuan menyadari bahwa posisi dan larangan yang tertuju untuk mereka memang merupakan hal yang berhubungan dengan adat istiadat dan kesakralan dalam rumah adat.

Perempuan menjalankan larangan tersebut dengan kesadaran penuh seperti yang diungkapakan oleh istri dari nenek Rato Yusuf lihat pada catatan kaki nomer 20. Beliau mengatakan dengan tegas bahwa mereka menjalankan larangan terkait posisi ini adalah untuk menjaga adat dan istiadat, ini membuat perempuan melakukan ini secara sadar tanpa ada desakan oleh laki-laki untuk perempuan mematuhi laranga-larangan tersebut. Selain dari kesadaran perempuan dalam menjalankan posisi tersebut, sebenarnya larangan ini berhubungan dengan sebuah keteraturan dari struktur masyarakat Sumba. Dimana Keteraturan ini bisa menjaga agar adat dan budaya masyarakat Sumba khusunya di kampung Tarung tetap terjaga walau berada ditengah arus modernisasi. Keteraturan ini bisa dikatakan sebagai kosmologi masyarakat Sumba.

5.3.2. Kuatnya Budaya Patriarki

Pada umumnya masyarakat Sumba menganut budaya patriaki. Budaya Patriarki merupakan dominasi laki-laki dalam segala hal termasuk pengambilan keputusan.

(24)

68

Pengertian ini kemudian dibakukan dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki, sistem ini seakan-akan menjadi ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Namun kebudayaan atau tradisi yang secara tidak langsung telah menciptakan ruang ketidakadilan gender. Sebagian perempuan tidak menyadari bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang kehidupan. Sistem adat dan tradisi yang dihidupi patriarki terkadang mereka larut dalam penguasaan kaum pria. Bahkan perempuan merasa cukup puas dengan keadaan, kebiasaan atau tradisi yang dihidupi.

Hal-hal yang berhubungan dengan patriarki dalam rumah adat membuat perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu merasa nyaman dan biasa saja dengan keaadan mereka ketika berada dalam rumah adat. Kekuasaan laki-laki menjadi salah satu kondisi yang mempengaruhi posisi perempuan dalam rumah adat. hal ini bisa dilihat pada tidak ada larangannya terhadap anak mantu laki-laki ketika bertamu ke rumah sang istri, mereka tidak dianggap sebagai orang luar yang sama dengan anak mantu perempuan. Anak mantu laki-laki tidak mendapatkan larangan, ia memiliki kebebasan ketika memasuki rumah adat dari sang istri dengan alasan bahwa mereka (anak mantu laki-laki) sangat dihargai, selain karena dia telah mengambil istri di rumah tersebut, dia juga telah memenuhi kewajibannya dalam membelis sang istri. Beda halnya dengan sang istri atau anak mantu perempuan, ketika ia sah dan memasuki rumah adat dengan berbagai prosesi yang telah dilewatinya, dia tetap saja mendapatkan larangan untuk tidak menempati atau melewati beberapa tempat dalam rumah ada dengan alasan bahwa tempat tersebut sakral untuk mereka dalam hal ini istri dan anak mantu, bisa dikatakan bahwa mereka belum sepenuhnya menjadi pemilik rumah atau mengikuti suku dari sang suami. Hal ini beralasan karena ketika mereka meninggal barulah mereka boleh melewati tempat-tempat yang dilarangan sepanjang mereka hidup. Berikut pernyataan dari nenek Yusuf Wadda Rato :

(25)

69

(Parii woleta) agar tidak pergi mengikuti jenasah dalam kuburan namun jiwa akan bersemayam di dalam nukku sara”36

Kebebasan ini semakin menunjukan bahwa memang dalam rumah adat laki-laki

memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Melebihi perempuan, bahkan laki-laki tidak mau disamakan peran mereka dengan perempuan karena jika perannya sama atau perempuan

boleh bebas masuk ketempat laki-laki berarti peran mereka dalam rumah adat sama dan tidak ada bedanya. Disini bisa kita lihat bahwa memang laki-laki menginginkan peran mereka dengan perempuan berbeda karena mereka yang lebih bisa menjaga rumah adat dan menjalankan ritual-ritual adat.

Bila dilihat dari pernyataan Nenek Rato Yusuf mengenai perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu yang ketika meninggal baru boleh memasuki tempat yang dilarang karena jiwanya akan di doakan lalu jiwanya naik diatas nukku sara. Dari sini bisa kita lihat bahwa perempuan dalam hal ini istri dan anak dalam rumah adat dia akan bergabung dengan para leluhur terdahulu di dalam nukku sara dalam rumah adat ketika dia sudah meninggal.

5.3.3. Kuatnya Struktur Adat

Menurut Koentjaraningrat(1987:85) nilai budaya adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam mengambil alternative, cara-cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Koentjaraningrat (2000: 180)

Pada perkembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat dimasyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan.

Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Pemahaman nilai budaya yang di uangkapkan oleh Koentjaraningrat seakan mempertegas bahwa nilai budaya yang terjadi dalam rumah adat merupakan konsepsi-konsepsi dari masyarakat Sumba khususnya yang

36

(26)

70

berada di kampung yang menanggap bahwa larangan-larangan yang dibuat berhubungan dengan sesuatu yang dianggap mulia atau sakral.

Durkheim mengatakan bahwa pembagian antara yang sakral dan yang profan ini menjadi ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan, mitos, dogma dan legenda-legenda merupakan representasi atau sistem representasi yang mengekspresikan hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan, dan kekuatan-kekuatan yang dihubungkan padanya; sejarah dan hubungan antara sesama hal-hal yang sakral sama dengan hubungannya dengan hal-hal

yang profan. Hal-hal yang sakral tidak bisa disederhanakan dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang personal yang disebut dewa-dewi atau roh-roh. Batu, pohon, mata air, batu kerikil, potongan kayu, rumah, pokoknya segala sesuatu bisa saja menjadi hal yang sakral. Sebuah ritus bisa saja memiliki kesakralan; dan memang, pada tingkat tertentu tidak ada ritus yang tidak memilikinya. Ada kata, ungkapan, mantra-mantra tertentu yang hanya bisa diucapkan oleh figur yang sakral, ada juga gestur-gestur tubuh dan gerakan-gerakan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang (Durkheim, 1992: 65-67).

Namun kelihatannya kesakralan yang dimaksud oleh Durkheim bisa saja akan menjadi luas makna dan bisa berubah dalam konteks rumah adat. Durkheim berpendapat bahwa sesuatu yang sakral itu bersifat universal dan tidak mengenal gender atau dengan kata lain bahwa sakral dalam konteks rumah adat seharusnya tidak hanya pada perempuan saja harusnya semua yang tinggal dalam rumah adat tidak boleh memasuki tempat-tempat tersebut tetapi laki-laki juga. Ini bisa menjadi bahwa sakral dalam konteks rumah adat bisa bersifat luas dan tidak statis seperti yang dingkapkan oleh Durkheim.

Menurut rato Yusuf Lele Wadda sebagai rato tertua loli, Sejarah rumah adat dan pembagian posisinya, sudah dimulai sejak nenek moyang di Tanjung Sasar, pada saat terciptanya rumah adat beserta adat istiadatnya. Dalam adat istiadat tersebut membagi tempat laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan dua kayu yang tidak diikat atau

tidak dikenakan tali, satu dibagian atas yang merupakan simbol kayu laki-laki dan satunya dibagian bawah adalah simbol kayu perempuan. Sama hal yang diungkapkan

(27)

71

termasuk aturan-aturan dalam rumah adat untuk perempuan sudah ada sejak berdirinya rumah adat, dengan tujuan membagi tempat dalam agar ada tempat untuk aktifitas sehari-hari dan tempat untuk aktifitas rohanian (spriritual), yang jika dilanggar akan mendapat kesialan atau hal-hal yang tidak di inginkan”.

Namun Dalam Posisi dan peran perempuan dalam rumah adat yang terjadi di kampung Tarung tentunya memiliki faktor yang mempengaruhi kondisi-kondisi terkait posisi dan peran perempuan dalam rumah adat. Salah satunya Adat dan istiadat yang

dipertahankan masyarakat di kampung Tarung, itu terlihat jelas dengan eksistensi rumah adat yang masih terjaga dan ritual-ritual adat yang masih terus dijalankan, itulah sebabnya kenapa kampung Tarung masih tradional, seperti yang dikatakan Rato Lado ; “Banyak Rumah adat di Sumba yang sudah mulai berganti dan mulai menghilang itu karena mereka tidak melakukan ritual, jadi hilang sudah adat istiadatnya”. Kondisi

budaya yang begitu kental dan masih terjaga sehingga mempengaruhi posisi perempuan dalam rumah adat. Menurut Rato Lado;

“Faktor ada larangan-larangan atau aturan terkait posisi dan peran perempuan dalam rumah adat itu dari leluhur-leluhur sampai kepada nenek moyong dan turun temurun sampai sekarang, dan dilakukan disetiap kabissu di Loli, ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap Marapu.37

Bentuk dari kesakralan dalam rumah adat terletak pada Marapu yang berada dalam rumah, dalam konteks rumah adat wujud Marapu biasanya dalam bentuk

benda-benda pusaka dan Nukku Sara yang merupakan tempat dari jiwa-jiwa atau roh-roh para leluhur dalam rumah adat tersebut. Inilah yang menyebabkan sehingga adanya kesakralan dalam rumah adat. Kesakralan ini juga ikut dijaga dan dihargai oleh orang-orang yang berada dikampung Tarung yang sudah memeluk agama yang diakui oleh Negara seperti yang terlihat pada table 4.2 pada halaman 25.

Ajaran marapu sebagai falsafah dasar segala urusan dalam kehidupan masyarakat Sumba khusunya di Kampung Tarung. Marapu merupakan suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi yang disebut amawolu amarawi yang secara harafiah berarti yang

37

(28)

72

membuat dan yang menciptakan, kekuatan tertinggi ini diistilahkan sebagai Ndapa Nunga Ngara, Ndapa Teki Tamo : tak disebut nama, tak ada bandingannya. Namanya tak boleh disebut karena Ia berbeda dengan manusia biasa, karena Dialah yang disebut wolu tou raibada atau mawou tou marawi bada: yang menciptakan manusia dan selain manusia.

Roh para leluhur yang telah meninggal dunia dipercaya masih tetap menentukan kehidupan masyarakat sehingga mereka memperlakukan arwah nenek moyang tersebut sebagai dewa (Marapu). Marapu biasanya disimbolkan dengan benda-benda sakral yang

telah dikuduskan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuhnya kecuali Rato yang telah ditentukan.

5.4. Refleksi Penelitian

Dalam penelitian ini, ada hal-hal yang ingin direfleksikan oleh peneliti , terkait posisi perempuan dan pemahaman perempuan tentang posisi dan peran mereka dalam rumah adat.

Mengenai posisi perempuan dalam rumah adat bisa dilihat bahwa masyarakat di kampung Tarung mempertahankan tradisi. Bagi masyarakat di kampung Tarung tradisi ini merupakan tradisi yang turun temurun dan dijalankan sejak rumah adat Sumba ini dibangun dengan mempertahankan tradisi dan menjalankan tradisi tersebut merupakan satu-satunya cara agar tetap adat dan budaya yang dalam bentuk Marapu tetap eksis ditengah derasnya arus moderniasasi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa modernisasi adalah suatu proses, dimana berlangsung transformasi disegala bidang termasuk kultural atau adat istiadat. Di mana modernisasi mengangap bahwa perlu adanya merombak dasar, susunan dan corak masyarakat lama, yang statis dan

terbelakang, yang bersifat tradisional, dan menginginkan masyarakat yang baru, yang bersifat rasional dan modern.

(29)

73

larangan-larangan dalam rumah adat tersebut. Kesan yang ditunjukan seolah-olah ada sebuah keinginan untuk “memprotes” karena merasa takut terhadap sanksi adat.

Ina Nonce yang merupakan seorang istri yang asalnya dari luar kampung Tarung, beliau berasal dari Suku Anakalang dan sebelumnya beliau sudah beragama Kristen setelah menikah beliau masuk Marapu mengikuti sang suami. Beliau mengungkapkan bahwa tradisi yang dijalankan membuat mereka menganggap bahwa hal tersebut biasa saja dan beliau juga mengatakan bahwa adanya ketakutan untuk melakukan pelanggaran terhadap adat “kita takut untuk melanggar adat karena ada sanksi yang akan diterima nantinya” Namun beliau mulai menyadari bahwa sebenarnya ini bukan hanya permasalahan posisi dan sanksi adat saja tetapi “ini adat dan istiadat yang harus dijaga”.

Kesadaran ini sama seperti yang terjadi pada perempuan yang tinggal dalam kampung Tarung pada umumnya, perempuan menyadari bahwa yang mereka jalani ini bukan hanya larangannya saja tetapi sebenarnya perempuan menjalankan larangan ini semata-mata untuk menjaga adat istiadat. Selain itu larangan ini sebenarnya merpakan sebuah keteraturan yang mengatur masyarakat Sumba agar adat dan istiadatnya tetap terjaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Dengan kata lain keteraturan ini merupakan kosmologi masyarakat Sumba.

Bila dilihat dari hasil wawancara terhadap perempuan ada dua pandangan terkait posisi perempuan dalam rumah adat, yang pertama menerima secara total karena posisi tersebut merupukan manifestasi dari adat istiadat masyarakat di kampung sehingga adat ini harus dijaga karena adat ini berkaitan dengan hubungan spriritual masyarakat disana dengan sang pencipta (Marapu). Pandangan yang kedua ada yang menerima hal tersebut juga melihat dari sisi adat dan istiadat namun menjalankannya karena atas dasar takut terhadap sanksi adat. Namun seiring berjalannya waktu pandangan tentang menerima tetapi takut pada sanksi adat pun mulai luntur karena hal tersebut berkaitan dengan adat dan esksistensi perempuan dalam mempertahankan kekuasaanya melalui simbolisasi

Uma Mawinne.

Adat dan istiadat ini masih bertahan karena semua hal yang berkaitan dengan adat

(30)

74

yang berada dikampung Tarung. Kesakralan itu tepat berada pada hal-hal yang berhungan dengan Marapu.Masyarakat disana bahwa mengangap bahwa Marapu merupakan satu satunya cara agar terjaganya keseimbangan yang mencakup tata kehidupan alam semesta (weemaringu wee malala). Keseimbangan dipercaya mendatangkan keselamatan. Keselamatan akan bermuara pada kebahagiaan. Karena itu harus senantiasa dijaga agar tidak menimbulkan goncangan yang dapat merusak tata kehidupan. Hal ini tercermin dari gelaran upacara-upacara adat yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mempertahankan hubungan yang harmonis/seimbang antara sesama manusia dan alam

semesta serta dengan dewa-dewa marapu dan roh para leluhur. Di kampung Tarung sendiri tradisi-tradisi dan upacara-upacara adat masih dilakukan, dan masih dilestarikan dari tradisi rumah adat sampai pada upacara-upacara adat salah satunya adalah Wulla Poddu.

Gambar

Gambar. 5.1
Gambar 5.2            Uma Kabubu
Gambar 5.3

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan bahwa perempuan Kei ( vat-vat kei) sebagai pihak yang sangat dihargai, dijunjung tinggi dan punya posisi yang penting dalam pandangan hukum adat

pengambilan keputusan dalam denda adat hubungan di luar nikah yang bias... Kedudukan perempuan Moa menjadi termarginalisasi

Adapun gap antara masyarakat berpendapatan tinggi dan rendah juga terdapat pada masyarakat Desa Kalimbukuni, hal ini dapat dilihat dari kegiatan pesta adat yang

Abstrak: Tujuan penelitian ini Adalah untuk mengetahui upaya-upaya masyarakat dalam mempertahankan dan Faktor-faktor penghambat dalam mengembangkan Rumah Adat Pelang

waris anak perempuan dalam budaya adat Batak Toba lebih rendah dari hak waris anak laki-laki.. dalam budaya adat

diciptakan dalam waktu yang sama dan masing-masing menurut gambar dan rupa Allah yang. menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan derajat