23
BAB IV
GAMBARAN UMUM KAMPUNG TARUNG DAN RUMAH
ADAT SUMBA
4.1. Letak dan Batas Kampung Tarung
Sumba Barat adalah sebuah kabupaten yang memiliki beragam daya tarik wisata. Salah satu daya tarik wisata dan keunikannya adalah perkampungan adat, yang dapat kita lihat dari rumah adat Sumba yang berada di Kampung Tarung, yang menjadi desa tradisional ditengah kemajuan modernisasi. Kampung Tarung terletak persis diatas sebuah bukit dengan ketinggian 20m6, membuatnya seakan eksklusif, kampung Tarung bukan hanya sekadar kampung biasa melainkan juga berfungsi sebagai institusi sosial dan
keagamaan (Marapu).
Gambar 4.1
Peta Kampung Tarung
Sumber: google maps
6
24
Kampung Tarung secara administrasi berada dibawah Kelurahan Soba Wawi, Kecamatan Loli, namun secara letak geografis Kampung Tarung berada tepat dijantung Kota Waikabubak. Kampung Tarung memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Belaciku, sebalah utara berbatasan dengan Kampung Waitabar, sebelah barat berbatasan dengan persawahan, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Prekelembung.7
4.2. Kondisi Penduduk, Mata Pencaharian, dan Tingkat pendidikan
Kampung Tarung memiliki penduduk sebanyak 209 jiwa, yang terdiri dari perempuan 105 orang dan laki-laki 104 orang. Di dalam kampung Tarung jumlah kartu keluarga (kk) sebanyak 56 kk, dalam satu sebuah rumah, biasanya didiami satu sampai tiga kepala keluarga. Dengan jumlah rumah sebanyak 38 buah, dalam 38 buah rumah yang berada di kampung Tarung, terdapat 12 rumah adat yang menyimpan benda-benda pusaka yang didalamnya memiliki fungsi adat, 12 rumah adat juga ditinggali sama seperti 26 rumah adat lainnya yang membedakan 12 rumah adat tersebut memiliki fungsi adat salah satunya menjalankan ritual adat di kampung Tarung.8
Di kampung Tarung mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Berdasarkan data kelurahan Soba Wawi sebanyak 109 orang bekerja sebagai petani dan hanya 1 orang yang bekerja sebagai PNS. Bidang pertanian merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kampung Tarung, produk yang biasanya dihasilkan adalah padi dan sayur-sayuran. Selain pekerjaan utama sebagai petani, masyarakat kampung Tarung memiliki pekerjaan sampingan yang digeluti oleh perempuan Sumba yaitu menenun kain, hasil tenun biasanya dijual tetapi tidak dipasarkan melainkan dijual di kampung sendiri lalu ditawarkan pada setiap wisatawan
yang datang di Kampung Tarung.
Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan saat ini selain untuk mendapatkan ilmu pengetahun, pendidikan merupakan sarana yang baik untuk bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang baik diera seperti sekarang ini.
7
Sumber data batas-batas wilayah didapat dengan melakukan wawancara dengan Rato Lado.
8
25
Begitu juga yang ingin ditunjukan masyarakat kampung Tarung yang mulai menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting, dengan mulai menyekolahkan anak-anak mereka. Berikut dibawah ini data anak-anak yang bersekolah :
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan yang Sedang Ditempuh
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 SD 41
2 SMP 16
3 SMA 11
Total 58
Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 2014
Secara umum masyarakat kampung Tarung menganut sebuah sistem kepercayaan yang disebut dengan Marapu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa Marapu merupakan suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi. Namum perlahan masyarakat kampung Tarung mulai memeluk agama-agama yang diakui oleh Negara. Berikut dibawah ini data jumlah pemeluk agama yang berada di kampung Tarung :
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan lainnya
No Agama Jumlah
1 Marapu 81
2 Kristen Protestan 48
3 Khatolik 81
Total 209
Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 20149
9
26
4.3. Klasifikasi Sosial dan Perkawinan Antara Kelas Sosial
Secara umum masyarakat Sumba terbagi dalam tiga kategori kelas, yaitu maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka) dan ata (budak). Pengklasifikasian semacam ini
lebih terasa di bagian Sumba sebelah timur, dan masyarakat Sumba bagian barat pengklasifikasian tidak begitu sama seperti yang terjadi pada Sumba bagian Timur yang
menggunakan sistem bangsawan dan budak, di Sumba bagian barat sistem klasifikasi sosial jaman dulu pernah menggunakan sistem yang bangsawan namum sampai saat ini yang bisa ditemui hanya sistem sosial berdasarkan kabissu (klan) saja sistem bangsawan dan budak sudah tidak ada lagi.10
Sejalan dengan konsep ole dadi atau konsep keyakinan darah daging yang hanya diturunkan dari pihak ibu, orang Sumba mewarisi kelas soial ini dari garis keturunan ibu mereka. Dengan demikian seorang lelaki dari golongan merdeka atau budak bisa meningkatkan status keturunannya dengan menikahi wanita dari kelas yang lebih tinggi. Tapi tentu saja para wanita bangsawan cenderung menikahi lelaki dari keluarga-keluarga terpandang (bangsawan) yang bisa menunjang hidup mereka dengan sepantasnya. Sementara alasan para lelaki bangsawan menghindari pernikahan dengan wanita kelas rendah sudah barang tentu karena tak ingin turunan mereka turun kelas. Di Sumba Timur yang sitem pengklasifikasiannya lebih ketat, bahkan ada label untuk anak-anak semacam ini. Menurut Kapita (1976) anak-anak seorang lelaki maramba yang kawin dengan wanita
kabihu disebut ana mandamu dan derajat mereka setara dengan derajat si ibu yaitu kabihu. Sedangkan anak-anak lelaki maramba yang kawin dengan budak disebut ana kalawihi dan derajat mereka bahkan lebih rendah dari ana mandamu.
Di Sumba Barat kelas sosial terendah tidak disebut ata tapi lebih dikenal dengan
istilah madeingu. Golongan ini merupakan budak turun temurun yang katanya berperilaku jelek (tidak taat atau suka mencuri). Lebih tinggi dari madeingu ada golongan yang di
sebut ana ata uma (anak dalam rumah) yaitu orang-orang yang secara sukarela tinggal,
10
27
bekerja dan bergantung hidup kepada kaum bangsawan11 Ana ta uma ada yang turunan budak tapi banyak juga yang berasal dari kelas kabihu, karena miskin mereka tinggal bersama para bangsawan sehingga di sebut anak dalam rumah. Lebih rendah dari ana madeingu adalah mamarung (penyihir) yaitu orang-orang yang dipercaya memiliki kekuatan sihir jahat (bla ck magic).
Berdasarkan asal usulnya para budak dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: mereka yang sudah menjadi hamba sejak kedatangan para leluhur ke Sumba, mereka yang aslinya
bukan hamba tetapi karena kalah perang lalu menjadi tawanan dan akhirnya dijual sebagai budak, serta mereka yang menjadi hamba karena perkawinan. Dalam sebuah keluarga Sumba, terutama keluarga golongan maramba, lazim terjadi ada lebih dari satu kelas sosial yang bernaung di bawahnya. Kelas budak jelas merupakan pelayan mereka, namun ada juga kelas-kelas kabihu (orang merdeka) yang turut serta. Mungkin karena tertarik pada kharisma dan kebesaran bangsawan tempatnya bergabung, tapi yang paling sering karena ketergantungan ekonomi. Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia melarang perbudakan dan sejak itu pula terminologi kelas mulai jarang diperbincangkan. (Anizah 2013;43-45)
Sistem perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Sumba Barat dapat dikategorikan sebagai perkawinan eksogami yaitu perkawinan di luar kabisu (klan), dimana lelaki anggota kabisu A menikah dengan perempuan anggota kabisu B tapi tidak boleh sebaliknya. Di Sumba Barat kasbisu penerima gadis (A) disebut doma sedangkan kabisu pemberi gadis (B) disebut loka. Loka adalah panggilan yang ditujukan kepada saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki di kabisu ibu. Karena secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari suku si ayah, maka loka juga diartikan sebagai kabisu pemberi gadis. Sementara suku si ayah yang adalah penerima gadis disebut doma. Singkatnya, dalam konteks pernikahan, Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut Webb Keane (1997) sebagai matrilateral crosscausin marriages. Konsep perkawinan semacam ini (dengan adanya
suku penerima dan pemberi gadis) mengharuskan paling sedikit keterlibatan tiga kabisu.
11
28
Misalnya kabisu A, B dan C. kabisu A sebagai pemberi gadis untuk kabisu B, Kabisu B sebagai pemberi gadis untuk kabisu C dan kabisu C sebagai pemberi gadis untuk kabisu A. Karena kabisu A adalah pemberi gadis untuk kabisu B maka kaum lelaki kabisu A tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu B, dengan kata lain tidak boleh terjadi salin bertukar peran diantara kabisu pemberi dan penerima gadis. Pernikahan dengan sesama anggota kabisu juga dilarang keras, bahkan dianggap sebagai perilaku incent yang bisa mendatangkan malapetaka, yang hanya bisa dipulihkan melalui upacara pemujaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang lain misalnya perselingkuhan atau hubungan luar nikah (dengan anggota kabisu yang masuk kategori boleh menikah) biasanya diselesaikan melalui pembayaran denda yang disebut kanyala. Karena dianggap sebagai penerus garis darah yang hanya mengalir lewat perempuan, kedudukan klan pemberi gadis (loka) selalu lebih tinggi dari pihak penerima gadis (doma). Kedudukan ini membawa banyak keuntungan antara lain bisa menentukan besarnya mas kawin (belis) yang harus dibayar pihak laki-laki. Dalam adat Sumba, belis bukan melulu urusan pihak laki-laki, karena pihak perempuan juga harus menyediakan balasannya. Belis yang diberikan pihak laki-laki sering diasosiasikan dengan benda-benda maskulin seperti kerbau dan kuda (hewan yang pemeliharaannya menjadi urusan kaum lelaki), parang dan tombak (senjata perang), serta mamoli (perhiasan yang sering dipakai sebagai anting-anting).
Sekilas mamoli tidak bersifat maskulin, tetapi perhiasan ini adalah gambaran rahim atau simbol kemampuan reproduksi kaum wanita, dan dalam perkawinan diberikan sebagai simbol pengganti wanita yang akan dibawa pergi. Sementara itu, balasan yang diberikan pihak perempuan diasosiasikan dengan benda-benda feminin seperti babi (dipelihara kaum wanita) dan kain tenun (dibuat kaum wanita). Jumlah belis tergantung kesepakatan dan status sosial seseorang, terutama pengantin wanitanya. Untuk kalangan bangsawan biasanya sekitar 30 puluhan ekor hewan, kuda,kerbau dan babi, rakyat biasa antara 5 – 15 ekor, sedangkan belis golongan budak dibayar oleh tuan mereka. Dari persepsi orang luar, pernikahan semacam ini terkesan semacam transaksi bisnis dengan
29
bagi sang suami, mereka akan mengurusi segala macam hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Karena itu niat baik seorang ayah melepas anak perempuannya harus diapresiasi keluarga laki-laki dengan memberikan sejumlah hadiah (belis). Si Ayah sendiri perlu menunjukan betapa berharga nilai anaknya dengan sejumlah hadiah balasan yang akan mengirirngi kepindahan si anak kelak. Tanpa itu anak perempuannya akan dianggap remeh oleh keluarga suaminya. Pembayaran belis pun jarang dilakukan sekaligus. Sebagian diberikan saat pindah rumah, sebagian lagi diberikan sedikit-sedikit setiap kali pihak keluarga istri mengadakan pesta dan lain sebagainya. Mengingat
mahalnya harga hewan, jarang pula ada satu keluarga yang bisa memenuhi belis berjumlah besar dengan kemampuannya sendiri. Lebih sering hewan-hewan ini diperoleh sebagai sumbangan dari keluarga-keluarga lain yang merupakan anggota kabisu keluarga bersangkutan. Tetapi tidak secara gratis, karena pihak penerima harus membayar kembali saat keluarga penyumbang membutuhkan di lain waktu. (Anizah 2013: 45-46)
4.4. Sistem kekerabatan
Tatanan masyarakat Sumba termasuk masyarakat di Kampung Tarung dibentuk dari unit-unit kecil rumah tangga yang terdiri suami, istri dan anak-anak mereka. Namun sesuai tradisi rumah tangga orang Sumba tidak pernah dihuni oleh keluarga inti semata, tetapi mencakup pula saudara-saura kandung suami yang belum menikah, janda yang tidak memiliki anak dan anak saudara mereka yang telah yatim piatu. Mereka tinggal dalam sebuah rumah dan makan dari dapur yang sama serta mengurus ekonomi secara bersama-sama.
Kelompok kekerabatan masyarakat Sumba dikenal dengan nama kabisu (klan), yaitu kelompok kekerabatan patrilineal yang didasarkan pada kesamaan asal usul nenek
moyang beserta seluruh warisannya. Pada prinsipnya warisan-warisan inilah yang mendasari identitas suatu kelompok kabisu, yaitu : rumah dan atau kampung adat, lahan
30
Sebuah rumah adat selalu memiliki nama yang biasanya didasarkan atas peran ritual yang dijalankannya. Tiap-tiap rumah adat, dengan demikian tiap-tiap kabisu, menjalankan tanggung jawab ritual yang berbeda-beda. Banyak diantaranya merupakan ritual adat besar yang membutuhkan banyak persediaan seperti makanan,persembahan dan lain sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagian terpenuhi dari hasil lahan milik kabisu yang berada dibawah penguasaan rumah adat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa siapa yang menduduki rumah adat dengan sendirinya memiliki hak untuk mengontrol lahan milik kabisu.
Rumah adat utama biasanya diwariskan kepada anak lelaki tertua. Bersama rumah adat ikut pula harta pusaka,lahan pertanian dan tentu saja tanggung jawab ritual. Karena kaitanya dengan seremoni adat, maka warisan-warisan ini (rumah adat sebagai tempat upacara,lahan pertanian sebagai penunjang kebutuhan upacara, harta pusaka sebagai obyek/asesoris pemujaan) tidak menjadi barang pribadi, yang artinya tidak boleh diperjualbelikan oleh pewaris. Hak guna jatuh pada anak lelaki tertua,tetapi hak milik tetap berada pada kabisu.
31
4.5 Tarung sebagai Kampung Adat
Ada sebuah julukan yang rasanya pantas diberikan kepada Sumba Barat yaitu The
Land A Thausand Villages atau tanah seribu kampung. Sumba Barat memang memiliki banyak kampung-kampung tradisional yang tersebar mulai dari pelosok terpencil hingga ke pusat kota salah satunya adalah kampung Tarung. Penduduk Sumba Barat umumnya
membangun perkampungan di pucak-puncak bukit, kecenderungan ini berdasarkan atas dua alasan yaitu alasan praktis dan religious. Dimasa lalu sering terjadi perang atar suku untuk memperebutkan daerah kekuasaan sehingga tempat tinggi dianggap lebih praktis untuk dijadikan benteng pertahanan. Sedangkan dari sisi religious mengacu pada konsep pra sejarah yang mengaanggap semakin tinggi tempat tinggal, semakin dekat pula penghuninya dengan arwah leluhur dan dewa-dewa.
Gambar 4.2
Gambar Kampung Tarung
Sumber foto : foto peneliti
32
“Di dalam kampung Tambera dan semua Rumah adat, harus mempunyai punya keterkaitan dengan batu kubur. Tidak bisa orang tarik batu kubur (tengi watu) jika tidak punya rumah.”12
Ada dua jenis kampung tradisional yang dikenal penduduk asli Sumba, yaitu kampung besar (wanno kalada) dan cabang dari kampung besar tersebut (wanno gollu). Kampung besar adalah kampung yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan merupakan pusat penyenggaraan berbagai ritual adat penting karena peran ritual yang disandangnya wanno kalada sering pula dirujuk dengan istilah kampung adat. Smentara
kampung cabang adalah kampung-kampung yang dibangun oleh generasi yang lebih muda. Kampung seperti ini bukan tempat kediaman marapu sehingga tidak memiliki peran ritual. Warganya selalu harus kembali ke kampung besar sewaktu hendak menggelarkan upacara-upacara penting, termasuk perkawinan dan penguburan. Demikian dengan kampung adat atau wanno kalada bisa pula dilihat sebagai sebuah indentitas kelompok. Orang-orangnya baik yang masih tinggal di sana atau pun yang tersebar diberbagai tempat lain, terikat satu sama lain oleh hak dan kewajiban yang sama atas kampung mereka dan berbagai kegiatan sosio-religius. (Anizah 2013: 57)
Gambar 4.3
View Kampung Tarung
Sumber foto : Liputan6.com
12
33
Gambar diatas merupakan gambar yang diambil oleh Liputan6.com yang menujukan betapa indahnya kampung Tarung. Posisi kampung Tarung berada diatas bukit ini membuat kampung Tarung seakan ekslusif, walaupun letak dari Kampung Tarung ditengah-tengah kota namun kampung Tarung berhasil mempertahankan keindahan dan keasrian kampungnya dari pengaruh modernisasi.
4.6. Pembagian Fungsi Adat
Dalam syair adat kampung Tarung di kenal sebagai istilah Tarungu Majaga Sodi – Wua Manyoba yang artinya tempat berjaga yang tinggi – tempat berdirinya Sodi Wua Manyoba (sejenis batu kubur tampa penutup yang terdapat di pelataran kemah suci). Penghuni pertama Kampung Tarung adalah Kabisu Anakalang yang terdiri dari Klan Sebu, Tara/TokuYangu, Koga Kadi/Wee Lowo, PulluBatana/Anawara. Saat tini Kampung Tarung dihuni oleh Koga Kadi/Wee Lowo,Pullu Batana/Anawara Wanu Kalada, Tanabi, Wee Nawi, WatakaWatu, serta Wee Bole.
Di Kampung Tarung terdapat 12 rumah adat utama dengan fungisnya masing-masing sebagai berikut: (1). Uma Rato, fungsinya sebagai Ina Ama dan sebagai penuggu kedatangan Uma Tuba, rumah adat ini melambangkan laki-laki dalam kampung Tarung, rumah adat ini juga dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (2). Uma
Mawinne, fungsinya sebagai penentu tibanya bulan suci, rumah adat ini melambangkan
perempuan dalam kampung Tarung, rumah adat ini juga dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (3). Uma Wara, fungsinya sebagai tempat tombak adat/NobuWara , rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (4).
Uma Dara, fungsinya sebagai tempat kuda adat, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh
suku Koga Kadi/Wee Lowo. (5). Roba Delo, fungsinya yaitu sebagai tempat parang adat
, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (6). Uma Marapu
Manu, berfungsi pada saat pelaksanaan upacara Poddu yang melakukan persembahan
ayam, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (7). Uma
34
Madiata, fungsinya yaitu sebagai sebagai Utta – Poppu Winno rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo . (10). Jaga Wogu/PulluBatana, fungsinya sebagai rumah induk tempat pelaksanaan dan Toko Uma Duada-Kadu, Yipa Pera, Dede
Lira-Adde Bedo pada saat Rato Rumatawara, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku PulluBatana/Anawara . (11). Ana Wara Ana Uma, fungsinya yaitu sebagai tempat parang adat rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku PulluBatana/Anawara. (12). Uma
Ana Wara Ana Uma, fungsinya sebagai KaitoUtta-Poppu Winno dan sebagai penerima
tamu pertama pembawa babi hutan (Wulli Pare), rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh
suku PulluBatana/Anawara.13
Banyak ritual adat yang masih dilaksanakan di kampung Tarung termasuk Wulla Poddu. Dalam menjalankannya ritual-ritual tersebut masing-masing rumah adat menyimpan beberapa benda pusaka yang sebagiannya ditetapkan sebagai benda cagar budaya. (1). Beddu / Ubbu adalah Tambur suci yang hanya boleh dibunyikan sepanjang penyelenggaraan Wulla Poddu. Tambur ini serupa dengan yang ada di kampung Tambera. Badannya teruat dari kayu pilihan, permukaan dari kulit kebau persembahan (dahulu dari kulit manusia). (2). Katuba adalah Tambur berukuran kecil. Bahan yang digunakan untuk membuat Katuba sama dengan Beddu. Digunakan dengan cara disampampirkan pada bahu dan dipukul dengan tangan. Dibunyikan dengan tangan. (3).
Talla adalah Gong suci yang hanya dibunyikan untuk mengiringi ritual-ritual pemujaan
sertatari-tarian yang dipentaskan selama berlangsungnya bulan suci (WullaPoddu). Jumlahnya ada 12 buah, terbuat dari pelat besi atau kuningan. Talla terdiri dari beberapa jenis, yaitu: Talla Ana Kouka: ukurannya paling kecil dan biasanya dibunyikan terlebih dahulu sebagai music pembuka; Talla Kawukek: dibunyikan setelah Talla Ana Kouka (urutankedua); Talla Gaza Deta: dibunyikan pada urutan ketiga; Talla Gaza DetaBawa: dibunyikan pada urutan keempat. (4). Kasaba adalah Alat musik serupa sambal yang dibunyikan untuk mengiringi bunyi gong dan tambur saat Wulla Poddu. (5). Teko adalah Parang Kuno yang merupakan pasangan tombak suci. Teko dikenakan dengan cara disampirkan di bahu dan hanya digunakan pada ritual-ritual tertentu selama Wulla Poddu.
(6). Nobbu adalah Tombak suci atau keramat yang digunakan sebagai pelengkap busana
13
35
para Rato saat belangsung ritual tertentu, juga sebagai media untuk berhubungan dengan roh leluhur atau untuk meramal nasib. Nobu hanya digunakan pada saat wulla Poddu, yaitu kala Rato melakukan wara atau pendarasan syair-syair suci berisi perjalanan nenek moyang serta saat melakukan ritual turun kesawah membawa persembahan kepada roh pelindung. (7). Toda adalah Tameng kuno dari kulit kerbau. Pada zaman dahulu dipakai sebagai peralatan perang dan kini digunakan sebagai kelengkapan upacara-upacara adat. (8). Pamuli, Tebelo, Maraga, Lele, Lagoro adalah Aksesoris pusaka yang digunakan para Rato saat belangsung upacara adat dan sebagai peengkap busana para penari.
Pamuli/Mamoli: perhiasan telinga berbentuk belah ketupat dengan lubang di tengahnya sebagai symbol rahim wanita. Tabelo: perhiasan kepala berbentuk tanduk kerbau yang dikenakan dengan cara disematkan di dahi. Maraga: perhiasan dada perlambang hati. Lele: gelang terbuat dari gading gajah yang selalu dikenakan berpasangan. Logoro: perhiasan/gelang kaki berupa giring-giring yang dikenakan pada betis. (9). Pega, Koba,
Gori adalah Piring (pega), Mangkuk (Koba), dancawan (Gori) kuno terbuat dari kayu dan
tempurung kelapa yang digunakan untuk menyajikan makanan persembahan. (10).
Adung adalah Tonggak kayu yang dulu nya dipakai untuk menggantung kepala musuh
dan sebagai pusat penyelenggaraan upacara perang. (11).Umma Kabubu adalah Kuil suci yang dipercayai sebagai tempat persemayaman para dewa. Umma Marapu terletak disudut Natara Poddu. Semua atap dan dindingnya tertutup jerami dan tidak memiliki pintu atau jendela. Kuil ini tidak boleh dimasukis sembarang orang atau sembarang waktu. (12). Umma dan Odi adalah Sejumlah rumah adat tradisional yang menjalankan fungsi-fungsi ritual dan tempat tersimpannya berbagai benda cagar budaya tak bergerak serta kuburan megalitik dengan berbagai bentuk dan ukuran. 14
Beberapa benda-benda pusaka diatas disimpan dalam rumah adat, ada yang digantung pada tiang-tiang yang sakral bagi perempuan da ada yang disimpan di loteng rumah. Salah satu yang digantung adalah Beddu / Ubbu yaitu Tambur suci yang hanya boleh dibunyikan sepanjang penyelenggaraan Wulla Poddu. Tambur ini tidak sembarang dipegang atau dimainkan, tambur ini digatung pada tiang yang dilarang untuk disentuh
perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu.
14
36
4.7. Makna dan Konsepi Rumah Adat
Seperti kampung adat, rumah orang Sumba terbagi dalam pengertian rumah besar (uma kalada) dan lainnya. Seperti wanno kalada, uma kalada juga merupakan rumah yang
dibangun oleh nenek moyang pertama dan dihuni turun temurun oleh generasi selanjutnya. Dalam rumah adat Sumba berdiam arwah leluhur yang telah menjadi serupa
dewa (marapu), dan di rumah ini pula tersimpan harta benda pusaka milik keluarga yang bersangkutan. Semua turunan pendiri rumah baik yang masih berdiam disitu maupun yang telah membangun hunian baru terikat dalam suatu hubungan kekerabatan yang disebut kabisu. Dalam kampung umumnya terdapat lebih dari satu kabisu, masing-masing memiliki uma kalada tersendiri yang berfungsi sebagai pusat kehidupan sosio-religius kelompok kabisu bersangkutan.
Rumah rumah tradisional yang tidak termasuk rumah adat disebut ana uma ( jika dibangun di kampung yang sama) atau uma ouma (jika dibangun di luar kampung adat). Ana uma artinya anak rumah, yaitu cabang sebuah rumah adat yang didirikan oleh nenek moyang yang lebih muda. Sedangkan uma ouma berarti rumah kebun, karena walnya memang dibangun disekitaran sawah dan ladang untuk keperluan pengawasan. Rumah rumah semacam ini tidak dianggap kediaman leluhur sehingga tidak dijadikan pusat seremonial. Seremoni-seremoni penting dalam siklus hidup penghuninya seperti perkawinan dan penguburan tetap dilaknakan di rumah adat utama, demikian pula dengan pemujaan-pemujaan tertentu.
Seperti disinggung sebelumnya, sebuah rumah adat utama selalu menjadi milik sebuah kabisu. Dan dalam sebuah kampung yang homogeny dihuni lebih dari satu kabisu, rumah adat kabisu yang satu dibedakan dengan rumah adat kabisu yang lain berdasarkan
nama yang disandangnya. Nama sebuah rumah bisa berdasarkan nama pendirinya, tapi lebih sering berdasarkan peran ritual yang dijalankannya. Sebagai contoh, di kampung
Tambera kecamatan Loli ada rumah antara Uma Kalda Wogo milik klain Wee Lowo yang bertugas sebagi penjaga mata air suci dan pemanggil hujan.
37
merupakan perlambang hubungan harmonis antara manusia dan sang pencipta. Rumah adat sumba aslinya dibangun tanpa paku, bagian-bagian ditautkan satu sama lain menggunkan pasak serta tali kayu (kalere) atau rotan (uwe). Seluruh berat rumah ditopang oleh empat tiang utama (Parii kalada) yang terbuat dari kayu kayu khusus seperti masela,kawisu,lapale atau ulu kataka, serta tiang-tiang penyangga yang lebih kecil.
Keempat tiang utama, terutama tiang pertama didekat pintu masuk, merupakan
elemen arsitektur rumah adat Sumba yang paling penting,setidaknya dari sisi religious, masing-masing tiang dilingkari cicin besar dari kayu (labe). Dari sisi religious labe berfungsi tempat meletakkan persembahan, sedangkan kegunaan praktisnya adalah sebagai gelang anti tikus agar hewan pengerat tersebut tidak bisa memanjat ke loteng tempat menyimpan hasil panen.
Gambar 4.4
Empat Tiang Utama
Sumber foto CNN
38
diutamakan karena dipercaya sebagai tempat lalu lalang marapu pendiri rumah. Melalui tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhurnya untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Tiang kanan belakang merupakan kediaman roh-roh leluhur. Roh-roh ini dipercaya selalu mengawasi pintu utama, sehingga ada pula yang menyebutkan tiang tempat mereka berdiam sebagai tiang penjaga kabisu. Tiang ketiga yang terletak disebelah kiri depan dan tiang ke empat dibelakang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan pasangan mereka disebalah kanan, tetapi ditujuhkan untuk leluhur dari pihak perempuan (loka), karena terletak dai dekat area dapur, tiang keempat kerap pula
dijuluki tiang penjaga api. Makana lain keempat tiang utama adalah manifesatasi empat arah mata angin: utara,selatan, barat, dan timur, dengan tungku api yang berada tepat di tengahnya sebagai simbol matahari.
Bagian dalam rumah, baik secara simbolis maupun fungsional, terbagi menjadi dua bagian : bagian untuk laki-laki yang lebih formal dan religious (mbalekatounga) serta bagian untuk wanita yang lebih ke urusan rumah tangga (kere pandalu). Mbalekatounga
berwujud bale-bale panjang yang terentang mulai pintu masuk laki-laki hingga keujung belakang rumah. Fungsinya beragam, sebagai pertemuan formal, tempat pemujaan serta area tidur.
Gambar 4.5
Pintu Laki-laki (Mbalekatounga) dan Pintu untuk perempuan (Kere pandalu)
39
Sementara kere pandalu, yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan dan tempat menimpan berbagai alat rumah tangga, terentang mulai dari pintu pintu masuk perempuan hingga sepertiga panjang rumah seperempat sisanya merupakan ruang tempat tidur pemilik rumah (koro ndouka). Mbalekatounga dan kere pandalu dipisahkan oleh area dapur (robu kadana) yang terletak persis ditengah rungan, diapit oleh keempat tiang utama.
Untuk mengetahui lebih jelas rumah adat Sumba secara keruangan mari kita lihat
denah gambar rumah adat dilihat secara horizontal dibawah ini :
Gambar 4.6
Denah Rumah Adat Sumba Secara Horizontal
Keterangan Gambar :
A : Perapian dengan 3 batu
B : Area laki-laki
C : Area perempuan
D : Mbale Katounga pintu untuk laki-laki
E: Kere Pandalu pintu untuk perempuan
F: Bagian depan rumah – formal.
G: Ruang tidur (suami-istri)
H : Bale-bale tempat menerima tamu
I: Bale-bale dalam rumah
J : Kendi atau gerabah tempat air bersih
K : Bagian belakang rumah – informal
L : Teras untuk kaum wanita
M : Teras untuk kaum pria – formal.
N : Bale- bale Ponnu karo tillu
O: Tempat untuk menyimpan peralatan memasak.
40
Dalam rumah adat Sumba, ada empat tiang besar yang berdiri kokoh dan menopang rumah, tiang-tiang tersebut ada yang diperuntukan untuk perempuan dan ada yang diperuntukan untuk laki-laki. Kita bisa melihat pada denah diatas empat tiang besar tersebut terletak pada nomer 1,2,3, dan 4. Dalam pembagiannya, tiang nomer 1 dan 2 berada pada area laki-laki, dan tiang nomer 3 dan 4 berada pada area perempuan. Pembagian tersebut bukan tanpa sebab, untuk pembagian tiang nomer 1 dan 2 tersebut memiliki fungsi yang berkaitan dengan spriritual sedangkan pembagian untuk tiang nomer 3 dan 4 memiliki fungsi yang berkaitan dengan aktifitas rumah tangga dan kemakmuran.
Dari kempat tiang ada dua tiang yang tidak boleh disentuh atau pegang oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu yaitu tiang nomer (1) yang letaknya di sebalah kanan bagian depan atau sering dikatakan sebagai tiang utama bernama parii utta
atau dengan nama lain tiang uratta merupakan tiang yang tidak boleh disentuh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu dengan alasan tiang tersebut merupakan tiang yang pamali atau sakral. Dan ada juga tiang nomer (2) yang letaknya di sebalah kanan bagian belakang bernama Parii woleta atau dengan nama lain Parii tutungaba balikatonga juga merupakan tiang yang tidak boleh disentuh oleh istri dan anak mantu, sama dengan tiang uratta diatas, tiang parii woleta tidak boleh dipegang karena pamali atau sakral.
Untuk dua tiang lainnya boleh dipegang atau disentuh oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu yaitu tiang nomer 3 yang terletak di sebelah kiri bagian depan yang bernama Tiang kiakamanu, tiang ini diperuntukan untuk perempuan. Dan tiang nomer (4) yang letaknya disebalah kiri bagian belakang Tiang liwura sama dengan tiang
kiakamanu yang diperuntukan untuk perempuan, tiang Tiang liwura melambangkan kemakmuran, dan tempat di gantungnya makanan ayah dan ibu jika tak berada dirumah. Tiang ini juga digunakan untuk menyimpan beras yang sudah bersih lalu di masak.
41
Gambar 4.7
Tiang Pari’i Woleta dan Ponno Karotilu
Sumber gambar : peneliti
Bukan saja tiang dalam rumah adat yang tidak boleh disentuh oleh perempuan yang dalam hal ini istri dan anak mantu, pintu utama (mbalekatounga) yang dilambangkan sebagai pintu laki-laki seperti yang tergambar pada huruf D juga tidak
boleh dilewati oleh istri dan anak mantu bahkan sampai seumur hidup ketika mereka tinggal dalam rumah adat tidak boleh melewati pintu tersebut mereka hanya melewati
pintu Kerepandalu yang berada di bagian samping rumah seperti yang tergambar pada huruf E dalam denah diatas, pintu tersebut merupakan satu-satunya pintu yang boleh dilewati istri dan anak mantu.
42
sebagai area publik dan area dalam tempat langsungnya aktivitas domestik, Pada ruang dalam dibedakan atas ruang akses untuk pria dan wanita. Ada dua pintu masuk, satu untuk laki-laki dan satunya untuk perempuan. Tanduk kerbau juga kerap digunakan sebagai hiasan dinding. Semakin banyak hiasannya berarti telah banyak pesta yang digelar si empunya rumah, dengan demikian menjadi lambing prestise. Ketiga, adalah bagian bawah rumah (Kali Kabunga) menjadi kandang ternak, seperti kambing, babi, atau bahkan kuda dan kerbau. (Anizah 2013:60-63) Untuk mengetahui tiga bagian rumah adat Sumba secara vertikal mari kita lihat gambar dibawah ini:
Gambar 4.8
Pembagian rumah Rumah adat Sumba secara vertikal
Dalam pemisahan ruang secara vertikal memperjelas hirarki dan derajat kesakralan ruang. Ruang atas di bawah atap menara merupakan bagian yang paling penting dan bermakna sakral. Rumah Sumba memiliki ruang atas yang dikhususkan untuk Marapu. Pemaknaan dalam ruang tersebut, selain sebagai penggambaran “dunia
atas” juga sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Bagian tengah rumah
menjadi “dunia tengah” atau tempat hidup manusia beraktivitas sehari-hari. Sedangkan bagian bawah melambangkan “dunia bawah” tempat untuk hewan-hewan ternak. Konsep tersebut menggambarkan dalam rumah yaitu yang terendah diletakkan di bawah, semakin ke atas semakin penting dan sakral. Di Kampung Tarung, di bagian belakang rumah
43
sebelah kanan belakang, terdapat ruang Mata Marapu atau ruang yang sakral. Jika area depan dan belakang menunjukkan pemisahan area publik dan privat, maka pemisahan area kiri dan kanan pada rumah Sumba merupakan pemisahan area berdasarkan gender. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemisahan ruang depan dan belakang pada rumah Sumba lebih kearah pemisahan area publik dan privat. Ruang depan lebih berfungsi untuk kegiatan yang bersifat publik dan dapat digunakan oleh orang lain selain pemilik rumah. Ruang belakang yang lebih privat, digunakan untuk aktivitas domestik dan ruang tidur. (Hariyanto dkk. 2012)
4.8. Rumah adat Sebagai Simbol Pembagian Fungsi Perempuan dan
Laki-Laki
Banyak orang Sumba memandang rumah adat mereka sebagai simbolisasi tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan dan anggota tubuh, serta terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Seperti yang diuangkapakan oleh Rato Lado
“Rumah adat sumba secara filosofi seperti manusia, lahir dengan lahir tidak mungkin langsung bisa jalan, begitu pula dengan rumah adat ada proses-proses panjang untuk membuat dia kokoh dan layak di katakan sebagai rumah adat. Ada juga istilah yang sama seperti manusia yaitu rumah adat juga memiliki kaki, mulut, jantung,urat, dan bambu-bambu yang menyerupai rusuk laki-laki.”15
Bagian kepala dilambangkan dengan atap atau menara (Toko uma). Dan sebagai
mana kepala yang merupakan tempat beradanya otak (pusat kehidupan atau jiwa manusia) menara rumah orang Sumba juga dianggap sebagai tempat beradanya jiwa
keluarga.Disinilah hasil ladang sebagai sumber kelangsungan hidup badanniah, disimpan, juga harta benda pusaka yang merupakan sumber kehidupan rohaniah (spiritual).
Bagian badan dilambangkan dengan bagian rumah tempat hunian (bei uma). Badan manusia memiliki organ-organ penting serta hati dan jantung, begitu juga bei uma. Hati diidentikan dengan leki atau paru-paru yang menggantung diantara tempat yang utama karena berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan masak dan makanan yang sudah matang, leki dianggap sebagai penunjang kelangsungan hidup yang penting. Sementara
15
44
jantung identik dengan robu kadana yaitu tungku api serta dapur yang terletak tepat ditengah-tengah rumah, dan dianggap sebagai pusat penggerak kehidupan. Bagian kaki dilambangkan dengan tiang-tiang penopang, terutama empat tiang utama dan enam belas tiang penyangga, serta tiang- tiang penunjang lainnya.
Dalam rumah adat Sumba ada juga konsep gender yaitu Kadu uma yang berada dipuncak menara rumah yang menjulang keatas, yang biasa dikenal sebagai tanduk rumah merupakan simbol suami dan istri yang berdiri berdampingan.
Menurut A.A. Rai Geria dan I Gusti Ayu Armini (2010) dalam (Anizah 2013 :