• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Anak Terhadap Tindak Pidana Turut Sertadengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan (Analisis Nomor 14 Pid.Sus-Anak 2015 PN-Pdg)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Anak Terhadap Tindak Pidana Turut Sertadengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan (Analisis Nomor 14 Pid.Sus-Anak 2015 PN-Pdg)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu

pengetahuann dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.

Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam

produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh

melalui satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat.1

Tindak kejahatan yang dilakukan anak dan menyebabkan anak konflik

hukum setiap tahunnya cenderung menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jika

dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari

kualitas maupun modus operandi yang dilakukan anak dirasakan telas meresahkan

semua pihak khususnya tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak

berbanding lurus dengan usia pelaku.

Dampak negatifnya

antara lain semakin meningkatnya krisis moral di masyarakat yang berpotensi

meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk.

2

Kekerasan sering terjadi terhadap anak, yang dapat merusak, berbahaya dan

menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian, tidak

saja bersifat material, tetapi juga bersifat imamterial seperti goncangan emosional

dan psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Pelaku

kekerasan terhadap anak dapat saja orang tua (ayah dan atau ibu korban), anggota

1

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), (Bandung: Refika Aditama, 2012), h. 1

2

(2)

keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat penegak hukum).

Kekerasan sering terjadi terhadap anak rawan. Disebut rawan karena kedudukan

anak yang kurang menguntungkan. 3

Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan

pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat

dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai

calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan

mental.4

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut

hokum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam. Secara internasional

definisi anak tertuang dalam konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

mengenai Hak Anak (United Nation Conversation on the Right Chlid), 1989.

Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya

menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun (belum

menikah). Pasal 292, 294, 295 dan Pasal 297 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak. Ada yang mengatakan anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 tahun Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuat melakukan

tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar

hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan kedalam

penjara.

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h 1-2

4

(3)

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih dalam kandungan

Pasal 1 angka (1), sedangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak

yang telah berumur 12 (dua belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap

perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B (2) dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia Pasal 33 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk

bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam yang tidak manusiawi”

, sedangkan Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”

Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat dalam

kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dapat

dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik,

verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksual juga sudah menimpa

anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah

dikenal anak, seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, guru

maupun teman sepermainannya sendiri.5

La Ode

(4)

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu,

anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus, dan harapan

keluarga.6

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pelecehan dan

kekerasan seksual terhadap

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan mata rantai awal

yang penting dan menentukan dalam upaya menyiapkan dan mewujudkan masa

depan bangsa dan negara. Namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari

lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang

menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat.

tahun sebelumnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan,

angka korban

2013 ke 2014 itu naiknya 100 persen, baik itu mereka yang jadi korban atau pun

pelaku. Modus pelecehan seksual semakin beragam dan aneh. Hal-hal yang tak

terduga dapat terjadi. Selain kemajuan teknologi dan kurangnya pengetahuan

orangtua dalam mengasuh dan mendidik anaknya, lingkungan pergaulan juga

menjadi penyebabnya. “Semakin hari, semakin aneh-aneh yang akan kita dengar, di

luar dugaan dan nalar. Sebab modus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak

terjadi karena cara asuh yang salah, sehingga peluang pelaku kejahatan semakin

lebar.7

6

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h 103.

(5)

Sedangkan menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)

menyebut pengaduan pelanggaran

dihimpun Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak, dalam kurun waktu

2010-2015.Jumlah aduan pada 2010 sebanyak 2.046, di mana 42 persen di

antaranya merupakan kejahatan seksual. Pada 2011 menjadi 2.467 kasus, yang 52

persennya

persennya kekerasan seksual. "Meningkat lagi di 2013 menjadi 2.676 kasus, di

mana 54 persen didominasi kejahatan seksual. Kemudian pada 2014 sebanyak

2.737 kasus dengan 52 persen kekerasan seksual. Melihat 2015, terjadi peningkatan

pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30 persen kekerasan seksual

dan sisanya kekerasan lainnya. 62 persen kekerasan terhadap anak terjadi di

lingkungan terdekat keluarga dan lingkungan sekolah, selebihnya 38 persen di

ruang publik. Bukan hanya itu, predator atau pelaku kejahatan terhadap anak juga

dilakukan orang terdekat seperti anak, guru, ayah tiri, abang, keluarga terdekat,

tetangga, bahkan penjaga sekolah.8

Kasus yang menarik untuk dikaji berdasarkan uraian di atas yaitu kasus

dalam Putusan Pengadilan Negeri Padang Bahwa ia Anak (Terdakwa)

bersama-sama dengan saksi IV dan saksi V (dilakukan penuntutan terpisah) pada hari Jum’at

tanggal 21 November 2014 sekira pukul 19,00 Wib, pada hari Sabtu tanggal 22

November 2014 sekira pukul 16.00 Wib dan pada hari Minggu tanggal 7

Desember 2014 sekira pukul 22.00 Wib atau setidak-tidaknya selama kurun

waktu dalam tahun 2014, bertempat 2 (dua) kali pertama di dalam rumah Anak

(6)

yaitu di Kota Padang dan 1 (satu) kali terakhir di sebuah kedai dalam Komplek

suatu Institut di Kecamatan Nanggalo Kota Padang, atau setidak tidaknya pada

suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Padang yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, yang melakukan,

yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu, melakukan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain yaitu terhadap saksi korban yang berumur + 17

(tujuh belas) tahun.

Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut akibat perbuatan Anak (Terdakwa),

masa depan saksi korban menjadi hancur karena saksi korban hamil sesuai dengan

Visum et Repertum dari Rumah Sakit Bhayangkara Padang Nomor : VER/47/

I/2015/RUMKIT Tanggal 19 Januari 2015 yang ditanda tangani oleh dr. Hariadi,

Sp.OG dengan hasil pemeriksaan Korban datang dalam keadaan sadar dengan

keadaan umum baik. Kepala tidak ada tanda-tanda kekerasan. Leher tidak ada

tanda-tanda kekerasan. Perut tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kemaluan selaput

dara robek pada jam satu, enam, sembilan sampai ke dasar liang vagina, dapat

dilewati dua jari. Pada pemeriksaan tubuh korban : selaput dara robek pada jam

satu, enam, dan sembilan sampai ke dasar. USG sesuai kehamilan dua belas

minggu. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai penerus

bangsa, maka anak dapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial maka perlu

(7)

diskriminasi (Undang-undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

bagian menimbang pada huruf d).

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas penulis memilih judul

Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Turut Serta Terhadap Tindak Pidana

Turut Serta Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan

Persetubuhan(Analisis putusan Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg).

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

untuk memudahkan menyusun skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan,

yaitu:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana anak turut serta dengan sengaja

membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan oleh anak?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana

kekerasan seksual?

3. Bagaimana penerapan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana turut serta

dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan? (Analisis

Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg)?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini

adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana anak turut serta dengan sengaja

(8)

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak

pidana kekerasan seksual.

3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana turut

serta dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan? (Analisis

Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg)?

Adapun manfaat penulisan skripsi, yaitu:

1. Secara teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang

ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum pidana

berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap

tindak pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak melakukan

persetubuhan.

2. Secara praktis

Diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi yang tepat

kepada masyarakat mengenai pertanggungjawaban pidana anak dalam turut

serta terhadap tindak pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak

melakukan persetubuhan.

K. Keaslian Penulisan

Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi

dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Turut Serta Terhadap

Tindak Pidana Turut Serta Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan

Persetubuhan(Analisis putusan Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg),

(9)

Fakultas Hukum USU, namun ada beberapa judul skripsi yang mengangkat tema

pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta melakukan tindak pidana,

dengan kajian yang berbeda, diantaranya:

Nesya Yulya (2015), dengan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Pembujukan Anak Melakukan Persetubuhan Dari

Perspektif Viktimologi (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

1518/Pid.B/2014/PN.Mdn; Putusan Pengadilan Negeri Medan

No.1840/Pid.B/2014/PN.Mdn, dan Putusan Pengadilan Negeri Medan

No.1969/Pid.B/2014/PN.Mdn). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

Pengaturan yang mengatur tentang Tindak Pidana pembujukan anak untuk

melakukan persetubuhan. Faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana pembujukan

anak untuk melakukan persetubuhan. Pertanggungjawaban terhadap pelaku

pembujukan anak untuk melakukan persetubuhan apakah sudah memberikan

perlindungan terhadap anak.

Febrina Permatasari (2014), Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai

Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk

Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP). Adapun permasalahan dalam penelitian

ini adalah Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

Tindak Pidana Persetubuhan, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang

Melakukan Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk

Pakam NO. 117/PID.B/P.A/2013/PN.LP. Komisi PerlindunganAnakIndonesia

(KPAI) melaporkanadanyakenaikanangka kejahatan seksualyaknipada

(10)

denganbulan Septemberada 2626kasus,sekitar

237kasusnyadilakukanolehanakdibawahumur. 9 Salah satukasus

kejahatanseksualdenganpelakudankorbananakbaru sajaterjadipada

tanggal1Juli2015didekat LapanganGolf JagorawiCimpaen,Tapos,Depokdimana

anakperempuanberusia 7tahunyang

dudukdibangkukelasISekolahDasar(SD)menjadikorbanpencabulanolehtigatemanb

ermainnya yangdudukdibangkukelasIII

dankelasVSDsertaseorangtemanyangbelumsekolah.10

Penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya

yang mengangkat tentang pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta

melakukan tindak pidana,. Penulisan skripsi ini membahas tentang bentuk

perlindungan hukum bagi anak terhadap tindak kekerasan seksual

dan bentuk

L. Tinjauan Pustaka

pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap tindak

pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak melakukan

persetubuhan, sehingga dapat dapat dipertanggungjawaban secara ilmiah

maupun akademik.

1. Pengertian pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung arti bahwa setiap orang yang

melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan

9

http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/30/kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan. diakses tanggal 1 Juni 2017

(11)

sesuai dengan kesalahannya.11

Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang

terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. “Pada hakikatnya pertanggung

jawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana

untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.”

Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang

terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat di

pidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya

itu. Dengan kata lain hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang

dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.

12

Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas disebut kesalahan, mengacu

pada suatu asas pokok yang sifatnya tidak tertulis yaitu asas tiada pidana tanpa

kesalahan. Berbicara pertanggungjawaban pidana, maka dapat dilepaskan dengan

tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah

pertanggung jawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya

suatu perbuatan. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu berarti setiap orang yang

melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat

dipidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah

asas kesalahan. Hal ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya dipidana jika ia

mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.13

Menurut Roeslan Saleh dalam Marlina dipidana atau tidaknya seseorang

yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan

11

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 130 12

Chairul Huda, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 71.

13

(12)

perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan

pidana itu memang punya kesalahan, maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana,

akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi

tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.14

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme

yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.15

2. Batasan Anak

Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak,

karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan

kejahatan termasuk kategori anak atau bukan.16

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak

yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan

ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8

hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.

Mengetahui batasan umur

anak-anak, terjadi berbagai pendapat mengenai batasan usia anak yang dapat dihukum.

17

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.18

14

Marlina. Op.Cit, h. 69 15

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 68

16

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h 20

Hak dan Kewajiban Anak dalam

18

(13)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk

dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak

adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam

status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau

menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri

terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak

itu.

Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum

anak yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat

kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang

dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi

perhatian.19

a. undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pengertiananakdapatdilihatdaribeberapaperaturan perundang-undangan

sebagai berikut:

Pasal1 angka 1Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, menyatakanbahwa:Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

19

(14)

Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orang tua mengasuh dan

mendidikanak-anaknyasampaidenganmereka berusia 18 tahun. Setelah usia tersebut

diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga tidak lagi menjadi

tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan psikis seringkali masih

bergantung pada orangtuanya karena kedewasaaannya belum matang.20

b. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak menyatakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang

selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.21

c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan

definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua

PasalyangdapatdianalisisuntukmencaribatasanmengenaianakyaituPasal

6ayat(2)danPasal7ayat(1).Pasal6ayat(2)Undang-UndangNo.1Tahun

1974menyebutkan:

Untukmelangsungkanperkawinan,seorangyangbelummencapaiumur 21 (dua

puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak

pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enam belas)tahun”.

20

Perundang-undangan tentang Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014), h. 66 21

(15)

Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwasecaraumum seseorangyang belum mencapaiumurduapuluhsatu tahun

masih dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin

orangtuaketikaakanmelaksanakanperkawinan(Pasal6 ayat2).Secaralebih

khususlagiterdapatperbedaanantara batasananakantarapriadanwanita,

yaituuntukpriabatasananakadalah seseorangyangberumurkurangdari

sembilanbelastahunsedangkanuntuk.Wanitabatasananakadalahseseorang yang

belumkurang dari enambelas tahun (Pasal 7 ayat (1)).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat batasan yang

berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak” untuk pria yaitu

seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun. Sedangkan batasan

“anak” untuk wanita yaitu seseorang yang berumur kurang dari enambelas

tahun.

d. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

MenurutKUHPerdatabataskedewasaananakdiaturdalam BukuIBab

XVBagianKesatuyangterdapatdalam Pasal330yang menyatakan bahwa: Belum

dewasaadalahmerekayangbelum mencapaiumurgenapdua puluh satu tahun, dan

tidak lebih dahulu kawin.

Berdasarkan ketentuan tersebutdiatasdapatditarikpenjelasanbahwa

anakmenurutKUHPerdatayaituseseorangyangusianyabelummencapai

duapulusatutahunataubelum pernahkawinsebelum mencapaiusiadua puluh satu

(16)

telahkawinmeskipunbelum berusiaduapuluhsatutahundankemudian

perkawinannyaitububarsebelum usianyamencapaisatutahunpula, makaia tidak

dapat kembali pada satu “anak”.

e. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

BerdasarkanKUHP,batasanusiaanakadalahsebelumberumurenam belas

tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang merumuskan: Jika

seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang

dikerjakannyaketikaumurnyabelumenambelastahun,hakimboleh: memerintahkan,

supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang

tuanya,walinyaataupemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman,

atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan

tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatanitumasukbagiankejahatan

atau salah satu pelanggaran yang

diterangkandalamPasal489,490,492,496,497,503–505,514,519,

526,531,532,536,dan540danperbuatanitudilakukannyasebelum lalu dua tahun

sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan

salahsatupelanggaraniniatausesuatukejahatanataumenghukum anak yang

bersalah itu.22

1) Memerintahkansupayayangbersalahdikembalikankepadaorangtuanya, walinya Memberikanbatasanumuranakdalam Pasal45pokokisinyaadalah sebagai

berikut:

22

(17)

atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun.

2) Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah.

3) Menghukum si pelaku pidana.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang

yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia

belumberumurenambelastahun,atauseseorangdikatakanmelakukantindak

pidanaanakapabilasaatmelakukantindakpidanaiabelum berumurenam belastahun.

f. Undang-UndangNomor8Tahun1981tentangKitabUndang-Undang Hukum

AcaraPidana (KUHAP).

Undang-undang initidaksecaraekspilitmengaturtentang batasusia

pengertian anak, namundalam Pasal153 ayat(5) memberi wewenang

kepadahakimuntukmelarang anakyang belummencapai17(tujuh belas)tahun untuk

menghadiri sidang.

g. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia

Pasal1sub5dinyatakanbahwaanakadalahsetiapmanusia yang

berusia18(delapanbelas)tahundanbelummenikah,termasuk anakyang masih

dalamkandunganapabilahaltersebutdemi kepentingannya

3. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit.23

23

Adami Chazawi, (1) Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h. 67.

Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,

(18)

resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Oleh karena itu, para

ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Strafbaar Feit”

sedangkan dalam bahasa Latin dipakai istilah “Delict” atau “Delictum” dalam

Bahasa Indonesia digunakan istilah Delik. Adapun pengertian tindak pidana

menurut pakar ahli hukum pidana, meurut Moeljatno tindak pidana adalah:

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan

yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana. Asal saja dalam pidana itu

diingat bahwa larangan ditunjukkan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian

itu)”24

Herlina Manullang dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Indonesia

merumuskan bahwa tindak pidana (peristiwa pidana) adalah suatu kejadian yang

mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sehingga

siapa saja yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana

(hukuman)25

a. Perbuatan tersebutdilaran oleh undang-undang (Mencocoki rumusan delik) MenurutAmirIlyas,TindakPidanadalah setiapperbuatanyang mengandung

unsur-unsursebagai berikut:6

24

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-8, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 60.

25

(19)

b. Memiliki sifatmelawan hukum;dan

c. Tidakada alasan pembenar.26

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat

menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.27

a. Harus ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat

mewujudkan tindak pidana dengan demikian pelaku atau subjek tindak

pidana itu adalah manusia, hal ini tidak hanya terlihat dari pernyataan

“barangsiapa”

Jadi setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tindak mematuhi

perintah-perintah dan larangan-larangan dalam undang-undang pidana disebut

dengan tindak pidana. Dari batasan-batasan tentang tindak pidana itu kiranya

dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk terwujudnya suatu tindak pidana atau agar

seseorang dapat dikatan tindak pidana, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagi

berikut:

b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukisakan didalam

ketentuan undang-undang, maksudnya adalah kalau seseorang itu dituduh

atau disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu.28

26

AmirIlyas,Asas-asas HukumPidana,(Yogyakarta, Rangkeng Offset,2012), h 28 27

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), h. 22

28

(20)

4. Turut serta

Rumusan ini terlihat pada Pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi :

Pasal 55 (1) Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum: Ke-1 : mereka

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; Ke-2 :

mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan, kekuasaan atau

martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan

kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu. (2)

Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan-perbuatan

yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibat-akibatnya dapat

diperhatikan. Pasal 56 Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum :

Ke-1 : mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu dilakukan.

Ke-2 : mereka yang dengan sengaja member kesempatan, serana, atau keterangan

untuk melakukan kejahatan

Dari kedua pasal tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu

dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :

1. kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1),

yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah mereka :

a. yang melakukan perbuatan (plegen);

b. yang menyuruh melakukan perbuatan (doen pleger);

c. yang turut melakukan perbuatan (medeplegen);

d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken).

2. orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yang

(21)

a. pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan;

b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.29

Olehkarena ituberbeda perbuatanantara masing-masingpeserta yang

terlibat, sudah barang tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap atau

beberapa perbuatan oleh masing-masing orang itu juga berbeda.

M.Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya. 30 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas,

norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian

serta doktrin.31

2. Sifat penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh

gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai

pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap tindak pidana turut

serta dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan.

29

Adami Chazawi, (2) Pelajaran Hukum Pidana 3, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 79.

30

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), h 57.

31

(22)

Sifat penelitian ini adalah deskriptif , yaitu menggambarkan semua gejala

dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sehubungan dengan

pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap tindak pidana turut

serta dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan.32

3. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yaitu data yang diperoleh lewat penelitian kepustakaan (library research), yang

dilakukan dengan menghimpun data yang terkait meliputi:

a. Bahan hukum primer.33

b. Bahan hukum sekunder. yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer di atas berupa pendapat para ahli

hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar (koran) dan berita internet yang

memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Bahan hukum sekunder yaitu terdiri dari aturan

hukum yang terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan

khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Putusan

Pengadilan Negeri Padang Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015

32

Ibid.

33

(23)

c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa data penunjang yang dapat memberikan

penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa

kamus hukum, kamus umum dan atau ensiklopedi.

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan

perundang-undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah

artikel, putusan Pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta

tulisan-tulisan yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak dalam turut

serta terhadap tindak pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak

melakukan persetubuhan.34

5. Analisa data

Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasakan

sumber-sumber hukum dan doktrin yang ada, bukan dari segi kuantitas kesamaan data

yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan

melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan

penjelasan mengenai proses pemeriksaan saksi di pengadilan, serta pemaparan

mengenai pertimbangan hakim dalam meringankan dan memberatkan terdakwa

dalam putusannya.35

34

Ibid

35

(24)

N. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian akan disusun dalam format empat bab untuk mendapatkan

gambaran secara menyeluruh mengenai apa yang akan penulis uraikan dalam

penelitian ini. Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, maka

penulis menyusun sistematika penulisan dalam lima bab. Adapun bab-bab tersebut,

(25)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA

DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Bab ini berisikan tindak pidana persetubuhan dalam KUHPidana,

Tindak Pidana Persetubuhan diluar KUHPidana.

BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU

TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL

Bab ini berisikan mengenai, pemberian sanksi pidana, konseling,

rehabilitasi dan pendampingan

BAB IV PENERAPAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK

PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK

MELAKUKAN PERSETUBUHAN (ANALISIS NOMOR

14/PID.SUS-ANAK/2015/PN PDG)

Bab ini berisikan Kasus Posisi, Dakwaan, Tuntutan Jaksa Penutut

Umum, Fakta Hukum, Putusan Pengadilan dan analisis putusan

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan

saran yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas

dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi.

Referensi

Dokumen terkait

Unit analisis adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah entitas sosial budaya ekonomi dan politik, unit analisis pendukung penelitian dalam mempelajari kasus

Dari hasil analisa simulasi pengaruh kecepatan mobile station terhadap BER, semakin besar data rate yang digunakan maka untuk mencapai BER 10 -4 dibutuhkan daya yang

Tahap pertama sebelum melakukan penilitian dilakukan observasi dan wawancara terhadap dosen, asdos dan mahasiswa yang dilakukan di FTI UKSW Salatiga.Hasil wawancara

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor

JUDUL : TARGET 50 ORANG, BRI GELAR OPERASI KATARAK GRATIS. MEDIA :

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,

[r]

Perusahaanini memiliki kapasitas untuk penutupan asuransi Property, asuransi kendaraan bermotor, asuransi pengangkutan, asuransi rangka kapal dan pesawat terbang, asuransi