• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN HUKUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS JIKA TERJADI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU

TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM

PEMIDANAAN

Sebagai konsekuensi peningkatan jumlah kendaraan dan tingginya mobilitas

masyarakat, angka kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Kecelakaan lalu lintas darat tersebut mengakibatkan korban dari kecelakaan lalu lintas

tersebut tidak sedikit, baik korban yang menderita luka ringan, luka berat sampai

mengakibatkan korban meninggal dunia serta kerugian-kerugian lain yang timbul karena

kerusakan kendaraan akibat kecelakaan lalu lintas.

Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan

terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang

ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan

bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi dapat

pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota ataupun

jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan semacam itu,

pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan

kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.73

Akibat hukum terjadinya kecelakaan lalu lintas menimbulkan adanya tuntutan

pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Pengaturan hukum

mengenai kecelakaan lalu lintas diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

baik dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan.

73

(2)

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1.Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam KUHP

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor

Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan

Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak

tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang

dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun

WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda,

namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian)

bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan

disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.

Jika diruntut lebih jauh, sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569

pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:

a.Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103).

b.Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488).

c.Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489- 569).

Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku

bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di

luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain (Pasal 103 KUHP).74

Tindak Pidana Kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kejahatan, yakni yang

diatur dalam Buku II KUHP Bab XXI yang mengatur mengenai tindak pidana yang

menyebabkan seseorang mati atau luka karena salahnya. Memang dalam bab tersebut,

74

(3)

secara khusus dalam pasal-pasalnya tidak secara tegas mengatur tentang tindak pidana

lalu lintas, tetapi karena pada umumnya kecelakaan lalu lintas disebabkan karena adanya

kekurang hati-hatian dari si pengemudi atau kelalaian dari pengemudi, maka untuk

menuntut pertanggungjawaban pelaku kecelakaan lalu lintas, sering menggunakan

ketentuan pasal-pasal dalam bab XXI ini.

Dalam praktek tampak, apabila seorang pengemudi kendaraan bermotor menabrak

orang yang mengakibatkan korbannya meninggal, banyak orang mengetahui kecelakaan

tersebut maka banyak orang mengeroyok sipelaku, sehingga babak belur, maka timbul

adanya beberapa “culpa delicten”, yaitu tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang

berhati-hati, tetapi dalam kenyataannya hukuman yang dijatuhkan kepada sipelaku tidak

seberat seperti hukuman terhadap “doleuze delicten’, yaitu tindak pidana yang berunsur

kesengajaan.

Pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP diatur dalam beberapa pasal

antara lain:

Pasal 359 berbunyi:

“Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.75

Adapun unsur-unsur dari Pasal 359 ini adalah:

1.Barang Siapa

Bahwa pengertian “ barangsiapa “ ialah setiap orang atau siapa saja sebagai subjek

hukum yang dari padanya dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas perbuatannya.

2.Adanya kesalahan atau kelalaian.

Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam kesengajaan dan

kealpaan.

75

(4)

Ada 2 (dua) teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak

dan teori pengetahuan atau yang membayangkan. Menurut teori kehendak, sengaja

adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

Menurut teori pengetahuan atau membayangkan, manusia tidak mungkin dapat

menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan

atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila akibat yang

ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena

itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang yang terlebih

dahulu telah dibuat.

Dalam hukum pidana, kesengajaan ada 3 bentuk yaitu;

1. sengaja sebagai maksud (opzet als oogemerk)

2. segaja sebagai kepastian (opzet bij zekerheids)

3. sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids)

Sementara kealpaan adalah bahwa si pelaku tidak bermaksud melanggar

undang-undang, akan tetapi ia tidak mengindahkan undang-undang itu. Ia alpa, lalai, teledor

dalam melakukan perbuatan tersebut. Selanjutnya dengan menutip pernyataan Van

Hammel, Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yakni tidak

mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan

penghati-hatian sebagaimana yang diharuskan oleh hukum.76

Berbuat salah karena kelalaian disebabkan karena tidak menggunakan kemampuan

yang dimilikinya ketika kemampuan itu seharusnya ia gunakan, kurang cermat berpikir,

kurang pengetahuan /bertindak kurang terarah dan tidak menduga secara nyata akibat

fatal dari tindakan yang dilakukan.

76

(5)

3.Menyebabkan matinya orang lain

Hal ini harus dipengaruhi oleh 3 syarat:

1. adanya wujud dari perbuatan.

2. adanya akibat berupa matinya orang lain

3. adanya hubungan klausula antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang

lain.

Matinya orang dalam pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan

tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang berhati-hati atau

lalainya terdakwa (culpa), misalnya seorang supir yang menjalankan kendaraannya

terlalu kencang sehingga menubruk orang sampai mati atau seseorang yang berburu

melihat sosok hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusaa terus ditembak mati,

tetapi ternyata sosok yang dikira babi tersebut adalah manausia, atau orang main-main

dengan senjata api, karena kurang hati-hati, meletus dan mengenai orang lain sehingga

mati dan sebagainya. Apabila orang yang mati tersebut dimaksud oleh terdakwa maka ia

dikenakan pasal tentang pembunuhan (pasal 338 atau 340). Jadi dalam pasal 359 ini,

pelaku tidak dikenakan pasal tentang pembunuhan (pasal 338 atau 340 KUHP). Pasal ini

menjelaskan bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian si pembuat dengan

tidak menyebutkan perbuatan sipembuat tetapi kesalahannya. Karena salahnya dalam

hal ini berarti kurang hati-hati, lalai, lupa maupun amat kurang perhatian.77

Adapun sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana dalam pasal ini

adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya

satu tahun.

Selanjutnya dalam pasal 360 KUHP , dinyatakan bahwa :

77

(6)

(1) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukum penjara selama-lamnya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamnya satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4500,-78

Isi pasal ini hampir sama dengan pasal 359, bedanya hanya bahwa akibat dari pasal

359 adalah matinya orang, sementara dalam pasal 360 adalah :79

a.Luka berat.

Dalam pasal 90 KUHP, yang dimaksud dengan luka berat adalah penyakit atau luka

yang tak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang

mendatangkan bahaya maut terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau

pekerjaan, tidak lagi memakai salah satu panca indra, kudung (romping), lumpuh,

berubah pikiran atau (akal) lebih dari 4 (empat) minggu lamanya, menggugurkan atau

membunuh anak dari kandungan ibu.

b.Luka yang menyebabkan jatuh sakit atau terhalang pekerjaan sehari-hari.

Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku yang melanggar ketentuan pasal 360

ayat (1) tersebut adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman

kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara sanksi pada pasal 360 ayat (2) adalah

pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya

enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-

Selanjutnya, pasal 361 berbunyi:

“ Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu

jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan

78

Ibid. 79

(7)

sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya dalam waktu dalam mana kejahatan itu

dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusan itu diumumkan.”

Adapun yang dikenakan pasal ini adalah dokter, bidan, ahli obat, supir, kusir,

dokar, masinis yang sebagai ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus

lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati (pasal

359) atau luka berat (pasal 360), maka akan dihukum berat.80

2.Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan

dalam KUHP

Dalam hukum pidana ada suatu upaya koreksi yang disebut dengan transaksi dan

sepot. Transaksi adalah kemungkinan untuk mencegah adanya terjadinya tuntutan pidana

oleh karena ada pelanggaran. Tersangka masih akan dibebani oleh penuntut umum

dengan beberapa syarat-syarat tertentu dan jika tersangka dapat memenuhi syarat-syarat

itu, maka gugurlah hak penuntut umum melakukan tuntutan pidana. Biasanya

syarat-syarat ini adalah pembayaran suatu jumlah uang yang tidak lebih besar daripada

maksimum denda yang diancamkan undang-undang terhadap perbuatan tersebut. Polisi

juga berwenang untuk melakukan transaksi khususnya untuk pelanggaran lalu lintas.81

Spot adalah tindakan penuntut umum yang dapat meniadakan penuntutan atas

dasar yang dipertimbangkan dari segi kepentingan umum. Sebenarnya tersangka telah

melakukan perbuatan pidana yang dapat dituntut, namun mengingat kepentingan umum,

penuntut tidak melakukan penuntutan dengan syarat. Biasanya dikaitkan dengan suatu

syarat yang dikaitkan pada tindakan tidak menuntut itu, yaitu bahwa si tersangka dalam

waktu yang ditentukan harus telah melakukan sesuatu pembayaran ganti kerugian

80

Ibid, catatan pasal 361 KUHP. 81

(8)

terhadap korbannya. Tindakan koreksi ini terdapat dalam pasal 82 KUHP mengenai

denda damai (afkop).82

Pasal 82 KUHP berbunyi:

“ Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tidak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika denda maksimum telah dibayar dengan kemauan tersendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara jika penuntutan telah dilakukan, dengan izin amtenar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.”83

Namun dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa denda damai yang dimaksud

dalam pasal 82 KUHP ini hanya terbatas kepada tindak pidana tertentu, yakni

pelanggaran. Bila ada orang yang telah berbuat pelanggaran (kejahatan tidak

termasuk),yang ancaman hukumannya berupa melulu hukuman denda saja, maka orang

itu dapat melepaskan diri dari tuntutan pidana dengan membayar denda maksimum

hukuman denda yang diancamkan (bila sudah mulai penuntutan, juga ongkos

perkaranya) itu kepada kas negara. Jika pelanggaran itu diancam pula dengan

perampasan barang yang tertentu, maka barang tersebut harus diserahkan atau harga

barang itu dibayar.hal ini harus ada izin dari pegawai yang ditunjuk oleh undang-undang.

Menurut pasal 376 jo 325, pegawai yang ditunjuk itu adalah jaksa pada pengadilan

negeri.84

Tindak pidana kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari Buku II KUHP, yaitu

kejahatan. Sehingga pembayaran denda damai (afkop) tidak akan menghapus dasar

penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP. Sering kali dalam

berkas perkara pidana tentang kecelakaan lalu lintas yang membawa korban manusia,

terdapat surat perjanjian antara si korban atau ahli warisnya dengan si terdakwa

(perjanjian perdamaian) yang pada pokoknya berisi bahwa si korban atau ahli warisnya

yang telah menerima bantuan uang (santunan) dari terdakwa menyatakan menerima

82 Ibid. 83

Ibid. 84

(9)

musibah yang menimpanya sebagai takdir dan karenanya tidak akan menuntut terdakwa,

sebaliknya terdakwa dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa tanpa paksaan

siapapun dan dengan rela hati menyerahkan santunan untuk meringankan penderitaan si

korban atau ahli warisnya.pemberian santunan tersebut oleh si terdakwa dimaksudkan

agar dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya, sedang bagi si

korban atau ahli warisnya, santunan tersebut merupakan jalan pintas untuk dapat

secepatnya memperoleh pergantian atas kerugian yang dideritanya sekalipun jumlah

yang diterimanya berdasarkan perjanjian tersebut jauh daripada memadai.85

Dalam KUHP, perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas baik berupa maaf,

pembayaran ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman dan berbagai bentuk

perdamaian lainnya yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas

kepada korban tidak dapat dijadikan sebagai alasan menggugurkan tuntutan. Proses

peradilan pidana harus tetap dijalani.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam

KUHP ini tetap wajib diproses sampai ke Pengadilan dan mendapatkan putusan Majelis

Hakim. Dengan kata lain, kesepakatan damai antara para korban dengan maupun pihak

pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidaklah serta merta dapat menghapuskan

tanggungjawab pidana dari si pelaku.

a.Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapus Tuntutan Pidana Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan

untuk menghapus penuntutan terhadap pelaku. Dalam KUHP telah diatur beberapa

alasan penghapus penuntutan, yakni:

1.Pasal 76 KUHP.

85

(10)

Pasal ini mengatur Nebis In Idem sebagai alasan penghapus penuntutan. Nebis In

Idem artinya seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang

sama.

2.Pasal 77 KUHP.

Pasal ini menyatakan bahwa hak menuntut hilang karena terdakwa meninggal dunia.

Menurut Vos, memang tepat isi pasal ini karena hukuman hanyya diberikan kepada

pelakunya, maka apabila pelakunya meninggal dunia, maka tidak ada yang menjalani

hukuman.

3.Pasal 78 KUHP.

Pasal ini mengatur tentang hak menuntut menjadi hilang karena lewat waktu

(kadaluarsa).

4.Pasal 82 KUHP.

Pasal ini mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan atau afdoening buiten

process, atau menurut Barda Nawawi Arief, sebagai Lembaga Hukum Afkoop

(penebusan) atau sering disebut sebagai schikking (perdamaian).86 Menurut Satochid

Kartanegara, pasal ini hanya berlaku untuk pelanggaran tertentu yang diancam dengan

hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan hukuman

alternatif, seperti pidana kurungan pengganti. Jadi lembaga ini tidak berlaku untuk

kategori kejahatan, hanya untuk pelanggaran. 87

Dari pasal-pasal tersebut diatas, kesepakatan damai antara korban dengan pelaku

berupa pemberian ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman maupun hal-hal

86

Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, ( Badan Penyedia Bahan Kuliah FH Undip, Semarang, 1999, halaman 63.

87

(11)

lainnya dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus

penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

b.Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapuskan Pidana.

Demikian halnya juga dengan alasan penghapus pidana. Dalam KUHP juga telah

diatur mengenai alasan-alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana terdiri atas:88

1. Alasan penghapus pidana yang berlaku umum, yaitu dasar penghapus pidana yang

dapat diberlakukan kepada semua tindak pidana.

2. Alasan penghapus pidana yang berlaku khusus, yaitu dasar penghapus pidana yang

hanya dapat diberlakukan pada subjek hukum tertentu.

Alasan penghapus pidana yang berlaku umum terdiri atas:

1.Pasal 44 KUHP ( Pelaku yang sakit/ terganggu jiwanya)

Dalam pasal 44 KUHP ini, pembentuk undang-undang membuat suatu peraturan

khusus bagi setiap pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya,

karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan

olehnya. Kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya

ada pada hakim ( kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum).

Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah

akal itu, hakim harus mendapatkan keterangan dari saksi ahli dalam bidang ilmu

kejiwaan (psikiatri). Meskipun demikian, hakim dalam memberiikan putusannya

tidakalah terikat dengan keputusan yang diberikan oleh psikiater, hakim dapat menerima

atau menolak keterangan yang diberikan oleh psikiater tersebut. Penerimaan maupun

penolakan tersebut harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan.89

2.Pasal 48 KUHP ( Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)

88

Mety Rahmawati, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan pemberat pidana dalam KUHP. Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, halaman. 21

89

(12)

Pasal 48 KUHP ini tidak merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “paksaan”

tersebut. Akan tetapi menurut Memorie van Toelichting, maka yang dimaksud dengan

paksaan itu adalah suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat

dilawan, tidak dapat ditahan. Paksaan itu dikenal dengan istilah paksaan yang absolut.

Misalnya seorang yang dipaksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak

benar, dalam keadaan tangannya yang dipegang oleh orang lain yang lebih kuat.90

3.Pasal 49 ayat (1) KUHP ( perbuatan yang dilakukan untuk membela diri).

Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:91

a) Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela tubuh/badan, kehormatan atau

harta benda diri sendiri ataupun orang lain.

b) Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada

saat itu juga. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan

yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan utnuk mempersiapkan sebelum

adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah

berakhir.

c) Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau

dalam keadaan darurat; jika tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang

merupakan suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan

hukum tersebut.

Jadi, apabila perbuatan yang dilakukan itu memenuhi ketiga syarat tersebut, maka

perbuatan orang tersebut dapat dibenarkan dan oleh karenanya sifat melawan hukum

perbuatan itu dapat dihapuskan.

4.Pasal 49 KUHP ayat (2) ( pembelaan diri yang melampaui batas)92

90

Ibid, halaman 79 91

(13)

Pasal ini masih terkait dengan pasal 49 ayat (1) diatas, yaitu mengenai pembelaan

diri. Akan tetapi pembelaan diri id sini sudah melampaui batas-batas yang wajar.

Menurut pasal 49 ayat (2) ini, apa yang dilakukan tersebut sebenarnya sudah melampaui

batas pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi akibat keadaan jiwa/ perasaan pelaku

yang sangat tergoncang, atas terjadinya serangan yang merupakan perbuatan melawan

hukum pada saat itu juga. Jadi terkait dengan ayat (1) tersebut di atas, maka pembelaan

yang dilakukan dalam hal ini, tetap terhadap perbuatan yang melawan hukum. Meskipun

pembelaan tersebut melampauia batas yang wajar, hal ini dapat dimaafkan karena

disebabkan perasaan jiwa pelaku yang bbenar-benar tergoncang, terbawa luapan emosi

karena melihat suatu peristiwa yang sedang terjadi dan hal itu merupakan/ adanya

hubungan kausal/akibat langsung yang menyebabkan adanya pelampauan batas dari

pembelaan tersebut.

5.Pasal 50 KUHP (melaksanakan peraturan perundang-undangan).93

Pasal ini menentukan pada prinsipnya oarng yang melakukan suatu perbuatan,

meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan

perintah undang-undang, maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan pernuatannya itu

memang dilakukan untuk kepentingan umum. Jadi, ada suatu kepentingan yang lebih

besar, yang harus diutamakan oleh pelaku. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih

baik ini, merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut,

meskipun perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana.

6.Pasal 51 ayat (1) KUHP ( Melakukan perintah jabatan yang sah).94

Menurut pasal ini, seseorang yang melakukan perintah jabata, untuk melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari sutu jabatan atau penguasa yang sah,

meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana, ia tidak boleh dihukum. Yang

92

Ibid, halaman 82 93

Ibid, halaman 83 94

(14)

dimaksudkan perintah di sini tidak harus dalam bentuk tertulis saja, dan yang secara

langsung dapat disampaikan kepadanya, akan tetapi dapat juga dalam bentuk instruksi

lisan dengan menggunakan saran komunikasi. Akan tetapi, yang harus diperhatikan

bahwa antara yang memerintah dengan yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan

dalam ruang lingkup kewenangan/kekuasaan menurut hukum publik (meskipun tidak

harus sebagai pegawai negeri. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini adalah

bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus diperhatikan asas

keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui batas keputusan dari

orang yang memerintah.

7.Pasal 51 ayat (2) KUHP (Melakukan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi

dilindungi)95

Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetap

merupakan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya, tidak dapat dijadikan alasan

utnuk menghapuskan pidana (tidak membebaskan pelakunya dari hukuman). Akan

tetapi, apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang yang menerima perintah

dengan itikad baik karena memandang perintah tersebut adalah perintah dari pejabat

yang berwenang dan pelaksanaan tugas tersebut masuk dalam ruang linggkup

tugas-tugasnya yang biasa ia lakuukan, maka ia tidak dapat di pidana. Dengan adanya alasan

pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahannya, kesalahannya dibebankan kepada orang

yang memberi perintah.

Adapun alasan penghapus pidana yang berlaku khusus antara lain:

1.Psal 110 ayat (4) KUHP

Ayat (4) dalam pasal ini berhubungan dengan larangan/ancaman pidana yang ada dalam

ayat (1) dan ayat (2) dari pasal 110. Ayat (1) pasal ini menyebutkan bahwa permufakatan

95

(15)

untuk melakukan perbuatan makar diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku

kejahatan tersebut. Peraturan yang terdapat dalam ayat (1) ini berlaku khusus, karena

menyimpang dari aturan umum yang ada dalam Buku I KUHP, tentang percobaan

melakukan kejahatan (makar). Jadi sebenarnya belum ada perbuatan percobaan (poging),

bahkan belum ada perbuatan perrispan (voorbereiding) yang biasanya belum merupakan

tindak pidana. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa pidana yang sama juga berlaku bagi

orang yang dengan maksud akan menyediakan atau memudahkan salah satu dari lima

macam perbuatan. Kelima macam perbuatan tersebut adalah:96

a.Perbuatan mencoba membujuk orang lain supaya ia melakukan, menyuruh melakukan atau melakukan kejahatan (makar) atau supaya ia membantu melakukan kejahatan (makar) atau supaya ia memberi kesempatan, alat-alat, atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan itu;

b.Berusaha mendapatkan untuk dia sendiri atau orang lain kesempatan, alat- alat atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan (makar) itu;

c. Menyimpan atau menyediakan barang-barang yang ia ketahui ditujukan untuk melakukan kejahatan (makar) itu, barang-baran mana menurut ayat (3) pasal ini dapat dirampas.

d. Menyiapkan atau memegang rencana-rencana untuk melakukan kejahatan (makar) itu, rencana-rencana tersebut ditujukan untuk diberitahukan kepada orang lain;

e. Berusaha menccegah, menghalangi atau menggagalkan suatu daya upaya pemerintah untuk mencegah atau menumpas pelaksanaan kehendak melakukan kejahatan (makar) itu.

Pasal 110 ini mengatur mengenai pengecualian pidana yang diatur dalam ayat (4).

Orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat

(2) ,karena didasarkan atas maksud tujuan yang baik untuk mengadakan perubahan

ketatanegaraan dapat dimaafkan dan karena itu tidak dipidana.

2.Pasal 166 KUHP

Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan 165 KUHP yang memberiiikan ancaman

pidana kepada seseorang yang meskipun sudah mengetahui akan terjadinya bebberapa

kejahatan tertentu yang sangat berat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang

berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau dicegah.

96

(16)

Sanksi pidana ini baru dapat dijatuhkan apabila dikemudian ternyata tindak pidana yang

bersangkutan benar-benar terjadi.

3. Pasal 164 KUHP

Pasal ini adalah mengenai suatu permufakatan antara beberapa orang untuk melakukan

tindak pidana dari pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 113,115,124,187, atau 187 bis KUHP

yang diketahui oleh orang tersebut. Sedangkan pasal 165 adalah mengenai niat untuk

melakukan tindak-tindak pidana tersebut, ditambah dengan beberapa tindak pidana lain

yang juga berat sifatnya seperti, seorang prajurit yang melarikan diri dalam masa perang,

penghianatan militer, pembunuhan berencana dan lain-lain. Jadi menurut pasal 166,

ancaman pidana dari kedua pasal tersebut (164 dan 165) tidak berlaku. Dengan kata lain,

pelakunya tidak dipidana. Hal ini disebabkan karena pelaku melakukan perbuatan itu

dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penuntutan pidana terhadap dirinya

sendiri, atau terhadap sanak saudaranya dalam keturunan lurus dan kesamping sampai

derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam

perkaranya ia dapat dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang

pengadilan. Dengan demikian, alasan penghapus pidana ini hanya berlaku secara khusus

kepada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pelaku tindak

pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 164 dan 165 KUHP, jadi tidak berlaku

secara umum terhadap orang lain. Oleh karena itu, alasan penghapu s pidana ini

didasarkan kepada maksud pelaku (dari dalam diri pelaku) untuk menghindarkan dirinya

maka hhal ini terkait dengan alasan pemaaf.97

4.Pasal 186 ayat (1) KUHP

Perkelahian satu lawan satu atau perang tanding ini, menurut sejarahnya bukan

merupakan tindak pidana. Hal ini merupakan suatu kehormatan pada dua orang yang

97

(17)

berteengkar dan hanya merasa puas dalam rasa kehormatannya apabila diadakan duel

atau perang tanding antara dua orang tersebut. Di Indonesia, perang tanding ini diatur

dalam Bab VI KUHP yaitu tentang “Perkelahian Satu Lawan Satu” yang terdapat dalam

pasal 182-186. Akan tetapi, saksi-saksi atau tim medis yang menghadiri atau yang

menyaksikan perang tanding ini ( misalnya dalam olah raga tinju, karaten dan lain

sebagainya), tidak boleh dihukum berdasarkan pasal 186 ayat (1) ini. Dengan adanya

pasal ini, maka secara khusus perbuatan orang-orang yang memenuhi syarat ( sebagai

saksi, tim medis) yang menghadiri perang tanding tersebut tidak dipidana, karena

perbuatannya dapat dibenarkan.98

5.Pasal 121 ayat (2) KUHP.

Pasal ini berhubungan dengan pasal 221 ayat (1) yang menentukan dua macam tindak

pidana yang bernada sama, yaitu:

a.Orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatann atau

yang dituntut karena sesuatu kejahatan, atau menolong orang untuk melarikan diri

daripada penyelidikan dan pemeriksaan atau tahana polisi dan/atau penegak hukum;

b. Orang yang membinasakan, merusak dan sebagainya benda-benda tempat melakukan

atau yang dipakai untuk melakukan kejahatan atau membinasakan, merusak dan

sebagainya bekas-bekas kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan

itu.

Kedua-duanya (perbuatan yang dilarang itu) dilakukan dengan maksud untuk

menyembunyikan kejahatan itu atau untuk menghalang-halangi atau menyulitkan

pemeriksaan atau penuntutan. Akan tetapi sifat menolong yang dilakukan oleh si pelaku

dalam kejahatn ini, menurut ayat (2) pasal ini, tidak berlaku atau tidak diancampidana

karena dengan maksud untuk melepaskan atau menghindarkan dari bahaya penuntutan

98

(18)

seorang keluarga sedarah atau semenda dalam keturunan lurus atau ke samping sampai

derajat ketiga atau suami/istri atau jandanya yang telah melakukan kegiatan itu. Dengan

kata lain, alasan penghapus pidana ini khusus berlaku bagi orang yang mempunyai

hubungan keluarga yang bermaksud untuk melindungi keluarganya tersebut. Hal inilah

yang menyebabkan kesalahannya dimaafkan.99

6.Pasal 310 ayat (3) KUHP.

Ayat (3) pasal ini terkait dengan perbuatan penghinaan atau opencemaran nama baik

seseorang, yang diancam dengan pidana berdasarkan ayat (1) (pencemaran lisan) dan

ayat (2) (pencemaran dengan tulisan) dari pasal 310. Tindak pidan ini dirumuskan

dengan kata “ sengaja” menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan

menuduh dia melakukan suatu perbuatan tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud

tuduhan itu tersiar ataupun diketahui oleh orang banyak. Dalam ayat (3) pasal ini

menyatakan bahwa ada 2 (dua) hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya

perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik ini, yang mengakibatkan si pelaku tidak

dapat dipidana. Dua hal tersebut adalah apabila dilakukan untuk kepentingan umum

dan/atau untuk membela diri. Jadi apabila perbuatan itu tidak dilakukan atas dasar kedua

hal ini, maka alasan penghapus pidana tidak berlaku. Dengan kata lain, alasan penghapus

pidana ini berlaku secara khusus atas dasar kepentingan umum dan juga untuk membela

diri, tidak berlaku utnuk hal yang lainnya.100

7.Pasal 314 ayat (1) KUHP.

Pasal ini juga masih ada hubungannya dengan tindak pidana pencemaran/nama baik.

Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya

perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan (yang dituduhkan/dihinakan)

kepada orang itu terbukti benar, sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunya i

99

Ibid, halaman 91 100

(19)

kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, orang yang dihinakan/ dicemarkan nama

baiknya itu telah dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakan/dituduhkan

kepadanya. Oleh karena itulah, sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si

penghina/pencemar nama baik tersebut dihapuskan/hilang. Dengan kata lain, sifat

melawan hukumnya hilang hanya berlaku secara khusus, yaitu dalam hal yang

dituduhkan itu terbukti melalui putusan hakim yang sah dan mempunyai kekuatan

hukum tetap.101

8.Pasal 351 ayat (5) KUHP.

Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan biasa” pasal 351, yang

pelakunya diancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat (5) ini, maka

percobaan melakukan penganiayaan tidak dapat dipidana. Jadi merupakan alasan

penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP,

yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan ini harus

dipidana, meskipun pidananya dikurangi dengan sepertiganya. Dengan demikian, pasal

351 ayat (1) ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan

melakukan penganiayaan biasa. Akan tetapi sayangnya, pembuat undang-undang tidak

merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Jika

dihubungkan dengan teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP,

seharusnya perbuatan ini sudah dapat dipidana. Akan tetapi hal ini merupakan

pengecualian, oleh karena yang dilakukan ini adalah perbuatan yang resikonya ringan. 102

9.Pasal 352 KUHP.

101

Ibid, halaman 92 102

(20)

Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan ringan”. Pasal 351 ayat (1),

yang pelakunya diancam pidana, akan tetapi, dengan adanya ayat (2) pasal ini, maka

percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat dipidana, merupakan alasan

penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu dalam pasal 53

tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga

seharusnya dapat dipidana. Dengan demikian pasal 352 ayat (2) ini khusus mengatur

tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan ringan.

Akan tetapi sayangnya sama seperti pasal 351 ayat (5) pembuat undang-undang tidak

merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.

Sama halnya dengan pasal 352 ayat (5) tersebut diatas, maka jika dihubungkan dengan

teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, seharusnya perbuatan ini

sudah dapat dipidana. Akan tetapi, hal ini merupakan pengecualian, karena risikonya

ringan. 103

Dari seluruh pengaturan alasan penghapus penuntutan dan penghapus pidana yang

diatur dalam KUHP ini, terlihat jelas bahwa perdamaian antara korban dengan pelaku

tindak pidana dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan

penghapus penuntutan dan alasan penghapus pidana. Hal ini mengandung arti bahwa

pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut tetap harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses pidana. Hal ini dilaksanakan

dalam rangkan menegakkan asas legalitas sebagaimana yang dianut dalam sistem hukum

Indonesia. Lembaga perdamaian yang memang sudah dianut dalam KUHP, dalam bentuk

pembayaran denda damai (afkop) tidak akan menghapus dasar penuntutan sebagaimana

103

(21)

yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP karena penerapan pasal 82 ini hanya berlaku

untuk kategori pelanggaran dan tidak berlaku untuk kejahatan.

B. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 1.Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung

pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan

keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka

mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Setiap kasus kecelakaan

yang terjadi di lalu lintas di jalan raya tentu akan membawa konsekuensi hukum bagi

pengemudi tersebut.

Ketentuan hukum mengenai kecelakaan lalu lintas secara umum diatur dalam Pasal

359, 360 ,361 KUHP dan secara khusus adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka apabila terjadi kecelakaan

lalu lintas, maka ketentuan hukum yang harus dikenakan adalah mengacu kepada

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini

dikarenakan pengaturan pasal 63 ayat (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“ Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, di atur pula

(22)

Penerapan pasal 63 ayat (2) KUHP ini mengamanatkan kepada penuntut umum

dalam membuat surat dakwaannya dan majelis hakim dalam mengadili agar menerapkan

ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, dan bukan ketentuan dalam KUHP. Hal ini merupakan

konsekuensi logis asas ketentuan khusus yang mengesampingkan ketentuan yang umum

(lex spesialis derogate lex generalis), dimana KUHP merupakan ketentuan yang umum,

sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan merupakan ketentuan yang lebih khusus.

Ketentuan mengenai lalu lintas semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Selain dalam undang-undang ini

diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya. Setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, maka sesuai dengan pasal 235, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan ini juga disempurnakan terminologi mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

menjadi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas

lalu lintas, angkutan jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta

pengelolaannya.104 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang

terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,

Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan,

serta pengelolaannya.105 Sementara, kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di

Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa

104

Penjelasan konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

105

(23)

Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta

benda.106 Dalam pasal 229 UU LLAJ, kecelakaan lalu lintas dibagi atas:

a.Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan

Kendaraan dan/atau barang ;

b.Kecelakaan Lalu Lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka

ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang;

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban

meninggal dunia atau luka berat .

Pengaturan mengenai kecelakaan lalu lintas dalam UU LLAJ diatur dalam pasal 310,311

dan pasal 312.

Pasal 310

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan

orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 311

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana

106

(24)

dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 312

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Kata “ setiap orang” dalam pasal-pasal tersebut berarti siapa saja yang menjadi subjek

hukum, yakni yang merupakan pembawa hak dan kewajiban. Dalam doktrin hukum

pidana, kata “ setiap orang” dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:

a.Natuure person (manusia)

b.Korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (legal

person).

Kata “ setiap orang” dalam pasal ini mengacu kepada pelaku tindak pidana kecelakaan

lalu lintas serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana baik alasan pemaaf maupun

alasan pembenar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 44 sampai dengan pasal 51

KUHP dan pelaku tersebut dipandang cakap sebagai subjek hukum.

Pelaku dalam kecelakaan lalu lintas yang dapat dipidana adalah setiap orang yang

(25)

terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. 107 Kendaraan Bermotor

adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain

Kendaraan yang berjalan di atas rel .108 Sementara, pengemudi adalah orang yang

mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.109

Dari ketentuan pasal-pasal mengenai kecelakaan lalu lintas, pengemudi yang dipidana

merupakan pengemudi yang mengemudikan kedaraan bermotor, sementara pengemudi

kendaraan tidak bermotor tidak dikenai ketentuan ini. Kendaraan tidak bermotor merupakan

kendaraan setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. 110

Unsur kelalaian dalam pasal 310 merupakan salah pembeda ketentuan dalam pasal 311.

Dalam pasal 310 mengatur menganai kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh untur

kelalaian, sementara pasal 311 mengatur mengenai kecelakaan yang disebabkan oleh

kesengajaan. Unsur kelalaian maupun kesengajaan merupakan unsur yang sangat sulit

pembuktiannya. Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kelalaian yang ada

pada dirinya saat itu harus dilihat dari factor kejadian yang sebenarnya, yakni factor apa yang

menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Demikian pula harus diukur sejauh mana

pengemudi telah benar-benar waspada dan hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya.

Dalam hal ini yang membedakan kelalaian dan kesengajaan pada pokoknya adalah bahwa

pengemudi tentu tidak akan berbuat seandainya ia mengetahui akibat yang akan timbul akibat

perbuatannya. Di sini, pengemudi tidak sadar akan risiko dari perbuatannya tersebut yang

mengakibatkan dial alai. Kesalahan berbentuk kelalaian/ kealpaan dengan kata lain

merupakan tindakan tercela dan pelaku tidak menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

107

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 108

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 109

Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

110

(26)

Oleh karena kelalaian ini merupakan unsur delik, maka harus dibuktikan. Unsur ini dapat

dibuktikan dari kronologis kejadian.

Demikian juga dengan unsur kesengajaan yang terdapat dalam pasal 311. Dalam pasal

311 terdapat unsur “sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan

yang membahayakan bagi nyawa atau barang.” Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu

lintas berupa kesengajaan yang ada pada dirinya saat kejadian kecelakaan lalu lintas tersebut

dapat dilihat dari kronologis maupun fakta-fakta di persidangan. Sementara mengenai

pengertian dari “ cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang” dalam

pasal 311 ini tidak dijelaskan dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut.

Adapun pengertian kata “ luka ringan” dalam pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (3)

mengandung arti luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan

perawatan inap di rumah sakit atau selain dari yang diklasifikasikan sebagai luka berat.111

Sementara, yang dimaksud dengan “luka berat” adalah luka yang mengakibatkan korban:112

a.jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; b.tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan;

c.kehilangan salah satu pancaindra; d.menderita cacat berat atau lumpuh;

e.terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih; f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau

g.luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari.

Mengakibatkan orang meninggal dunia pada umumnya dibuktikan dengan Visum Et

Repertum dari rumah sakit yang menerangkan penyebab dan cara kematian korban dengan

memeriksa tubuh korban, baik dengan pemeriksaan luar, maupu n pemeriksaan dalam.

Defenisi Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter

berdasarkan sumpah jabatan dokter tentang hal yang dilihat, dan ditemukan pada benda yang

diperiksa serta memberikan pendapat mengenai apa yang ditemukan tersebut. Visum Et

111 Penjelasan pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

112

(27)

Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam pasal 184

KUHAP. Selain dengan melakukan Visum Et Repertum pada korban, pembuktian mengenai

adanya korban meninggal dunia pada pasal ini juga dapat dibuktikan dengan melampirkan

surat kematian yang dikeluarkan oleh dokter maupun lurah tempat tinggal korban.113

Sementara pengaturan pasal 312 undang-undang ini berkaitan dengan kewajiban dan

tanggung jawab pengemudi sebagaimana disebutkan dalam pasal 231 ayat (1) huruf a

yang mewajibkan pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dalam kecelakaan lalu

lintas untuk menghentikan kendaraan yang dikemudikannya. Ketentuan pasal ini jika

dicermati bukanlah pasal yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas

yang mengakibatkan korban meninggal dunia ataupun korban luka sebagaimana yang

diatur dalam pasal 3100 dan 311. Akan tetapi, pasal ini dimasukkan dalam pasal yang

tergolong pada suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana tertera dalam pasal 316 ayat

(2). Pasal ini berhubungan dengan pembiaran orang yang patut ditolong. Hal ini sering

terjadi dalam tambrak lari. Dimana pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas

tidak mengnetikan kendaraannya dan meninggalkan korban yang patut ditolong.

Pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada

umunya mengatur mengenai pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Lamanya

ancaman pidana tersebut tergantung akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas

tersebut. Namun, selain ancama pidana yang terdapat dalam pasal 310, 311 dan 312 tersebut,

pelaku dapat juga diancam pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM)

maupun ganti kerugian. Hal ini diatur dalam pasal 314 yang berbunyi sebagai berikut:

“Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.”

113

(28)

Pidana tambahan ini dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara kecelakaan

lalu lintas. Pidana tambahan dalam hal ini bersifat alternative artinya kedua jenis pidana

tambahan ini tidak dapat dijatuhkan sekaligus terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu

lintas. Hanya salah satu dari kedua jenis pidana tambahan tersebut. Pidana tambahan berupa

pencabutan SIM (larangan mengemudi) bertujuan agar pelaku jera dan lebih berhati-hati di

kemudian hari apabila mengendarai kendaraan bermotor. Pidana tambahan ini juga menjadi

hukuman agar pelaku tersebut tidak dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari karena

ia berada pada kondisi yang tidak diperkenankan mengemudi hingga akhir larangan

mengemudi tersebut.

Sementara pidana tambahan berupa ganti kerugian ini diputuskan oleh hakim apabila

belum ada kesepakatan antara pelaku dengan korban mengenai jumlah nominal kerugian

yang diderita oleh pihak korban. Apabila sebelumnya telah ada kesepakatan mengenai

bersarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada pihak korban, maka hakim tidak

perlu memberikan pidana tambahan berupa ganti kerugian. Namun perlu diingat bahwa

ganti kerugian ini merupakan pidana tambahan, bukan untuk menghapuskan tuntutan

pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2.Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, disebutkan bahwa:

(29)

Sementara pasal 229 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang .”

Pasal 229 ayat (3) menyatakan bahwa :

“Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.”

Pasal 229 ayat (4) menyatakan bahwa:

“Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.”

Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa setiap terjadi perkara

kecelakaan lalu lintas diproses dengan acara peradilan pidana. Hal ini tela h diatur secara

eksplisit dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Dalam Undang-Undang ini juga, telah diatur mengenai eksistensi perdamaian

dalam kecelakaan lalu lintas. Perdamaian yang dimaksud dapat berupa pemberian maaf

dari keluarga korban kepada pelaku, pemberian baiya perawatan, biaya pemakaman

maupun ganti kerugian akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Namun

berbagia macam bentuk perdamaian ini sama sekali tidak menggugurkan tuntutan

terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini telah diatur tegas

dalam pasal 235 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

(30)

Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa perdamaian dalam bentuk pemberian

biaya perobatan dan/atau biaya pemakaman merupakan suatu hal yang menjadi

kewajiban pengemudi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Namun,

perdamaian yang terjadi tersebut bukan menjadi suatu alasan yang dapat menggugurkan

tuntutan pidana terhadap pelaku. Perkara kecelakaan lalu lintas tersebut tetap diproses

sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku walaupun telah ada kesepakatan antara

korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas untuk tidak menuntut pelaku

tersebut. Dalam hal ini dapat terlihat dengan jelas bahwa adanya perdamaian baik secara

tertulis maupun lisan tidak mempunyai kekuatan sama sekali untuk menggugurkan

tuntutan pidana. Perkara kecelakaan lalu lintas lebih cenderung kepada penjatuhan vonis

kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

Sementara dalam sistem pemidanaan, undang-undang ini tidak mengatur

mengenai eksistensi perdamaian, apakah harus dipertimbangkan atau tidak dalam

menjatuhkan pidana. Hal sangat wajar karena saat ini pengaturan mengenai pedoman

pemidanaan itu belum diatur dalam hukum positif yang berlaku. Ketiadaan pedoman

pemidanaan ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana kepada

pelaku tindak pidana. Apakah mempertimbangkan adanya perdamaian sebagai hal yang

meringankan pidana bagi terdakwa atau sama sekali tidak mempertimbangan

perdamaian, itu merupakan ranah kebebasan hakim karena tidak ada peraturan hukum

yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut.

Selanjutnya dalam undang-undang ini juga telah diatur mengenai kewajiban

mengganti kerugian bagi pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Hal ini diatur

dalam pasal 236 undang-undang ini. Dalam pasal 236 disebutkan bahwa:

(31)

(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa selain pertanggungjawaban

pidana, pelaku kecelakaan lalu lintas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang, maupun

berat juga wajib mengganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Besarnya ganti

kerugian yang wajib diberikan tersebut ditentukan oleh putusan pengadilan. Namun

dalam ayat (2) pasal tersebut mengatur adanya suatu pengecualian, yaitu terhadap

kecelakaan lalu lintas ringan, kewajiban pembayaran ganti kerugian dapat dilakukan di

luar pengadilan jika terdapat kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat. Namun

pembayaran ganti kerugian yang dimaksud dalam hal ini tidak mengakhiri penyelesaian

perkara tersebut. Setiap perkara kecelakaan lalu lintas wajib diproses secara pidana

Referensi

Dokumen terkait

Perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak tersebut adalah kecelakaan lalu lintas, belum memenuhi syarat untuk mengemudikan kendaraan bermotor serta mengakibatkan

Bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang megakibatkan

Menurut pendapat Bapak/ Ibu Hakim, apakah perlu bagi pelaku tindak pidana.. kecelakaan lalu lintas berdamai

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan

Perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak tersebut adalah kecelakaan lalu lintas, belum memenuhi syarat untuk mengemudikan kendaraan bermotor serta mengakibatkan

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana

Pasal 310 ayat (3) mengatur “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka

Unsur – unsur yang dapat diberlakukan kepada pelaku atau pengemudi kendaraan bermotor sehingga terjadi kelalaian yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan korban luka berat; Pelaku