BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kendaran sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat yang terus
mengalami peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari
berbagai macam transportasi yang ada, transportasi darat yang cukup
dominan. Hal ini ditandai dengan jumlah alat transportasi darat lebih
banyak dibanding alat transportasi yang lain, mulai dari kendaraan
bermotor roda dua sampai roda empat yang semakin canggih seiring
perkembangan teknologi. Masyarakat saat ini lebih meminati kendaraan
pribadi sebagai alat transportasi daripada transportasi umum yang dirasa
sering ugal-ugalan dan keadaan kendaraan transportasi umum yang sudah
tidak layak. Kendaraan pribadi dirasa lebih efisien, dalam mengatur
perjalanan serta bisa mengerti kondisi kendaraan yang akan digunakan.
Oleh sebab itu, jumlah kendaraan pribadi dijalan raya terus meningkat dan
menyebabkan kemacetan serta rawan kecelakaan.
Seiring terus bertambahnya jumlah kendaraan dan pengguna jalan,
serta minimnya kesadaran dan ketertiban masyarakat dalam berlalu lintas,
ditambah kondisi jalan yang berlubang dan rusak menjadi faktor terjadinya
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas terdapat bermacam-macam
jenisnya, yang biasa masyarakat sebut dengan istilah kecelakan tunggal,
kecelakaan yang terjadi secara individu tidak melibatkan pelaku dan
kecelakaan beruntun, yaitu kecelakan yang terjadi secara beruntun dan
biasanya korbanya tidak hanya satu orang. Kecelakaan tabrak lari yaitu
peristiwa tabrakan lalu lintas dan pelakunya lari meninggalkan korbanya
tanpa ada tanggung jawab dan ini merupakan suatu bentuk kesengajaan
yang dilakukan oleh pelaku tabrak lari dengan kata lain sang pelaku
sengaja untuk meninggalkan korban.
Hal tersebut menguatkan asumsi Prof. van Bemmelen yang
mengatakan bahwa kesengajaan turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat dipidana, sedang ketidaksengajaan turut melakukan suatu opzettleijk atau suatu culpoos delict itu tidak dapat dipidana1.Untuk dapat dikategorikan perbuatan pidana diperlukan dua syarat: perbuatan itu
bersifat melawan hukum dan dapat dicela2. Dengan demikian peristiwa tersebut tentunya merupakan tindakan melawan hukum mengingat sudah
terdapat undang-undang yang mengaturnya dan memenuhi kedua syarat
tersebut.
Dalam Crimineel wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
tahun 1809 dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang”3.
Kasus laka lantas di Indonesia diatur didalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
1
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap nyawa, tubuh, & kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 231.
2. D. Schaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Liberty, Yogjakarta, 1995, h. 27. 3
mengenai pengertian Kecelakaan Lalu Lintas seperti yang tercantum
dalam Pasal 1 angka (24) yang berbunyi :
“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak
diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau
tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia
dan/atau kerugian harta benda”.
Salah satu kasus kecelakaan lalu lintas dijalan raya contohnya
kasus tabrak lari yang sudah sering memakan korban. Berbicara mengenai
kasus tabrak lari sudah dijelaskan dialam Pasal 312 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)
Adapun penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas menurut Pasal 229
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 berbunyi;
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan; b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Membahas mengenai kasus kecelakaan lalu lintas sudah diatur
didalam Pasal 310 angka (1),(2),(3),(4) Undang Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan jalan yang berbunyi;
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya, mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Mengenai kasus lalu lintas tersebut, banyak terjadi peristiwa yang
tidak sengaja merugikan pihak lain sehingga terjadi perbuatan melanggar
hukum, walaupun hasrat manusia untuk teratur, pasti seseorang pernah
melanggar hukum. Mungkin hal itu dilakukan secara tidak sengaja, tetapi
ada kalanya dia melakukannya secara sengaja. Akan tetapi dapatlah
dikatakan, bahwa orang-orang yang senantiasa melanggar hukum, jauh
lebih sedikit. Lagi pula, pelanggaran hukum yang dilakukan secara sengaja
demikian ada juga yang melakukan pelanggaran berat, yang dilakukannya
secara sadar karena sebab-sebab tertentu4.
Adapun kewajiban pelaku tabrak lari yang telah diatur di dalam
Pasal 231 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang berbunyi :
1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:
a. Menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya; b. Memberikan pertolongan kepada korban;
c. Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.
Untuk mencegah kasus tabrak lari harus ditanamkan kesadaran
hukum kepada masyarakat. Karena dengan kesadaran hukum sebenarnya
diartikan, sebagai suatu penilaian terhadap hukum yang ada atau hukum
yang diharapkan. Setiap warga masyarakat sebenarnya mempunyai
kesadaran hukum, oleh karena tidak ada warga masyarakat yang tidak
ingin hidup dalam keadaan teratur, sampai seberapa jauh tingkat kesadaran
hukum yang ada pada diri warga masyarakat tersebut5. Tetapi dalam hal
berlalulintas kesadaran hukum masyarakat masih kurang mematuhi
peraturan peraturan yang sudah ditetapkan.
Kesadaran hukum masyarakat dalam berlalulintas tidak terlepas
dalam pantauan pihak kepolisian. Sepertihalnya polisi melakukan operasi
4 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, ,
Alumni, Bandung, 1981, h. 9.
5
surat kelengkapan kendaraan bermotor .Berbicara mengenai pihak
kepolisian seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang
nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 2 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Tugas dan wewenang petugas kepolisian dalam menangani kasus
kecelakaan lalu lintas sudah dijelaskan didalam Pasal 227 Undan-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan yang
berbunyi:
“Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
a. mendatangi tempat kejadian dengan segera; b. menolong korban;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara; d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas; f. mengamankan barang bukti; dan g. melakukan penyidikan perkara.”
Sehubungan dengan metode pelaksanaan tugas polisi tersebut,
maka tugas polisi dapat dilaksanakan sesudah terjadinya pelanggaaran atau
sebelum terjadi. Yang pertama dikenal sebagai tindak polisi represif dan
yang kedua tindakan polisi preventif. Tindakan polisi represif ialah
mencari keterangan, menyidik, menyelidiki dan melacak (opsporen) tindak
terjadinya hal-hal yang akan mengganggu ketertiban dan keamanan
masyarakat (umum)6.
Pengertian perlindungan yaitu upaya untukk mewujudkan fungsi
hukum guna melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan yang
dilakukan oleh sesama atau kelompok masyarakat, maupun pemegang
kekuasaan yang ditujukan kepada fisik, jiwa, kesehatan nilai-nilai, dan hak
asasinya. Sedangkan Perlindungan korban dalam konsep luas meliputi dua
hal, yaitu:
1. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan atau
yang identic dengan perlindungan hak asasi manusia atau
kepentingan hukum seseorang. Berarti perlindungan korban tidak
secara langsung.
2. Perlindungan memeperoleh jaminan atau santunan hukum atas
penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban
kejahatan, termasuk hak korban untuk memperoleh assistance dan pemenuhan hak untuk accses to justice and fair treatment. Hal ini berarti adalah perlindungan korban secara korban secara langsung.
Dengan begitu, bentuk perlindungan korban secara tidak langsung
didalam kebijakan kriminal, yaitu untuk memperoleh hak hidup,
keamanan, dan kesejahteraan.7
Menurut Arif Gosita, hak korban mencakup mendapat ganti
kerugian atau penderitaannya, mendapatkan kompensasi, mendapat
pembinaan dan rehabilitasi, mendapat hak miliknya kembali, mendapat
6 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994, h. 56. 7 C.Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Krimologi, Kencana
perlindungan, mendapat bantuan dan menjadi saksi, mempergunakan
upaya hukum.8
Tindakan polisi bukan hanya yang tersebut diatas dari sisi lain
yang masih sering dihiraukan oleh polisi yaitu juga perlu memperhatikan
perlindungan hak korban.
Hak korban diatur di dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu:
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintasdan/atau Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh
ganti rugi merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang
kesejahteraan dan jaminan social (social security).9
Pasal 235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan membahas tentang korban meninggal
dunia:
(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat
8 Rena Yulia, Viktimoligi P erlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Bandung, 2010. h. 55.
9
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Santunan kecelakaan lalu lintas bagi korban diberikan sesuai
dengan peraturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Sebagai
pelaksanaan Pasal 239 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang mengatur bahwa “Pemerintah membentuk perusahaan asuransi
Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”. PT Jasa Raharja (Persero) sebagai Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang tugas dan fungsinya ada 2 (dua) yaitu
Memberikan santunan atas kejadian kecelakaan pada korban kecelakaan
lalu lintas darat, laut, udara, dan penumpang kendaraan umum dan
menghimpun dana pajak kendaraan bermotor melalui Samsat, dana
tersebut akan digunakan untuk membayar santunan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No.36 &
37/PMK.010/2008 Tanggal 26 Februari 2008, setiap korban dari
kecelakaan di darat dan di laut berhak mendapatkan santuan sebagai
berikut :
1. Biaya pengobatan di rumah sakit maksimal Rp10 juta.
2. Biaya santunan untuk korban yang mengalami cacat tetap maksimal Rp25 juta (besaran santunan dibedakan untuk setiap anggota tubuh yang cacat).
3. Santunan untuk korban meninggal dunia di darat atau di laut senilai Rp25 juta.
Uraian tersebut sudah jelas bahwa setiap korban kecelakaan berhak
untuk menerima santunan sesuai dengan UU No.22 Tahun 2009.
Korban kecelakaan mendapatkan ganti rugi apabila pihak
kepolisian sudah membuat laporan yang ditujukan ke pihak jasa raharja.
Peristiwa kecelakaan yang terjadi di Kota Salatiga mendapatkan perhatian
dari Jasa Raharja berupa santunan sesuai Undang-Undang, jika ada
laporan dari pihak korban atau pihak yang menangani kasus kecelakaan
tersebut dalam hal ini pihak kepolisian.
Menurut keterangan Penyidik Kecelakaan Lalu Lintas Salatiga
Brippol Agnes Eko:
“bahwa dalam kasus tabrak lari sebagian besar tidak terselesaikan karena pihak penyidik sendiri mengalami kendala seperti, minimnya saksi, tidak terlacaknya nomor polisi pelaku, serta keterlambatan laporan kepada pihak polisi mengenai adanya kecelakaan yang terjadi, akibatnya pihak kepolisian sendiri tidak mempunyai cukup bukti-bukti untuk menyerahkan suatu kasus ke pengadilan. Sedangkan suatu kasus kecelakaan tabrak lari yang terselesaikan, itu terjadi karena adanya kesepakatan antara pelaku dan korban yang disebut dengan Restorative Justice. Peran pihak polisi sendiri sebagai mediator antara kedua belah pihak dan proses dalam peradilan pun dianggap selesai.”10
Berdasarkan pada uraian di atas, perlu ditumbuhkan kesadaran
hukum dari pihak kepolisian kepada masyarakat luas. Pentingnya Asas
Kesadaran hukum dimaksudkan agar setiap Warga Negara Indonesia harus
selalu sadar dan taat kepada hukum, dan mewajibkan Negara untuk
menegakkan dan menjamin kepastian hukum11.Faktor yang berpengaruh
dan sebagai pelaksana suatu peraturan adalah warga masyarakat, salah
satunya dari kesadaran warga masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan
10
Wawancara dengan Anggota Penyidik Kecelakaan Lalu Lintas Salatiga, Salatiga 21 Juni 2017.
11
perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat
dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan12.
Bukan hanya kesadaran hukum saja yang harus diperhatikan tetapi adanya
keseimbangan dengan para penegakan hukum yang tugasnya untuk
mengayomi masyarakat. Kendala ataupun gangguan yang terjadi dapat
bersumber dari berbagai pihak, bisa dari pihak masyarak, bisa dari
sistemnya dan bisa juga terjadi dari penegakan hukum. Maka dari itu harus
mewujudkan adanya keserasian yang disebut “tritunggal” yaitu
mengandung unsur nilai, kaidah dan pola perilaku. Apabila terjadi
ketidakserasian antara niali-nilai yang berpasangan, yang menjelma
didalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak
terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup13.
Dengan uraian diatas juga menguatkan asumsi bahwa hukum
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan, dan pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum14.
Mengenai perlindungan hak korban kasus kecelakaan lalu lintas
tabrak lari di Kota Salatiga, menurut Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas
IPDA Dwi Atmoko:
12 Zainuddin Ali, Metode penelitian hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 ,h. 37. 13
Soerjono Soekanto,Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarata, 2014, h. 7.
14 Sudikno Mertokusumo dan MR. A. Pitlo, Bab-bab tentang penemuan hukum, Citra Aditya
“kesulitan yang dialami pihak kepolisian untuk mewujudkan perlindungan hak korban tabrak lari yaitu tentang upaya menangani kasus tabrak lari membutuhkan waktu penyelidikan yang relative lama, ini dikarenakan kurangnya kepedulian masyarakat untuk ikut serta membantu tugas pihak kepolisian dalam kasus kecelakaan tabrak lari, yang biasanya pihak kepolisian tidak berada di tempat kejadian. Menurut beliau, masyarakat yang kebetulan berada di sekitar tempat kejadian perkara dan melihat langsung kejadian tabrak lari, biasanya sulit untuk dimintai keterangan lebih lengkap terhadap kejadian kecelakaan tersebut, sehingga pihak kepolisian sulit mengyelesaikan kasus tersebut. Kendala yang dihadapi Pihak Kepolisian, Anggota kepolisian Satlantas tidak selalu ada di setiap ruas jalan, serta masih minimnya cctv di jalan sekitar kota Salatiga juga mempersulit pihak kepolisian untuk menyelidiki pelaku tabrak lari.”15
Konsep pendekatan dalam Restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi
kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan tersebut, semua itu
dalam rangka memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara
perdamaian yang adil. Selain itu restorative justice juga menempatkan
nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak.
Korban mampu untuk mengembalikan unsur control, sementara pelaku
didorong untuk memikul tanggung jawab, dan juga membutuhkan
usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan
sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik
mereka.16
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengkaji lebih dalam
mengenai kasus Tabrak Lari yang berkaitan dengan perlindungan hak
15
Wawancara dengan Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Salatiga,Salatiga 25 April 2017.
16 Kelik Pramudya, Menuju Penyeleseian Perkara Pidana Yang Fleksibel:Keseimbangan Antara
korban, disusun dalam skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HAK
KORBAN TABRAK LARI KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS”
(STUDI KASUS Di SATLANTAS POLRES SALATIGA).
B. Rumusan Masalah:
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka
penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana peran polisi dalam mewujudkan perlindungan hak
korban tabrak lari kasus kecelakaan lalu lintas Kota Salatiga?
C. Tujuan Penelitian :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaiman peran polisi dalam
perlindungan hak korban tabrak lari kasus kecelakaan lalu lintas Kota
Salatiga. Di sini akan terlihat apakah peran polisi sudah berperan dengan
baik dan perlindungan hak korban tabrak lari sudah terealisasikan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui tentang peran polisi sesuai
Undang-Undang perlindungan hak korban tabrak lari di Satlantas
Polres Salatiga. Serta memberikan sumbangan pemikiran dan wacana
yang luas bagi para pihak, khususnya para penegak hukum dan
memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
2. Manfaat Praktis
agar peran polisi terwujud secara adil dalam kasus perlindungan hak
E. Metode Penilitian
Jenis Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis yaitu
suatu metode penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan
mengenai fakta - fakta berupa data dengan bahan hukum primer dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang terkait dan bahan hukum
sekunder.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis sosiologis. Pengertian metode yuridis normatif
menurut Ronny Hanitijo adalah metode yang menggunakan
sumber-sumber data sekunder, yaitu peraturan perundang-undangan, teori-teori
hukum dan pendapat - pendapat para sarjana, yang kemudian dianalisis
serta menarik kesimpulan dari masalah yang akan digunakan untuk
menguji dan mengkaji data sekunder tersebut.
Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi di
Kota Salatiga. Dipilihnya lokasi tersebut karena penulis penulis tertarik
untuk melakukan penelitian di lokasi tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan jangka waktu kasus yang terjadi di
tahun 2015-2017.
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Studi literatur, yaitu melakukan penelitian terhadap data
sekunder untuk mendapatkan landasan teori dan
memperoleh infomasi dalam bentuk formal dan data
b. Wawancara, yaitu proses tanya jawab secara lisan dimana
dua orang atau lebih berhadapan secara fisik antara penanya
atau interviewer dengan pemberi informasi atau responden.
Teknik ini dilakukan dengan proses interaksi dan
komunikasi secara lisan.
Dalam penelitian ini, sumber data yang dipakai penulis adalah
sebagai berikut :
a. Sumber data primer, yaitu dengan melakukan wawancara
kepada:
1. Anggota Kepolisian Satlantas Polres Salatiga
2. Korban tabrak lari
3. Pelaku tabrak lari
4. Pihak Jasa raharja
b. Sumber data sekunder berupa :
1. Bahan hukum primer
i. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan.
ii. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisisan Negara Republik
iii. Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2009
Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam
Tindakan Kepolisian
iv. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
v. Peraturan Menteri Keuangan RI No.36 &
37/PMK.010/2008 Tanggal 26 Februari
2008
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku – buku
termasuk skripsi, tesis, disertai hukum dan jurnal-
jurnal hukum yang dapat membantu memberikan
penjelasan, analisa, dan pemahaman dari bahan