• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Reksi Laut China Selatan Yang Dilakukan Oleh Republik Rakyat Tiongkok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Reksi Laut China Selatan Yang Dilakukan Oleh Republik Rakyat Tiongkok"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah suatu negara terdiri dari wilayah daratan, wilayah udara, dan juga

wilayah lautan. Setiap negara pasti memiliki wilayah daratan dan wilayah udara.

Namun tidak semua negara memiliki wilayah lautan. Wilayah lautan hanya

dimiliki oleh negara-negara yang wilayah daratannya berbatasan langsung dengan

laut1. Karena hal itulah wilayah lautan menjadi sangat penting bagi suatu negara

baik bagi negara-negara yang daratannya berbatasan langsung (negara pantai)

maupun negara yang tidak memiliki laut (negara pengguna laut).

Wilayah lautan juga menjadi sangat penting dikarenakan sebagian besar

dari bumi yang kita huni adalah wilayah lautan. Oleh karena itu wilayah lautan ini

menyimpan berbagai sumber daya yang efektif dan potensial.

Fungsi laut beraneka ragam macam, seperti sebagai sumber makanan bagi

manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana penaklukan, sebagai

tempat pertempuran, sebagai tempat rekreasi dan sebagai alat pemersatu bangsa.

Selain itu, di laut juga dapat ditemukan bahan-bahan tambang dan galian berharga

di dasar laut dan dimungkinkannya usaha-usaha mengambil kekayaan alam

tersebut, baik di airnya maupun di dasar laut dan tanah di bawahnya2. Namun Saat

sekarang ini konsep tentang laut telah mengalami perubahan dikarenakan wilayah

laut menjadi wilayah negara yang paling rawan terintervensi oleh negara-negara

lain. Sehingga laut sering diartikan sebagai suatu batas negara dengan negara lain

1

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung: Nusamedia, 2007, hlm. 103

2

(2)

dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral dan multilateral

yang berarti pula merupakan batas kekuasaan dan kedaulatan suatu negara sejuah

garis terluar batasnya3.

Penguasaan terhadap wilayah lautan telah ada sejak dahulu. Mulai sejak

zaman Romawi, dimana pada masa jayanya Imperium Roma, seluruh Lautan

Tengah (Mediteranean) berada di bawah kekuasaannya4. Kemudian setelah

runtuhnya Imperium Roma muncul negara-negara kecil di sekitar tepi Laut

Tengah, yang menuntut bagian dari laut yang berbatasan langsung dengan

pantainya.

Kemudian pada abad ke-16 dan 17 keinginan untuk menguasai lautan

merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara maritim di Eropa seperti

Spanyol, Portugis, dan Inggris5. Pada masa-masa ini juga berkembang berbagai

doktrin yang berhubungan dengan laut. Seperti doktrin laut bebas (mare liberum)

yang dikemukakan oleh Hugo Grotius, yang menentang tindakan-tindakan negara

Spanyol, Portugis, dan Inggris yang melarang negara-negara lain untuk

mengarungi lautan. Doktrin mare liberum ini menimbulkan pertentangan dari

penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan Selden yang mengemukakan doktrin

laut tertutup (mare clausum). Hal inilah yang kemudian menimbulkan apa yang

dinamakan “pertempuran buku-buku” (battle of the books)6.

Sejak berakhirnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, negara-negara di

4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 2 5

Mirza Satria Buana, Op.Cit., hlm. 59

6

(3)

kepentingan negara atas laut dapat terjaga. Dari pengalaman itulah

negara-negara sepakat untuk membentuk suatu aturan (hukum) yang kemudian dikenal

dengan sebutan hukum laut Internasional7.

Sampai sekarang ini, terhitung telah empat kali diadakan

konferensi-konferensi Internasional untuk menghimpun suatu aturan mengenai laut secara

menyeluruh. Konferensi-konferensi itu antara lain :

1. The Hague Codification Conference in 1930 (Konferensi Kodifikasi Den

Haag 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa)

2. The UN Conference on The Law of The Sea in 1958 (Konferensi PBB

tentang Hukum Laut 1958)

3. The UN Conference on The Law of The Sea in 1960 (Konferensi PBB

tentang Hukum Laut 1960)

4. The UN Conference on The Law of The Sea in 1982 (Konferensi PBB

tentang Hukum Laut 1982)

Dari ke-empat Konferensi yang telah dilaksanakan, Konferensi PBB tahun

1982 adalah Konferensi yang dapat dikatakan berhasil karena mampu

menghimpun suatu aturan hukum baru mengeni hukum laut internasional yaitu

dengan ditandatanganinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982

(United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS 1982).

Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 ini bertujuan untuk

memberikan pengaturan yang pasti di bidang kelautan agar negara-negara

khususnya negara pantai tidak semena-mena dalam penguasaan wilayah laut.

Namun dalam perkembangannya, Konvensi ini masih acap kali dilanggar dan

7

(4)

diabaikan oleh negara-negara yang wilayah laut nya berbatasan dengan wilayah

laut negara lain. Sehingga hal ini sering menyebabkan sengketa di antara

negara-negara pantai yang bertetangga tersebut. Sengketa-sengketa antar negara-negara pantai ini

sudah sekali terjadi dan tidak jarang yang menimbulkan konflik internasional.

Salah satu contohnya adalah sengketa yang terjadi di Laut China Selatan.

Laut China Selatan ialah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, mencakup

daerah dari Singapura ke Selat Taiwan sekitar 3.500.000 km². Laut China Selatan

merupakan badan laut terbesar setelah kelima samudera8.

Secara geografis Laut China Selatan terbentang dari arah barat daya ke

timur laut, batas selatan 3° Lintang Selatan antara Sumatera Selatan dan

Kalimantan (Selat Karimata) , dan batas utara-nya adalah Selat Taiwan dari ujung

utara Taiwan ke pesisir Fujian di Tiongkok daratan9. Laut China Selatan terletak

di sebelah selatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan; di sebelah Barat

Filipina; di sebelah barat Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei;

di sebelah utara Indonesia; di sebelah timur laut Semenanjung Malaya (Malaysia)

dan Singapura; dan disebelah timur Vietnam10.

Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut China Selatan

adalah (searah jarum jam dari utara) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) termasuk

(Makau dan Hongkong), Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia,

Singapura, Brunei, Indonesia dan Vietnam. Adapun sungai-sungai besar yang

8

https://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan, diakses pada tanggal 09 Oktober 2015

9

Ibid.

10

(5)

bermuara di Laut China Selatan antara lain sungai Mutiara (Guangdong), Min,

Jiulong, Red, Mekong, Rajang, Pahang, dan Pasig11.

Di Laut China Selatan terdapat lebih dari 200 pulau dan karang yang

diidentifikasi, kebanyakan darinya di daerah Kepulauan Spratly. Kepulauan

Spratly tersebar seluas 810 sampai 900 km yang meliputi beberapa 175 fitur

insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya menjadi Kepulauan Taiping (Itu

Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian 3,8 m12.

Laut China Selatan bila ditinjau dari letak geografis nya merupakan daerah

yang memiliki nilai ekonomis, politis dan strategis baik bagi negara-negara yang

berbatasan langsung dengan Laut China Selatan maupun yang tidak. Sehingga

menjadikan daerah ini mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerja sama.

Selain itu Laut China Selatan memiliki peranan yang sangat penting sebagai jalur

perdagangan dan distribusi minyak dunia. Hal inilah yang kemudian

menimbulkan banyak perdebatan dan sengketa di Laut China Selatan.

Laut China Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran penting. Jalur

pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah

satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu

lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda dan

Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati Selat Malaka dan bagian

barat daya Laut China Selatan bahkan lebih dari tiga kali yang melewati Terusan

Suez dan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama13.

Laut China Selatan, Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No. 08/II/P3DI/April /2012,

(6)

Laut China Selatan merupakan kawasan laut setengah tertutup atau

semi-enclosed sea. Laut setengah tertutup adalah suatu teluk, lembah laut (basin), atau

laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut

lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya

atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi ekslusif dua atau lebih negara

pantai14. Hal ini berarti bahwa banyak negara-negara yang berkepentingan

terhadap Laut China Selatan.

Laut China Selatan sebagai kawasan laut setengah tertutup atau

semi-enclosed sea dikelilingi oleh Tiongkok, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia,

Brunei, Filipina dan Taiwan. Karena dilingkupi atau hampir ditutup oleh daratan

berbagai negara, kewenangan atas Laut China Selatan menjadi rumit dengan

adanya kompetisi. Permasalahan utama adalah kedaulatan atas pulau-pulau kecil

di Laut China Selatan yang masih disengketakan. Negara-negara di sekitar Laut

China Selatan mengklaim kepemilikan atas berbagai pulau kecil yang ada di sana

dan sampai kini tidak berhasil mencapai kesepakatan. Selain itu, karena menurut

hukum laut internasional pulau bisa menguasai laut maka sengketa tidak berhenti

pada wilayah daratan tetapi merambah kawasan laut. Potensi sumberdaya hayati

dan non hayati di kawasan tersebut tentu saja menjadi alasan sengketa kian pelik.

Singkatnya, situasi di Laut China Selatan menjadi semakin rumit15.

Jadi dapat dikatakan bahwa situasi rumit yang terjadi di Laut China

Selatan disebabkan karena letak geografis Laut China Selatan sebagai jalur

pelayaran dan perdagangan internasional, dan juga sumber daya alam yang ada di

Laut China Selatan yang akan menguntungkan bagi negara-negara yang

14

United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982, Pasal 122

15

I Made Andi Arsana, Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China

(7)

menguasainya. Ditambah lagi dengan letak Laut China Selatan sebagai laut

setengah tertutup, sehingga banyak negara-negara yang berkepentingan.

Kondisi-kondisi yang demikianlah yang menyebabkan sering terjadinya konflik di Laut

China Selatan.

Konflik di Laut China Selatan bukanlah isu yang baru. Isu ini telah

berulang kali terjadi. Sengketa teritorial di Laut China Selatan ini diawali oleh

klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas Kepulauan Spartly dan Paracel pada

tahun 1974 dan 1992. Hal ini dipicu oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan Kepulauan Spartly, Paracels

dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut16.

Di Laut China Selatan terdapat empat kepulauan dan karang yaitu:

Paracel, Spartly, Pratas, dan Kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa

teritorial di Laut China Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan Kepulauan

Spartly dan Paracel, namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol

karena intensitas konfliknya. Sejak klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas

kepulauan di Laut China Selatan pada tahun 1974 , Republik Rakyat Tiongkok

(RRT) menganggap Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatan lautnya. Pada

tahun 1974 ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menginvasi Kepulauan

Paracel ini juga di klaim oleh Vietnam. Pada Tahun 1979, Republik Rakyat

Tiongkok (RRT) dan Vietnam. Kemudian pada tahun 1992, 1995, dan 1997,

16

Evelyn Goh, Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional

(8)

bersamaan dengan Filipina, Vietnam mengganggap Kepulauan Spartly dan

Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya17.

Selain beberapa konflik di atas, ada juga konflik lain yang terjadi di Laut

China Selatan, seperti: Konflik Tiongkok dengan Vietnam pada tahun 1988,

dimana kedua angkatan laut bentrok di Johnson Reef Kepulauan Spratly yang

menyebabkan beberapa kapal laut Vietnam tenggelam dan 70 prajurit AL

Vietnam gugur. Ada juga Konflik antara Taiwan dengan Vietnam pada tahun

1995, dimana Taiwan menembakkan artileri ke kapal angkatan laut Vietnam. Dan

pada tahun 1996 terjadi konflik antara Tiongkok dengan Philipina, dimana tiga

kapal patroli AL Tiongkok terlibat baku tembak hampir 90 menit dengan kapal

AL Philipina di Kepulauan Spratly18.

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sengketa di Laut China Selatan

bukanlah hal yang baru lagi. Namun meskipun begitu, isu di Laut China Selatan

ini masih menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Selain karena belum

adanya kesepakatan yang pasti dalam menyelesaikan konflik di Laut China

Selatan, juga karena konflik di Laut China Selatan ini kerap kali terjadi. Dan

akhir-akhir ini konflik di Laut China Selatan ini kembali terjadi lagi. Konflik

terjadi karena reklamasi yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut China Selatan.

Reklamasi yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut China Selatan sudah

terjadi sejak akhir tahun 2014. Namun isu ini kembali memanas lagi setelah

sebuah gambar citra satelit milik lembaga Centre for Strategic and International

Studies (CSIS) mengungkap bahwa Tiongkok telah membangun sebuah landasan

udara di sebuah pulau buatan di perairan Laut China Selatan. Gambar citra satelit

17

Ibid. hlm 19

18

Kolonel Karmin Suharna, Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi

(9)

itu menunjukkan, landasan pacu yang dibangun Tiongkok di Laut China Selatan

diprediksi memiliki panjang 3.110 meter19.

Reklamasi oleh Tiongkok itu dilakukan di sejumlah pulau di Kepualauan

Spratly, wilayah di Laut China Selatan yang diperebutkan negara-negara Asia.

Setelah proyek sejumlah reklamasi pulau itu rampung, Tiongkok tetap akan

melanjutkan proyek selanjutnya meskipun proyek reklamasi itu telah ditentang

sejumlah negara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunei yang

sama-sama mengklaim kepulauan di Laut China Selatan, dan juga Amerika

Serikat juga menentang proyek reklamasi itu. Juru Bicara Kementrian Luar

Negeri Tiongkok mengaku bahwa pembangunan ini terutama untuk memberikan

layanan guna memenuhi tuntutan sipil sehingga lebih memudahkan upaya

Tiongkok dalam operasi pencarian dan penyelamatan maritim, pencegahan dan

pengurangan bencana, penelitian maritim, pengamatan meteorologi, perlindungan

lingkungan, keselamatan navigasi, layanan perikanan dan sebagainya20.

Proyek reklamasi yang hampir selesai yang dilakukan oleh Tiongkok salah

satunya adalah pembangunan landasan pacu. Sebuah gambar citra satelit yang

diterbitkan Asia Maritime Transparancy Initiative (AMTI) di Pusat Studi Strategi

Internasional di Studi di Washington menunjukkan bahwa landasan pacu raksasa

yang dibangun Tiongkok di Kepulauan Spratly, Laut China Selatan, hampir

selesai. Pihak AMTI menyatakan landasan pacu itu sedang diaspal dan ditandai.

19

http://international.sindonews.com/read/990727/40/terungkap-china-bangun-landasan-pacu-di-laut-china-selatan-1429270866, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015

20

(10)

Gambar juga menunjukkan sebuah kapal Angkatan Laut Tiongkok yang

ditambatkan di sebuah pelabuhan di kawasan sengketa21.

Proyek reklamasi yang dilakukan oleh Tiongkok ini belum berhenti.

Tiongkok diduga membangun landasan pacu ketiga di wilayah Laut China

Selatan. Dugaan itu muncul dari foto citra satelit yang menunjukkan sebuah

proyek mirip pembangunan landasan udara di wilayah sengketa. Foto citra satelit

itu dibidik kelompok think thank “Washington's Centre for Strategic and

International Studies”. Menurut kelompok itu, ada pembangunan di Mischief

Reef, salah satu dari beberapa pulau buatan yang dibangun Tiongkok di

Kepulauan Spratly, Laut China Selatan. Gambar citra satelit tersebut

menunjukkan area persegi dengan dinding penahan dengan panjang area itu 3.000

meter22. Dan yang terakhir dikabarkan bahwa Tiongkok telah meresmikan dua

mercusuar. Upacara peresmian dua mercusuar itu dilakukan di lokasi

pembangunan, yaitu di Kepulauan Cuateron Reef dan Johnson South Reef, yang

menjadi bagian dari Kepulauan Spratly23.

Klaim-klaim yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

terhadap Laut China Selatan ini sering kali didasarkan pada klaim sepihak saja.

Klaim ini didasarkan pada alasan latar belakang sejarah, dimana Tiongkok

mengaku bahwa wilayah Laut China Selatan ini sejak dahulu merupakan wilayah

kedaulatan Republik Rakyat Tiongkok. Begitu juga dengan proyek reklamasi

yang dilakukan oleh pemerintah RRT tersebut, RRT mengaku bahwa proyek

21

http://international.sindonews.com/read/1019212/42/landasan-pacu-china-di-laut-china-selatan-hampir-selesai-1435804943, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015

22

http://international.sindonews.com/read/1044921/40/china-diduga-bangun-landasan-pacu-ke-3-di-laut-china-selatan-1442303851, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015

23

(11)

reklamasi itu sah karena dilakukan di wilayah kedaulatannya sehingga negara lain

tidak berhak ikut campur ataupun menentangnya.

Klaim sepihak yang dilakukan oleh pemerintah RRT ini tentu tidak bisa

diterima karena penguasaan Laut China Selatan ini hanya didasarkan pada alasan

sejarah tanpa didasarkan pada kaidah-kaidah di dalam hukum laut internasional.

Oleh karena itu penting untuk dibahas mengenai tindakan pemerintah RRT dalam

melakukan reklamasi di Laut China Selatan yang akan ditinjau berdasarkan

hukum laut internasional.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis sangat tertarik untuk

memilih judul “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

REKLAMASI LAUT CHINA SELATAN YANG DILAKUKAN OLEH

REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini,

penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam

penelitian ini, antara lain :

1. Bagaimana status dan kedudukan Laut China Selatan menurut hukum

laut internasional ?

2. Bagaimana tindakan reklamasi Laut China Selatan oleh Republik

Rakyat Tiongkok menurut hukum laut internasional ?

3. Bagaimana upaya-upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan

terkait dengan reklamasi Laut China Selatan yang dilakukan oleh

(12)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang

hendak dicapai, sehingga penulisannya akan lebih terarah serta dapat mengenai

sasarannya. Adapun berdasarkan perumusan masalah di atas yang menjadi tujuan

dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam tentang status dan

kedudukan Laut China Selatan menurut hukum laut internasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum laut internasional

terhadap reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok di

Laut China Selatan.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk

menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, khususnya sengketa

mengenai reklamasi Laut China Selatan oleh Republik Rakyat

Tiongkok.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi ini, perlu pula diketahui bersama

bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu,

penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi

penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum

(13)

juga dapat memberikan pemahaman terhadap konflik yang terjadi di Laut China

Selatan dan upaya penyelesaian yang dapat dilakukan.

2. Secara Praktis

Untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh dan memberikan masukan bagi pembaca untuk

memahami konflik yang terjadi di Laut China Selatan, khusunya terhadap

tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok di Laut China

Selatan. Dan juga agar dapat menjadi kajian bagi praktisi hukum internasional

khususnya di bidang hukum laut internasional dalam kaitan dengan penyelesaian

sengketa di Laut China Selatan.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri. Dan

berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa skripsi yang berjudul “TINJAUAN

HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP REKLAMASI LAUT CHINA

SELATAN YANG DILAKUKAN OLEH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK”

belum pernah ditulis sebelumnya. Keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan surat

tertanggal 07 September 2015 yang dikeluarkan oleh administrator bagian

(14)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi ini, ruang lingkup pembahasan berkaitan dengan

hukum internasional. Hukum internasional yang dimaksud adalah hukum

internasional publik. Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas

yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

negara dengan negara; negara dengan subjek hukum lain bukan negara; atau

subjek hukum bukan negara satu sama lain24. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum

internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional)

yang bukan bersifat perdata.25

Dalam membahas isu hukum internasional tidak akan terlepas dengan

sumber-sumber hukum internasional. Adapun sumber-sumber hukum

internasional sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional

(International Court of Justice), yaitu :26

1) International conventions, whether general or particular,

establishing rules expressly recognized by the contesting states

(Perjanjian-Perjanjian Internasional);

2) International custom, as evidence of a general practice accepted as

law (kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum);

3) The general principles of law recognized by civilized nations

(Prinsip-prinsip umum hukum internasional yang diakui oleh

bangsa-bangsa yang beradab);

24

Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: alumni, 2003, hlm. 4

25

Ibid., hlm. 2

26

(15)

4) Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the

teachings of the most highly qualified publicists of the various

nations, as subsidiary means for the determination of rules of law (

Putusan-putusan pengadilan internasional dan ajaran-ajaran para

sarjana).

Berkaitan dengan sumber-sumber hukum internasional tersebut, maka

dalam penulisan skripsi ini akan digunakan sumber hukum internasional berupa

perjanjian-perjanjian internasional, meskipun tidak menutup kemungkinan

digunakannya sumber-sumber hukum internasional lainnya. Perjanjian-perjanjian

internasional yang akan digunakan adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Hukum Laut 1982 dan Declaration On The Conduct Of Parties In The

South China Sea tahun 2002. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), juga

disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian

internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun

1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak

dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan

pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut27.

Sedangkan Declaration On The Conduct Of Parties In The South China Sea

adalah perjanjian yang dibuat antara negara-negara anggota ASEAN dengan

Republik Rakyat Tiongkok yang berkaitan dengan Laut China Selatan.

27

(16)

Reklamasi secara awam diartikan sebagai usaha menciptakan daratan baru

di lahan sebelumnya yang digenangi air. Reklamasi telah lama dilakukan oleh

mansusia. Reklamasi bertujuan menambah lahan untuk berbagai keperluan. Pada

umumnya, penciptaan lahan baru melalui reklamasi dilakukan karena makin

bertambahnya kebutuhan lahan untuk pemukiman, perkantoran, dan lahan

pertanian. Reklamasi lahan dilakukan melalui beberapa cara antara lain dengan

pengeringan air laut, pengeringan rawa, dan lahan bekas pertambangan28. Tujuan

dari reklamasi ini adalah menjadikan kawasan yang berair atau yang tidak berguna

menjadi lebih bermanfaat. Reklamasi ini digunakan untuk membuka lahan baru

dengan cara menimbun tempat-tempat yang berair seperti laut, sungai, rawa.

Lahan baru tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman,

perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, objek wisata, dan lain sebagainya.

Laut China Selatan ialah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, mencakup

daerah dari Singapura ke Selat Taiwan sekitar 3.500.000 km². Laut China Selatan

terbentang dari arah barat daya ke timur laut, batas selatan 3° Lintang Selatan

antara Sumatera Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata) , dan batas utara-nya

adalah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir Fujian di Tiongkok

daratan29.

Republik Rakyat Tiongkok/RRT atau Republik Rakyat China/RRC, adalah

sebuah negara yang terletak di Asia Timur yang beribukota di Beijing. Negara ini

memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia (sekitar 1,35 milyar jiwa) dan luas

wilayah 9,69 juta kilometer persegi, menjadikannya ke-4 terbesar di dunia.

Negara ini didirikan pada tahun 1949 setelah berakhirnya Perang Saudara

28

http://kliksma.com/2014/09/pengertian-reklamasi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015

29

(17)

Tiongkok, dan sejak saat itu dipimpin oleh sebuah partai tunggal, yaitu Partai

Komunis Tiongkok (PKT). RRT merupakan negara dengan penduduk terbanyak

di dunia, dengan populasi melebihi 1,363 miliar jiwa (perkiraan 2014), yang

mayoritas merupakan bangsa Tionghoa30.

RRT ialah negara terbesar ke-4 di dunia setelah Rusia, Kanada, dan

Amerika Serikat, dan wilayahnya mencakup daratan yang sangat luas di bekas

Peradaban Lembah Sungai Kuning. Di timur, bersama dengan pantai Laut Kuning

dan Laut Tiongkok Timur, ditemukan luas dan padat yang ditempati lapangan

tanah baru; pesisir Laut Tiongkok Selatan lebih bergunung-gunung dan Tiongkok

bagian selatan didominasi daerah berbukit dan jajaran gunung yang lebih rendah.

Di bagian tengah timur ditemukan delta 2 sungai utama Tiongkok, Huang He

(Sungai Kuning) dan Chang Jiang (Sungai Panjang). Sungai-sungai utama lainnya

ialah Xi Jiang, Mekong, Brahmaputra dan Amur. Ke barat, jajaran gunung yang

utama, khususnya Himalaya dengan titik tertinggi di Tiongkok Gunung Everest,

dan ciri-ciri plato tinggi di antara bentang daratan yang lebih kering dari gurun

seperti Takla-Makan dan Gurun Gobi31.

Tiongkok Daratan merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk

kepada kawasan di bawah pemerintahan RRT dan tidak termasuk kawasan

administrasi khusus Hong Kong dan Makau, sementara nama Republik Tiongkok

mengacu pada entitas lain yang dulu pernah menguasai Tiongkok sejak tahun

1912 hingga kekalahannya pada Perang Saudara Tiongkok. Saat ini Republik

Tiongkok hanya menguasai pulau Taiwan, dan beribukota di Taipei, oleh karena

itu lazim disebut Tionghoa Taipei, terutama dalam even-even olahraga. RRT

30

https://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Tiongkok, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015

31

(18)

mengklaim wilayah milik Republik Tiongkok (yang umum dikenal dengan

Taiwan) namun tidak memerintahnya, sedangkan Republik Tiongkok mengklaim

kedaulatan terhadap seluruh Tiongkok daratan yang saat ini dikuasai RRT32.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu, dengan jalan menganalisanya33.

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami

objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan

demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan

memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Adapun metode

penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Jenis dan Sifat Penilitian

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian

hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris adalah

penelitian dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari

lapangan, sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan

32

Ibid.

33

(19)

mengambil data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).

Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif karena yang

hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah tinjauan hukum

internasional terhadap tindakan reklamasi Laut China Selatan oleh Republik

Rakyat Tiongkok.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis,

artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan,

menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa perjanjian-perjanjian

dan Konvensi-konvensi internasional yang berkaitan tentang Hukum Laut

Internasional.

2. Sumber Data

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan-bahan hukum yang mengikat.

Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui UNCLOS

1982 dan Declaration On The Conduct Of Parties In The South China

Sea tahun 2002 serta perjanjian–perjanjian internasional dan

konvensi-konvensi internasional yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : semua dokumen yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan

Undang-Undang (RUU), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah)

dari kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Bahan hukum tersier yaitu bahan yang

(20)

primer dan bahan hukum sekunder, misalnya : kamus-kamus (hukum),

ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya34.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik

koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari

media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk

peraturan perundang-undangan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang

berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan

menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini,

sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

dirumuskan.

34

(21)

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripisi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar yang didalamnya dijelaskan mengenai

latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : STATUS DAN KEDUDUKAN LAUT CHINA SELATAN

MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah konflik Laut China

Selatan, status dan kedudukan Laut China Selatan menurut hukum

laut internasional, dan sengketa-sengketa yang pernah terjadi di

Laut China Selatan.

BAB III : TINDAKAN REKLAMASI LAUT CHINA SELATAN OLEH

REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

Di dalam bab ini akan diuraikan mengenai tindakan reklamasi yang

dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok, dasar Republik Rakyat

Tiongkok dalam mereklamasi Laut China Selatan, dan tinjauan

hukum laut internasional dalam mereklamasi Laut China Selatan.

BAB IV : UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI LAUT CHINA

SELATAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai upaya-upaya penyelesaian

sengketa menurut hukum laut internasional, upaya-upaya

(22)

hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa di Laut

China Selatan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan-kesimpulan yang dapat

diambil dari bab-bab sebelumnya, dan juga berisi saran-saran yang

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya berkaitan dengan metode pertanyaan evaluatif, yaitu metode pertanyaan yang digunakan guru untuk membuat siswa memikirkan kembali pemahaman mereka

Ciri – ciri bunga jantan kelapa sawit yang sedang anthesis adalah bunga berwarna kuning, mengeluarkan aroma yang menjadi attractant bagi kumbang Elaeidobius

(2006, p.129), terdapat beberapa faktor perilaku konsumen yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan konsumen yaitu faktor cultural, social, personal, dan psychological.

Pada penelitian ini 100 pasang serangga dimasukkan kedalam tandan bunga jantan yang telah disungkup dan masih berada pada tanaman kelapa sawit kemudian diambil 3 spikelet

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Namun sosialisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang tidak bersifat khusus membahas tentang Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Johar

Pajak Mineral Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik

Berdasarkan pertimbangan ini, ide, gagasan untuk menghadapi ekonomi global dan keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian kerjasama internasional menunjukkan adanya