• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dan Pengelolahan Wakaf Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Di Kotamadya Medan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dan Pengelolahan Wakaf Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Di Kotamadya Medan Chapter III V"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PELAKSANAAN DAN PENDAFTARAN TANAH WAKAF DI KOTA MEDAN

A. Pengertian Pendaftaran Tanah Wakaf

Demi menjamin adanya kepastian hukum dan hak atas tanah,

Undang-Undang Pokok Agraria telah menggariskan adanya keharusan untuk

melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dan

sebagi tindak lanjut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1, memberikan

pengertian mengenai pendaftaran tanah sebagai berikut:

”Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolahan, pembukuan, dan penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah di atas, dapat diuraikan beberapa hal

yang menjadi tujuan dari pada pendaftaran tanah, diantaranya:

1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak

(2)

terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang

hak yang bersangkutan.

2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang telah diuraikan pada angka 1

di atas merupakan tujuan utama dari pada pendaftaran tanah yang diperintahkan

oleh Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 19, disamping itu dengan

terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu

pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah sendiri, dengan mudah dapat memperoleh

data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai

bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah didaftar. Terselenggaranya

pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar perwujudan tertib administrasi di

bidang pertanahan.

Selaras dengan tujuan pendaftaran tanah yang telah diuraikan di atas

maka terhadap harta benda wakaf sendiri, khusunya benda tidak bergerak yaitu

berupa tanah juga harus didaftarkan, sehingga harta benda wakaf tersebut

memiliki kepastian hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997

memberi batasan terhadap objek wakaf, yaitu bahwa wakaf tanah hanya dapat

(3)

dimiliki oleh wakif. Selanjutnya demi untuk menjamin kepastian hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 mengharuskan wakaf dilakukan

secara lisan dan tertulis dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)

yang untuk selanjutnya dibuat akta ikrar wakaf. Dengan berdasarkan akta ikrar

wakaf yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, maka

selanjutnya tanah hak milik diajukan perubahannya ke Badan Pertanahan

Nasional setelah memenuhi syarat administrasinya untuk diubah menjadi

sertifikat wakaf.47

B. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Wakaf

Pelaksanaan perwakafan tanah di Indonesia masih tetap mengacu pada

ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perwakafan tanah yang

terdahulu. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf Tentang Wakaf, ketentuan dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf a dan

Ayat 2 yaitu ketentuan mengenai wakaf untuk benda tidak bergerak yang dalam

hal ini adalah tanah , dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Tentang Perwakafan Tanah

Milik;

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1997, Tentang Tata

Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik;

3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, Tentang Peraturan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997;

47

(4)

4. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978, Tentang Pendelegasian

Wewenang Kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/Setingkat di

Seluruh Indonesia Untuk Mengangkat/Memberhentikan Setiap Kepala

Kecamatan KUA Kecamatan Sebagai PPAIW;

5. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978.

6. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Bimbingan dan

Pembinaan Kepada Badan Hukum Keagamaan Sebagai Nadzir dan Badan

Hukum Keagamaan yang Memiliki Tanah;

7. Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1989 Tentang Pembuatan Akta

Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah Wakaf;

8. SK. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 15 Tahun 1990 Tentang

Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan

Tentang Perwakafan Tanah Milik;

9. Surat Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/S/Ed/07/1981 Tentang

Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik;

10.Surat Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/S/Ed/11/1981 Tentang

Petunjuk Pengisian Nomor Pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.

Pemakaian peraturan terdahulu yang sudah ada tetap digunakan

dikarenakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf belum ada

(5)

Menurut Abdul Ghofur Anshari, secara penerapan tata cara perwakafan

tanah dilakukan sebagai berikut:48

1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya

(sebagai calon wakif) datang sendiri dihadapan PPAIW untuk melaksanakan

ikrar wakaf. Apabila calon wakif tidak dapat datang kehadapan PPAIW

karena suatu sebab seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dpaat

membuat irar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor

Departemen Agama Kabupaten, letak tanah yang bersangkutan dihadapan

dua orang saksi, ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir dihadapan

PPAIW;

2. Pada saat menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat

sebagai berikut:

a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah lainya seperti

surat IPEDA (girik, Petok, ketitir, dan sebagainya)

b. Surat keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan

setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak

termasuk sengketa

c. Surat keterangan pendaftaran tanah

d. Izin dari Bupati/ Kotamadya Kepala Daerah, Kepala Sub Direktorat

Agraria setempat

48

(6)

3) PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah

sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan),

meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir;

4) wakif mengikrarkan kehendak wakif kepada nazhir yang telah disahkan ikrar

tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas, serta dituangkan dalam

bentuk tertulis. Bagi wakif ang tidak dapat mengucapkan ikrarny, karena bisu

misalnya, wakif tersebut dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat,

kemudian mengisi formulir ikrar wakaf, kemudian semua yang hadir

menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf

tersebut telah ditentukan di dalam Peraturan Direktorat Jendral Bimbingan

Masyarakat Islam Tanggal 18 April No. Kep/D/75/78;

5) PPAIW segera membuat ikrar wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai

dan salinan akta ikrar wakaf rangkap empat. Akta ikrar wakaf tersebut paling

sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nazhir, data

dan keterangan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya

selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib

disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat

akta, PPAIW membukukan semua itu dalam daftar akta ikrar wakaf dan

menyimpanya dengan baik bersama aktanya.

Setelah dilaksanakannya proses perwakafan tanah dengan diterbitkannya

akta ikrar wakaf, maka tahap selanjutnya adalah tahap pendaftaran harta benda

(7)

peraturan Kompilasi Hukum Islam Pasal 224, dimana adapun bunyinya adalah

sebagai berikut:

” setelah akta ikrar wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 Ayat 3 dan 4, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nazhir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.”

Adapun yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini, dilakukannya

pendaftaran tanah wakaf di Kantor Agraria, PPAIW atas nama nadzir

mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang palin lambat 7

(tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.49

Pada pendaftaran tersebut, PPAIW haruslah melampirkan sertifikat yang

bersangkutan atau bila tidak ada boleh menggunakan surat-surat bukti

kepemilikan tanah yang ada, salinan akta ikrar wakaf yang dibuat oleh PPAIW

dan surat pengesahan nadzir.50

Apabila nadzir terdiri dari kelompok orang, yang ditulis dalam buku tanah

dan sertifikatnya adalah nama orang-orang dari kelompok tersebut disertai

kedudukannya di dalam kepengurusan. Bila kelak ada nadzir yang meninggal

dunia, mengundurkan diri, atau diganti, maka harus diadakan penyesuaian

seperlunya berdasarkan pengesahan susunan nadzir yang dilakukan PPAIW.

Apabila nazhir itu adalah badan hukum maka yang ditulis dalam buku tanah dan

sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.51

(8)

C. Akibat Hukum Tidak Di Daftarkan Tanah Wakaf

Pendaftaran tanah wakaf sangatlah penting, dimana pentingnya

pendaftaran tersebut dapat dilihat dari pada tujuan dari pendaftaran tanah

sebagaimana yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 yaitu bahwa tujuan dari

pada pendaftaran tanah yang salah satunya adalah memberikan jaminan kepastian

hukum bagi kepemilikan tanah.

Namun pada kenyataannya di lapangan masih banyak tanah-tanah wakaf

yang belum terdaftar, dimana hal ini dikarenakan ada kecendurungan dalam

masyarakat bahwa mereka berpikir tanpa proses sertifikasi dan hanya

berlandaskan janji tertulis dari si wakif saja suduh cukup untuk memberikan

jaminan kepastian hukum bagi tanah wakaf, selain itu ditambah lagi banyaknya

para tokoh-tokoh agama yang masih belum memahami tentang sertifikasi tanah

wakaf ini, serta sosialisasi dari pemerintah mengenai pendaftaran tanah wakaf

yang masih kurang membuat masyarakat merasa enggan untuk melakukan

sertifikasi tanah wakaf.

Selain karena pola pikir masyarakat yang masih kurang memahami

tentang sertifikasi tanah wakaf, banyaknya tanah wakaf yang tidak terdaftar di

Indonesia juga disebabkan karena proses birokrasi dalam sertifikasi tanah wakaf

yang terbilang cukup rumit dan berbelit-belit, yang memakan cukup banyak

biaya, waktu, tenaga, serta pikiran, sehingga menyebabkan masyarakat malas

untuk melakukan sertifikasi tanah wakaf.52

52

(9)

Melihat berbagai faktor penyebab banyaknya tanah wakaf yang tidak terdaftar

sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat

kesadaran hukum masyarakat akan pentinganya pendaftaran tanah wakaf di

Indonesia yang masih rendah. Akibat hukum yang timbul dari rendahnya tingkat

kesadaran masyarakat dalam melakukan sertifikasi tanah wakaf adalah tidak

terjaminya kepastian hukum bagi kepemilikan tanah wakaf tersebut, sehingga

bisa jadi kapan saja tanah-tanah wakaf tersebut dapat beralih ke tangan orang

lain, selain itu juga akibat hukum yang timbul dari rendahnya tingkat kesadaran

masyarakat dalam melakukan sertifikasi tanah wakaf dapat menyebabkan

banyaknya timbul sengketa-sengketa mengenai tanah wakaf di pengadilan yang

proses penyelesaiannya berlarut-larut dan memakan banyak biaya.53

D. Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf

Berangkat dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa proses sertifikasi

tanah wakaf, merupakan suatu proses yang cukup penting bagi keberlangsungan

tanah wakaf itu sendiri, meskipun sebagaimana yang diketahui bahwa proses

sertifikasi tanah wakaf banyak memakan waktu dan biaya, namun mau ataupun

tidak mau masyarakat harus menjalankannya, agar tanah yang diwakafkan dapat

terjamin kepastian hukumnya.

Mengenai perubahan peruntukan harta benda wakaf itu sendiri dapat

ditinjau dari 2 (dua) sumber yaitu:

1) Ditinjau dari hukum islam (fiqih)

53

(10)

Harta benda wakaf itu sendiri bersifat kekal, artinya bahwa manfaat dari

harta wakaf itu boleh dinikmati, akan tetapi harta wakafnya sendiri tidak boleh

diasingkan, bila timbul masalah misalnya harta wakaf sudah tidak bermanfaat

lagi apabila harta tersebut dipindahkan, contohnya dijual.

Menurut Sayyid Sabiq bahwa apabila wakaf telah terjadi, maka harta

wakaf tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu

yang menghilangkan kewakafannya, apabila orang yang berwakaf meninggal

dunia, harta wakaf tidak boleh diwariskan sebab yang demikian inilah yang

dikehendaki oleh wakaf, sebagaimana yang diucapkan Rasulullah SAW,

sebagaimana yang tertuang dalam hadist Ibnu Umar bahwa “ tidak dijual, tidak

dihibahkan, dan tidak diwariskan.54

Menurut Imam Ahmad bin Hanbali, apabila manfaat wakaf itu dapat

dipergunakan, maka wakaf itu boleh dijual dan uangnya dibelikan kepada

gantinya, misalnya:55

a. Mengganti atau mengubah mesjid;

b. Memindahkan mesjid dari satu kampung kekampung yang lain;

c. Dijual dan uangnya untuk mendirikan masjed dikampung lain;

d. Karena kampung yang lama tidak berkehendak lagi kepada mesjid, misalnya

sudah rubuh, hal tersebut jika dilihat dari kemasalahatannya.

Berdasarkan dua pendapat di atas maka dapat dilihat perbedaannya

dimana pendapat yang pertama mengatakan bahwa wakaf tidak boleh dijual,

dihibahkan serta diwariskan, namun untuk pendapat yang kedua perubahan

54

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, alih bahasa Mudzkir, PT. Alma’arif , Bandung, 1996, hal.156

55

(11)

peruntukan hanya diperbolehkan dilakukan dengan cara diperjualkan harta wakaf

tersebut, dan uang hasil penjualan wakaf tersbut digunakan untuk mengganti

harta benda wakaf yang telah dijual tadi.

2. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan di Indonesia

Memanfaatkan harta benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf

tersebut, sedangkan benda aslinya/ pokoknya tetap tidak boleh dijual, dihibahkan,

dan diwariskan, namun apabila suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada

manfaatnya dan/atau kurang memberikan manfaat demi kepentingan umum

kecuali harus melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut seperti menjual,

merubah bentuk dan/atau sifat, memindahkan ketempat lain atau menukar dengan

benda lain.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang

wakaf, juga mengatur perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah

dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud dari pada wakaf itu

sendiri. Secara prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan menurut

ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

dilarang:

a. dijadikan jaminan;

b. disita;

c. dihibahkan;

d. dijual

e. diwariskan;

(12)

g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainya.

Namun ketentuan yang telah diuraikan di atas tersebut dapat dikecualikan

apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan

umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), serta berdsarkan

ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak

bertentangan dengan syari’ah sebagaimana yang diatur pada Pasal 41 Ayat 1

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Selanjutnya pada Ayat

(2) dikatakan bahwa pelaksanaan yang dimaksud pada Ayat 1 hanya dapat

dilakukan setelah memperoleh ijin tertulis dari Menteri dan persetujuan Badan

Wakaf Indonesia (BWI).

Pada Pasal 41 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf dikatakan bahwa harta benda wakaf yang telah diubah statusnya karena

ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat

dan nilai tukar sekurang-kurangnya telah sama dengan harta benda wakaf semula.

Oleh karena itu, dengan demikian perubahan benda wakaf pada prinsipnya bisa

dilakukan selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan

alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang

berlaku.

Ketatnya prosedur perubahan benda wakaf itu sendiri bertujuan untuk

meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf,

agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi harta benda

wakaf itu sendiri, sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan

(13)

BAB IV

PENYELESAIAN MASALAH PEMINDAHAN TANAH WAKAF AKIBAT DARI PROYEK PELEBARAN JALAN

A. Gambaran Umum Masjid Al-Fallah

Mesjid Al-Fallah merupakan mesjid yang letaknya berada di Jalan

Cemara, Kota Medan. Mesjid Al-Fallah didirikan di atas tanah milik ahli waris

Pak Ilyas setelah mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah Kota Medan, karena

adanya proyek pelebaran jalan. Mesjid Al-Fallah ini didirikan di atas tanah yang

luasnya lebih kurang 20x30 meter.56

Adapun susunan pengurus/ badan Kenadziran mesjid Al-Fallah itu sendiri

adalah sebagai berikut:57

Mesjid Al-Fallah sendiri berdiri dengan maksud dan tujuan agar mesjid

dapat menjadi wadah atau tempat berkumpulnya masyarakat dalam menjalankan

kegiatan keagamaan, bagi umat islam, yaitu seperti melaksanakan acara Maulid

Nabi Muhammad Saw, Pengajian, Qurban, serta acara-acara keagamaan lainya.

Serta kedepannya diharapkan Mesjid Al-Fallah ini menjadi tempat pendidikan

keagamaan bagi anak-anak seperti mendirikan madrasah. 1. Pak Ariyanto sebagai Ketua BKM Mesjid Al-Fallah

2. Pak Roni sebagai Sekretaris BKM Mesjid Al-Fallah

3. Pak Zulfan Sebagai Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah

58

56

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

57

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

58

(14)

B. Sejarah Mesjid Al-Fallah

Mesjid Al-Fallah dahulunya adalah suatu Musholla kecil yang didirikan

pada tahun 1970-an yang berada dijalan cemara, Kota Medan. Musholla

Al-Fallah sendiri didirikan di atas tanah sertifikat hak milik Pak Ilyas, yaitu seorang

pensiunan TNI, yang pada awal mulanya mengapa Pak Ilyas mewakafkan

tanahnya, dikarenakan Pak Ilyas merasa prihatin melihat warga sekitar yang

harus menempuh jarak yang lumayan jauh hanya untuk beribadah, oleh karena

itu berangkat dari rasa keprihatinan tersebut muncul niat Pak Ilyas untuk

mewakafkan sebagaian tanahnya untuk tempat beribadah.59

Pada saat mewakafkan tanahnya tersebut Pak Ilyas pernah mengatakan

bahwa tanah tersebut adalah benar miliknya dengan bukti segel yang

ditandatangani oleh Camat Medan Barat Abdul Rasyidin. Sejak berdirinya

musholla tersebut hingga tahun 2011-an belum pernah terjadi permasalahan di

atas tanah tersebut, namun pada pertengahan tahun 2011 persoalan muncul di

atas tanah wakaf Mushollah Al-Fallah, yang dimana kemunculan persoalan

tersebut diakibatkan karena masyarakat sekitar Musholla Al-Fallah tidak terima Sebelum menjadi mesjid yang cukup besar seperti yang saat sekarang ini

Mesjid Al-Fallah hanyalah sebuah Mushollah kecil yang hanya berdindingkan

papan kayu, serta hanya mampu menampung puluhan orang saja untuk dapat

melaksanakan Ibadah di dalam mesjid tersebut. Pada awal berdirinya mushollah

Al-Fallah ini didirikan di atas tanah yang berukuran 15x15 meter milik tanah Pak

Ilyas.

59

(15)

Musholla Al-Fallah akan dirobohkan karena terkena imbas dari proyek pelebaran

jalan pemerintah kota medan.60

Keberadaan Musholla Al-Fallah sendiri jika dilakukan pelebaran jalan

oleh pemerintah kota medan tepat berada di tengah-tengah badan jalan, sehingga

mau tidak mau pemerintah kota medan harus merobohkan musholla tersebut,

yang kemudian nantinya akan dipindahkan. Namun warga menolak kebijakan

pemerintah tersebut, karena menurut warga jika Musholla Al-Fallah dirobohkan

kemana lagi mereka akan melaksanakan ibadahnya, karena masih belum jelasnya

Mushollah Al-Fallah tersebut akan dipindahkan.61

Akhirnya melihat hal tersebut pemerintah berinisiatif untuk melakukan

musyawarah dengan warga sekitar Mushallah Al-Fallah, yang diwakilkan oleh

pengurus mushollah. Setelah dilakukan proses musyawarah akhirnya disepakati

bahwa Musholah Al-Fallah akan dipindahkan di tanah milik ahli waris Pak Ilyas,

dan pemerintah akan meningkatkan status mushollah menjadi mesjid dengan

membangun lebih besar lagi mushollah tersebut, dan semua biaya pembangunan

serta pembelian tanah milik ahli waris Pak Ilyas di tanggung oleh pemerintah

sebagai ganti rugi pemindahan Mushollah Al-Fallah. Melihat hal tersebut

menurut Pak Zulfan hasil musyawarah yang dilakukan antara warga sekitar

mesjid yang dalam hal ini diwakili oleh anggota pengurus mushalla dengan

pemerintah, sangatlah memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar

Musholla Al-Fallah, sehingga akhirnya banyak warga yang setuju agar musholla

60

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

61

(16)

dipindahkan dan ditingkatkan statusnya menjadi mesjid, namun meskipun begitu

masih ada juga yang tidak setuju apabila masjid dipindahkan.62

C. Penyelesaian Masalah Pemindahan Tanah Wakaf

Ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pada

esensinya tidak jauh berbeda dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1977, hanya saja pada Undang-Undang Wakaf memberikan alternatif

penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir

melalui lembaga pengadilan. Pada dasarnya jalan utama dalam penyelesaian

sengketa wakaf adalah melalui jalan musyawarah untuk mencapai mufakat,

sebagaimana yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Wakaf

yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui

musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila penyelesaian sengketa melalui

musyawarah tidak berhasil, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui

proses mediasi, arbitrase, dan pengadilan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 62

Undang-Undang Wakaf dikatakan bahwa adapun yang dimaksud dengan mediasi

adalah penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh

para pihak yang bersengketa. Dalam hal apabila proses mediasi tidak berhasil

dalam menyelesaikan sengketa, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat

dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal apabila badan arbitrase syariah

tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat diajukan ke

Pengadilan Agama dan/atau Mahkamah Syariah.

62

(17)

Ketentuan pasal 62 Undang-Undang wakaf tersebut sejalan dengan

ketentuan Pasal 49 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana

yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Peradilan Agama, yang menyebutkan bahwa ”Pengadilan Agama bertugas

memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama islam di bidang:

1. perkawinan;

2. waris;

3. wasiat;

4. hibah;

5. wakaf;

6. zakat;

7. infaq;

8. shadaqoh; dan

9. ekonomi syariah.

Mengenai teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama,

dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian Pasal 229 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa ” Hakim dalam menyelesaikan

perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan

sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya

sesuai dengan rasa keadilan.”

Pengajuan tuntutan ke pengadilan bagi pihak yang merasa haknya

(18)

pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan dianggap dapat

memberikan suatu kepastian hukum karena putusan pengadilan memiliki

kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Pada Mesjid Al-Fallah sendiri yang merupakan objek penelitian dalam

penulisan skripsi ini sendiri, adapun permasalahan yang dihadapi adalah karena

pihak warga dan/atau masyarakat yang berada di sekitar mesjid menolak untuk

dilakukannya pemindahan Mesjid Al-fallah yang didirikan di atas tanah wakaf,

yang dimana pemindahan tersebut dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan

(Pemko Medan), karena pada saat itu Pemko Medan akan melakukan proyek

pelebaran jalan.63

Menurut Pak Zulfan selaku Bendahara Badan Kenadziran Mesjid (BKM)

Mesjid Al-Fallah sendiri, proses penyelesaian masalah pemindahan tanah wakaf

antara warga masyarakat sekitar mesjid dengan Pemko Medan sempat menemui

berbagai hambatan, namun akhirnya pihak BKM Mesjid Al-Fallah beserta

Pemko Medan mencari solusi bersama dalam upaya penyelesaian sengketa

dengan mengadakan musyawarah antara pihak BKM Mesjid Al-Fallah dengan

Pemko Medan. Berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan antara BKM

Mesjid Al-Fallah dengan Pemko Medan, akhirnya ditemukan beberapa

kesepakatan antara kedua belah pihak, yang dimana adapun kesepakatan yang

dihasilkan diantaranya:64

63

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

64

(19)

1. Pihak pemerintah akan memberikan ganti kerugian yang berupa pembelian

tanah milik ahli waris Pak M. Ilyas, yang berada tepat dibelakang Mesjid

Al-Fallah seharga Rp. 3.000.000.000.000 (tiga milyar rupiah), dengan luas tanah

20x30 Meter;

2. Pihak pemerintah bersedia untuk membangun kembali Mesjid Al-Fallah,

dengan biaya-biaya pembangunan yang dibebankan kepada Pemko Medan;

3. Pihak pemerintah bersedia untuk mengurus segala dokumen-dokumen

perizinan terkait perubahan status hak milik tanah yang sebelumnya

merupakan tanah milik ahli waris Pak Ilyas menjadi tanah wakaf;

4. Pihak pemerintah bersedia untuk tidak merubuhkan Masjid Al-Fallah,

sebelum proses pembangunan bangunan pengganti Mesjid Al-Fallah telah

siap sampai bangunan itu terbilang layak untuk digunakan dalam

mengerjakan kegiatan ibadah.

Berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah diuraikan di atas, oleh

pemerintah dijadikan dasar untuk memindahkan mesjid Al-Fallah, yang semula

posisinya tepat berada ditengah-tengah jalan apabila dilakukan pelebaran jalan,

menjadi mundur kepinggiran jalan. Menurut Pak Zulfan

kesepakatan-kesepakatan yang ditwarkan pemerintah sangatlah menguntungkan masyarakat

sekitar, sehingga masyarakat bisa menerima keputusan pemerintah untuk

memindahkankan Mesjid Al-Fallah demi pelebaran jalan untuk kepentingan

umum.65

65

(20)

D. Hambatan dan Solusi Dalam Penyelesaian Masalah Pemindahan Tanah Wakaf

Pada praktiknya di lapangan penyelesaian terhadap perselisihan wakaf ini

sering sekali banyak dijumpai hambatan-hambatan dalam penyelesaiannya,

hambatan-hambatan tersebut bisa datang dari berbagai pihak, baik itu pihak

nazhir mesjid, wakif, ahli waris wakif, ataupun dari pihak pemerintah sendiri.

Pada Mesjid Al-Fallah yang berada di jalan cemara sendiri proses penyelesaian

perselisihan dilakukan melalui proses musyawarah mufakat antara pihak BKM

Mesjid Al-Fallah dengan pemerintah, dalam proses musyawarah tersebut tidak

banyak dijumpai hambatan-hambatan yang berarti, akan tetapi meskipun begitu

menurut Pak Zulfan ada beberapa hal-hal yang menyebabkan proses musyawarah

menjadi terhambat, yang diantaranya:66

1. Adanya beberapa warga yang masih tetap tidak menerima Mesjid Al-Fallah

dipindahkan demi proyek pemerintah yaitu pelebaran jalan, karena menurut

mereka apabila mesjid tersebut dirubuhkan, maka hal itu dapat menimbulkan

dosa, serta menurut mereka lebih baik pemerintah mencari alternatif jalan

yang lain, tanpa harus merobohkan mesjid Al-Fallah;

2. Proses tawar menawar besaran ganti rugi yang dilakukan antara pemerintah

dengan ahli waris Pak Ilyas yang menemui sedikit hambatan, dimana ada

beberapa dari ahli waris Pak Ilyas yang masih tidak mau menjual tanahnya

dengan alasan ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka yang

masih terlalu sedikit, sementara menurut perhitungan nilai jual tanah pada

66

(21)

lingkungan cemara terbilang tinggi, apalagi tanah tersebut posisinya tepat

berada di jalan besar;

Meskipun penyelesaian sengketa wakaf tanah pada praktiknya sering

sekali dijumpai hambatan-hambatan, akan tetapi setiap hambatan pasti ada solusi

terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, dimana pada kasus Mesjid

Al-Fallah yang berada di Jalan Cemara, adapun beberapa solusi penyelesaian

hambatan-hambatan yang terjadi, antara lain:67

1. Terhadap hambatan yang pertama solusi yang dilakukan adalah dengan

memberikan pemahaman kepada masyarakat yang tidak mau mesjid

dirobohkan bahwasanya lingkungan Mesjid Al-Fallah masuk ke dalam zona

untuk dilakukan pelebaran jalan, sehingga mau tidak mau pemerintah harus

tetap menjalankan pemindahan terhadap Mesjid Al-Fallah, serta masyarakat

sekitar juga harus menerima keputusan pemerintah tersebut, karena proyek

pelebaran jalan yang dilakukan pemerintah demi kepeningan umum,

sementara yang kita ketahui prinsi dasar Hukum Agraria di Indonesia adalah

apabila kepentingan umum menghendaki maka kepentingan khusus dapat

dikesampingkan, dan apabila di cari jalan lain untuk dilakukan pelebaran,

dikhawatirkan ganti rugi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa

membengkak, sementara diketahui bahwa anggaran yang dimiliki pemeritah

untuk proyek pelebaran jalan terbatas.

67

(22)

2. Terhadap hambatan yang kedua solusi penyelesaiannya adalah bahwa

pemerintah memberikan besaran ganti rugi yang cukup menguntungkan ahli

waris yaitu dengan harga ganti rugi sedikit di atas Nilai Jual Objek Pajak

(NJOP) tanah-tanah dijalan cemara, dimana menurut Pak Zulfan diketahui

bahwa ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah kepada ahli waris adalah

(23)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas tadi maka dapat

diambil beberapa kesimpulandalam skripsi ini, adapun kesimpulan dalam

penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Bahwa perkembangan pelaksanaan wakaf di Indonesia tidak terlepas dari

perkembangan agama islam di Indonesia, yang dibawak oleh para pedagang

yang berasal dari timur tengah, dasar hukum pelaksanaan wakaf sendiri,

secara tersirat diatur dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj, Al- Baqarah, dan Surat

Ali-Imran, namun secara tegas perintah pelaksanaan wakaf terdapat didalam

hadi-hadis rasullullah SAW, di Indonesia sendiri pengaturan wakaf sudah ada

sejak zaman penjajahan kolonial Belanda yaitu diatur di dalam Surat Edaran

Gubernurmen Nomor 435Bijblad No. 6195/1905 Tentang Toezichat Op Den

Bow Van Muhammedeensche Bedelhuizen, memasuki era proklamasi

kemerdekaan Republik Indonesia pengaturan wakaf semula diatur dalam PP

Nomor 28 Tahun 1977, akan tetapi keberadaan PP ini dirasa masih belum

cukup lengkap karena PP ini hanya mengatur mengenai wakaf tanah saja, dan

barulah tahun 2004 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf, dimana Undang-Undang ini dijadikan payung

(24)

2. Bahwa tata cara perwakafan dan pendaftaran wakaf di Indonesia, masih

mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, PP Nomor

28 Tahun 1977, serta Kompilasi Hukum Islam, tata cara perwakafan dan

pendafaran wakaf dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu tahap perwakafan

dimana tahap ini merupakan tahap terbitnya akta ikrar wakaf yang dilakukan

oleh wakif dihadapan PPAIW, setelah tahap perwakafan maka tahap

selanjutnya adalah tahap pendafaran wakaf, yang dilakukan oleh PPAIW

sebagai perwakilan para Nadzir yang dilakukan ke Badan Pertanahan Negara

(BPN), setelah mendapatkan permohonan dari PPAIW selanjutnya BPN

menerbitkan sertifikat wakaf.

3. Bahwa penyelesaian perselisihan wakaf dapat dilakukan dengan cara litigasi

dan non litigasi, dimana mula-mula penyelesaian perselisihan berdasarkan

Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dilakukan dengan cara

musyawarah, apabila musyawarah tidak berhasil barulah melalui proses

mediasi, Arbitrasi dan apabila masih belum dapat terselesaikan juga maka

ditempuh jalan terakhir yaitu proses litigasi melalui lembaga peradilan,

dimana peradilan yang paling berwenang menanganinya adalah Pengadilan

Agama. Pada sengketa Mesjid Al-Fallah sendiri yang merupakan penelitian

dalam skripsi ini, penyelesaian permasalahan pemindahan tanah wakaf

dilakukan dengan cara musyawarah antara warga yang dalam hal ini diwakili

(25)

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat disampaikan oleh penulis, dalam

penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Bahwa Tanah yang telah diwakafkan sebaiknya dilakukan pendaftaran ke

BPN, dimana pendaftaran ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum

bagi pemegang sertifikat wakaf, serta dengan dilakukannya pendaftaran

wakaf maka dapat memperkecil timbulnya sengketa.

2. Bahwa sebaiknya proses perwakafan dan pendaftaran wakaf dilakukan sesuai

dengan prosedur yang telah diatur dan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan

perundang-undangan yang berlaku, jangan sampai ada salah satu prosedur

yang terlewatkan karena apabila salah satu prosedur terlewatkan maka hal ini

dapat berdampak pada proses perwakafan menjadi cacat hukum sehingga

proses perwakafan menjadi tidak sah secara hukum dapat dapat diminta

pembatalan perwakafannya melalui pengadilan;

3. Bahwa sebaiknya pemerintah lebih mensosisalisasikan lagi persoalan hukum

perwakafan kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat menjadi lebih

mengetahui tentang wakaf, sehingga apabila masyarakat telah mengetahui

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pada gambar 2 rentang tren harga 9 hari dengan rentang data latih 1 hari menghasilkan akurasi tertinggi karena model yang terbentuk sebagian besar

Media elektronika telah melahirkan kembali kehidupan masyarakat yang berdasar atas budaya kelisanan, sekalipun berbeda dengan pengertian yang sebelumnya, dalam hal

Adapun judul dari skripsi saya adalah: Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Minat Mahasiswa Untuk Berkarir Di Bidang Perpajakan ( Studi Empiris Pada Mahasiswa

pendekatan komunikasi secara persuasif, menjadikan kualitas untuk hidup bagi para pecandu meningkat, mereka lebih produktif, sudah mulai membangun komunikasi

Sehubungan dengan bentuk penyajian kesenian Angguk Sripanglaras, penulis mengharap kesenian ini untuk selalu dijaga kelestariannya dan juga dikembangkan, salah satunya

yang terbaik. Petugas yang ada juga sudah menjalankan tugasnya masing- masing dengan baik. Namun, beliau juga tidak menampik apabila ada mesyarakat yang belum puas

sebuah Produk atau Jasa yang dapat dilihat dari kebijakan harga yang ditetapkan perusahaan atas Produk atau Jasa tersebut, dan hal tersebut membentuk persepsi Konsumen akan

kualitatif sesungguhnya merupakan upaya rekonstruksi, yaitu suatu pembentukan protobahasa dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan penemuan ciri- ciri bersama