• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712006030 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 712006030 Full text"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

3

“Suatu Studi Komparatif Terhadap Konsep Tuhan itu Esa

menurut Kitab Ulangan 6:4 dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam

Pancasila”

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

17 Agustus 1945 merupakan peristiwa sejarah yang mempunyai makna

yang penting dan luhur bagi bangsa Indonesia, yakni perubahan dalam tatanan

kehidupan masyarakat dengan yang terbebas dari penjajahan asing menuju

kehidupan yang mandiri sebagai bangsa yang merdeka. Dalam wacana

kemerdekaan tersebut sebagai sebuah bangsa yang baru berdiri, tentunya

Indonesia membutuhkan landasan atau falsafah hidup yang menjadi pedoman

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga sekaligus merupakan

kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri. Nilai-nilai lain yang

mendapat kesempatan rakyat Indonesia seluruhnya adalah pernyataan bahwa

Proklamasi itu merupakan penjelmaan cita-cita bangsa Indonesia, pandangan hidup

bangsa, falsafah hidup bangsa yang tertuang dalam Pancasila.1

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) mengesahkan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Ditinjau dari

sejarah pemikiran mengenai Pancasila, ada terjadi perubahan yang sifatnya

fundamental. Dengan di sahkannya Undang-Undang Dasar 1945, maka Pancasila,

1

R. Parmono dan Kartini, Pancasila Dasar Negara Indonesia ( Yogyakarta: Andi Offset, 1984), 35.

(2)

4

dalam arti lima dasar negara, menjadi dasar negara. Alinea keempat Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 itu memuat pernyataan sebagai berikut:

… yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2

Alkitab juga membahas tentang Tuhan yang Esa tersebut khususnya dalam

Alkitab Perjanjian Lama (PL). Cerita tentang lahirnya bangsa Israel terdapat dalam

5 kitab Perjanjian Lama, yang juga disebut sebagai Pentateukh,3 merupakan suatu

kata yang berasal dari bahasa Yunani Pentateukos. Selain kata Pentateukh sering

juga disebut Taurat, kata ini berasal dari bahasa Ibrani Tora (hukum, pengajaran,

petunjuk) yang diterjemahkan dalam Perjanjian Baru oleh kata Yunani Nomos.

Seluruh kitab Ulangan merupakan sumber utama ketiga yang terdapat di

dalam Pentateukh. Nama bahasa latin dari kitab Ulangan adalah Deuteronomium

(baca: doiteronomium). Dari nama inilah diperoleh sebutan “Sumber D” atau

sumber Deuteronomium. Salah satu sumbangan para peneliti Alkitab abad 19 M

adalah keberhasilan mereka menemukan empat sumber cerita di dalam

Pentateukh. Mereka juga berhasil menentukan waktu dari keempat sumber cerita

tersebut. Keempat sumber cerita beri tanda dengan huruf-huruf Y, E, D, P.4 Salah satu nats dalam Perjanjian Lama khusus menuliskan tentang “Esa” yaitu Kitab Ulangan 6:4, Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, Tuhan itu

esa!.” Dikategorikan ke dalam sumber D.

Bertolak dari klasifikasi teori sumber tersebut, maka saat membicarakan

tentang konsep monotheisme akan berkaitan langsung dengan keempat sumber

yang ada karena semuanya secara tersirat mengandung gagasan percaya akan satu

Tuhan. Namun dalam sumber DH-lah, Penulis melihat signifikansi yang begitu

kuat tentang gagasan satu Tuhan tersebut. Dalam salah satu agenda reformasi

penulis DH yaitu Yosia, begitu jelas diungkapkan tentang monotheime, gagasan

2

Ibid, 285. 3

Wahono. S. Wismoady, Di Sini Kutemukan (Jakarta:PT. BPK Gunung Mulia, 2000), 55. 4

(3)

5

tentang satu Tuhan, yang dalam bahasa Yosia disebut sebagai sentralisasi kultus,

hanya ada satu Tuhan yang berdiam di Yerusalem.

Apakah gagasan tentang satu Tuhan dalam Perjanjian Lama ini sama

dengan sila pertama Pancasila, “ke-Tuhanan yang maha esa”, atau sebaliknya

keduanya berbeda? Hal ini merupakan sesuatu yang menarik menarik yang harus

dikaji lebih dalam untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, baik itu tentang

monotheisme itu sendiri, maupun Ketuhanan Yang Maha Esa.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka

pertanyaan penelitian yang diangkat adalah:

1. Bagaimana makna Esa dalam kitab Ulangan 6:4 menurut Sumber D?

2. Bagaimana makna Esa dalam Pancasila sila pertama?

3. Apakah perbedaan dan persamaan makna Esa dari keduanya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan makna Esa dalam Kitab Ulangan 6:4.

2. Mendeskripsikan makna esa dalam Pancasila sila pertama.

3. Mendeskripsikan perbedaan dan persamaan makana Esa dari keduanya.

1.4 Manfaat Penelitian

Kiranya melalui penulisan dapat memberikan sumbangsih bagi Fakultas

Teologi khususnya dalam bidang Sosiologi Gereja. Gereja dalam kehidupan

bermasyarakat perlu untuk menyadari akan adanya pluralitas dalam hal, kebebasan

beragama dan menghargai akan identitas keyakinan masing-masing.

1.5 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Kualitatif,

yaitu metode yang didasarkan pada pemberian tekanan dalam aspek-aspek “memahami” atau “pemahaman mendalam” dan bukan pada “mengukur”, dimana titik tolaknya berasal dari pendekatan fenomenologis yang mengarahkan perhatian

(4)

6

individu secara menyeluruh [holistik] dan sistematis.5 Metode ini digunakan untuk

mendapatkan data yang mendalam dan menekankan kedalaman informasi hingga

pada tingkat makna. Makna merupakan suatu nilai dibalik yang tampak dari

kumpulan korelasi data-data yang ada.6

II. TUHAN ITU ESA DALAM KITAB ULANGAN 6:4

2.1 Kitab Ulangan Sebagai Bagian dari Sumber DH (Deuteronomistic History)

Sampai pada akhir abad ke-XIX penyelidikan terhadap Tora mengalami

perkembangan pesat terutama di bawah usaha-usaha A. Kuenen dan J. Wellhausen.

Menurut para ahli-ahli ini, dalam pentateukh ada empat sumber, yaitu:7

a. Sumber yang menggunakan nama “Yahwe” (Y);

b. Sumber yang menggunakan nama “Elohim” (E);

c. Sumber yang khususnya terdapat dalam kitab Ulangan atau

Deuteronomium (D);

d. Dan yang terakhir adalah sumber yang terutama dipelopori oleh imam-imam yang disebut “Priester Codex” (P).

Ulangan merupakan Kitab kelima di dalam susunan kitab-kitab Perjanjian

Lama. Dalam bahasa Ibrani, kitab Ulangan disebut dengan Devarim, sedangkan

nama bahasa Latin dari kitab Ulangan adalah “Deuteronomium” yang berarti „hukum kedua‟. Dari kata inilah, sumber DH atau sumber Deuteronomistic History didapat.8 Deuteronomi (Latin: Deuteronomium) berarti “Hukum kedua.”

Maksudnya bukanlah hukum baru, melainkan yang mengulang dan menguatkan

hukum yang lebih dahulu.

5

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), 3.

6

Usyiono, Pendekatan Kualitatif, (Bandung: Alfabeta ), 2-3. 7

Dr. J. Blommendal,Pengantar Kepada Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 17.

8

(5)

7

Ord dan Coote mengatakan, bahwa sumber-sumber pembentuk Alkitab

sebagian besar lahir dari pergulatan politik demi pencapaian dan legitimasi

kekuasaan yang ditempuh melalui produk-produk karya arsitektur, ritus-ritus

maupun sastra [tulisan-tulisan],9 maka tambahan-tambahan dan sisipan-sisipan

yang dilakukan para penulis Dh, tentunya dalam kerangka melegetimasi

kepentingan Dh. Dengan memahami latar belakang dan konteks sosial ketika

sumber Dh ditulis dan disampaikan kepada pembacanya, maka akan sangat

Adapun tujuan penulisan DH harus dilihat dalam konteks reformasi Yosia.

Oleh karena itu Chaney menyampaikan gagasannya yang berkaitan dengan hal

tersebut dalam enam pokok:11

1. Reformasi Yosia menandakan tumbuhnya kembali nasionalisme Yehuda

yang telah dikuasai Asyur selama hampir satu abad sebagai daerah taklukan

sejak zaman Tiglath – Pilezer III ( 745 – 727 SZB ).

David Robert Ord dan Robert B. Coote, Apakah Alkitab Benar?: Memahami Kebenaran Alkitab pada Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000),112.

10

Frank M. Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essay in History of the Religion of Israel, ( Cambridge: Harvard University Press, 1973 ), 275 – 278.

11 Marvin L. Chaney, “Joshua” dalam,

The Books of The Bible, (ed) Bernhard W.

(6)

8

3. Ada unsur perluasan teritori dengan gerakan Yosia ini, terutama terhadap

daerah Utara yang dulu adalah bagian dari kerajaan Daud, sebelum

dipisahkan setelah kematian Salomo.

4. Terhadap kenyataan ini Yosia memperjuangkan politiknya dengan

mempromosikan Hukum dan tradisi Musa sebagai alat legitimasi dengan

retorika Daud.

5. Perbaikan Bait Suci ditandai dengan ditemukannya hukum – hukum yang

kemudian oleh Yosia dijadikan hukum seluruh negeri dengan satu upaya

perjanjian ( II Raja – Raja 22 : 3 – 14 ; 23 : 1 – 3 ).

6. Penerapan hukum itu berarti pula pemusatan ( sentralisasi ) dari kerajaan.

Pemusatan secara politik terjadi dengan penegasan bahwa Yosia adalah

pewaris sah dari dinasti Daud, yang kekuasaannya meliputi seluruh Israel

Bersatu dulu.

2.2Analisa Teks Ulangan 6:412

לאר י עמ ׃ חא י ני לא י

(syema yisrael, YHWH elohenu, YHWH ekhad)

עמ (Syemah)

Syema merupakan kata benda maskulin turunan qal dan niphal yang dapat diartikan „dengarlah‟ (to listen) atau „dengarlah dengan seksama‟, atau dengarlah dengan perhatian‟, atau „dengarlah dan taati‟.

לאר י (Yisrael)

Yisrael merupakan kata benda nama diri maskulin yang biasanya diartikan

sebagai nama bangsa Israel sebagai keturunan Yakub. Yisrael sendiri dapat diartikan sebagai „ia akan mengatur sebagai allah‟.

י (YHWH)

YHWH merupakan kata benda nama diri TUHAN. Yahwe merupakan nama

elohim dari bangsa Israel (sekarang Yahudi) yang biasa disebut dengan panggilan

adonay.

ני לא (Elohenu)

12

(7)

9

Kata ini berasal dari kata dasar Elohym dan merupakan kata benda maskulin

bentuk plural. Elohim merupakan bentuk plural dari el. Dalam bentuk plural, dapat diartikan sebagai „pengatur‟, „yang suci‟, „allah‟ atau „dewa‟ atau „dewi‟, sedangkan dalam bentuk plural intensif dapat diartikan juga sebagai bekerja

sebagai allah, sehingga Elohenu dapat diartikan sebagai allah kita.

חא (Ekhad)

Ekhad adalah kata sifat yang merupakan turunan dari dari hithpael kata akhad.

Ekhad dapat diartikan sebagai satu (numerik), telah bersatu, pertama, setiap, salah

satu, saja, sendiri, dan „tertentu’.

Usulan Terjemahan:

“Dengarkanlah Israel, Yahwe itu Allah kita, hanya Yahwe saja.”

2.3 Yahwe Itu Esa Dalam Reformasi Yosia

Raja Yosia berkata kepada bangsa Israel yang ada di Utara hanya Yahwe

saja Allah kita. Maksudnya adalah bukan allah lain yang di sembah, tetapi Yahwe

saja yang di sembah. Ekhad tidak memeliki arti numerik atau tidak berbicara

masalah jumlah, bahwa hanya ada satu Allah atau bahwa Allah itu esa. Keesaan

tersebut memiliki makna bahwa YHWH saja Allah yang harus mereka sembah.

Bukan Elohim atau El-El yang ada di Utara.13

Tujuan atau maksud Yosia mengatakan bahwa YHWH saja yang harus

disembah adalah agar Israel Utara menyembah kepada YHWH di Yerusalem.

Dalam ambisinya tersebut Yosia mengangkat hukum Musa. Hukum Musa pada

saat itu adalah hukum-hukum yang mewakili tradisi dari utara dijadikan sebagai

aturan normatif bagi seluruh negeri. Hukum-hukum ini mengikuti pola hukum

tunggal untuk kultus dan daerah pedesaan.14 Sebagai aturan-aturan adat desa

normatif yang telah direvisi dan diangkat menjadi hukum istana dalam periode

Hizkia dan kemudian diperkuat kembali dalam pemerintahan Yosia,

13

Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), 88 14

(8)

10

menjadikannya mendapat dukungan penuh dari kalangan rakyat.15 Mengapa

hukum Musa? Karena dengan mengangkat hukum Musa, berarti Yosia dengan

sengaja menarik simpatik rakyat di Israel Utara yang sangat menjunjung Musa

sebagai tokoh leluhur yang cukup berpengaruh di Utara untuk bersatu dan

bergabung di bawah pemerintahan Yosia. Pelaksanaan hukum ini juga didukung

oleh pemusatan perayaan hari raya Paskah di Yerusalem, sebagai bagian

sentralisasi ibadat.16

Dengan menjadikan Yerusalem sebagai sentralisasi penyembahan terhadap

Yahweh ini mengakibatkan semakin besar kekuasaan Yosia pada saat itu dan

bertambah juga kekuasaan Yosia di Israel Utara.

3 MAKNA ESA DALAM PANCASILA SILA PERTAMA

3.1 Pendahuluan

Perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan Konstitusi Negara

Republik Indonesia lazim di hubungkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam

Sidang Umum Pertama Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI). Oleh karena itu maka inventarisasi pemikiran tentang

Pancasila juga dimulai dari masa pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Atas dasar itu maka inventarisasi pemikiran mengenai Pancasila ini dibagi

ke dalam liama periode: Periode Pertama, meliputi pemikiran-pemikiran tentang

Pacasila selama masa sidang BPUPKI (29 Mei 1945–17 Juli 1945). Periode Kedua,

pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya UUD 1945 yang

pertama (18 Agustus 1945–26 Desember 1949). Periode Ketiga,

pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya Konstitusi RIS (27 Agustus

1949–16 Agustus 1950). Periode Keempat, pemikiran-pemikiran Pancasila selama

masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950–5 Juli 1959). Periode Kelima,

15

Ibid, 83. 16

(9)

11

pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya UUD 1945 yang

kedua kalinya (5 Agustus – sekarang).17

Pada Pembukaan sidang tanggal 29 Mei 1945, Dr. R. Wedyodiningrat selaku ketua Badan Penyelidik dalam pidatonya mengajukan pertanyaan: “Apa Dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk?” Usaha jawab atas pertanyaan

tersebut memarnai seluruh pembicaraan dalam sidang pertama Badan Penyelidik.18

Tentang dasar negara itu sekurang-kurangnya ada tiga anggota yang

mengemukakan pandangannya, yaitu Muh. Yamin, di dalam pidatonya pada

tanggal 29 Mei 1945, Soepomo di dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945, dan

Soekarno, di dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.19

3.2 Pidato Lahirnya Pancasila: Pancasila Soekarno

Pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai

dasar negara Indonesia. Urutan sila-sila Pancasila Soekarno dalam pidato 1 Juni

1945: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme, atau Perikemanusiaan, (3)

Mufakat, atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan yang

berkebudayaan.20 Tentang prinsip Ketuhanan, Soekarno mengatakan:

Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme

-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain… Marilah di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: Bahwa prinsip daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan,

17

A.M.W. Pranakarya, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: Yayasan Proklamasi dan CSIS, 1985. Cet I), 23.

18

Hatta, dkk., Uraian Pancasila (Jakarta: Mutiara, 1984. Cet II), 25. 19

A.M.W. Pranakarya, Sejarah Pemikiran Tentang Pacasila, 26. 20

(10)

12 Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang

hormat-menghormati satu sama lain.21

Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam rangka memahami

Pancasila Soekarno: Pertama, Pancasila Soekarno diusulkan sebagai dasar bagi

sebuah negara-bangsa yang akan merdeka. Dengan kata lain, Pancasila merupakan

fundamen yang dipersiapkan untuk di atasnya akan di bangun sebuah gedung

Indonesia.22 Soekarno menggunakan kata “Gedung Indonesia” untuk menyebut

Negara Indonesia yang dicita-citakan.

kedua, Pancasila Soekarno digagas dari realitas empiris bangsa Indonesia

yang heterogen, sehinggga Indonesia yang merdeka tidak mempunyai dasar

negara yang berdasarkan pada ras, suku, maupun agama tertentu. Artinya,

Pancasila sebagai dasar negara harus mampu mengakomodasi kepentingan seluruh

lapisan dan golongan masyarakat. Dengan kata lain, Pancasila yang diusulkan

Soekarno bertujuan untuk menggalang serta menciptakan persatuan bangsa Indonesia. Menurut penjelasan Soekarno: “Pantja Sila adalah … dengan bahasa Djerman: satu Weltanschauung di atas mana kita meletakkan Negara Republik

Indonesia itu … Pantja Sila adalah satu alat mempersatu, jang saja yakin sejakin -jakinnja Bangsa Indonesia … hanyalah dapat bersatu-padu di atas dasar Pantja Sila itu”.23

Ketiga, Soekarno tidak mengajukan Pancasila sebagai jalan kompromi

untuk menjembatani perbedaan pandangan golongan Nasionalis dengan golongan

Islam. Soekarno menginkan agar Pancasila dapat diterima melalui suatu

persetujuan berssama. Keinginan Soekarno agar Pancasila diterima lewat

persetujuan bersama ini ternyata kemudian mengalami kegagalan, karena baik

angota-anggota Badan Penyelidik maupun Panitia Persiapan terpolarisasi dalam

dua kelompok, yakni golongan Islam dan golongan Nasionalis. Perdebatan dalam

sidang-sidang Badan Penyelidikdan Paniti Persiapan mengarahkan kesepakatan

tentang dasar negara ditempuh dengan jalan kompromi.

(11)

13

Keempat, ide Pancasila Soekarno tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi telah

digumuli sejak masa mudanya. Gagasan-gagasan asli Soekarno dapat ditelusuri

dari beberapa tulisannya sejak tahun 1918. Soekarno meyakini, bahwa bagian

terbesar masyarakat Indonesia terhisab dalam tiga golongan faham, yakni:

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Untuk menggalang persatuan bangsa,

Soekarno berusaha memadukan pikiran-pikiran dari ketiga faham tersebut. Sejak

tahun 1918 Soekarno mulai usahanya untuk mensintesakan faham Nasionalis,

Islamisme, dan Sosialisme.24 Pada tahun 1926 Soekarno berupaya mempersatukan

golongan-golongan faham yang bertentangan melalui tulisannya “Nasionalisme,

Islamisme, dan Marxisme.25 Dalam pengembaraan intelektualnya, Soekarno

senantiasa melakukan sintesis antara pengetahuan yang didapat, pengalaman dan

realitas masyarakat tersebut disaring oleh Soekarno untuk kemudian menghasilkan

apa yang di katakana sebagai pemikiran yang khas Soekarno, berupa sintesa dari

hal-hal yang ditemuinya.26

Setelah mengajukan empat sila pertama, Soekarno mengusulkan prinsip yang terakhir: “bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbukti pekerti luhur, ke-Tuhanan yang

hormat-menghormati satu sama lain”.27

Sejauh masih dalam kerangka pikir Soekarno, sila Ketuhanan bertujuan

untuk mendorong terciptanya persatuan di lingkungan agama-agama yang

beranekaragam itu.28 Badingkan dengan pernyataan Soekarno, bahwa Pancasila

adalah alat yang membersatukan, baik fisik (territorial) maupun jiwa/semangat

(dalam perjuangan kemerdekaan) bangsa Indonesia. Dalam keterangan selanjutnya Soekarno mengatakan bahwa: “Kalau kita mengetjualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia

dengan cara jang semesra-mesranja” Soekarno menegaskan, bahwa: “Jikalau

24

Ismaun, Tindjauan Pancasila: dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (Bandung: Carya Remadja, 1970), 104.

25

Sukarno, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, (Suluh Indonesia Muda, 1926) dalam Di Bawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitya Penerbitan Di Bawah Bendera Revolusi, 1963), 1-23.

26

Bandingkan Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1982), 80-89.

27

Bahar, Risalah…, 81. 28

(12)

14

bangsa Indonesia tidak bersatu … tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya sampai ke akhir zaman”.29

Penegasan Soekarno bahwa sila Ketuhanan berfungsi sebagai pengikat

keseluruhan rakyat Indonesia tanpa keterkaitan kepada suatu ajaran agama,

menyebabkan sila Ketuhanan lebih dapat diterima sebagai landasan politik untuk

menghimpun dan mempersatukan bangsa Indonesia terutama agama-agama yang

diharapkan dapat bersatu dan bekerja sama demi tercapainya Indonesia merdeka.

Sila Ketuhanan adalah jaminan bahwa di lingkungan Negara Indonesia Merdeka,

agama mempunyai tempat yang sebaik-baiknya dan masing-masing agama punya

hak serta kewajiban yang sama terhadap negara-bangsa Indonesia.

Soekarno kemudian menyimpulkan bahwa “mengingat ini semua, … kita ini harus satu rakyat jang mempunjai kepercajaan. Dus, kalau aku memakai

ke-Tuhanan sebagai pangikat keseluruhan, tentu bisa diterima “selanjutnya ditegaskan bahwa “ … pada garis besarnya rakyat Indonesia ini pertjaja kepada Tuhan. Bahkan Tuhan … jang kita kenal di dalam … agama kita. Dan formulering Tuhan Jang Maha Esa bisa di terima oleh semua golongan agama di Indonesia ini”.30

3.3 Piagam Jakarta

Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menentukan berlakunya

kembali Undang-undang Dasar 1945 bagi seluruh tumbah darah Indonesia,

terdapat pula menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan

pernyataan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang beranggotakan,

Soekarno, Moh. Hatta, Maramis, Abikusno Tjokrosoejono, Abdulkarim Moezakir,

H.A. Salim, Ahmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Yamin, suatu rangkaian

kesatuan dengan Kontitusi tersebut. Maksud Dekrit Presiden itu ialah untuk mengadakan Dekrit itu ialah disebut “hubungan Piagam Jakarta dengan Undang -undang Dasar 1945”.31

Dalam piagam ini, Pancasila versi Soekarno dirumuskan kembali sebagai

sebagai berikut:

29

Saafroedin Bahar, Risalah Sidang…, 84. 30

Soekarno, Pantja Sila sebagai Dasar Negara, 44-49. 31

(13)

15

 Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya.

 Kemanusian yang adil dan beradap.  Persatuan Indonesia.

 Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan.

 Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari‟at bagi pemeluknya” tetap menjadi cita-cita umat Islam, karena aturan-aturan tentang bagaimana

menerapkannya secara menyeluruh dalam kehiduapan mereka belum berhasil.

Ketika itu, kelompok Nasionalis-Muslim menempatkan cita-cita mereka sebagai

hal utama, sementara kebijakan-kebijakan mengenai penerapan cita-cita ini baru dirumuskan kemudian. Apapun yang mungkin terjadi, kalimat “ dengan kewajiban menjalan syari‟at bagi pemeluknya” segera menimbulkan keberatan yang mendalam, khususnya dari kelompok Kristen. Pada tanggal 11 Juli 1945,

Latuharhary, seorang pengikut Protestan yang setia dan anggota dari BPUPKI,

mengekspresikan keberatannya dengan mengatakan bahwa konsekuensi kalimat

Islamis tersebut mungkin akan besar, terutama berkaitan dengan agama-agama

lain, dan akan menghasilkan kesulitan-kesulitan berkaitan dengan hukum adat.32

Tentang Piagam Jakarta itu didalam lampiran suatu Keputusan Dewan Pertimbangan Agung ditambahkan keterangan, bahwa “perwujudan daripada realisasinya tidak mengurangi ketentuan-ketentuan, yang termaktub dalam

Undang-undang Dasar fasal 29 ayat (2) yang berbunyi: Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya”. Untuk jelasnya kita tambahkan, bahwa ayai (1) daripada pasal 29 yang dijelaskan lebih lanjut, dalam ayatnya (2) itu ialah berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

3.4 Pernyataan Indonesia Merdeka

32

(14)

16

Pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pernyataan Indonesia

Merdeka tidak ini pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dipahami dalam

Piagam Jakarta. Bahkan terkesan makin kuat masuknya gagasan-gagasan Islami

dalam Pembukaan UUD Indonesia. Karena, kata Bismilah yang di tempatkan di

atas Pembukaan, tidak dapat dipahami sekedar suatu kebiasaan kaum Muslim

ketika hendak melakukan sesuatu. Karena dengan penempatan itu, kata “Bismillah” akan menjadi pintu masuk yang harus dilalui orang ketika hendak memahami Pembukaan yang menyebabkan paham Islam menjiwai seluruh isi

Pembukaan. Hal itu jelas akan mempengaruhi “ jiwa” Pembukaan UUD secara

menyeluruh. Dengan demikian, dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan

juga dijiwai oleh paham Islam. Jadi, Penggunaan kata Bismillah ini menegaskan

semakin kuatnya gagasan Islam mempengaruhi Pembukaan,33 terutama bila

dikaitkan dengan sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam

bagi pemeluk-pemeluknya.

Pembahasan tentang Pernyataan Indonesia Merdeka dan Pembukaan,

rumusan sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya dipersoalkan kembali. Hadikoesoemo dan Sanoesi mengusulkan agar frase kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus saja,34 sehingga rumusannya menjadi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Tetapi Soekarno menolak usul tersebut dengan alasan bahwa rumusan tersebut merupakan hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam.35

Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus

1945 Agustus 1945 sore, Hatta menerima kunjungan seorang perwira angkatan

Laut Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia

Timur. Kalangan Katholik dan Protestan mengakui bahwa kalimat semacam itu

(tujuh kata) hanya diterapkan bagi umat Isalam, mereka menganggapnya sebagai

diskriminasi terhadapa semua golongan minoritas. Mereka tidak bisa menerima

dimuatnya Piagam Jakarta pada Mukadimah Undang-undang Dasar. Jika tidak

(15)

17

berubah, mereka siap untuk tidak bergabung dengan Republik yang baru berumur

sehari itu.36

Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan

di alinea ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan

Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945,

Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada redaksi

pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI kemudian mengusulkan agar kata “Allah” diganti dengan “Tuhan”.37

Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat di usahakan

penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan memanggil empat anggota PPKI yang

dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku

Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim. Hatta menyampaikan keberatan dari

masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah

Undang-undang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan tujuh kata itu

diganti dengan Yang Maha Esa. Penambahan kata Esa menggaris bawahi keesaan

Tuhan (Tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain.38 Hal ini akan menimbulkan

masalah, karena dalam umat Kristen adanya konsep tentang Trinitas dan umat

Hindu mengenal konsep Politheisme.39 Dalam hal ini keTuhanan Yang Maha Esa

dalam Pancasila sangat berbau Islamis.

Dengan demikian makna Esa dalam Pancasila Sila Pertama keTuhanan

Yang Maha Esa adalah bersifat numerik (Tauhid) dalam arti Monotheisme.

4. ANALISA TERHADAP KONSEP TUHAN ITU ESA

MENURUT KITAB ULANGAN 6:4 DENGAN KETUHANAN YANG MAHA ESA DALAM PANCASILA

36

(16)

18

Pada bab-bab sebelumnya sudah diceritakan tentang tujuan-tujuan

Reformasi Yosia yang hal utamanya adalah menyatukan Israel Utara dan Israel

Selatan. Yosia dalam cita-citanya membawa bangsa Israel kembali kepada

kesatuan yang pernah dialami sejak zaman Daud berkuasa. Dalam mewujudkan

Reformasi Yosia untuk menyatukan Israel Utara dan Israel Selatan Yosia

melegitimasi hukum dengan menggunakan figur Musa. Mengapa Musa? Karena

pada saat Israel bersatu yang menjadi figur/bapak leluhur dari Israel bersatu yang

berperan pada saat itu adalah Musa. Yosia ingin mendapatkan simpati oleh rakyat

Israel Utara. Oleh karena itu Yosia memakai Figur Musa untuk menyatukan

kembali bangsa Israel.

Dalam analisa yang dilakukan terhadap Ulangan 6:4, telah penulis

ungkapkan bahwa kata ekhad yang menjadi persoalan dalam penelitian ini, ekhad

berarti saja. Ekhad disini tidak bersifat numerik atau dihitung secara matematis.

Dalam Alkitab bahasa Indonesia kata ekhad diartikan satu, seharusnya diterjemahkan dengan kata “saja”.

Dalam Pancasila sila pertama, yaitu keTuhanan Yang Maha Esa makna

kata Esa bersifat numerik dalam arti Monotheisme.

Setelah melihat penjelasan tentang makna “Esa” dalam kitab Ulangan 6:4

dengan Pancasila Sila pertama yaitu, keTuhanan Yang Maha Esa kedua-duanya

(17)

19 Kesimpulan

 Makna kata Ekhad dalam kitab Ulangan 6:4 adalah „saja‟ Ekhad disini

tidak bersifat numerik atau dihitung secara matematis.

 Makna kata Esa dalam Pancasila sila pertama, keTuhanan Yang Maha Esa

adalah bersifat numerik dalam arti Monotheisme.

 Setelah melihat penjelasan tentang makna “Esa” dalam kitab Ulangan 6:4

dengan Pancasila Sila pertama yaitu, keTuhanan Yang Maha Esa

kedua-duanya tidak bisa dibandingkan. Kenapa? Karena makna dari kedua-kedua-duanya sudah berbeda dalam kitab Ulangan 6:4 makna kata “Esa” itu tidak bersifat Numerik (angka), melainkan dalam Pancasila Sila pertama keTuhanan Yang Maha Esa makna kata “Esa” itu bersifat Monotheis (satu).

Saran

Pancasila sebagai pengikat kemajemukan yang terjadi di Indonesia harus

benar-benar di jiwai oleh setiap warga Indonesia. Pancasila milik kita semua

(warga Indonesia), bukan milik perorangan atau golongan yang mempunyai

kepentingan di dalamnya. KeTuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai secara

nasional dan dengan kepercayaan agamanya masing-masing, bukan hanya makna

keIslaman (Tauhid). Dalam hal ini Pancasila, khususnya Sila pertama keTuhanan

Yang Maha Esa harus di kaji ulang lagi dan menemukan pemaknaan yang nasional

(18)

20 Daftar Pustaka

Alfian. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1982.

Alim, Muhammad. Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam. Yogyakarta,

LKiS, 2010.

Anderson, Bernhard W (ed). The Books of The Bible. New York: Charles Sribner‟s

Son, 1989.

Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh

Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun.

Bandung: Mizan, 2003.

Bahar, Saafroedin, Nannie Hudawati (eds.). Risalah Sidang Badan Penyelidik

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 – 22 Agustus

1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.

Blommendaal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1998.

Coote, Robert B & David Robert Ord. Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan

Alkitab: Suatu Pengantar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

_________. Apakah Alkitab Benar?: Memahami Kebenaran Alkitab pada Masa

(19)

21

Cross, Frank Moore. Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essay in the History of the

Religion of Israel. Massachusetts: Harvard University Press, 1973.

El Muhammady, Usman T.M. Ilmu Ketuhanan Yang Maha Esa. Jakarta, Pustaka

Agussalim, 1963.

Feillard, Andre. NU vis a vis Negara: Pencarian isi, Bentuk dan Makna.

Yogyakarta: LKiS, 2009

Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama. Yogyakarta, Pt. Tiara

Wacana, 1999.

Ismaun. Tindjauan Pancasila: dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.

Bandung: Carya Remadja, 1970.

Moleong, Lexi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, 1995.

Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bina Aksara. 1984.

Pamono R. Pancasila Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.

Panitia Lima: Moh. Hatta, A. Subardjo Dj., A.A. Maramis, dkk., Uraian

Pancasila. Jakarta:

Mutiara, 1980.

Pranakarya, A.M.W. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: Yayasan

Proklamasi dan CSIS, 1985.

Sukarno. Mencapai Indonesia Merdeka. Jakarta: Inti Idayu Press – Yayasan

Pendidikan Soekarno, 1984.

_______, Pantja-Sila Sebagai Dasar Negara, Jilid IV-V. Jakarta: Kementrian

Penerangan

RI, 1958.

(20)

22

Titaley, John A. “A Sociohistorical Analysis of the Pancasila as Indonesia‟s State Ideology in the Light of the Royal Ideologi in the Davidic State”. Thesis Th. D. Graduate Theological Union, Berkeley, 1991.

Wahono, Wismoady. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Alkitab, Kamus

Alkitab Ibrani-Indonesia. Jakarta, Lembaga Alkitab Indonesia, 1999.

Biblia Hebranica Stutgartensia. Stuttgart, Deutsche Bibelgesellschaft, 1967.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Perolehan marketing sales tersebut setara 15% dari target yang dipatok tahun ini yakni Rp 4,5 triliun.. Adrianto Adhi, Direktur Utama SMRA mengatakan sekitar Rp 275 miliar didapat

Perbaikan dilakukan untuk mengubah tehnik dalam perpindahan alat yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri karena masih memiliki roda, sedangkan saat ini ke empat

Kajian awal dilakukan dengan mempelajari tentang tinjauan taman rekreasi air yang dimulai dari pengertian taman dan rekreasi air, kemudian tinjauan mengenai Danau BSB,

(4) Setiap orang dilarang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film,

Pilihlah salah satu kemungkinan jawaban yang mempunyai arti yang berlawanan dengan kata yang dicetak dengan huruf kapital dengan cara menghitamkan bulatan yang sesuai dengan

Kata “Benteng” sendiri diambil pada masa setelah pemberontakan masyarakat Tionghoa terhadap penguasa VOC di Batavia pada tahun 1740 (peristiwa kali Angke), yang dimana sebagian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara penggunaan media sosial dengan kualitas tidur, kestabilan emosi dan kecemasan sosial pada

Mencermati kinerja Terminal Kartasura setelah dilakukan relokasi pada tahun 2005 oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang menunjukkan penurunan kinerja dibandingkan