• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pain Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Kanker Serviks di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pain Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Kanker Serviks di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2 TIJAUAN TEORI 1. Kanker Serviks

1.1 Pengertian Kanker serviks

Kanker serviks adalah karsinoma pada leher rahim dan menempati

urutan pertama di dunia (Sjamjuhidayat, 2005). Karsinoma insitu pada

serviks adalah kelainan dimana sel-sel neoplastik terdapat pada seluruh

lapisan epitel (Price, 1995). Kanker serviks berkembang secara bertahap,

tetapi progresif. Proses terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang

mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi

kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,

displasia sedang, displasia berat, dan akhirnya menjadi karsinoma insitu,

kemudian berkembang lagi menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia

dan karsinoma in situ dikenal sebagai tingkat lesi prakanker serviks.

Kondisi prakanker sampai karsinoma in situ sering tidak menunjukkan

gejala karena proses penyakitnya berada di dalam lapisan epitel dan belum

menimbulkan perubahan yang nyata dari mulut rahim. Pada akhirnya

gejala yang ditimbulkan adalah keputihan, perdarahan paska senggama

dan pengeluaran cairan encer dari vagina (Dianda, 2008).

Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.

Sebanyak 90% dari skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya

berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada servikal yang menuju

(2)

Sumber: Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementerian Kesehatan RI

1.2 Patofisiologi Kanker Serviks

Kanker serviks mulai timbul di batas antara sel yang melapisi

ektoserviks dan endoserviks, kanalis serviks yang disebut

squamocolumnar junction (Sukardja, 2000). Pertumbuhan kanker

serviks diawali dengan sel yang mengalami mutasi kemudian

berkembang menjadi sel displastik yang disebut displasia, yaitu

(3)

secara sitologi atau morfologi berbeda dibandingkan dengan sel epitel

normal. Pada kondisi displasia belum mengenai sel epitel basalis dan

belum menunjukkan karakteristik keganasan. Displasia dimulai dari

displasia ringan, sedang, sampai berat. Perkembangan selanjutnya

adalah menjadi kanker insitu (KIS) dan akhirnya menjadi kanker invasif

(Suwiyoga, 2006).

1.3 Faktor Resiko

Kanker serviks merupakan kondisi yang jarang terjadi disbanding

sebelumnya akibat deteksi dini dengan pap smear. Selama 40 tahun

terakhir, kanker servical invasif telah menurun dari 45 kasus per 100.000

hingga 15 kasus per 100.000 wanita. Kondisi ini terjadi paling sering

pada usia 30-45 tahun, tetapi dapat terjadi pada usia dini yaitu 18 tahun.

Aktivitas seksual berhubungan dengan angka kejadian kanker serviks

pada wanita di bawah usia 25 tahun, dengan riwayat pasangan seksual

lebih dari satu orang dan beberapa kehamilan dini, angka kejadian ini

lebih prevalen.

Faktor resiko, selain usia dini saat melakukan hubungan seksual,

melahirkan pada usia sangat muda, dan memiliki banyak pasangan

seksual, termasuk pemajanan terhadap human papilovirus (HPV),

infeksi HIV, merokok dan pemajanan terhadap dietilstilbesterol (DES)

(4)

2. Konsep Nyeri

2.1 Pengertian Nyeri

Menurut The International Association for the Study of Pain (1979,

dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori

dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang

menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang

ada kapanpun individu mengatakannya (Smeltzer & Bare, 2001).

Nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit atau

bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatannya.

Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dari pada

penyakit apapun (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2 Klasikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut

dan nyeri kronis (Long, 1989 dalam pasaribu 2011).

Nyeri Akut, nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara

mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan

ditandai adanya peningkatan tegangan otot (Long, 1989). Nyeri akut

merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam

bulan, secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi

(5)

telapak tangan. Pasien dengan nyeri akut sering mengalami kecemasan

(Berger, 1992).

Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada

patah tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang mengalami nyeri

akut biasanya menunjukan gelala-gejala antara lain: respirasi

meningkat, percepatan jantung dan tekanan darah meningkat (Priharjo,

1996).

Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan

dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan bahwa

kerusakan atau cidera telah tarjadi. Hal ini menarik perhatian pada

kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada

kita untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial

menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada

penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan

terjadinya penyembuhan, nyeri ini pada umumnya terjadi kurang dari

enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Nyeri akut dapat

dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga

enam bulan. Cidera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat

sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan (Smeltzer &

Bare, 2001). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera

atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang

dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang

(6)

Nyeri Kronis, nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara

perlahan- lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu

lebih dari enam bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis

adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis

(Long, 1989 dalam Pasaribu, 2011). Nyeri kronis dibedakan dalam dua

kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik

nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak

dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan, nyeri kronis

dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang

mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri.

Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2006)

Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung

selama enam bulan atau lebih nyeri kronis tidak mempinyai tujuan yang

berguna dan jika hal ini menetap, ini menjadi gangguan utama

(Smeltzer & Bare, 2001). Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau

intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, nyeri kronis

dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering

sulit untuk di obati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon

terhadap pengobatan yang di arahkan pada penyebabnya.

Menurut Lewis (1983), kebanyakan penderita nyeri kanker tidak

berasal dari pengalaman nyeri. Dan beberapa mengalami nyeri

psikologi yang berasal dari proses keganasan. Bagaimanapun juga,

(7)

umumnya berhubungan dengan metastasis. Sekitar 60 sampai 80%

pasien kanker yang dirawat di rumah sakit menderita nyeri yang sangat

hebat.

2.3 Penganganan Nyeri

Penanganan nyeri merupakan masalah yang kompleks. Sebelum

dilakukan penanganan terhadap nyeri terlebih dahulu mengkaji sumber,

letak, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri seperti kegelisahan dan

keletihan (Smeltzer & Bare, 2001). Penanganan nyeri dapat dilakukan

dengan cara:

1. Farmakologis

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis

dilakukan dalam kolaborasi dokter dan pasien (Smeltzer & Bare, 2001).

Analgesik merupakan obat yang paling umum untuk menghilangkan

nyeri (Brannon & Jeist, 2007). Secara umum obat analgesik

digolongkan menjadi dua yaitu narkotika dan non narkotika (Julien,

1985 dalam Branner & Feist, 2007). Analgesik ini biasanya diberikan

terutama pada nyeri akut (Branner & Feist, 2007). Pada nyeri kronis,

klien cenderung mengalami depresi sehingga diberikan antidepresan.

Selain efektif untuk mengatasi depresi, antidepresan juga mengandung

(8)

2. Nonfarmakologis

Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko yang

sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan tehnik

nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk

menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).

a. Distraksi. Distraksi adalah tehnik mengalihkan perhatian klien ke hal

lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan untuk

menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan

toleransi terhadap nyeri. Salah satu tehnik distraksi adalah dengan

mendengarkan musik (Potter & Perry,2005).

b. Stimulasi Kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang

dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Beberapa strategi stimulasi

kutaneus adalah dengan masase dan kompres panas dan dingin.

Masase sering dipusatkan pada punggung dan bahu, membuat pasien

lebih nyaman karena merelaksasi otot (Brunner & Suddarth, 2001).

Pilihan terapi kompres panas dan dingin bervariasi menurut kondisi

klien. Misalnya, panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi

hari akibat arthritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut

dan sendi yang mengalami peradangan akibat penyakit yang diderita

(Ceccio,1990 dalam Potter & Perry, 2005).

c. Relaksasi. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri

dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tehnik

(9)

frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat memejamkan matanya

dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang

konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan

lambat bersama setiap inhalasi dan ekhalasi (Smeltzer & Bare,

2001). Tehnik relaksasi ini sangat efektif terutama pada pasien

nyeri kronis (Somantri, 2007).

d. Terapi Kognitif. Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang

dialami memberikan pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap

seberapa besar nyeri yang dia rasakan. Pikiran yang negatif tentang

nyeri akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang

tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah

buruk (Turk dkk, 1983; Turk & Rudy, 1986 dalam DiMetteo,

1991). Pemberian intervensi terapi kognitif ini adalah meningkatkan

cara berfikir klien dengan mengarahkan klien untuk memahami

masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki

kemampuan untuk berperilaku normal (Tailor, 1995). Tehnik

kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy

(Brannon & Jeist, 2007).

3. Perilaku Nyeri

3.1 Pengertian Perilaku Nyeri

Respon terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi dua

(10)

yang dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan

pengalaman yang tidak menyenangkan yang bersifat subjektif.

Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut dengan perilaku nyeri

(Fields, 1987 dalam Harahap 2007).

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang

dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat

diobservasi (Wall, 1991) dalam Pasaribu (2011). Menurut Fordyce (1976)

dalam Harahap 2007, pembelajaran memainkan peranan yang penting

dalam mengembangkan perilaku nyeri yang membantu perawatan nyeri

kronis. Menurut Fordyce (1976), perilaku nyeri dapat berupa:

1. Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih dan

mengadukan nyeri yang dialami.

2. Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut

dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir

berkerut, dan dagu bergetar.

3. Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang

nyeri, immobilisasi dan menyeringai.

4. Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat

dan berbaring secara berlebihan.

3.2 Jenis Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri kronik secara khusus adalah dasar bahwa sedikitnya ada

2 jenis dari perilaku nyeri yaitu respondent behavior dan operant

(11)

3.2.1 Respondent Behavior

Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya

stimulus yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan

antara stimulus dan respon. Respon reflektif merupakan respon yang

secara otomatis dapat terjadi walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini

dikontrol oleh stimulus nociceptif yang spesifik, contoh perilaku nyeri

reflektif ini adalah sensasi terbakar yang berhubungan dengan injuri pada

kulit ataupun pada otot (Kast, 1998 dalam Harahap, 2007).

3.2.2 Operant Behavior

Operant behavior adalah respon yang timbul dan berkembang

kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Penghargaan dan

hukuman merupakan kunci dari pendekatan operant dan perilaku sering

dihubungkan dengan tidak adanya reaksi terhadap nyeri dan lebih sering

dihubungkan dengan faktor afektif atau lingkungan (Niven, 1994).

Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk

penghargaan (sesuatu yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan

perilaku nyeri, seperti pasangan hidup atau kompensasi finansial) (Niven,

1994).

Kadang- kadang perilaku nyeri melibatkan penghindaran dari

sesuatu yang tidak diinginkan (keluar dari pekerjaan yang menimbulkan

stress atau menghindari kontak dengan individu yang mengancam) (Niven,

(12)

keadaan nyeri adalah dengan menunjukkan dukungan atau perhatian dan

bersikap menenangkan. Menurut pendekatan operant hal ini akan menjadi

penghargaan karena tindakan tersebut memberikan penghargaan bagi

pasien, dengan memberinya perhatian setiap saat ia mengeluh adanya nyeri

(Niven, 1994).

3.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri 3.3.1 Jenis kelamin

Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih

kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal

atau perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara

pada laki-laki hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983

dalam Aritonang, 2010).

3.3.2 Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara

lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia

lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan

nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya

atau mencari perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001).

3.3.3 Budaya

Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon

terhadap nyeri (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut penelitian yang

(13)

perilaku berbeda antara satu kelompok dengan kelompok

yang lain di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut

dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok

etnik tersebut.

3.3.4 Ansietas

Menurut Racham dan Philips (1975, dalam Niven 1994), ansietas

mempunyai efek yang besar terhadap kualitas maupun terhadap

intensitas pengalaman nyeri. Ambang batas nyeri berkurang

karena adanya peningkatan rasa cemas dan ansietas menyebabkan

terjadinya lingkaran yang terus berputar, karena peningkatan

ansietas akan mengakibatkan peningkatan sensivitas nyeri

(Melzack, 1973 dalam Aritonang, 2010).

3.3.5 Pengalaman Masa Lalu

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak

kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang

mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun

dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi (Smeltzer &

Bare, 2001).

3.3.6 Pola Koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri

mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan

mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990

(14)

lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam

lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang

bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang

memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang

tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali

eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).

3.3.7 Dukungan Sosial dan Keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,

bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri,

tetapi akan menurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry,

2005).

3.4 Pengukuran Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri dapat diobservasi dan dapat diukur. Perilaku yang timbul

sebagai manifestasi dari nyeri seperti perubahan postur, ekspresi wajah

dan penurunan aktivitas (Turk dkk, 1985 dalam Taylor, 1995).

Observasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi

pengkajian yang standar (Keefe & Smith, 2002 dalam Branner & Feist,

2007).

Fordyce mengembangkan self observations untuk mengukur perilaku

nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta

(15)

meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu: duduk, berdiri atau berjalan,

dan berbaring. Pasien setiap saat juga diminta untuk mendokumentasikan

pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode

self observation ini mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan

pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri (Keefe, 2002 dalam

Harahap 2007). Bagaimanapun juga validasi dari self observation

perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat (Turk & Flor, 1987

dalam Harahap 2007) karena kebanyakan pasien tidak selalu

mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain

untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan

wawancara dan kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa

pertanyaaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga

dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik (Harahap,

2007).

Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang

tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa

perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara

langsung, perilaku nyeri dinilai berdasarkan pertimbangan dan

keterampilan pengobservasi.

Instrumen yang digunakan peneliti dalam mengobservasi perilaku nyeri

adalah Pain Behavior Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh

Keefe dan Block pada tahun 1982 (Harahap, 2007). PBOP ini terdiri

(16)

tiga nilai yaitu 0= tidak ada, 1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Protokol

Keefe dan Block merupakan serangkaian aktivitas selama 10 menit yang

kemudian disesuaikan. Perilaku nyeri tersebut adalah : (1) Terjaga,

mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa terganggu atau

pergerakan yang kaku, (2) Menahan nyeri, mengacu pada pergerakan yang

statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin meluas dan

distribusi berat yang tidak normal, (3) Menggosok bagian yang nyeri,

mengacu pada menyentuh atau memegang bagian tubuh yang

terpengaruh nyeri, (4) Meringis, mengacu pada ekspresi wajah yang

dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit,

merapatkan bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) Mendesah,

mengacu pada ekhalasi yang berlebihan (Keefe & Block, 2002 dalam

Harahap, 2007).

4. Self Efficacy

4.1 Pengertian Efikasi Diri (Self Efficacy)

Peterson (2004) tentang teori sosial kognitif menjelaskan bahwa efikasi

diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur

dan melaksanakan suatu tindakan yang ingin dicapai. Keyakinan tentang

efikasi diri akan memberikan motivasi, kesejahteraaan dan prestasi

seseorang.

Menurut Bandura (1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan

(17)

situasi yang spesifik. Self efficacy merupakan suatu bentuk kepercayaan

yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk

meningkatkan prestasi kehidupannya. Self efficacy dapat berupa

bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, motivasi diri, dan keinginan

memiliki sesuatu.

Individu dengan self efficacy tinggi akan berusaha lebih keras dan

mempunyai daya yang kuat dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan

dengan individu yang memiliki self efficacy yang rendah. Self

efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya.

Pentingnya self efficacy akan berpengaruh pada usaha yang diperlukan

dan akhirnya terlihat dari outcome kerja. Individu dengan self efficacy

yang tinggi akan lebih ulet dan tahan menghadapi situasi sekitarnya

(Brannon & Jeist, 2007).

Menurut Bandura, individu dengan self efficacy yang tinggi cenderung

tidak memiliki rasa cemas dalam mengerjakan tugas. Hal ini disebabkan

karena mereka mempunyai kontrol yang baik terhadap segala sesuatu

yang ada disekitarnya. Adanya kontrol yang baik dalam diri mereka

menyebabkan mereka jarang membuat kesalahan dalam mengerjakan

sesuatu (Brannon & Jeist, 2007).

Menurut Bandura (1994), keberadaan self efficacy pada diri seseorang

(18)

4.1.1 Proses Kognitif

Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam

berbagai format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam

pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan. Pengaturan tujuan

individu dipengaruhi oleh penaksiran individu terhadap kapabilitas

yang dimilikinya.

4.1.2 Proses Motivasi

Kepercayaan diri terhadap self efficacy memainkan peranan dalam

pengaturan diri terhadap motivasi. Seseorang memotivasi dirinya

sendiri dan mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan.

Mereka percaya terhadap apa yang mereka lakukan dan selalu

mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif.

4.1.3 Proses Afektif

Seseorang percaya terhadap pengaruh kapabilitasnya dalam

mengatasi stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi

yang sulit. Dengan adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu

mengatasi segala persoalan yang mengancam keberadaannya.

4.1.4 Proses Selektif

Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya,

maka seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan

pemilihan terhadap pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan

memilih pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang sesuai

(19)

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Steers dan Porter (1992), keyakinan seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa hal:

4.2.1 Mastery Experience (Pengalaman Keberhasilan)

Keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan

kemampuannya. Sedangkan kegagalan menyebabkan seseorang

cenderung untuk lebih berhati-hati. Bagaimanapun jika pengalaman

seseorang merupakan keberhasilan yang dicapai dengan mudah,

maka mereka cenderung mengharapkan hasil dengan cepat dan lebih

mudah putus asa bila menemui kegagalan. Untuk mendapatkan self

efficacy, seseorang harus mempunyai pengalaman mengatasi

hambatan dengan usaha yang tekun. Beberapa pengalaman dan

hambatan yang dialami seseorang bermanfaat mengajarkan

bahwa kadang kesuksesan itu diikuti dengan adanya keinginan

untuk berusaha. Setelah seseorang memiliki keyakinan akan

kemampuannya yang diikuti dengan pengulangan kesuksesannya,

maka ia dapat mengatur kembali strategi dan kegagalan masa

lalu sehingga tidak mengalami kegagalan lagi.

4.2.2 Modeling (Meniru)

Sosok model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan

kemampuan dengan meyakini pengamatan strategi yang efektif

untuk mengatur situasi yang berbeda. Modeling juga menyebabkan

(20)

pembandingan sosial. Sebagian orang menilai kemampuan mereka

dengan cara membandingkan dengan orang lain.

4.2.3 Social Persuasions

Social Persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi

tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh

seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk

meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu

tugas.

4.3 Sumber Self Efficacy

Bandura (1994) meyebutkan 3 sumber self efficacy, yaitu:

4.3.1 Pencapaian prestasi

Menurut Bandura (1994), sumber yang paling penting dan efektif

dari self efficacy adalah perjalanan keberhasilan dan kegagalan di

masa lalu dalam mencapai hasil yang diinginkan. Bila seseorang

dapat menguasai pengalaman-pengalaman pribadinya maka ia

cenderung menciptakan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya

kegagalan dalam menguasa pengalaman-pengalaman sebelumnya

cenderung menghasilkan harapan-harapan yang rendah.

4.3.2 Pengalaman yang dialami orang lain

Pengalaman yamg dialami orang lain dapat menjadi sumber

(21)

mencapai suatu prestasi dapat membangkitkan persepsi yang kuat

akan self efficacy dalam diri orang tersebut.

4.3.3 Kebangkitan Emosi

Metode yang mengurangi timbulnya emosi akan meningkatkan

harapan-harapan self efficacy. Seseorang yang merasakan adanya

emosi yang timbul dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh

dengan stress dan ancaman, akan jauh lebih memiliki harapan bila

mereka tidak tegang dan tidak timbul emosi.

4.5 Dimensi dan Aspek Self Efficacy

Dimensi Self Efficacy menurut Bandura (1994), yaitu:

4.5.1 Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh

individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan.

4.5.2 Strengh menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu

terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy

yang rendah mudah ditiadakan oleh pengalaman yang sulit,

sedangkan orang yang mempunyai keyakinan yang kuat akan

mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.

4.5.3 Generality menunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya

berlangsung dalam domain tertentu atau berlaku dalam berbagai

(22)

4.5.4 Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari

perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka

mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya.

4.5.4 Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya

dapat menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil.

Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu

tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu

melakukan tindakan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa dirinya

mampu melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih

bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.

4.6 Pain Self Efficacy

Self efficacy menurut bandura didefenisikan sebagai penilaian orang

tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan tindakan

yang diperlukan untuk mencapai suatu tindakan yang ingin dicapai.

Bandura berpendapat bahwa self efficacy merupakan dasar dalam motivasi

manusia, kesejahteraan dan prestasi individu, terutama karena tingkat

motivasi pada manusia dan tindakan yang lebih didasarkan pada apa yang

mereka percaya daripada hal yang benar secara objektif (Sinfia et al.,

2009).

Beberapa tahun terakhir hubungan antara pain self efficacy dan

pemulihan nyeri penderita sakit kronis telah menarik perhatian dalam

(23)

pain self efficacy terkait dengan intensitas nyeri, toleransi pada nyeri,

fungsi fisik, dan penggunaan analgetik. Kepercayaan pada kemampuan

seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari dikaitkan dengan kinerja

dalam melakukan kegiatan tersebut. Self efficacy berkontribusi pada

motivasi pasien dalam strategi mengatasi nyeri secara positif seperti

penguatan otot, relaksasi dan melangkah (Sinfia et al., 2009).

Pain self efficacy merupakan faktor penentu psikososial yang penting

dari perilaku nyeri individu dan hasil pengobatan, hal itu harus

dipertimbangkan dalam perencanaan perawatan pemulihan nyeri. Studi

tentang nyeri, self efficacy pada orang dengan nyeri kronis telah dinilai

baik dengan mengacu pada kepercayaan diri mereka dalam tindakan secara

umum dalam mengatasi nyeri atau rasa percaya diri mereka dalam

melakukan kegiatan atau tindakan tertentu. Sebagian besar pengukuran

self efficacy pada pasien dengan nyeri kronis tidak jelas meminta pasien

untuk menunjukkan nyeri yang mereka alami ketika mereka

menggambarkan kepercayaan diri dalam melakukan suatu kegiatan (Sinfia

et al., 2009).

Self efficacy mempunyai banyak instrument dalam menilai kegiatan

tertentu yang mungkin tidak relevan untuk semua individu atau kelompok

orang dengan nyeri kronis, untuk mengatasi kekurangan instrument ini

Nicholas mengembangkan pain self efficacy questionnaire yang meminta

responden menunjukkan nyeri yang mereka alami ketika menilai self

(24)

questionnaire dan bersifat umum (misalnya perkerjaan digaji atau tidak,

dan kegiatan sosial) juga menemukan instrument lain, untuk membuat alat

ukur dapat digunakan responden secara luas. Nicholas menunjukkan

bahwa pain self efficacy questionnaire adalah skala unidimensional dan

menggunakan analisis faktor exploratory serta reliabilitas untuk skala yang

tinggi (Sinfia et al., 2009).

Korelasi negatif telah ditemukan antara jumlah pain self efficacy

questionnaire dan pengaruh yang kuat pada nyeri dalam kehidupan

sehari-hari. Pain self efficacy questionnaire telah divalidasi dan digunakan pada

pasien dengan nyeri kronis dalam pengaturan klinis dan beberapa Negara

dengan hasil yang memuaskan (Sinfia et al., 2009)

4.7 Pengukuran Pain Self Efficacy

Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self

Efficacy Questionnaire (PSEQ). Kuesioner ini menggunakan skala

differensial semantik dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien

diminta untuk menunjukkan pada skala seberapa yakin pasien mampu

melakukan hal yang disebutkan dalam setiap pernyataan pada kuesioner.

Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat melakukan hal-hal

tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat melakukannya

(25)

5. Hubungan Pain Self efficacy dengan Perilaku Nyeri

Nyeri kronis merupakan nyeri yang menetap, sehingga sangat

mempengaruhi emosional klien dan cara berfikir klien. Seringkali klien

memikirkan nyeri yang dialami secara berlebihan, sehingga dapat

memperburuk perasaan subjektif terhadap nyeri (Brannon & Feist, 1992).

Self efficacy merupakan salah satu kemampuan kognitif. Menurut Bandura

(1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat

menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik.

Penelitian tentang nyeri kronik self efficacy mengindikasikan hubungan

yang berbanding terbalik antara peningkatan self efficacy dengan nyeri pada

berbagai jenis kelompok klinis (Turk, Meichenbaum & Genest, 1983;

Lawson Reesor, Keefe, & Turner, 1990 dalam Chong, 1999). Brown dan

Nicassio (1987, dalam Chong, 1999) mengatakan bahwa pasien yang

menggunakan koping perilaku yang aktif (misalnya, melakukan aktivitas yang

menyenangkan) akan meningkatkan self efficacy dan menurunkan tingkat

nyeri, depresi, dan kerusakan fungsi tubuh dibandingkan dengan koping yang

pasif atau negatif.

Self efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress

dan kecemasan terhadap nyeri yang dialami yang dapat menurunkan perilaku

nyeri. Sebaliknya self efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan

kecemasan yang tinggi pula sehingga perilaku nyerinya meningkat (Brannon &

Feist, 1992). Korelasi negatif telah ditemukan antara jumlah pain self efficacy

(26)

Pain self efficacy questionnaire telah divalidasi dan digunakan pada pasien

dengan nyeri kronis dalam pengaturan klinis dan beberapa Negara dengan hasil

Referensi

Dokumen terkait

1x40 menit Buku BSE, lingkungan, dadu, mata uang, kartu bridge, kartu bernomor Mendiskusikan untuk menentukan ruang sampel suatu percobaan dengan mendata titik sampelnya.

Pada penulisan ilmiah ini dibahas mengenai pembuatan website yang pada zaman era globalisasisi sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang komputer

Pada tahun 2012, Perseroan telah memasuki babak yang baru dengan melepas saham dan menjadi perusahaan terbuka, serta mengalihkan tongkat es- tafet kepemimpinan.. Akan

Bagian receptionist akan mendata tamu dengan melihat kartu identitas tamu/KTP (untuk WNA akan diminta memperlihatkan paspornya) dan menahan KTP tersebut hingga tamu tersebut akan

Selain itu kedatangan As Ops Polri ke Bali untuk membantu Polda Bali mengenai dana kontinjensi yang dimiliki oleh Polda Bali, dalam operasi kemanusiaan yang dilaksanakan oleh Polda

Pembuatan Aplikasi Rekapitulasi Absensi ini dimulai dari gambaran umum SMK Kharismawita, kemudian perancangan database yang membahas ERD, guna mengetahui entitas dan atribut apa

Dalam Penilisan Ilmiah ini diharapkan penulis dapat membantu dan menyempurnakan sistem yang sedang berjalan, sehingga kemungkinan pengolahan data DVD pada penyewa maupun

Sehubungan dengan rujukan tersebut diatas, bersama ini dikirimkan Laporan Harian Kamtibmas Polda Sumsel tanggal 18 Agustus 2016 (sebagaimana terlampir).. Demikian untuk