• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanasan Global Di Tinjau Dari Protokol Kyoto.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanasan Global Di Tinjau Dari Protokol Kyoto."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, 2006. Agenda Politik Internasional. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Diposaptono, Subandono, 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.Buku Ilmiah Populer, Bogor

Fatkurrohman, 2009. Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan. Media Wacana, Yogyakarta

Friedman, Thomas L,2009. Hot, Flat, and Crowded.PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Gore, Al, 2006. Earth in The Balance: Ecologi and The Human Spirit. RODALE, New York

Harris, D J, 1998. Case and Materials on International Law. Sweet and Maxwell, London

Keraf, A Sony, 2010.Etika Lingkungan Hidup.Kompas, Jakarta

Labatt, Sonia,2007. Carbon Finance: The Finanial Implication of Climate Change. Jon Wiley & Sons, Inc, New Jersey

Maslin, M, 2004. Global Warming “a very short indroduction”. Oxford University, Ney York.

Murdiyarso, Daniel, 2003.CDM:Mekanisme Pembangunan Bersih. Kompas, Jakarta

Murdiyarso, Daniel, 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim.Kompas, Jakarta

Murdiyarso, Daniel, 2007. Protokol Kyoto: Implikasinya bagi Negara Berkembang.Kompas, Jakarta

Numberi, Freddy, 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.Fortuna, Jakarta

(2)

Salim, Emil, 2010.Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi.Kompas,Jakarta

The World Bank, “World Development Report 2010: Development and Climate Change in 2010”

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

WEBSITES

(3)

(dari http://www.uncccbaliroadmap-Majari Magazine.htm)

(dar

(4)

BAB III

PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIa

A. SEBAB-SEBAB PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA

Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari

bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa

lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara

radikal.

Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui

tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca,

yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Gas rumah kaca adalah sebagian radiasi

gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas tertentu di

dalam atmosfir.32

Pada sekitar tahun 1820, Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa

diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi

tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah

untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, kalau

(5)

radiasi infra merah yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka

atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).

Pada tahun 1850, Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak

panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul

tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal

sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi

karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat

signifikan.

Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan

semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan

membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah

kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan

saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.

Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut,

kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor

seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara

daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan

(6)

lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan,

atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak

uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari

perhitungan standar.

Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbondioksida adalah penggunaan

bahan bakar fosil dimana di Indonesia terkenal berpotensi karena batu bara, minyak

serta gas bumi yang sebenenarnya memuat bahan cemar tersebut, selain itu juga

mengandung bahan cemar metan dan nitro oksida yang juga yang dikenal sebagai

GRK yang mengancam kehidupan manusia.33

Selain itu sampai sekarang Indonesia masih menggunakan bensin bertimah

hitam yang meningkatkan kadar GRK dan merusak kesehatan. Kendaraan yang lalu

lalang tidak mengenal batas usia sehingga menghasilkan kadar GRK tinggi yang

mengotori udara.34

Dampak-dampak dari pemanasan global yang bisa di rasakan di Indonesia

secara jelas adalah:

B. DAMPAK-DAMPAK PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA

(7)

1. Perubahan Curah Hujan

Banyak cuaca ekstrim yang kemudian muncul di Indonesia apalagi bencana

kekeringan. Ini berhubungan dengan menurunnya jumlah curah hujan.

Penganalisisan curah hujan yang menurun adalah dari analisis curah hujan pada

tiap bulan pada tahun 1970-1997 pada setiap provinsi. Dan ditemukanlah bahwa

semua provinsi memiliki curah hujan yang tambah rendah pada beberapa tahun

tersebut. Sumatra, Jawa dan Sulawesi secara konsisten menunjukkan penurunan

curah hujan pada musim penghujan (april sampai dengan September atau mai

sampai dengan oktober tergantung dari pola dari musim penghujan pada setiap

provinsi).35

Perubahan itu ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan, sedangkan

akhir musim hujan terjadi lebih cepat. Disisi lain, walaupun musim hujan itu

berlangsung lebih singkat namun intensitas curah hujan sangat tinggi. Dengan

semakin pendeknya musin hujan mengakibatkan periode musim kemarau

bertambah panjang. Hal ini terjadi terutama di daerah yang terletak di bagian

selatan kathulistiwa.36

Perubahan pola curah hujan semacam ini telah tersas di pantai utara Jawa.

Menurut hasil analisa yang dilakukan oleh BMKG, awal musim sudah mengalami

35 “ I NDONESI A COUNTRY REPORT: CLI MATE VARI ABI LI TY AND CLI MATE CHANGES, AND THEI R I MPLI CATI ON” di download dari

(8)

perubahan. Di beberapa wilayah, masuknya awal musim sudah semakin mundur,

di beberapa wilayah lain semakin maju. selain itu, perubahan yang terjadi adalah

kenaikan curah hujan yang cukup tinggi pada saat musim hujan cenderung

semakin tinggi dan lama musim kemarau semakin panjang khususnya di beberapa

daerah seperti Pantai Utara Banten hingga Jawa Tengah.

2. Mencairnya Salju di Puncak Gunung Jayawijaya

Salju yang tadinya menyelimuti puncak gunung Jayawijaya, Papua pada tahun

1990 kini sudah tidak ada lagi. Lapisan es itu sudah mencair sejak tahun 2003.37

3. Genangan di Lahan Rendah dan Erosi Pantai

Daerah pesisir pantai yang memiliki dataran rendah seperti Pantura Jawa,

Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai selatan Sulawesi, serta pulau-pulau

kecil berelevasi rendah sangat rentan dengan terhadap kenaikan paras muka air

laut karena kawasan ini akan tergenang. Akibat penggenangan tersebut, garis

pantainya akan mundur, bergeser ke arah darat. Jauh-dekatnya pergeseran

tersebut tergantung dari kemiringan pantai. Semakin landai pantai kian luas

genangan yang terjadi.

Selain itu, kenaikan paras muka air laut mengakibatkan erosi pantai yang kian

(9)

pantai berlumpur akan menyesuaikan diri dengan kenaikan paras muka air laut

dalam bentuk keseimbangan profil pantai baru (a new equilibrium profile).38

Pantai selatan pada Pulau Bali yang diamati selama 10 tahun yaitu Pantai

Kuta dan Pantai Sanur mengalami erosi. Diperkirakan kondisi gelombang datang

selama waktu tersebut tidak banyak berubah. Berdasarkan hasil pengukuran

tampang lintang tersebut dilihat bahwa landai pantai dan bentuk profil pantai

Jika kita hanya mempertimbangkan perubahan profil pantai, sedimen yang

berada di dekat pantai akan dibawa ke arah laut dan membentuk profil

keseimbangan baru. Akibatnya garis pantai itu mundur. Keseimbangan baru ini

lebih dikenal dengan hukum bruun (Bruun Rule). Berdasarkan konsep ini, dapat

dihitung besarnya garis pantai yang mundur tadi.

Seperti diketahui, pantai di Indonesia kini mengalami erosi pantai yang

menghawatirkan akibat ulah manusia. Sebut saja penebangan mangrove yang kian

merajalela, penambangan pasir yang dan karang, pembuatan bangunan yang

menjorok ke laut, dan lain-lain. Kegiatan tersebut menyebabkan terganggunya

keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai (longshore sediment transport) atau

tidak adanya peredaman energi gelombang yang pada gilirannya akan

(10)

antara tahun 1978 dan 1988 relatif sama kecuali posisinya bergeser. Hal ini

kemudian mendukung asumsi Bruun.

Kemunduran garis pantai berpasir umumnya tidak seberapa besar dibanding

pantai berlumpur. Pada pantai berlumpur, erosi pantai akan lebih cepat lagi

karena material halus akan tercuci.

Pada pantai berlumpur seperti di dataran Pantura, landai pantai pada

umumnya relatif kecil. Sehingga besar nilai kemunduran garis pantai akan sangat

besar. Dengan demikian daerah pesisir dengan pantai berlumpur sangat rawan

terhadap kenaikan paras muka air laut. Di Indonesia daerah-daerah demikian yang

banyak terdapat di Pantura Jawa, pantai-pantai di Pulau Kalimantan, pantai

Sulawesi Selatan, pantai timur Pulau Sumatera, dan Papua.

4. Gangguan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi

Gangguan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya

adalah :

 gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa

dan Timur-Selatan Sumatera. Selain itu kemacetan lalu lintas yang

(11)

tidak mengacu pada rencana tata ruang wilayah, dan kurang

mempertimbangkan daya dukung.39

 genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang

berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,

Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa

spot pesisir di Papua

 hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan

mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta.

gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan

keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 %

saja dari keseluruhan luas wilayah nasional.

 penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di

DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi

kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.

5. Berkurangnya Luas Kawasan Pesisir dan Hilangnya Pulau-Pulau Kecil

Hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000

pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi

(12)

kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir

yang hilang mencapai 202.500 ha.

Inventarisasi yang digarap oleh Departemen Kelautan dan Perikanan selama

dua tahun (2005-2007) menyatakan bahwa dalam jangka waktu sesingkat itu

Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil. Dengan rincian sebagai berikut. Di

provinsi Nangroe Aceh Darusallam, Sumatera Utara, dan Papua masing-masing

kehilangan 3 pulau. Lima pulau tenggelam di Riau. Sumatera barat kehilangan

dua pulau kecil dan Sulawesi Selatan kehilangan satu pulau kecil. Kepulauan

seribu yang berada di Privinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta lebih parah lagi.

Kawasan ini kehilangan 7 pualu kecil.

Hilangnya pulau-pulau ini terjadi akibat erosi air laut yang diperburuk oleh

kegiatan penambagan untuk kepentingan komersial, yaitu penambangan secara

intensifdi sekitar pulau. Dimana terjadi pada Pulau Nipah yang berada di Provinsi

Kepulauan Riau. Pulau Nipah terletak di barisan terdepan wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang tragisnya merupakan titik dasar untuk

menentukan batas territorial Indonesia yang berbatasan langsung dengan

Singapura. Jadi apabila pulau tersebut tenggelam maka wilayah perairan

Indonesia secara otomatis berkurang.

Berdasarkan IPCC sampai akhir abad ini permukaan laut akan naik hampir 1

(13)

mengakibatkan kehilangan pulau kecil dalam jumlah yang lebih banyak dan

membawa bencana besar.

Dengan asumsi di atas, Dr. Alex Retraubun dari Departemen Kelautan dan

Perikanan memprediksi Pulau Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara,

yang memiliki ketinggian satu meter di atas permukaan laut dan dihuni oleh

hampir 700 penduduk akan tenggelam. Pulau-pualu di Kepulauan Seribu dengan

semua infrastuktur industruktur wisata bahari akan bernasib sama.

6. Pemutihan Karang (Coral Bleaching) dan Rusaknya Biota Laut

Riset membuktikan bahwa terumbu karang sulit untuk beradaptasi. Menurut

Westmascott (2000), pengaruh perubahan iklim terhadap terumbu karang di

bedakan atas perubahan fenomena fisik-kimia perairan seperti kenaikan

permukaan laut, kenaikan temperatur laut, penurunan laju klasifikasi, perubahan

pola sirkulasi samudra, dan peningkatan frekuensi kejadian badai.

Sisi negatif dari naiknya paras muka air laut adalah cahaya yang masuk ke

terumbu karang semakin berkurang. Padahal biota ini jelas membutuhkan sinar

matahari cukup untuk melakukan proses fotosintesis. Akibatnya, laju

pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang terhambat.

Sumber utama hancurnya terumbu karang akibat naiknya paras muka laut

(14)

karena meningkatnya energi gelombang akibat perubahan iklim. Akibatnya,

terumbu karang sakit dan mati terselimuti lumpur sedimen.

Selain itu kenaikan suhu air laut juga menjadi penyebabnya. Menurut Glynn,

Brown dan Wilkinson naiknya temperatur air laut dan ditambah dengan makin

seringnya kejadian El-Nino pada beberapa dekade terakhir ini menyebabkan

pemutihan karang (Coral Bleaching) meningkat.

Coral bleaching yang terjadi jelas adalah di Buleleng, Bali. Kondisi ini

mengancam posisi Indonesia di mata penyelam internasional. Dimana indonesia

memperoleh penghargaan Diver Award sebagai peringkat ketiga setelah

Maladewa dan Mesir untuk kategori Diver Destination of the Year.

Fenomena lain dari dampak perubahan iklim juga mengumbas terhadap

kehidupan biota laut. Seperti diketahui laut punya andil dalam menyerap CO2

Menurut Caldeira dan Wickett, peningkatan CO

di

atmosfer. Hal itu tidak terlepas dari kegiatan fotosintesis dan respirasi oleh biota

laut.

2 di atmosfer akan

menyebabkan pengurangan pH air laut. Di sisi lain, banyak organisme laut yang

menggunakan kalsium dan ion karbonat dari laut guna membentuk kerangka

(15)

Menurut eksperimen berskala laboratorium, jika CO2

Pada laju penimbunan kapur yang rendah memerlukan waktu lebih lama

untuk membentuk kerangka pada tubuh organisme yang bersangkutan. Akibatnya,

densitas atau kerapatan dari terumbu karang itu rendah.

di atmosfer

dilipatgandakan maka laju penimbunan zat kapur menurun sekitar 11-37 persen.

Bagi Calcareous Algae, penurunannya lebih tajam lagi, sekitar 16-44 persen.

Atau dengan kata lain terjadi kerapuahan pada kerangka biota tersebut. Kasus

ini analogi pada tulang manusia yang mengalami kerapuhan (osteoporosis).

Dalam situasi seperti itu, kemampuan karang untuk tumbuh dan menahan terusan

semakin berkurang.

7. Kebakaran Hutan

Meningkatnya kebakaran hutan di Indonesia juga sangan berhubungan erat

dengan ENSO (El-Nino Southern Osciliation). Ditahun El-Nino, area hutan yang

terbakar meningkat secara signifikan dan ini membuat kenaikan yang sangat besar

pada jumlah karbondioksida di atmosfer. Kebakaran hutan di Indonesia lah yang

bertanggung jawab atas peningkatan karbondioksida di atmosfer tersebut. Total

area yang rusak akibat kebakaran hutan tersebut hampit mencapai 6,8 milyar

(16)

Kebakaran hutan memiliki dampak langsung terhadap fisik lingkungan atau

dinamai dengan ekosistem dari hutan. Dimana kebakaran hutan tersebut

mengganggu fungsi hutan, mencemarkan daerah serapan air dan mengurangi

keanekaragaman hayati dan diwaktu yang bersamaan juga mencemari atmosfer

dengan karbondioksida. Penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran udara

termasuk infeksi pernafasan akut (ISPA), asma, bronkhitis, dan iritasi mata dan

kulit. Jumlah total kasus penyakit yang timbul akibat kebakaran hutan di 8

porvinsi yakni Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah dan Kalimantan timur mencapai 9 juta kasus.

8. Wabah Penyakit

Berbagai penyakitpun bermunculan akibak pemanasan global yang

disebabkan oleh berubahnya pola musim antara musim kemarau dan musim

penghujan. Penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai berikut:

 Malaria

Angka kematian yang disebabkan oleh malaria cukup tinggi, sebesar

1-3 juta pertahun, dan 80 persennya balita serta anak-anak (WHO, 1997).

Kaum lanjut usia pun tidak luput dari ancaman akibat perubahan iklim ini.

Dari pemantauan Yayasan Pelangi Indonesia, tercatat kasus malaria di

(17)

48 kasus per 100 ribu penduduk di tahun 2000. Kenaikan ini hampir 3 kali

lipat. Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan kasus sebesar

60 persen dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di NTT, yaitu

16.290 kasus per 100 ribu penduduk.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,

diperkirakan 15 juta penduduk Indonesia menderita malaria dan 30 ribu di

antaranya meninggal dunia (WHO, 1996).

 Demam Chikungunya

Penyebab demam chikungunya adalah alfavirus, dengan vektor sama

seperti vektor demam berdarah. Dengan demikian pengaruh iklim

terhadap perkembangan chikungunya sama dengan demam berdarah.

Sebesar 80% penderita mengeluhkan gejala nyeri pada snedi-punggung,

tangan dan kaki. Chikungunya tidak menyebabkan kematian tapi harus

beristirahat 3-5 hari.40

 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Chikungunya terjadi di indonesia dimulai dari tahun 1982 setelah

sebelumnya mewabah di India, Sri Lanka, Burma dan Thailand.

(18)

Substansi pencemar yang terdapat di udara dapat masuk kedalam

tubuh melalui sistem pencemaran. Jauhnya penetrasi zat pencemar ke

dalam tubuh bergantung kepada jenis pencemar. Partikulat berukuran

besar dapat tertahan di saluran pernafasan bagian atas, sedangkan

partikulat berukuran kecil dan gas dapat mencapai paru. Dari

paru-paru, zat pencemar diserap oleh sistem peredaran darah dan menyebar ke

seluruh tubuh.

ISPA termasuk diantaranya adalah asma, bronkitis dan gangguan

pernafasan lainnya. Beberapa za pencemar dikategorikan sebagai toksiks

dan karsinogenik.

Memperkirakan dampak pencemaran udara di jakarta yang berkaitan

dengan kematian prematur, perawatan rumah sakit, berkurangnya hari

kerja efektif, dan ISPA pada tahun 1998 senilai dengan 1,8 trilyun rupiah

dan akan meningkat menjadi 4,3 trilyun rupiah di tahun 2015.

 Leptospirosis

Karena perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan pendeknya

musim penghujan di daerah tropis namun dengan curah hujan yang sangat

(19)

banyak tergenang air-air yang mengandung bakteri leptospira yang

terdapat pada urine tikus.

Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah

atau tanaman yang telah dikotori air seni hewan yang menderita

leptospirosis. 41

 masyarakat dengan tingkat kesadaran rendah

C. KESADARAN MASYARAKAT AKAN PERUBAHAN IKLIM YANG

TERJADI DI INDONESIA

Tingkat kesadaran masyarakat akan perubahan iklim yang terjadi di Indonesia

dapat di gololongkan menjadi dua golongan, yakni:

Dalam kehidupan sehari-hari banyak yang kita jumpai anggota

masyarakat yang tidak perduli terhadap lingkungan sekitarnya.

Ketidakpedulian itu terlihat dengan pola masyarakat yang masih saja

membuang sampah tidak pada tempatnya seperti membuangnya dengan

seenaknya di pinggir jalan.

Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa pola hidup modern

yang sekarang ini memiliki dampak yang sangat mempengaruhi

(20)

lingkungan dan kondisi bumi secafa keseluruhan. Kemakmuran yang

semakin tinggi memberikan fasilitas kehidupan yang semakin mudah

melalui perkembangan teknologi. Akibatnya penggunaan listrik terutama

pada pemakaian rumah tangga menjadi sangat besar dan terus menerus

seperti lemari es, AC, mesin cuci, computer dan sebagainya. Sedangkan

kebiasaan berbelanja berlebihan menyebabkan bertumpuknya kantong

plastik, piring, cangkir dan botol plastik.

Menurut Yayasan Wahan Lingkungan Hidup (WALHI) penggunaan

kemasaan pada produk pangan untuk rumah tangga tangga cukup besar

yaitu sebesar 10-30 persen setiap tahunnya. Sampah-sampah tersebut

termasuk bahan yang sulit unutk dihancurkan dimana diperkirakan

membutuhkan waktu 250 tahun untuk proses penghancuran alami.

Dalam penggolongan ini ada juga sebagian orang dengan tingkat

kesadaran yang rendah bukan dikarenakan oleh ketidakperduliannya tetapi

merupakan masyarakat awam yang memang tidak mengetahui apa

sebenernya pemanasan global itu. Seperti masyarakat-masyarakat

pedalaman yang tidak pernah mendapatkan sosialisasi akan pemanasan

global.

(21)

masyarakat dengan tingkat kesadaran ini adalah masyarakat yang

mulai meminimalisir semua aktivitas yang menyebabkan pencemaran,

berikut beberapa contohnya:

1. Menghutankan Mangrove

Cukup Rudianto seorang lelaki kelahiran 15 September 1976

yang menannam mangrove disela-sela tambaknya tidak perlu

takut lagi apabila ada hantaman ombak besar di Desa Pabean Ilir,

Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu.

Tidak seperti sebagian masyarakat disana yang senang

menebang mangrove untuk membuka lahan yang kemudian

dimanfaatkan untuk membuat tambak ataupun memanfaatkan

kayu mangrove untuk berbagai keperluan lainnya.42

Meskipun banyak dari masyarakat di Desa Pabean Ilir yang

menebang mangrove, Cukup tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Mangrove yang ada di lahanya tetap dibiaarkan utuh. Malah

sejak tahun 1999 ia pun merintis untuk menanam mangrove,

termasuk di lahan-lahan gundul yang sudah tidak ada

(22)

Begitu juga dengan halaman rumahnya yang menghadap pantai.

Lahan tersebut ia tanami mangrove. Tahap pertama ia menanam

mangrove di lahan tersebut seluas 3 ha.

Ketika mangrove berumur 9 tahun, mangrove tersebut tampak

tumbuh dengan lebat dan subur. Disekitar tanaman mangrove ia

pun membudidayakan ikan bandeng. Hasilnya, ikan bandeng

tersebut memiliki kualitas dan daya tahan hidup yang cukup

bagus.

Tidak Cuma sampai disitu. Tahap kedua, ia kembali menanam

mangrove seluas 10 ha. Begitu seterusnya, tidak ada waktu untuk

tidak menanam mangrove. Bahkan meluas hingga desa

tetangganya.

Total luas hutan mangrove yang telah ditanam sejak tahun

1999 sekitar 650 ha. Perinciannya, seluas 150 ha mangrove

tumbuh subur di Desa Pabean Ilir dan 500 ha berada di Desa

Lamaran Tarung.

Kearifan lokal dalam membudidayakan tanaman mangrove

tersebut bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain yang yang

(23)

selain hantaman ombak bisa diredam, juga mampu melindungi

tambak dari terjangan gelombang pasang.

Lebih dari itu, mangrove mampu mengurangi emisi gas karbon

dioksida yang menjadi biang keladi gas rumah kaca.43

2. Kesederhanaan Pola Hidup Suku Bajo

Berdasarkan asal-usulnya Suku Bajo berasal dari kawasan Laut

Cina Selatan. Hidup mereka selalu berpindah-pindah. Di

Indonesia, awalnya suku ini berada di perairan Pulau Sulawesi.

Seriring dengan perkembangan zaman, mereka yang tinggal di

atas perahu pun sudah mulai berkurang. Sebagai kecil dari

mereka memang masih ada yang tinggal di atas perahu. Namun

sebagian besar sudah menetap walaupun di atas laut atau

disekitar perairan tenang di pulau-pulau karang.

Sejak itulah mereka membentuk perkampungan sendiri di atas

laut. Mereka punya tradisi unik dimana bayi yang baru terlahir

beberapa hari langsung diperkenalkan dengan laut. Kondisi

tersebutlah yang menjadikan suku itu tidak bisa terlepas dari

(24)

Komunitas mereka pun terus bertambah. Ketika dirasa padat,

sebagian dari mereka berpindah tempat. Alasan lain berpindah

adalah jika ikan diperairan yang dihuni itu sudah menyusut.

Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden.

Kini, pemukiman suku Bajo tersebar di banyak tempat di

perairan Pulau Sulawesi. Diantaranya di perairan Menado,

Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, perairan

Makassar, serta Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa,

Tomia, dan Binongko). Meskipun tersebar berjauhan, mereka

masih menjalin hubungan kekerabatan.

Kehidupan yang ditopang sepenuhnya oleh laut. Begitu juga

dalam mencari nafkah yang mengandalakan dari hasil laut. Suku

Bajo di Sama Bahari misalnya, umumnya berprofesi sebagai

nelayan.

Dulu menangkap ikan dengan tombak, kini seiring dengan

peradapan baru mereka sudah menangkap ikan dengan jaring,

bagan apung, dan pancing.

Suku Bajo memiliki taktik dalam mendapatkan sumber air

(25)

disalurkan dari pulau tedekat. Sebelum itu, mereka harus

mengangkut air bersih dengan perahu ke pulau terdekat.

Permukiman Suku Bajo di Desa Holomombo, Kecamatan

Wabula juga menarik perhatian. Ditengah perkampungan yang

padat itu mereka membangun sebidang tanah lapang untuk

anak-anak bermain bola. Tidak jauh dari lapangan tersebut, dibuat

balai tempat berkumpul dan menonton siaran televisi. Dengan

antenna parabola, mereka dapat menyaksikan siaran televisi.

Unutk sumber listrik merek menggunakan generator.

Perkampungan Bajo sudah relatif modern. Mereka sudah

memiliki sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, madrasah,

mushala, tempat pelelangan, dan penyimpanan ikan. Gang-gang

pada Perkampungan Bajo berupa jembatan kayu yang

membentang panjang, lingkungannya elok dan bersih walaupun

jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak rapat. Hal ini

sangatlah berbeda dengan perkampungan nelayan di pesisir

dimana biasanya kumuh dan bau amis selain itu lautnya juga

dipenuhi berbagai sampah. Di Perkampungan Bajo, air launtnya

sangat jernih, ikan-ikan kecil yang berenang diantara sela-sela

(26)

perkampungan itu sama sekali tidak terusik. Kepedulian Suku

Bajo telah membuat alam bersahabat dengannya.

Suku Bajo memberikan pelajaran yang sangat berharga yaitu

hematnya suku ini terhadap pemakaian listrik. Suku Bajo hanya

menggunakan listrik pada waktu malam hari. Mereka juga tidak

menggunakan alat transportasi yang digunakan masyarakat urban

di darat sehingga tidak ada asap karbon dioksida yang

diemisikan ke atmosfer. Langit di atas permukiman mereka

selalu tampak biru, tidak terlihat debu atau gas polutan yang

menyelimuti.

3. Kampung Banjarsari yang Ramah Lingkungan

Kampung Banjarsari terletak di Kelurahan Cilandak Barat,

Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan memang layak menjadi

kawasan percontohan yang patut diteladani.

Kampung ini menerapkan konsep 4R yaitu reduce

(mengurangi), reuse (memakai kembali), recycle (mendaur

ulang), dan replant (menanam kembali). Sampah yang dihasilkan

dari rumah tangga misalnya, ditekan sekecil mungkin atau

(27)

Jika saja semua waga kota mau menerapkan program 4R seperti

yang telah di garap warga Banjarsari, maka selain sampah

dengan mudah disa ditaklukan, lingkungan alam juga terpelihara.

Gas-gas buangan yang mengotori atmosfer di bumi bisa diserap

melalui fotosintesis.

Kearifan lokal masyarakat yang tinggal di Kampung Banjarsari

ini bisa dijadikan langkah yang tepat dalam menyiasati

perubahan iklim yang mengintai keselamatan umat manusia.

D. UPAYA-UPAYA YANG TELAH DI LAKUKAN INDONESIA DALAM

MENANGGULANGI PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA.

Setelah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim pada bulan Agustus 1994

melalui Undang Nomor 6 Tahun 1994, dan Protokol Kyoto melalui

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, Pemerintah Indonesia kemudian melaksanakan

komitmen tersebut dengan program kerja sama antara negara maju dan negara

berkembang, yaitu melalui mekanisme pembangunan bersih atau CDM (clean

(28)

dalam protokol serta mitigasi perubahan iklim untuk mereduksi emisi GRK (gas

rumah kaca).44

1) Pelaksaan tugas Komisi Mekanisme Pembangunan Bersih (DNA-CDM) yang

hingga tahun 2007 telah memberikan national approval terhadap 13 proyek

CDM.

Sepanjang tahun 2007, upaya pokok yang telah dilakukan dalam

menanggulangi dampak perubahan iklim di Indonesia adalah antara lain:

2) Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang memasukkan pasal tersendiri mengenai kebijakan

berkenaan dengan perubahan iklim.

3) Penyusunan draft Strategi Nasional Adaptasi sebagai bagian dari proses

komitmen pemangku kepentingan dalam melaksanakan adaptasi terhadap

perubahan iklim.

4) Penyusunan Peraturan Presiden tentang Perubahan Iklim yang akan berfungsi

sebagai peraturan payung dalam seluruh kegiatan terkait dengan pengendalian

dampak perubahan iklim, baik dari aspek inventarisasi gas rumah kaca,

pengembangan sistem pemantauan perubahan iklim dan dampaknya, mitigasi

maupun adaptasi.

5) Penandatanganan Deklarasi Heart of Borneo (kawasan hutan hujan tropis di

Kalimantan seluas 22 juta ha yang saling terhubung dan membentang

(29)

melintasi Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) pada tanggal 12

Februari 2007. Deklarasi ini memuat komitmen bersama ketiga negara untuk

mengelola kawasan hutan Kalimantan secara berkelanjutan.

Selain itu pada level kebijakan politik, ada upaya pengembangan kebijakan

dan pelaksanaan program di sektor energi yang dikeluarkan pada tahun 2007,

misalnya:

1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2007 tentang Baku

Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap.

3) Kelanjutan monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor industri yang

telah dilakukan KNLH melalui program PROPER (Program Penilaian

Peringkat Kinerja Perusahaan) dan sektor transportasi melalui program

langit biru.

4) Kelanjutan pelaksanaan Program Desa Energi Mandiri, yaitu program

penyediaan sumber energi listrik dengan memanfaatkan tenaga air.

5) Pelaksanaan program Produksi Bersih dan Efisiensi Energi

(CP-EE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk industri yang

menggunakan energi intensif, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp

(30)

6) Pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program di sektor land use and

land use change forestry (LULUCF) yang meliputi penanganan kebakaran

hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan serta pengelolaan lahan

gambut berkelanjutan.

7) Upaya preventif kebakaran hutan yang meliputi: pemantauan dengan

satelit, pemantauan di lapangan terhadap peru¬sahaan-perusahaan,

pemantauan kualitas udara, dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam hal pencegahan, penanganan dan pengendalian dampak perubahan

iklim, pemerintah Indonesia pun melakukan upaya pembentukan Tim Manggala Agni

yang ber-tugas untuk memantau, mencegah, dan menanggulangi kebakaran hutan.

Penanganan pada lahan yang terkena banjir dan juga untuk menghindari terjadinya

banjir. Pengelolaan ini bertujuan untuk menghindari timbulnya emisi gas metana dari

penumpukan sampah domestik akibat banjir.

Tidak hanya itu, sumber dari Departemen Kehutanan pun mencatat bahwa

untuk menjamin penurunan emisi global, pemerintah juga mencanangkan kelanjutan

Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan) dan sejak tahun 2003 hingga 2007

telah tercapai penanaman pada area seluas 4 juta ha yang tersebar di 33 provinsi.

(31)

program pengawasan kinerja kabupaten terhadap penaatan peraturan

perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan

lingkungan. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 47

Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Upaya pelestarian lingkungan ini

pun berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Revitalisasi

dan Rehabilitasi Lahan Gambut Berkelanjutan yang disusul pula dengan Penyusunan

draft Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.

Selanjutnya Penerbitan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan

Iklim (RAN-PI) yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada

bulan November 2007, untuk dapat dijadikan sebagai pedoman oleh berbagai instansi

dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi untuk mitigasi dan

adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia pun telah menyusun sebuah kerangka penanganan

dampak perubahan iklim, yakni Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap

(ICCSR) yang disusun oleh Bappenas beserta lembaga terkait serta akademisi dan

profesional. ICCSR memuat strategi sembilan sektor penyumbang emisi yakni

kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan,

(32)

Berbagai wilayah di Indonesia amat rentan terhadap dampak perubahan iklim

misalnya curah hujan, kekeringan, banjir, kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem

dan penyakit menular. ICCSR telah mengidentifikasi upaya yang perlu dilakukan dari

mulai pengadaan data, penyusunan peraturan, penelitian, tata kelola hingga

pengembangan teknologi dan kegiatan fisik. Seperti infrastruktur pelayanan

kesehatan, akses air bersih, penggunaan benih hingga bangunan di pesisir. Pendanaan

pengendalian dampak perubahan iklim ini berasal dari APBN serta sumber-sumber

(33)

BAB IV

IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA

A. PROGRAM-PROGRAM YANG DICANANGKAN PEMERINTAH

INDONESIA DALAM UPAYA MENGURANGI EMISI

Dalam mencapai target pengurangan emisi, pemerintah Indonesia

mencanangkan beberapa program, yakni:

1. Coral Triangle Initiative (CTI)

Indonesia melalui Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudhoyono telah

berhasil menggalang komitmen pengelolaan terumbu karang melalu CTI

yang melibatkan berbagai negara di Asia dan Pasifik. Inisiatif ini

sekaligus menggalang upaya penguatan sistem kemanusiaan dalam

pengelolaan terumbu karang dan sistem alam unutk menjaga kelestarian

ekosistem terumbu karang dalam mengantisipasi perubahan iklim.45

Respon indonesia dalam rehabilitasi dan konservasi kelautan dan

perikanan baik reional maupun internasional terus ditingkatkan. Kita patut

berbangga bahwa indonesia melalui Presiden DR. Susilo Bambang

yudhyono menjadi pengagas tentang Coral Triangle Initiative on Coral

Reefs, Fisheries and Food Security, sebuah forum koordinasi baru dalam

pembangunan pengelolaan perikanan yang penting dan modern yang

(34)

enam negara yaitu Indonesia, Timor Leste, Filipina, Malaysia, Papua

Nugini, Kepulauan Salomon.

Kawasan Coral Triangle ini mencakup luas sebesar 75.000 kilometer

persegi, memiliki 500 spesies terumbu karang, 3000 spesies ikan. Sebaran

hutan bakau terbesar di dunia, menyediakan tempat pemijahan dan

pengembangbiakan ikan tuna yang menyediakan bahan baku industri ikan

tuna di dunia derta sumber penghidupan 120 Juta penduduk dengan

perputaran ekonomi sebesar 2,3 milyar dolar Amerika Serikat per tahun.

Saat ini CTI telah berhasil menyepakati rencana kerja regional.

Rencana tersebut difokuskan pada lima tujuan utama yang mencakup

permasalahan adaptasi di Coral Triangle.

Sumberdaya hayati Coral Triangle yang memberikan manfaat bagi

umat manusia ini, sayangnya berada dalam ancaman seperti kegiatan

penangkapan ikan berlebihan, penangkapan ikan secara dekstruktif,

perubahan iklim dan polusi. Untuk menindaklanjuti masalah tersebut,

pada bulan Maret 2006 Presiden RI telah mengeluarkan sebuah pesan

resmi pada pertemuan kedelapan pihak pemerintah dalam konvensi

keanekaragaman hayati (COP-8 CBD di Brazil) yang menekankan arti

penting Coral Triangle. Pada Agustus 2007, Presiden RI DR. Susilo

Bambang Yudhoyono menulis surat kepada 7 kepala negara (Filipina,

(35)

Amerika Serikat) mengusulkan inisiatif Coral Triangle utntuk terumbu

karang, perikananm dan ketahanan pangan. Pada tanggal 9 September

2007, CTI di deklarasikan pada pertemuan pemimpin APEC di Sydney.

Segitiga terumbu karang yang melingkupi enam negara tersebut diakui

oleh pakar kelautan dan perikanan sebagai center of marine

megabiodiversity.

Dalam CTI ini berhasil disepakati lima tujuan besar, yaitu:

 “Bentang Laut Prioritas” (seascapes) ditetapkan dan

dikelola secara efektif.

 Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan

dilaksanakan secara menyeluruh.

 Kawasan konservasi laut dan jejaringnya ditetapkan

dan dikelola secara efektif dan bijaksana

 Melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap perubahan

iklim

 Perbaikan status species yang terancam

Inisiatif indonesia dalam meluncurkan program CTI tersebut

menunjukkan betapa besar perhatian dan peran Indonesia dalam

(36)

karang dunia tersebut. Inisiatif tersebut juga merupakan upaya kita

dalam menghadapi perubahan iklim yang akan terjadi.46

2. REDD di Indonesia (REDD-I)

Brazil dan Indonesia adalah dua negara teratas dalam hal

berkurangnya hutan per tahun masing-masing 1,87 juta ha/tahun.

Indonesia menyumbang sekitar 22,86% dari luasan hutan di 10 negara

berkembang. Indonesia dikategorikan sebagai negara ketiga emisi terbesar

di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina, akibat dari kebakaran hutan

dan lahan gambut. Jika kebakaran hutan dan gambut dikeluarkan

Indonesia berada dalam ranking ke 21. Kajian tentang efek kebakaran

hutan dan lahan gambut pada 1997 memperkirakan sekitar 0,81-2,57 Gt

karbon dilepaskan ke atmosfir yang menyumbang sekitar 13-40% emisi

global tahunan yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.

Indonesia termasuk negara pendukung REDD, karena skema ini tidak

hanya melakukan perlindungan terhadap hutan-hutan yang ada dari

deforestasi, tetapi juga memperbaiki hutan yang terdegradasi. Negara lain

hanya membatasi skema deforestasi saja (RED) dengan alas an sukar

untuk mengukur laju degradasi, dan bagaimana menilai keuntungan dari

(37)

Karena deforestasi dan degradasi hutan menghasilkan emisi CO2,

Indonesia memiliki manfaat yang potensial dari REDD. Potensi nilai

kredit karbon di Indonesia sangat besar. Tetapi perhitungannya sangat

bervariasi karena banyaknya ketidakpastian tingkat berkurangnya hutan

dan nilai-nilai yang mungkin tercakup dalam emisi karbon. Dengan cara

membagi dua rata-rata tahunan laju kehilangan hutan di Indonesia antara

2000 dan 2005, perkiraan nilai karbon kreditnya berkisar antara ,5 sampai

,5 miliar per tahun. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan

anggaran belanja negara tahunan dari Departemen Kehutanan. Hal ini

memperlihatkan insentif ekonomi untuk menciptakan

pendekatan-pendekatan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi pemanfaatan

sumber daya hutan.

Indonesia membentuk Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA)

pada Juli 2007. Aliansi ini merupakan suatu forum komunikasi,

koordinasi, dan konsultasi bagi sekelompok ahli yang bergerak di bidang

kehutanan dan perubahan iklim di Indonesia, terutama untuk menganalisa

praktek skema REDD di Indonesia. Dikoordinatori oleh Departemen

Kehutanan, IFCA beranggotakan pemerintah, sektor swasta, masyarakat

sipil, lembaga-lembaga saintifik dan mitra internasional. IFCA ini

didukung oleh pemerintah Australia, Jerman dan Inggris di bawah

(38)

yaitu dari CIFOR dan ICRAF, The Australian Greenhouse Office,

Australian National University, Winrock Internationa, World Resource

Institute, URS, Ecosecurities, The Nature Conservancy, WWF, Sekala dan

Wetlands International.

Indonesia melalui IFCA telah menetapkan Road Map REDDI yang

terbagi ke dalam 3 fase:47

 Fase Persiapan/Readiness(2007)

untuk penyiapan perangkat metodologi/arsitektur dan

strategi implementasi REDD I

komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk

penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot activities,

 Fase Pilot/transisi (2008-2012)

menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari

non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (non-market

mechanism)

 Fase Implementasi penuh (2012 atau lebih awal)

(39)

dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan

keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.

Departemen Kehutanan berharap bahwa proyek percontohan

(demonstration activities) dapat dilaksanakan antara tahun 2008 dan 2012,

untuk mendapatkan proses pembelajaran sebelum REDD dilaksanakan

sebelum perjanjian pasca Kyoto dilakukan. Proyek-proyek ini dilakukan

dalam skala nasional, provinsi, kabupaten dan lokal

3. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)

Taman Nasional Meru Betiri merupakan representatif kawasan

konservasi dengan banyak tantangan yang umum dihadapi untuk

pengurangan emisi dan peningkatan karbon stok di satu sisi dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di sisi lainnya.

Penyebab utama permasalahan ini adalah kurangnya pemberdayaan

institusional untuk mencegah deforestasi, degradasi, dan hilangnya

keanekaragaman hayati, serta belum tersedianya sistem yang kredibel

untuk memantau perubahan karbon stok. Dalam upaya konservasi dan

(40)

termasuk fungsi penyimpanan karbon, keberadaan kegiatan ini menjadi

sangat penting.48

Dr. Kirsfianti L. Ginoga

Tujuan spesifik dari kegiatan ini adalah sebagai berikut, Berkontribusi

terhadap pengurangan deforestasi, degradasi hutan dan hilangnya

keanekaragaman hayati, serta peningkatan karbon stok melalui menyatakan bahwa Kegiatan ITTO ini dapat

menjadi pendorong yang sangat penting untuk akselerasi pencapaian

tujuan pengurangan emisi dari detorestasi dan degradasi hutan (REDD) di

Indonesia dan menjadi kegiatan percontohan untuk mengurangi emisi dan

meningkatkan stok karbon hutan (REDD Plus). Seperti diamanatkan oleh

keputusan COP termasuk Bali Action Plan dan Kopenhagen Accord.

Program ini dibiayai oleh 7 & i holding Ltd (Japan) untuk

mempromosikan Public-Private Partnership pada Hutan Konservasi di

Indonesia.

Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk berkontribusi dalam

pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan serta untuk

meningkatkan stok karbon hutan melalui peningkatan partisipasi

masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan Taman Nasional Meru

Betiri.

(41)

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan Public-Private Partnership,

Untuk membangun sistem yang kredibel serta memenuhi kriteria dapat

diukur, dapat dilaporkan dan dapat diverisikasi (MRV) untuk pemantauan

perubahan pengurangan emisi dan peningkatan karbon stok.

Sementara Output yang diharapkan dari proyek ini adalah,

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Taman

Nasional, Pengembangan alternatif sumber pendapatan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

Taman Nasional Meru Betiri, Pengurangan dan pelaporan penebangan liar

dan perambahan hutan, Penguatan kapasitas inventarisasi sumberdaya

dan penghitungan karbon sehingga dapat diukur, dilaporkan dan

diverifikasi, Menyiapkan sintesa laporan tentang baseline data dan

perkiraan penurunan emisi serta peningkatan karbon stok.

4. Sumatera Sustainibility Fund (SSF)

Sumatera adalah sebuah pulau dengan panjang 1800 kilometer dan

lebar 400 kilometer dengan jumlah penduduk kurang lebih 49,6 juta

orang. Tantangan yang terbesar dalam keberlanjutan ekosistem adalah

tingginya tekanan terhadap sumberdaya alam pada proses pembangunan,

70% masyarakatnya masih bergantung kepada sumberdaya alam.

Berdasarkan analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan

(42)

1. Kekuatan adalah pada nilai strategis dari kekayaan

keanekeragaman hayati dan sumberdaya alam di berbagai

sektor seperti kehutanan, pertanian dan perkebunan, perikanan

dan pertambangan yang potensial dalam mendukung

kelangsungan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

2. Kelemahan adalah pada masih rendahnya upaya yang

sistematis dan terintegrasi dalam pengelolaan ekosistem

secara lestari, dibanding dengan laju ekstraksi sumberdaya

alam, serta kesiapan dalam mitigasi dan adaptasi terhadap

bencana alam yang menjadi bagian tidak terpisahkan

dalam kehidupan di Pulau Sumatera

3. Peluang adalah mulai tumbuhnya kesadaran akan pentingnya

pelestarian lingkungan hidup dari berbagaipihak baik

pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil, berkembangnya

mekanisme insentif untuk green investment dan sustainable

production serta perhatian dunia yang melihat posisi strategis

Sumatera dalam memberikan dukungan pendanaan untuk

kelestarian ekosistem Sumatera.

4. Ancaman adalah pada kerentanan alami pulau Sumatera

terhadap bencana alam dalam bentuk gempa bumi ataupun

(43)

perubahan iklim global dengan segala konsekwensinya

termasuk konflik dalam pemanfaatan lahan untuk konservasi,

biofuel dan pangan, perluasan perkebunan sawit termasuk pada

lahan gambut, serta potensi konflik antara kepentingan

pembangunan dengan kepentingan pelestarian ekosistem.

Dengan demikian maka dalam 5 tahun mendatang, SSF akan memberikan

perhatian pada beberapa isu strategis yang disusun sejalan dengan visi

ekosistem Sumatera 2020. Visi Ekosistem Sumatera 2020 adalah sebuah

bentuk inisiatif yang telah berjalan diantaranya adalah Sumatra Initiative yang

berbasis pada kesepakatan 10 Gubernur Se- Sumatera untuk Penyelamatan

Ekosistem Pulau Sumatera yang diduku ng oleh Menteri Dalam Negeri,

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri

Kehutanan. Sumatra Initiative bertujuan untuk penyelamatan dan

pelestarian ekosistem guna menyeimbangkan fungsi ekologis dan

pembangunan ekonomi masyarakat Sumatera, melalui penataan ruang Pulau

Sumatera berbasis ekosistem, restorasi kawasan kritis untuk

perlindungan sistem, kehidupan, dan perlindungan kawasan yang memiliki

nilai penting bagi sistem kehidupan, keanekaragaman hayati dan perubahan

(44)

Dengan kata lain SSF merupakan sarana pendukung (supportsystem) bagi

terwujudnya visi ekosistem Sumatera 2020, dimana pada lima tahun

mendatang (2010-2014) akan berperan dalam penggalangan sumberdaya,

khususnya pengelolaan dana lestari Sumatera dalam beberapa isu strategis

seperti :

 Mendukung para pihak dalam mengembangkan

konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem

penting, serta mengembangkan restorasi kawasan kritis

yang penting bagi sistem kehidupan di Pulau Sumatera.

 Meningkatkan kapasitas para pihak dalam pengelolaan

sumberdaya alam secara lestari sesuai dengan prinsip

pembangunan berkelanjutan.

 Mendukung para pihak untuk mewujudkan kebijakan

pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan tata

ruang berbasis ekosistem.

 Memperkuat para pihak dalam mitigasi dan adaptasi

terhadap bencana alam dalam kerangka pendekatan

(45)

B. KEGAGALAN-KEGAGALAN PEMERINTAHAN PUSAT DALAM

MENJALANKAN PROGRAM-PROGRAM DALAM PROTOKOL KYOTO

Dalam upaya menurunkan emisi GRK pada atmosfer pemerintahan indonesia

tidak hanya memiliki keberhasilan tetapi juga banyak mengalami kegagalan-kegalan

dalam mewujudkan pengimplementasian Protokol Kyoto. Kegagalan-kegagalan

tersebut, yakni:

1. Masih Maraknya Deforestasi dan Penghancuran Lahan Gambut

Pemerintah dinilai gagal dalam mengatur hutan yang terbukti dari masih

banyaknya deforestasi hutan yang terjadi. Hal ini diungkapkan Juru Kampanye

Hutan Asia Tenggara, Bustar Maitar. Pada 2010 ini merupakan tahun uji emisi

Indonesia. Tahun 2010 menjadi ujian awal bagi pemerintah Indonesia untuk

benar-benar muncul dengan usulan konkret pengurangan emisi seperti yang

dikomitmenkan oleh pemerintah pada pertemuan iklim Kopenhagen tahun lalu

pada tahun 2009. Presiden Republik Indonesia di forum internasional telah

mengumumkan komitmen akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia

hingga 26 persen pada 2020, dan akan menjadi 41 persen jika ada dukungan

internasional., tetapi, hingga saat ini pemerintah belum melakukan langkah

maupun rencana konkret dalam upaya memenuhi target itu, terutama Kementerian

Kehutanan sehubungan dengan deforestasi dan penghancuran lahan gambut yang

(46)

2. Pemerintah Gagal Menerapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008

tentang Pengelolaan Sampah.

Konsep reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle

(memanfaatkan kembali) tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan

pernyataan Kepala Departemen Pemberdayaan Regional Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia (WALHI) Erwin Usman. Sementara itu, program pengelolaan

sampah melalui konsep 3R (reduce, reuse, recycle) yang digalakkan Pemprov

sejak 2007 mengurangi sampah sebesar 7 persen atau sekitar 29.344 meter kubik

setiap hari atau 6.525 ton setiap hari. Pengurangan sampah dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2007-2012 ditargetkan berkurang sekitar

12 -15 persen.

Untuk mempercepat pencapaian program 3R, Dinas Kebersihan menempuh

berbagai upaya, antara lain perlombaan lingkungan bersih dan sehat melalui

kader-kader PKK, penerapan program 3R kepada keluarga miskin, pelajar di

sekolah, dan perguruan tinggi.

Pembinaan kader kebersihan ini dilakukan karena masalah sampah secara

umum bersentuhan langsung dengan warga masyarakat. Para kader diajarkan cara

memilah sampah serta memanfaatkan sampah menjadi suatu barang yang berhasil

(47)

yang dilakukan mampu mengejar target pengurangan volume sampah sebanyak

12-15 persen pada tiga tahun mendatang. ucm/M-349

Hasil riset yang dilakukan oleh Human Rights Watch pada tahun 2009

menemukan praktek korupsi dan mafia yang terjadi dalam sektor kehutanan di

Indonesia menyebabkan kerugian negara sebesar 2 milyar dolar Amerika (atau

kurang lebih Rp 20 Triliun) setiap tahunnya. Jumlah sebesar 2 milyar dolar yang

hilang setiap tahun itu sama dengan gabungan seluruh alokasi anggaran untuk

kesehatan nasional, provinsi dan kebupaten. Nilai kehilangan tahunan ini juga

cukup untuk memberikan layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama

hampir dua tahun. Kondisi ini sangat menyedihkan dan ironis dimana banyak

daerah terpencil yang merupakan sumber pemasukan negara dari hasil kehutanan

justru memiliki layanan dasar kesehatan yang paling buruk. Masyarakat yang

tinggal di pinggir hutan - yang tengah dirusak untuk mempertebal kantung oknum

pejabat - justru harus menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk mendapat

perawatan dokter.

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah hutan

terbesar di dunia, tetapi sekaligus merupakan salah satu negara yang memiliki 3. Mafia Kehutanan

(48)

tingkat penggundulan hutan yang juga tertinggi. Indonesia dilaporkan meraup 6,6

milyar dolar Amerika dari ekspor sektor kehutanannya yang sangat

menguntungkan. Dengan nilai ekspor yang sedemikian besar, Indonesia

menduduki peringkat kedua setelah Brasil dan lebih besar dari pada gabungan

ekspor negara-negara di Afrika dan Amerika Tengah.

Namun mereka yang mendapat keuntungan terbanyak dari pembalakan liar

serta korupsi yang menyertainya sangat jarang diminta pertanggungjawabannya.

Sebagian hal ini disebaban oleh perilaku korupsi yang terjadi dalam tubuh

penegak hukum dan peradilan. Uang suap diberikan kepada polisi untuk

memanipulasi barang bukti atau bahkan menjual kembali kayu hasil sitaan kepada

pembalak liar. Suap juga diberikan kepada jaksa untuk memanipulasi tuduhan

(kadang-kadang sengaja menggunakan pasal yang memiliki pembuktian yang

lemah), dan kepada hakim untuk putusan yang menguntungkan. Uang suap yang

diberikan kepada oknum pejabat utuk meloloskan pembalakan liar atau

melanggar surat izin merupakan insentif yang sangat menggoda untuk

menelantarkan pencatatan data yang akurat atau kegagalan membuat laporan

terjadwal kepada kementerian pusat.

Seungguhnya dalam rangka melawan praktek illegal logging di Indonesia,

Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan

(49)

menteri, para gubernur dan para bupati/walikota. Inpres tersebut memerintahkan

kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan

penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh

wilayah Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang

melakukan kegiatan illegal logging.

Secara khusus pula Inpres No. 4 Tahun 2005 memerintahkan kepada Kapolri

dan Jaksa Agung untuk menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para

pelaku kegiatan penebang kayu secara ilegal, melakukan tuntutan yang tegas dan

berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan mempercepat proses

penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu

secara illegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap

peniyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi.

Sejauh ini, Pemerintah sudah melakukan 5 (lima) kebijakan operasi

pemberantasan illegal logging yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia

seperti Wana Jaya, Wana Laga, Wana Bahari, Operasi Hutan Lestari I,II dan III.

Sayangnya proses penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan aparat

penegak hukum tersebut umumnya hanya berhasil menjerat pelaku ditingkat

lapangan. Beberapa kasus yang melibatkan aktor utama seringkali dihentikan

(50)

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama empat

tahun terakhir (2005-2008) dari 205 orang pelaku illegal logging hanya yang telah

diadili di pengadilan hanya 40 orang (19,51 %) yang tergolong pelaku utama

seperti Direktur, Manajer, Komisari Utama, Pemilik Sawmill, Cukong, Penegak

Hukum, Pejabat Dinas Kehutanan, Kontraktor, Warga Negara Asing. Dari jumlah

tersebut sedikitnya 33 pelaku kakap divonis bebas. Selebihnya 165 orang ( 80,48

%) adalah pelaku kelas teri seperti operator, supir truk, dan petani. Dari semua

yang diproses sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang telah dibebaskan oleh

sejumlah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia. Selebihnya, 44

orang (21,4 %) divonis dibawah 1 tahun penjara dan 14 orang (6,8 %) yang

divonis antara 1 sampai 2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8 %) yang

divonis diatas 2 tahun penjara.50

Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang telah banyak di bicarakan

di indonesia. Sebagian besar pembicaraan ini berlangsung secara sporadis tanpa tema C. IMPLIKASI PROTOKOL KYOTO BAGI INDONESIA DALAM BIDANG

POLITIK &HUKUM, BISNIS, DAN KELEMBAGAAN & SDM

50 “ Koalisi Ant i Mafia Kehut anan” diakses dari

(51)

dan koordinasi sehingga sulit dilakukan penilaian atau sintesis mengenai tingkat

pemahaman masyarakat tentang proses Kyoto, isi dan maksud Protokol Kyoto.

Kondisi semacam ini juga terjadi di banyak negara berkembang lainnya karena

rendahnya prioritas lingkungan dalam agenda pembangunan dan terbatasnya

sumberdaya yang tersedia. Upaya masyarakat bersama pemerintah untuk memahami

isu baru ini masih perlu terus ditingkatkan. Disini peranan media menjadi sangat

penting untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat secara efektif. Para pakar

juga harus lebih banyak berdialog untuk membahas masalah-masalah aktual yang

relevan dengan agenda nasional.51

 Implikasi Politik dan Hukum

Dari pembicaraan yang sporadis tersebut untuk sementara keingintahuan masyarakat

tentang implikasi Protokol Kyoto dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu

politik dan hukum, ekonomi, dan kelembagaan. Implikasi ini dikaitkan dengan staus

jika indonesia meratifikasi protokol Kyoto. Sehingga tidak mengherankan apabila

terjadi banyak pro kontra. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat menempatkan

agenda nasional kita dalam konteks sebagai anggota masyarakat internasional.

Dengan kata lain, jika Protokol Kyoto menjadi bagian dari hukum nasional yang

harus ditekankan dalam implementasinya adalah bahwa kepentingan nasional kita

(52)

Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu

ditindak lanjuti dengan pengesahan Protokolnya. Jika ternyata ada negara

yang mengesahkan Konvensi, tetapi menolak Protokolnya, itu adalah hak

dari negara tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal

yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah

kedaulatan setiap negara yang didasari berbagai pertimbangan politis,

hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan

bisnis.

Secara politis indonesia sebagai bagian dari negara berkembang yang

tergabung dalam kelompok G77 + Cina, sangatlah penting bagi Indonesia

untuk menjaga solidaritas selama tidak mengorbankan kepentingan

nasional. Sebab dalam negosiasi dukungan dan kekompakan tidak hanya

diperlukan dalam saru hal saja, tetapi juga hal lain yang mungkin lebih

rumit, sehingga menjaga kesatuan dan kebersamaan politis adalah penting.

Hingga saat ini, sebagian besar negara yang telah mengesahkan Protokol

Kyoto adalh negara berkembang. Bahkan sebagian besar diantara mereka

adalah negara-negara kepulauan yang tergabung dalam AOSIS yang

secara geografis memiliki kondisi dan tantangan yang sama dengan

(53)

Sebagian negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan

Thailand juga telah mengesahkan Protokol Kyoto dengan alasan dan

pertimbangan masing-masing. Solidaritas kepada sesama anggota ASEAN

juga perlu ditunjukkan, meskipun isu perubahan iklim tidak pernah

dibicarakan secara formal dalam forum ASEAN.

Langkah yang diambil indonesia dalam mengesahkan dan meratifikasi

Protokol Kyoto dalam menunjukkan kepeduliannya terhadap isu global

tanpa harus mengorbankan kepentingan nasionalnya diperkirakan akan

membawa konsekuensi politik dalam hubungan internasional yang

menguntungkan bagi Indonesia.

Dalam perspektif politik nasional, sektor energi sangat terkait dengan

upaya perubahan iklim melalui pengurangan emisi GRK. Sektor energi

merupakan sektor yang strategis untuk ditangani kearena poryek-proyek

energi diperkirakan akan memiliki integritas lingkungan yang tinggi,

kepastian yang lebih baik dan resiko yang lebih kecil. Di dalam keputusan

CoP7 secara eksplisit dinyatakan bahwa energi terbarukan dan efisiensi

energi mendapatkan prioritas yang tinggi. Bahkan proyek energi yang

tidak lebih dari 15 GWh/tahun dan proyek-proyek energi yang

mengimisikan kurang dari 15 kt CO2/Tahun akan mendapat perlakuan

khusus untuk diimplementasikan dengan segera melalui prosedur yang

(54)

tentu akan mendorong pengembangan kelistrikan di luar sistem grid,

misalnya daerah pegunungan (micro hydro power), daerah pedesaan (solar

home system) dan daerah pantai (wind power).

Masalahnya adalah hingga saat ini Indonesia belum memiliki

undang-undang yang mengatur masalah energi secara komprehensif dan

menangani berbagai sumber energi. Hal-hal yang terkait dengan eneri

hanya dikonsultasikan dengan berbagai pihak dan jika terjadi kesepakatan

dituangkan dalan Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) yang tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Menurut keputusan CoP7 juga, aktivitas pada sektor kehutanan yang

sampai saat ini diizinkan untuk dimasukkan ke dalam CDM (clean

development mechanism) hanyalah reforestasi dan aforestasi.

Pada dasarnya proyek CDM adalah proyek investasi dengan CER

sbagai komoditasnya. Secara global, monitoring, verifikasi dan sertifikasi

akan dilakukan oleh badan independen yang ditunjuk oleh badan

pelaksana CDM. Secara nasiona pemerintah juga akan membentuk

otoritas nasional, seperti yang diamanatkan dalam protokol kyoto, untuk

menjembatani kepentingan investor dengan pihak tuan rumah dan

kelembagaan global diatas. Namun, kita perlu memperhatikan kerangka

peraturan nasional maupun regional atau daerah. Hal-hal yang terkait

(55)

peraturan-peraturan yang terkait dengan investasi di daerah. Perlu di ingat bahwa

otoritas nasional sudah tenty akan memungt biaya tranksaksi untuk biaya

operasionalnya. Demikian juga dengan Badan Pelaksana CDM global

sudah memutuskan akan memungut 2% dari dana CDM yang

diinvestasikan.

 Implikasi Bisnis

Untuk mencapai target penurunan emisinya negara-negara industri

dapat melakukannya secara domestik, teteapi dapat dipastikan bahwa cara

tersebut akan memakan biaya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, mereka

pergi ke pasar karbon global diluar negeri melalui proyek-proyek investasi

baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme Kyoto.53 Sektor-sektor yangdapat menurunkan emisi antara lain ialah energi, industri,

transportasi, kehutanan, pertanian dan limbah domestik. Dalam

mekanisme kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi

investor, sementara tuan rumah akan mendapatkan dana

tambahaninvestasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon

yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM

(56)

Sebagai negara berkembang Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk

menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Menurut

laporan National Strategy Study (NSS) on Clean Development

Mechanism yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (2001)

permitaan pasar karbon global adalah sekitar 800 juta ton CO2

Menurut studi yang sama peluang indonesia dalam pasar karbon

global hanya 2 persen atau sekitar 25 juta CO

per tahun,

125 juta ton diantaranya dapat dilakukan melalui CDM. Penawaran

terhadap pangsa pasar ini tentu saja akan datang dari berbagai pihak yang

memiliki resiko rendah yang ditunjang oleh kerangka hukum dan

kelembagaan yang jelas.

2

Sektor energi dan transportasi di Indonesia memiliki peluang yang

besar untuk mempromosikan energi terbarudan efisiensi energi. Dari sisi

penawaran sumber-sumber energi terbaru perlui didorong pemanfaatannya /tahun, sementara

Indonesia dan Cina masing-masing memiliki peluang 20 dan 50 persen. Di

tengah-tengah ketidakmatangan pasar, telah muncul beberapa negara maju

dengan pasar CDM, antara lain negara Belanda dengan program CERUT.

Skema ini memiliki dana sebesar satu milyar Euri per tahunnya.

Kemudian disusul dengan Bank Dunia yang memfasilitasi pembeli dan

penjual melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community Development

(57)

dengan subsidi dari dana CDM sehingga mampu berkompetisi dengan

BBM yang mendapat subsidi dari pemerintah. Sumber-sumber energi

tersebut tidak hanya memiliki investasi yang tinggi tetapi juga memiliki

biaya pembangkit yang mahal. Demikian juga dengan biaya distribusinya.

Di antara sumber-sumber tersebut baru panas bumi dan panas surya yang

memasuki tahap komersial, yang lain masih dalam tahap pilot project atau

bahkan masih dalam tahap penelitian. Dari sisi permintaan promosi

efisiensi energi akan memberikan insentif langsung ekpada konsumen,

dengan demikian investasi baru untuk pembangkitan energi untuk

sementara dapat ditunda dan dana negara dapat diprioritaskan untuk

kepentingan lain. diantara proyek-poryek yang menghemat energi adalah

cogeneration, combined cycle cogeneration, light switching, motor

switching, dan home appliances.

Masalahnya adalah kerangka peraturan dan kelembagaan yang

mendorong upaya penggunaan energi ini belum memadai. Belum adanya

undang-undang energi akan mempengaruhi iklim investasi melalui CDM.

Karena investasi seperti ini memerlukan kepastian hukum jangka panjang

yang ditunjang oleh kemampuan aparat yang memadai.

Dengan ketentuan bahwa sektor kehutanan hanya boleh melakukan

penyerapan emisi sebesar 1 persen dari jatah emisi negara-negara Annex I,

(58)

ini tidak lain unutk memastikanbahwa tanggung jawab untuk menurunkan

emisi berada di pundak negara maju dam sebagian besar dilakukan di

dalam negrinya. Tetapi, harus diingat pangsa pasar tersebut juga akan

memperebutkan penjual yang sudah siap. Definisi tentang reforestasi dan

aforestasi juga masih dapat diusulkan dan disesuaikan dengan kepentingan

nasional. Hambatan yang mungkin muncul dalam sektor ini adalah

kerangka peraturan yang belum ada. Perhatian khusus perlu diberikan

kepada PP Nomor 34 Tahun 2002 agar memungkinkan pelaksanaa proyek

karbon hutan dalam ukuran yang memadai dan terintegrasi dengan

pemanfaatan jasa lingkungan lainnya,

Dengan terus melanjutkan program ketahanan pangan sektor pertanian

dapat berpartisipasi dalam penurunan emisimetana dari budidaya padi

sawah dan pengaturan pakan ternak ruminansia. Meskipun volume

kemampuan nasional kita relatif rendah, metana memiliki potensi

pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida.

Sebagai kegiatan investasi atau penyertaan modal asing, harmonisasi

dan sinkronisasi dengan peraturan yang terkait dengan penanaman modal

perlu segera disimulasi dan diimplementasikan. Kemungkinan proyek

CDM mendapatkan keringanan pajak serta fasilitas intrumen fiskal

(59)

proyek CDM harus menghindari daftar investasi negatif yang dikeluarkan

oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

 Implikasi Kelembagaan dan SDM

Agar indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM, maka

langkah awal yang harus dilakukan adalah mengesahkan Protokol Kyoto.

Kemudian disusul dengan penyusunan peraturan yang akan berlaku secara

nasional dan dirancang unutk memperlancar implementasi protokol.

Jadi pengesahan protokol adalah prasyarat mutlak untuk dapat

berpartisipasi dalam kegiatan CDM54

Selain itu kapasitas stakeholder perlu ditingkatkan agar mampu

menyerap dan mengembangkan proyek bersama calon investor yang

potensial. Stakeholder yang memiliki kemampuan lebih akan memiliki

posisi tawar yang lebih baik pula, sehingga kemungkinan mendapatkan

keuntungan lebih besar akan lebih baik. Tugas peningkatan kapasitas

stakeholder perlu ditangani otoritas nasional itu sendiri. Program-program . Oleh karena itu pemerintahan pusat

wajib mensosialisasikan agar pemerintahan daerah juga memiliki

pemahaman yang sama tentang implementasi Protokol Kyoto melalui

CDM. Kerangka peraturan daerah yang kondusif akan memberikan daya

tarik tertentu bagi kemungkinan investasi. Mengingat kemungkinan

investasi CDM juga dapat meliputi beberapa daerah yang harmonis juga

(60)

penyuluhan dan pelatihan perlu dirancang dan disusun untuk berbagai

sektor dan daerah yang memiliki potensi untuk menerima dan

mengembangkan proyek CDM.

Indentifikasi awal tentang bentuk proyek dan yang mungkin terlibat

serta potensi menghasilkan CER telah dilakukan pada dua kegiatan NSS

baik pada sektor energi maupun kehutanan. Kedua studi tersebut

mencantumkan project portfolio yang memerlukan tindak lanjut otoritas

nasional dalam rangka peningkatan kapasitasnya

Untuk membangun kelembagaan harus dirancang lintas sektoral

multi-stakeholder agar mampu mengimplementasikan Protokol Kyoto secara

efektif. Serta kelembagaan pemerintah melalui Komisi Nasional

Perubahan Iklim (Designated National Authority, DNA) harus segera

menetukan sebuah otoritas nasional yang akan mengurus semua

kepe

Referensi

Dokumen terkait

Yang menjadi tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui melalui apa perjanjian Perjanjian Protokol Kyoto dapat diimplementasikan di Indonesia dalam upaya mengurangi emisi Gas

Secara umum CDM merupakan mekanisme penurunan emisi yang memungkinkan Negara maju melakukan investasi di Negara berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target penurunan

Pada mekanisme ini negara maju dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya (emisi karbon) dengan mengembangkan proyek ramah lingkungan yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di

Salah satu upaya negara negara di dunia terlihat dalam Protokol Kyoto yang merupakan kelanjutan dari Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim dengan nama resmi Kyoto Protocol

Tanggung Jawab Negara Terhadap Pemanasan Global, Negara maju dan Negara berkembang memanggul Tanggung Jawab Berbeda, Artinya Semua negara pihak mempunyai tanggung

Selanjutnya, keputusan mengurangi emisi karbon dalam skema Protokol Kyoto ini juga merupakan wujud (e) internasionalisme (karena berhubungan dengan kebijakan luar

Penulis melihat bahwa kasus mundurnya Kanada dalam Protokol Kyoto di tahun 2011 sangat menarik untuk diteliti mengingat Kanada merupakan salah satu negara yang

Untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 6% yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto, Pemerintah Kanada perlu melakukan perombakan