SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
LAURENTIA A. KARTIKA NIM: 100200318
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONSEP PERDAGANGAN KARBON SEBAGAI INTERNATIONAL COLLABORATIVE DALAM UPAYA
PENYELAMATAN DUNIA DARI PEMANASAN GLOBAL
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
LAURENTIA A. KARTIKA NIM: 100200318
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Ketua Departemen
Arif, SH, MH NIP: 196403301993031002
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
selama Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan tugas akhir (Skripsi) ini. Skripsi
ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun yang
Penulis pilih sebagai judul Skripsi adalah “Tinjauan Yuridis Terhadap Konsep Perdagangan Karbon Sebagai International Collaborative Dalam Upaya Penyelamatan Dunia Dari Pemanasan Global”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
dikarenakan berbagai keterbatasan Penulis, baik keterbatasan pengetahuan,
pengalaman Penulis dalam menulis karya ilmiah, maupun segi ketersediaan
literatur. Oleh karena itu, Penulis dengan besar hati mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.
Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun
materil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih
yang tak terhingga kepada Papa Amsal Victory dan Mama Irine Margaretha Tien
Anna Susanti yang telah memberikan doa, motivasi, saran, dan dukungan baik
secara moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen
Pembimbing Akademik Penulis.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Arif, SH, MH, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Prof. Suhaidi, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I, terimakasih atas
segala dukungan, bimbingan, dan nasihat yang sangat bermanfaat bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II,
terimakasih atas nasihat, motivasi, dan bimbingan penuh suka cita dan
kesabaran, serta bantuan yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi
ini.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
membimbing Penulis selama masa perkuliahan.
9. Seluruh civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, jajaran staf
administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
10.Adik-adik Penulis, Alexandra Dinda Kartika Putri dan Gregorius Arya Putra
11.Yessy Angelina Silalahi, sahabat yang selalu setia menemani Penulis dalam
suka duka sedari kanak-kanak, terimakasih atas segala dukungan, bantuan,
semangat, dan doa yang telah diberikan kepada Penulis.
12.Friska Lovia Martha Panjaitan, Irena Putri Tarigan, Clara Amanda Schram,
Stephanie Arachya Santira Pandia, Beatrice Sondang Anastasya Aruan,
terimakasih atas segala dukungan, motivasi, bantuan, doa yang telah diberikan
kepada Penulis serta selalu setia menemani Penulis dalam suka maupun duka.
13.Gilbert Adil Hamonangan Sinaga, Devi Silvia Hutapea, Anggie Sere Noveline
Sitompul, Anastasya Mariska Silitonga, Marwah Effendi Nasution, Nidea
Novresia Hutabarat, Andreas Gayus Sinulingga, Theopilus Sembiring,
terimakasih atas segala semangat, motivasi, bantuan, dan selalu setia
menemani Penulis dalam suka duka.
14.Seluruh teman-teman ILSA ‘Kalian Luar Biasa’, terimakasih atas semua
memori selama Penulis menjadi mahasiswi Hukum Internasional.
15.Semua Pihak yang telah membantu Penulis baik secara moril maupun materil
yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu
diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Medan, Maret 2014
Penulis,
ABSTRAK
Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH* Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum**
Laurentia A. Kartika**
Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan isu lingkungan yang sedang hangat dibicarakan. Salah satu cara untuk menangani permasalahan pemanasan global dan perubahan iklim dengan konsep perdagangan karbon sebagai bentuk kerjasama negara maju dan negara berkembang yang dilakukan dengan kontrak ERPA(Emission Reduction Purchase Agreement) memiliki aspek yuridis.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan-aturan hukum internasional tentang pemanasan global, bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang perdagangan karbon, bagaimana aspek hukum kerjasama internasional terkait perdagangan karbon dalam upaya menanggulangi dampak pemanasan global menurut persetujuan ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan pemanasan global dan perdagangan karbon dengan menggunakan studi kepustakaan melalui bahan-bahan berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.
Pemanasan global dan perubahan iklim diatur dalam The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC menjadi acuan para pihak yang meratifikasi konvensi ini dalam membuat aturan-aturan lebih lanjut mengenai cara-cara menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim. UNFCCC juga menjadi acuan pembentukan Protokol Kyoto yang melahirkan konsep perdagangan karbon melalui Mekanisme Fleksibel. Salah satu konsep perdagangan karbon yang banyak dikembangkan adalah CDM yang memperkenankan kerjasama antara negara maju dan negara berkembang. Kerjasama proyek CDM dilakukan dengan kontrak ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement). Dalam kontrak ERPA terdapat klausula-klausula yang diperjanjikan dalam pelaksanaan proyek CDM. Proyek perdagangan karbon melalui skema CDM ini diimplementasikan dengan tepat dan cara yang lebih mudah agar semakin banyak negara-negara yang turut ambil bagian di dalamnya untuk menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim.
Kata Kunci : Perdagangan Karbon, Pemanasan Global, UNFCCC, Protokol Kyoto, ERPA.
*
Dosen Pembimbing I
**
Dosen Pembimbing II
***
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Abstraksi ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Singkatan ... vii
Daftar Tabel... x
Daftar Gambar ... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 10
D. Keaslian Penulisan... 12
E. Tinjauan Kepustakaan... 12
F. Metode Penelitian... 16
G. Sistematika penulisan... 18
BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEMANASAN GLOBAL... 20
A. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim... 20
B. Dampak Pemanasan Global Dan Upaya Internasional Dalam Menyelamatkan Bumi Dari Pemanasan Global... 28
BAB III PERANGKAT HUKUM INTERNASIONAL MENGATUR
TENTANG PERDAGANGAN KARBON... 50
A. Konsep Perdagangan Karbon Secara Umum... 50
B. Akibat Perdagangan Karbon... 62
C. Konsep Perdagangan Karbon Dalam Pengaturan Hukum Internasional... 68
BAB IV ASPEK HUKUM KERJASAMA INTERNASIONAL TERKAIT PERDAGANGAN KARBON DALAM UPAYA MENANGGULANGI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL MENURUT ERPA (EMISSION REDUCTION PURCHASE AGREEMENT) ... 79
A. Peran Hutan Dalam Perdagangan Karbon... 79
B. Peran Masyarakat Internasional dalam Pelestarian Hutan dan Perdagangan Karbon... 85
C. Aspek Hukum Internasional dalam ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement)... 95
BAB V PENUTUP ... 116
A. Kesimpulan... 116
B. Saran ... 117
DAFTAR SINGKATAN
AAU : Assignment Amount Unit
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan BAPA : Buenos Aires Plan of Action
BAU : Business as Usual
BBF : Bahan Bakar Fosil
CBD : Convention on Biological Diversity
CBDR : Common But Differentiated Responsibility
CDM : Clean Development Mechanism
CER : Certified Emission Reduction
CH4 : Methane
CIFOR : The Center for International Forestry Research
CMP : Conference of Meeting Parties
CO2 : Carbon Dioxide
COP : Conference of Parties
CSD : Commission on Sustainable Development
DNA : Designeated National Authority
DOE : Designated Operational Entity
EB : Executive Board
ER : Emission Reduction
ERPA : Emission Reduction Purchase Agreement
ET : Emission Trading
EU ETS : European Union Emission Trading Scheme
EUA : European Union Allowances
FAO : Food and Agriculture Organization
GATT : General Agreement on Tariffs and Trade
GHG : Green House Gases
HFC : Hydro Fluoro Carbon
IETA : International Emissions Trading Association
INC/FCC : The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework
Convention on Climate Change
IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change
JI : Joint Implementation
LULUCF : Land Use, Land Use Change, and Forestry
MPB : Mekanisme Pembangunan Bersih
N2O : Nitrous Oxide
NSS : National Strategy Study
NSW GGAS : New South Wales Greenhouse Gas Reduction Scheme
OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PFC : Perfluorocarbon
QELROs : Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives
REDD+ : Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation,
carbon stock enhancement and forest conservation
SBSTA : Subsidiary Body for Scientificand Technica Advice
SF6 : Sulphur Hexafluoride
UNCED : United Nations Conference on Environment and Development
UNEP : United Nations Environment Programme
UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change
VER : Verified Emission Reduction
WG : Working Group
WSSD : World Summit on Sustainable Development
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Kronologi konvensi-konvensi internasional yang terkait isu emisi karbon mulai dari tahun 1985-2012.
Tabel 3.2 : Perangkat-perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan
perdagangan karbon.
Tabel 4.1 : Spot Agreement
Tabel 4.2 : Future Delivery Agreement
Tabel 4.3 : Call Option
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH* Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum**
Laurentia A. Kartika**
Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan isu lingkungan yang sedang hangat dibicarakan. Salah satu cara untuk menangani permasalahan pemanasan global dan perubahan iklim dengan konsep perdagangan karbon sebagai bentuk kerjasama negara maju dan negara berkembang yang dilakukan dengan kontrak ERPA(Emission Reduction Purchase Agreement) memiliki aspek yuridis.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan-aturan hukum internasional tentang pemanasan global, bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang perdagangan karbon, bagaimana aspek hukum kerjasama internasional terkait perdagangan karbon dalam upaya menanggulangi dampak pemanasan global menurut persetujuan ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan pemanasan global dan perdagangan karbon dengan menggunakan studi kepustakaan melalui bahan-bahan berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.
Pemanasan global dan perubahan iklim diatur dalam The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC menjadi acuan para pihak yang meratifikasi konvensi ini dalam membuat aturan-aturan lebih lanjut mengenai cara-cara menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim. UNFCCC juga menjadi acuan pembentukan Protokol Kyoto yang melahirkan konsep perdagangan karbon melalui Mekanisme Fleksibel. Salah satu konsep perdagangan karbon yang banyak dikembangkan adalah CDM yang memperkenankan kerjasama antara negara maju dan negara berkembang. Kerjasama proyek CDM dilakukan dengan kontrak ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement). Dalam kontrak ERPA terdapat klausula-klausula yang diperjanjikan dalam pelaksanaan proyek CDM. Proyek perdagangan karbon melalui skema CDM ini diimplementasikan dengan tepat dan cara yang lebih mudah agar semakin banyak negara-negara yang turut ambil bagian di dalamnya untuk menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim.
Kata Kunci : Perdagangan Karbon, Pemanasan Global, UNFCCC, Protokol Kyoto, ERPA.
*
Dosen Pembimbing I
**
Dosen Pembimbing II
***
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup yang berakal akan selalu berusaha
meningkatkan kualitas hidupnya. Peningkatan kualitas hidup ini berkaitan dengan
masalah kesejahteraan manusia yang akan terus diperjuangkan. Usaha
peningkatan kualitas hidup manusia merupakan persoalan semua bangsa di dunia
ini. Akan tetapi dalam meningkatkan kualitas hidup ini tidak semua bangsa
memiliki modal dan kesempatan yang sama untuk memulai dan mencapai tingkat
kualitas hidup yang diinginkan.
Masalah modal dan kesempatan yang dimaksud tersebut adalah faktor
utama dalam usaha untuk mendapatkan kualitas hidup atau tingkat kesejahteraan
manusia yaitu masalah Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang
dimiliki setiap bangsa. Modal dan kesempatan yang tidak sama inilah yang
menjadikan adanya ketidakseimbangan kualitas hidup antara suatu bangsa dengan
bangsa lainnya. Ketidakseimbangan ini juga yang menjadi penyebab kerusakan
bumi, melalui penjarahan, eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam yang
tidak terkendali dan juga melalui peperangan. Hal-hal tersebut berarti juga akan
mengurangi kualitas hidup manusia, padahal manusia ingin meningkatkan kualitas
hidup.
Upaya manusia untuk meningkatkan kualitas hidup tersebut antara lain
diinginkannya. Kelompok manusia yang memanfaatkan kemampuan otak pada
umumnya adalah kelompok manusia atau bangsa yang tidak mempunyai Sumber
Daya Alam yang cukup, tetapi berkeinginan mencapai kualitas hidup yang lebih
baik. Sebaliknya, bangsa yang mempunyai Sumber Daya Alam cukup seringkali
memiliki Sumber Daya Manusia yang kurang memadai. Akibatnya Sumber Daya
Alam yang ada akan dimanfaatkan oleh bangsa lain yang memiliki Sumber Daya
Manusia yang berkualitas. Selain hal tersebut, ada satu lagi masalah penting yang
harus dipikirkan oleh semua bangsa di dunia ini, yaitu masalah pemanasan global
yang dampaknya dapat menjadi ancaman bagi umat manusia.1
Isu lingkungan yang menarik di era milenium ini adalah pemanasan global
yang berpengaruh pada perubahan iklim, yang ditandai dengan peningkatan kadar
emisi (CO2) di udara dan peningkatan tinggi muka air laut, sebagai akibat
mencairnya es di kutub utara, perubahan cuaca yang radikal, bencana alam
merupakan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak pemanasan
global akhir-akhir ini juga dapat dilihat dari serangan udara dingin yang melanda
dan melumpuhkan sejumlah wilayah di Ameriika Serikat pada awal Januari 2014.
Suhu di beberapa wilayah mencapai -36° Celcius, bahkan dengan pengaruh angin
warga bisa merasakan seolah berada di tempat bersuhu hingga -50° Celcius.2
Bagian selatan Bumi, Australia malah mengalami hal sebaliknya, panas ekstrem
melanda hingga suhu mencapai 45° Celcius.
1
Wisnu Arya Wardana, Dampak Pemanasan global, Yogyakarta, ANDI, 2010. Hal. 2.
Isu pemanasan global ini selalu ditempatkan dalam daftar agenda
terpenting pada kelompok manapun yang peduli terhadap lingkungan. Suhu
rata-rata permukaan bumi semakin harisemakin meningkat selama beberapa tahun
belakangan. Sebagian besar peningkatan suhubumi disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas dan fasilitas hidup manusia. Fasilitas yangsemakin
mewah dan berteknologi modern, ternyata berdampak negatif terhadap bumi yang
menyebabkan pemanasan global. Peningkatan suhu dapat menyebabkan tidak
stabilnya cuaca di permukaanbumi.
Pemanasan global merupakan permasalahan yang semakin hangat. Seluruh
negara di dunia ini semakin gencar berjuang untuk menghadapi permasalahan
pemanasan global ini, berusaha untuk menanggulanginya dan berusaha untuk
mencegah berkembangnya pemanasan global tersebut. Demikian usaha
pencegahan tidak sedikit juga usaha-usaha maupun tindakan-tindakan yang
membuat permasalahan pemanasan global itu semakin melebar dan semakin parah
sehingga keadaan dunia semakin mengenaskan dan perlu ditanggulangi lebih
lanjut.
Banyak orang menyadari bahwa untuk menghentikan pemanasan global,
kita tidak dapat melakukannya sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama yang
melibatkan komunitas di dunia. Namun demikian, masih banyak orang yang tidak
tahu tindakan apa yang harus dilakukan untuk menghentikan pemanasan global.
Jika tidak segera bertindak maka dampaknya akan sangat serius.3
Pemanasan global itu sendiri tidak terjadi secara seketika, tetapi
berangsur-angsur. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850,
konsentrasi salah satu gas rumah kaca penting yaitu CO2 di atmosfer baru 290
ppmv (part per million by volume), saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai
sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk
tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan
meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra-industri.
Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi
akan meningkat hingga 4,5ºC dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan
manusia yang luar biasa besarnya.
Tidak semua negara industri penyebab masalah ini siap mengatasinya
karena upaya mitigasi yang menangani penyebabnya memerlukan biaya yang
tinggi. Pada saat yang bersamaan hampir semua negara yang tidak menimbulkan
masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan
dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan
adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.4
Dalam rangka untuk menghadapi perubahan iklim masyarakat
Internasional yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
melakukan konferensi mengenai perubahan iklim di New York pada tahun 1992
yang mendasari terciptanya Protokol Kyoto pada tahun 1997 dan beberapa
konferensi-konfrensi berikutnya yang selengkapnya akan dibahas pada bab
selanjutnya.
Perhatian masyarakat dunia tersebut terhadap lingkungan hidup
memberikan gambaran bahwa persoalan lingkungan hidup bukan persoalan yang
mudah. Masyarakat dunia sudah mulai cemas terhadap masalah lingkungan hidup
sehingga mereka mengadakan beberapa pertemuan untuk membahas dan
melindungi lingkungan hidup dari dampak yang dilakukan oleh manusia akan
perubahan iklim.
Menurut Mattias Finger:
“Krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh berbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal, teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya merugikan lingkungan, merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme, serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik.”5
Beranjak dari hal tersebut, maka pada umumnya menurut Finger jalan
yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui
pembuatan kebijakan yang lebih baik, teknologi baru dan berbeda, penguatan
komitmen politik dan publik, menciptakan gagasan dan ideologi baru yang
pro-lingkungan (green thinking), serta merubah pola kebudayaan, tingkah laku, dan
kesadaran tiap-tiap individu.6
Gerakan penyelamatan bumi ini sebenarnya sudah ada sejak Konferensi
Lingkungan Hidup sedunia di Stockholm 1972, bahwa penyelesaian masalah
lingkungan merupakan peran seluruh negara-negara di dunia, baik negara-negara
maju dan negara-negara berkembang. Butuh kerjasama antara keduanya.
5 Pan Mohamad Faiz, “Perubahan Iklim dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu Kajian Berprespektif Hukum Konstitusi”, disampaikan sebagai paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta, 2009. Hal. 1.
Persoalan lingkungan tidak akan selesai jika negara-negara maju saja yang
melakukan mitigasi, sementara negara-negara berkembang terus merusak alam
dengan deforestasi, degradasi, pencemaran air dan udara.7
Selanjutnya tahun 1992 lahirlah KTT Bumi yang dilaksanakan di Rio de
Jeneiro, Brazil dalam rangka penyelesaian persoalan lingkungan dunia.
Selanjutnya pada tahun 1997, dibentuklah Protokol Kyoto yang merupakan
kelanjutan dari salah satu hasil KTT Bumi yakni Konvensi Perubahan Iklim, juga
membahas tentang pemanasan global dan perubahan iklim, dalam Protokol Kyoto
muncul konsep Clean Development Mechanism (CDM). Bentuk aplikasi dari
CDM salah satunya adalah Carbon Trade (Perdagangan Karbon).
Perdagangan karbon yang memiliki makna yaitu melindungi karbon dan
menjualnya kepada negara-negara emisi. Negara-negara emisi memberikan
kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara-negara yang telah
mempertahankan karbon. Namun perlu juga dicermati apakah nilai tukar yang
ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah pantas terhadap negara yang telah
mempertahankan karbon.8
7 Mitigasi adalah proses pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena penyebab utama dari perubahan iklim adalah penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak bumi, maka negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Jepang, dan negara-negara industri lainnya diharuskan mengurangi 80% emisi mereka pada tahun 2050. Namun, menurut masyarakat adat pada negara berkembang, cara terbaik bagi mitigasi perubahan iklim adalah dengan mengubah produksi dan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan yang masih mendominasi sistem yang berlaku di dunia ini. Langkah mitigasi terbaik mencakup perubahan gaya hidup secara individu atau kolektif dan perubahan jalur pembangunan secara struktural menuju ke arah pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon. Lihat: “Apa Itu Mitigasi?” dimuat dalam http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/mitigasi/, diakses pada 24 Februari 2014.
8
Walau jalan kearah Clean Developmen Mechanism (CDM) ini cukup
banyak mendapat tantangan terutama negara-negara industri, dimana negara
industri tidak mungkin mengurangi emisi-emisi dengan menutup industri-industri
penyumbang karbon, sehingga menurut negara industri mekanisme perdagangan
karbon dianggap paling tepat.
Penerapan dan mekanisme perdagangan karbon ini tentu harus dipahami,
agar tujuan utamanya yaitu mengurangi pemanasan global dapat ditekan. Konsep
perdagangan karbon ini juga tidak mutlak menjadi alternatif dalam mengatasi
permasalahan pemanasan global, karena masih banyak cara lain seperti
penggunaan energi alternatif yang bersifat non polutan (tidak mengakibatkan
pencemaran).
Kemudian mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca yang
belakangan berkembang adalah melalui sektor kehutanan yaitu baik berupa
aktivitas afforestation dan reforestation9 dalam skema Clean Development
Mechanism (CDM) ataupun melalui program Reducing Emmisions from
Deforestation and Degradation (REDD).10
9 Ada dua objek utama dalam regenerasi buatan yaitu afforestation dan reforestation.
Affoestation adalah suatu upaya menciptakan hutan atas bantuan manusia pada area bervegetasi hutan yang telah lama hilang. Reforestation adalah upaya membangun kembali suatu kawasan hutan dengan cara regenerasi buatan pada suatu areal yang sebelumnya berhutan dan telah dilakukan penebangan (tebang habis) pada masa lampau. Lihat dalam Frans Wanggai, Manajemen Hutan, Manokwari, Grasindo, 2009. Hal. 158.
10 REDD adalah Skema untuk memberikan insentif bagi negara-negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dengan menekan tingkat kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Insentif ini dapat mendorong pengelolaan hutan yang lebih lestari dengan menyediakan aliran pendapatan yang berkelanjutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari dapat diperhitungkan sebagai kredit karbon. Kredit tersebut selanjutnya dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melindungi hutannya. Lihat dalam “Hal-Hal Yang Sering Ditanyakan Tentang REDD”,
Keseluruhan mekanisme pengurangan emisi mengupayakan agar karbon
sebanyak mungkin berada atau tetap berada pada sumber alam. Upaya
pengurangan emisi tersebut kemudian berkembang menjadi bisnis karbon yang
sangat menguntungkan.11
Konsep Perdagangan Karbon menjadi kajian menarik karena dianggap
sebagai ‘win win solution’ yang dikuatkan dengan adanya jargon ‘when profit and
ethic unite’, ‘solving the problem with the thinking created it’. Keunggulan yang
diusung oleh konsep ini adalah keberhasilannya menggabungkan dua kepentingan
yang selama ini dinilai saling bertolak belakang, yaitu kepentingan lingkungan
hidup dan kepentingan ekonomis.12
Kajian lain yang perlu dicermati adalah apakah setiap negara yang
melakukan perdagangan karbon telah siap dengan instrumen baik teknis maupun
pelaksanaannya, termasuk payung hukum, yang mengatur mekanisme
perdagangan karbon, baik internasional maupun nasional. Peraturan-peraturan
tersebut dibuat untuk menjadi acuan dalam mengadakan perjanjian-perjanjian
perdagangan karbon baik antara negara-negara yang telah menyetujui dan atau
meratifikasi Protokol Kyoto.
Kesepakatan jual beli karbon antara negara maju dan negara berkembang
dapat dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan swasta,
atau swasta dengan swasta. Kesepakatan tersebut dapat dilakukan melalui dua
pendekatan. Pertama, pihak negara maju (swasta atau pemerintah) sepakat dengan
11
Feby Ivalerina, “Konsep Hak‐Hak Atas Karbon”, Kertas Kerja Epistema No.01/2010, Jakarta : Epistema Institute sebagaimana dimuat dalam http://epistema.or.id/publikasi/working‐paper/145‐ konsep‐hak‐hak‐atas‐karbon.html,2010. Diunduh pada 23 September 2013.
pihak negara berkembang (swasta atau pemerintah) untuk membeli sejumlah
karbon yang dihasilkan dari proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pihak negara
berkembang. Jadi dalam hal ini pihak negara maju hanya memberikan jaminan
pasar bagi kredit karbon yang akan dihasilkan oleh pihak negara berkembang.
Kedua, pihak negara maju sepakat untuk membeli kredit karbon dari pihak negara
berkembang, tetapi pihak negara maju terlibat aktif dalam proses pesiapan seperti
penyusunan kriteria untuk pemilihan proyek, penentuan harga, ukuran proyek dan
lain sebagainya, sampai pada tahap pelaksana dan pengeluaran sertifikat kredit
pengurangan emisi.13
Dalam pelaksanaan perdagangan karbon antar negara sebagai bentuk
kerjasama negara-negara di dunia dalam menyelamatkan bumi dari Pemanasan
global membutuhkan perjanjian (persetujuan) yang nantinya akan mengikat para
pihak dalam melakukan proses perdagangan karbon. ERPA (Emission Reduction
Purchase Agreement) merupakan perjanjian perdagangan karbon dalam rangka
pelaksanaan program CDM (Clean Development Mechanism) yang bertujuan
untuk mengurangi emisi karbon sebagai salah satu cara untuk menagani masalah
pemanasan global.
ERPA memperjelas bagaimana perdagangan karbon tersebut dilakukan.
Para pihak disebutkan dalam ERPA, cara pelaksanaan perdagangan karbon,
jumlah dan harga yang disepakati, juga dijelaskan berbagai hak dan kewajiban
para pihak yang melakukan perdagangan karbon tersebut. Sebagai salah satu
contoh, dalam program pengurangan emisi ini, pada tahun 2006 salah satu
perusahaan swasta India Amrit Bio-Energy & Industries Ltd dan Perusahaan
Negara Irlandia Ecosecurities Group Plc mengadakan kerjasama untuk
mengurangi emisi dengan cara perdagangan emisi (karbon) dengan menggunakan
ERPA.
B. Rumusan Masalah
Isu pemanasan global yang hangat diperbincangkan dalam lingkungan
masyarakat internasional muncul suatu konsep untuk menanggulangi pemanasan
global tersebut, yaitu konsep perdagangan karbon. Dalam konsep perdagangan
karbon sebagai kolaborasi internasional dalam upaya penyelamatan dunia dari
pemanasan global muncul beberapa permasalahan yang akan menjadi lingkup
kajian tulisan ini:
1. Bagaimana aturan-aturan hukum internasional tentang pemanasan global?
2. Bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang perdagangan
karbon?
3. Bagaimana aspek hukum kerjasama internasional terkait perdagangan karbon
dalam upaya menanggulangi dampak pemanasan global menurut ERPA
(Emission Reduction Purchase Agreement)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui aturan-aturan hukum internasional tentang pemanasan
2. Untuk mengetahui perangkat hukum Internasional mengatur tentang
perdagangan karbon.
3. Untuk mengetahui aspek hukum kerjasama internasional terkait perdagangan
karbon dalam upaya menanggulangi dampak pemanasan global menurut
ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement).
Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat teoritis
1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam
melaksanakan perdagangan karbon antar negara dalam upaya
penyelamatan dunia dari pemanasan global.
2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama
yakni pengaturan mengenai perdagangan karbon dan pemanasan global
yang berkaitan erat dengan hukum lingkungan internasional.
b. Manfaat praktis
1. Untuk memberikan masukan kepada pemerintah akan guna perdagangan
karbon bagi pembangunan berkelanjutan negara dalam upaya
penyelamatan dunia dari pemanasan global serta peran hukum di
dalamnya.
2. Untuk memberikan gambaran bahwa perdagangan karbon dapat
memberikan peluang bisnis yang mengedepankan keberlanjutan
D. Keaslian Penulisan
Adapun skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Konsep Perdagangan Karbon Sebagai International Collaborative Dalam Upaya Penyelamatan Dunia Dari Pemanasan Global” merupakan tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas mengenai
masalah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah
dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka
penulisan skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Pemanasan global dalam bahasa inggris disebut dengan Global Warming
adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer laut dan daratan bumi.14
Pemanasan global sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia yang
ditandai dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (Green House
Gases/GHG) yang ada di atmosfer bumi. Hal ini dikemukakan oleh Panel Antar
Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate
Change/IPCC) bahwa sebagian besar manusia di Bumi bertanggung jawab atas
pemanasan global yang terjadi. Menurut laporan Panel Antar Pemerintah
mengenai perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC)
didapati bahwa konsentrasi gas rumah kaca (Green House Gases) meningkat,
atmosfer dan laut menghangat, rata-rata permukaan laut dunia telah meningkat,
dan es dan salju di kutub utara maupun selatan telah berkurang.
Menurut Paulus Agus Winarso perubahan iklim global adalah perubahan
unsur-unsur iklim (suhu, tekanan, kelembaban, hujan, angin,dan sebagainya)
secara global terhadap normalnya. Ini bisa terjadi karena efek alami. Namun, saat
ini yang terjadi adalah perubahan iklim akibat kegiatan manusia. Perubahan iklim
terjadi akibat peningkatan suhu udara yang berpengaruh terhadap kondisi
parameter iklim lainnya. Perubahan iklim mencakup perubahan dalam tekanan
udara, arah dan kecepatan angin, dan curah hujan.15
Panel Antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (Intergovernmental
Panel on Climate Change/IPCC) diberi tanggungjawab untuk melakukan
penilaian terhadap situasi tentang iklim, sistem iklim, perubahan iklim,
lingkungan, dampak sosial maupun dampak ekonomi dari perubahan iklim, juga
strategi yang memungkinkan dilakukan untuk menangani masalah perubahan
iklim. Berdasarkan laporan IPCC mengenai perubahan iklim serta tekanan publik
internasional mendorong PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) membentuk The
Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on
Climate Change (INC/FCCC) yang merupakan wadah tunggal dalam proses
negosisasi yang dilakukan antar pemerintah dibawah naungan Majelis Umum
PBB untuk membentuk kerangka kerja perubahan iklim yang selanjutnya disebut
The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).16
Kelanjutan dari The United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) adalah dibentuknya Protokol Kyoto (Kyoto Protocol to the
United Nation Framework Convention on Climate Change) yang merupakan
amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim
(UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau
bekerjasama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga atau menambah emisi
gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.17
Dalam Protokol Kyoto18 terdapat tiga mekanisme yang diatur untuk
menurunkan kadar emisi gas rumah kaca (Green House Gases) yang
menyebabkan terjadinya perubahan iklim yaitu: Joint Implementation, Clean
Development Mechanism, dan Emmision Trading. Program penanggulangan
perubahan iklim dengan cara Joint Implementation, atau Emission Trading dapat
dilakukan oleh negara-negara maju. Sementara Clean Development Mechanism
(CDM) yaitu mekanisme pembangunan bersih berdasarkan win win solution
16 Bernadinus Steni, “Sejarah Konvensi Perubahan Iklim”, 2011. dimuat dalam http:/ /reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/03/17/sejarah-konvensi-perubahan -iklim-bernad-steni/, diakses pada 30September 2013.
17 “Protokol Kyoto”, sebagaimana dimuat dalam http:// id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto, diakses pada 30 September 2013.
antara negara maju dan negara berkembang. Pada mekanisme CDM negara maju
dapat berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat mengurangi
emisi gas rumah kaca.19
Perdagangan karbon yang merupakan bagian dari Clean Development
Mechanism (CDM) adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi
peningkatan CO2 di atmosfer.20 Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke
atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk
menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi
karbon (penyimpanan karbon). Pemilik yang mengelola hutan atau lahan
pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang
terkandung dalam pepohonan di hutan, atau bisa juga pengelola industri yang
mengurangi emisi karbon dengan menjual emisi yang telah dikurangi kepada
emitor lain.
Perjanjian jual beli dalam proyek pengurangan emisi tersertifikasi
(perdagangan karbon) yang dibuat antara penjual dan pembeli biasa disebut
Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA). Kontrak ini diperlukan karena
ERPA mengatur hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak, landasan hukum
bagi pelaksanaan proyek, serta mengatur penyelesaian perselisihan. Dalam ERPA
dicantumkan sejumlah klausula, seperti para pihak yang terdiri atas penjual,
pembeli, pihak pelaksana proyek, otoritas atau regulator. Klausula ERPA juga
memuat definisi, yaitu keterangan rinci kegiatan yang akan menjadi objek dalam
ERPA, kuantitas CER (Certified Emission Reduction), validitas kepemilikan,
19
Wisnu Arya Wardana, Dampak Pemanasan global, Op. Cit, Hal. 12.
pengiriman, kegagalan dalam pengiriman, harga dan cara pembayaran, serta
pernyataan dan jaminan.21
F. Metode Penelitian
Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan
mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan
yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang
mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Sebagaimana
suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk mendapatkan data yang valid dan
relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis berusaha
semaksimal mungkin mengumpulkan data-data yang valid dan relevan tersebut
sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam
penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan Yuridis
Normatif (legal research) yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi konsep perdagangan karbon, aturan-aturan mengenai
perdagangan karbon, dan apakah benar perdagangan karbon dapat menjadi salah
satu solusi untuk menangani pemanasan global di dunia, serta peran hukum dan
masyarakat internasional dalam menerapkan konsep tersebut demi usaha
menyelamatkan bumi dari pemanasan global dengan adanya konsep perdagangan
karbon.
Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara
berpikir dalam penaikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum
yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk
sesuatu yang sifatnya khusus). Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah
jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah
konsep perdagangan karbon sebagai international collaborative dalam upaya
penyelamatan dunia dari pemanasan global.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu
bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti
hasil-hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku-buku, pendapat para
sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulis skripsi ini agar
tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan studi
pustaka (library research) yakni pengumpulan data yang dilakukan secara studi
kepustakaan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Metode Library Research adalah dengan mempelajari sumber-sumber atau
bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalampenulisan skripsi ini.
Berupa rujukan buku-buku, wacana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum
nama besar dibidangnya, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan
majalah.
4. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara
kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak
ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalam
mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Secara garis besar
pembahasan skripsi ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan
masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab
dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan
kebutuhan penulisan skripsi ini. Dengan pembagian tersebut diharapkan akan
mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara
keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi ini, yaitu:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar
belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II Menerangkan mengenai sejarah terjadinya pemanasan global di
tingkat internasional, upaya internasional dalam menyelamatkan
dunia dari pemanasan global, dan bagaimana aturan-aturan hukum
BAB III Menguraikan tentang konsep perdagangan karbon secara umum,
akibat dari perdagangan karbon, serta perangkat hukum
internasional yang mengatur tentang perdagangan karbon.
BAB IV Mengurai tentang campur tangan hutan dalam pelaksanaan konsep
perdagangan karbon, peran masyarakat internasional dalam
pelestarian hutan dan perdagangan karbon, dan mengurai aspek
hukum kerjasama internasional terkait perdagangan karbon dalam
upaya menanggulangi dampak pemanasan global menurut
persetujuan ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement).
BAB V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan
uraian pembahasan dan beberapa saran penulis yang mungkin
A. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Bumi adalah tempat tumbuh dan berkembang berbagai spesies makhluk
hidup termasuk manusia didalamnya. Alam dan makhluk hidup secara natural
membentuk keseimbangan, sinergi, homeostatis, rantai makanan, dan daur hidup.
Segala sesuatunya berhubungan di alam dan saling melengkapi satu sama lain.
Namun, manusia kadang lalai bahwa bumi ini tidak dihuni sendiri oleh mereka,
banyak spesies, flora dan fauna yang semuanya berbagi ruang kehidupan dengan
manusia.22
Pemanasan global ditandai dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah
kaca (Green House Gases). Gas rumah kaca adalah gas-gas yang terdapat di
atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca pertama sekali
ditemukan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier, seorang matematikawan dan
fisikawan Perancis pada tahun 1824.23
Istilah efek rumah kaca awalnya diambil dari cara menanam yang
digunakan petani di daerah/negara yang memiliki empat musim. Petani tersebut
menanam sayuran di dalam rumah kaca untuk menjaga suhu ruangan agar tetap
hangat. Sinar matahari yang masuk dipantulkan oleh benda-benda permukaan
dalam rumah kaca tersebut, saat dipantulkan, sinar tersebut berubah menjadi
energi panas berupa sinar inframerah, selanjutnya energi panas tersebut
terperangkap dalam rumah kaca dan tidak bercampur dengan udara di luar yang
dingin. Maka suhu dalam rumah kaca akan lebih tinggi daripada suhu di luar
rumah kaca.24 Sama halnya dengan atmosfer bumi, fungsinya sama dengan rumah
kaca yang digunakan oleh petani dalam becocok tanam. Menurut Protokol Kyoto,
Gas-gas rumah kaca tersebut terdiri dari : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4),
Nitrous Oxide (N2O), Sulphur Hexafluoride (SF6), Hydro Fluoro Carbon (HFC),
Perfluorocarbon (PFC).25
Gas rumah kaca sebenarnya sangat dibutuhkan oleh semua makhluk di
bumi, karena tanpa gas rumah kaca maka bumi akan menjadi sangat dingin. Suhu
rata-rata bumi adalah 15° Celcius, bumi sebenarnya telah lebih panas 33° Celcius
dari suhunya semula. Jika tidak ada gas rumah kaca, suhu bumi hanya -18°
Celcius sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi.26
Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi dapat juga timbul
karena aktivitas manusia. gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau, dan sungai. Karbon
dioksida (CO2) yang timbul dari berbagai proses alam seperti letusan vulkanik,
pernapasan hewan dan manusia (yang menghurup oksigen (O2) dan melepaskan
karbon dioksida (CO2)), juga pembakaran material organik. Karbon dioksida
24 Abdul Razak, “Kajian Yuridis Carbon Trade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca”, Makalah Etika dan Kebijakan Perundangan Lingkungan, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, 2008. Hal 7-8.
25 “Protokol Kyoto”, Loc. Cit.
dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap oleh tanaman untuk
proses fotosintesis.27
Matahari merupakan sumber energi bagi bumi. Sebagian besar energi
tersebut adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika
energi ini tiba di permukaan bumi, energi ini akan berubah dari energi cahaya
menjadi panas yang menghangatkan bumi.
Permukaan bumi menyerap sebagian panas dan memantulkan sisanya ke
luar angkasa. Sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan
dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sinar tampak adalah
gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang
panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun
sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos
keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya
(komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas ke
angkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer)
atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang
cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca
berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu,
akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah
pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan
begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.28
Sumbangan gas rumah kaca juga diberikan oleh aktivitas internal bumi,
juga aktivitas manusia. Aktivitas internal bumi ternyata menimbulkan dampak
terhadap bumi itu sendiri. Contoh proses vulkanik gunung berapi yang
menyebabkan pemanasan global adalah letusan Gunung Krakatau yang terletak di
Selat Sunda yang terjadi pada 26-28 Agustus 1883. Letusan Gunung Krakatau
sangat dahsyat. Gunung Krakatau yang pada mulanya merupakan pulau vulkanis
yakni Pulau Krakatau, pada tahun 1883 Pulau Krakatau terangkat ke atas menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil, batu, pasir, dan debu, kemudian terlempar dengan
kekuatan yang sangat amat dahsyat mencapai ketinggian troposfer, bahkan sampai
sangat mungkin sampai pada ketinggian stratosfer. Hal ini dikarenakan material
vulkanik tidak hanya jatuh di Selat Sunda tetapi sampai ke daerah-daerah lain.
Bahkan debu (abu) vulkanik setelah berbulan-bulan masih menutupi atmosfer
Eropa. Konon, setelah lewat dari 6 bulan, sebagian debu (abu) vulkanik jatuh di
daratan Eropa.29 Pada saat debu (abu) vulkanik Krakatau melayang-layang di
atmosfer, terjadilah lapisan “selimut abu” mengungkung bumi. Jadilah Pemanasan
global pada tahun 1883 yang disebabkan aktivitas internal bumi.30
Sedangkan sumbangan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia menurut
hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007,
secara umum kontributor emisi gas rumah kaca ini dapat dibagi menjadi tujuh
28 Haneda, “Hubungan Efek Rumah Kaca Pemanasan global dan Perubahan Iklim”, 2004. Sebagaimana dimuat dalam http://www.scribd.com/doc/137891172/Efek-Rumah-Kaca-1, diakses pada 5 November 2013.
kategori. Lebih dari seperempat emisi gas rumah kaca dihasilkan dari produksi
listrik dan panas (26%). Sementara itu kegiatan industri menyumbang seperlima
bagian (20%). Proporsi yang hampir mirip jika dibandingkan dengan gabungan
emisi transportasi (13%) dan bangunan (8%). Deforestasi atau penebangan hutan
di negara-negara berkembang juga menyumbanang hampir seperlima bagian
(17%). Kegiatan perkebunan, terutama yang menghasilkan gas metan (methane)
mewakili 13% emisi global, dan sampah yang juga menghasilkan gas metan
hanya 3%.31
Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu
utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi
fosil/BBF (Bahan Bakar Fosil).32 Pengguna terbesarnya adalah negara-negara
industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dan
lain-lain. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat
negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negera-negara selatan. Untuk
negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan
31 Araund Bohre, Nick Eyre, dan Nicholas Howarth, Carbon Markets An International Bussiness Guide, London, Earthscan, 2009, hal. 8.
skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrialisme
dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara.33
Berdasarkan kronologis sejarah pemanasan global dimulai dari tahun
1841. Saat itu ilmuwan Jean Baptiste Joseph Fourier menulis tentang pemanasan
bumi di surat kabar “Milwaukee Sentinel and Wisconsin Farmer” pada 4
Desember 1841. Namun saat itu pemanasan bumi dianggap sebagai suatu
perkembangan positif bagi kehidupan manusia.
Pada tahun 1894 mulai banyak tulisan di surat kabar yang memberitakan
tentang revolusi industri, seperti dimuat dalam “The Daily Mail North Western”
dan di “The Daily Nebraska State Journal”.34 Pada zaman ini peradaban manusia
menemukan momentumnya ketika muncul revolusi industri yang ditandai dengan
penemuan mesin uap, lampu dan telepon. Manusia kemudian menciptakan
mesin-mesin yang memudahkan hidupnya. Industrialisasi memberi banyak kebaikan
sehingga pertumbuhan populasi manusia mulai meningkat pesat. Namun para
ilmuwan mencatat periode ini menjadi titik awal polusi lingkungan dan proses
industrialisasi.35
33 “Efek Global Warming Terhadap Perubahan Iklim”, sebagaimana dimuat dalam http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1589--efek-global-warming -terhadap-perubahan-iklim, diakses pada 6 Januari 2013.
34 Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution,
Ada Apa Dengan Ozon?, Mojokerto, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, 2007, hal. 29.
Mulai dari jaman revolusi industri, konsentrasi gas karbon dioksida di
atmosfer telah meningkat. Peningkatan gas-gas ini menyebabkan kemampuan
atmosfer untuk menahan panas menjadi lebih besar. Sulfat aerosol, yaitu polutan
udara yang umum ditemui, mendinginkan atmosfer dengan merefleksikan kembali
radiasi cahaya dari matahari ke luar angkasa. Tetapi senyawa sulfat ini
mempunyai siklus umur yang pendek di atmosfer.
Para ilmuwan berasumsi bahwa pembakaran dari bahan bakar fosil dan
beberapa aktivitas manusia yang memicu dan menjadi penyebab utama
meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Respirasi dari tanaman
dan proses dekomposisi bahan organik melepaskan karbon diokasida sepuluh kali
lebih banyak dari yang mampu dihasilkan oleh aktivitas manusia, tetapi selama
berabad-abad pelepasan karbon diokasida ini diimbangi dengan penyerapan
karbon dioksida oleh vegetasi terestial dan laut. Keseimbangan ini terganggu
disebabkan adanya pelepasan tambahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Bahan Bakar Fosil (BBF) dibakar sebagai sumber energi untuk menggerakan
hampir seluruh peralatan manusia. Meningkatnya kegiatan agrikultural,
penggundulan hutan, dibukanya area kosong sebagai tempat pembuangan,
produksi industri, dan pertambangan juga meningkatkan emisi dengan bagian
yang cukup signifikan.36
Tahun 1913-1914 ilmuwan Swedia Laureate Svente Arrthenius
memprediksi iklim bumi akan memanas secara perlahan. Seperti dikutip dalam
Washington Post tanggal 23 Maret 1913, Arrhenius memprediksi perubahan ini
akan terjadi ribuan tahun yang akan datang.
Tahun 1949-1950 seorang peneliti bernama GS Callendar menulis di
Koran “The Nebraska State Journal” pada tanggal 23 Oktober 1949, bahwa efek
gas rumah kaca adalah diakibatkan oleh ulah manusia. Respon dari para ilmuwan
saat itu adalah mengembangkan cara baru untuk mengukur iklim bumi.
Tahun 1950-1970 pengembangan teknologi baru membawa kekhawatiran
lebih besar tentang pemanasan global dan efek rumah kaca. Sejumlah studi
menunjukkan tingkat karbon dioksida di atmosfir terus meningkat setiap tahunnya
dan sarat tentang bahaya polusipun semakin meningkat.37
Manusia telah mulai menyadari masalah pemanasan global ini merupakan
masalah global yang perlu dibicarakan secara serius di tingkat internasional.
Tahun 1972 dilaksanakan konfrensi lingkungan hidup pertama di Stockholm,
Swedia. Pada pertemuan ini menghasilkan pendirian United Nations Environment
Programme (UNEP),38 Maurice Strong dari Kanada mengetuai konferensi dan
akan ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif UNEP yang pertama.39
Pertemuan lingkungan hidup ini lah yang menjadi cikal bakal
pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk membahas masalah lingkungan global terutama
37 Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution,
Ada Apa Dengan Ozon?, Op. Cit. Hal. 29-31.
38 UNEP merupakan organisasi utama PBB di bidang lingkungan hidup, yang pada dasarnya melakukan pemantauan dan penelitian secara ilmiah pada tingkat global dan regional serta memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. UNEP juga melakukan kemitraan dan dukungan kapasitas pada tingkat nasional dengan tujuan untuk mengangkat isu lingkungan dalam pembangunan. Baca: Ella Syafputri, “Indonesia Usul UNEP Diperkuat”, 2013, sebagaimana dimuat dalam http://www.antaranews.com/berita/359758/indonesia-usul-unep-diperkuat, diakses pada 3 Januari 2014.
masalah pemanasan global. Bagian ini hanya membahas sejarah pemanasan
global. Sedangkan konferensi-konferensi internasional terkait pemanasan global
secara rinci akan dibahas pada bagian selanjutnya.
B. Dampak Pemanasan Global dan Upaya Internasional Dalam Menyelamatkan Bumi Dari Pemanasan Global
Dunia internasional saat ini sedang mengarahkan perhatiannya terhadap
pemanasan global. Pemanasan global berdampak langsung terhadap perubahan
iklim. Maknanya bahwa pemanasan global berdampak pada seluruh makhluk
hidup di bumi. Mencairnya gunung-gunung es di kutub, naiknya permukaan air
laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil merupakan beberapa efek domino yang
sekarang terpantau jelas di depan mata. Hilangnya sejumlah spesies, putusnya
mata rantai makanan, munculnya berbagai macam penyakit, berkurangnya
kemampuan tumbuhan untuk berkembang secara baik, merupakan dampak lain
yang kini kian dirasakan.
Dampak dari pemanasan global yang melanda bumi ini salah satunya
dapat menyebabkan hilangnya daratan. Pemanasan global menyebabkan
permukaan es mencair. Es yang mencair tersebut menyebabkan volume air laut
meningkat, sehingga lambat laun dapat menenggelamkan daratan yang ada di
bumi ini.
Sebagai contoh pada abad ke-20, permukaan air laut naik sebesar 10-20
cm. Memuainya air laut disebabkan oleh panas atmosfer yang menembus ke
terjadi di kedalaman 300m, di mana suhunya naik sekitar 0,25Ԩ. Keadaan seperti
itu terjadi dalam 40 tahun terakhir ini. Daratan di bumi ini bisa lebih cepat lagi
terendam air laut, jika tidak ada air yang tertimbun di dalam waduk atau perairan
lain yang ada di daratan.40
Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil,
beberapa tempat atau ekosistem atau masyarakat tertentu akan sangat rentan
menghadapi perubahan tersebut. Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan
ekosistem atau masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim rendah.
Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan
menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan
pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati.
Dampak lainnya yang akhir-akhir ini terjadi adalah pada awal Januari
2014 di belahan selatan Bumi, Australia memanas. Pada 3 Januari
2014, ABC melaporkan bahwa Australia mengalami musim panas ekstrem akibat
pengaruh gelombang panas. Wilayah Queensland mencapai suhu 40° Celsius.
Beberapa tempat lain bahkan melebihi 45° Celsius.
Sementara Australia luar biasa panas, Amerika Serikat luar biasa dingin
akibat pengaruh “polar vortex”. Suhu di beberapa wilayah Amerika Serikat
misalnya di Allaghas, Maine, bisa mencapai -36° Celsius, sementara di Kansas
City bisa mencapai -22° Celsius. Dengan pengaruh angin, warga bisa merasakan
seolah berada di tempat bersuhu hingga -50° Celsius.41 Peristiwa ini menyebabkan
sekitar 21 orang tewas.42
“Polar vortex” adalah semacam siklon yang terdapat di kutub yang dalam
kondisi normal tetap berada di wilayah kutub. Namun, aliran massa udara panas
dari Pasifik menyebabkan udara dingin dari kutub bergerak ke selatan. Massa
udara panas berperan sebagai pemandu. Sebagai akibatnya, udara dingin dari
kutub menjalar jauh ke selatan, mencapai wilayah utara dan tengah Amerika
Serikat, memicu musim dingin ekstrem.43
Pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Army Susandi,
mengatakan, fenomena musim panas dan dingin ekstrem di Australia dan
Amerika merupakan bukti perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, Amerika
Serikat tidak menandatangani Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi
pemanasan Global. Belakangan Kanada ikut keluar dari Protokol Kyoto. Sekarang
kedua negara tersebut terlanda suhu dingin ekstrem.44
Sementara itu, daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam
hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman. Peningkatan
suhu pada gilirannya akan mengubah pola dan distribusi curah hujan.
Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan
daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumber daya air akan
41 Nurul Folda, “Serangan Suhu Dingin Di Amerika Serikat – Dampak Pemanasan Global?” sebagaimana dimuat dalam http://id.voi.co.id/voi-komentar/5235-serangan-suhu-dingin-di-amerika-serikat-dampak-pemanasan-global, diakses pada 17 Januari 2014.
42 “The Big Thaw Begins: FROZEN BODIES Found in Snow as Temperatures Begin to Rise After Brutal Polar Vortex Leaves 21 Dead and 11,000 Flights Grounded”, http://www.dailymail.co.uk/news/article-2535695/So-cold-Hell-frozen-Small-Michigan-town-country-plunged-freezing-temperatures polar vortex-things-warming-day-two.htm l#ixzz2qmjkifel, diakses pada 19 Januari 2014.
43 Nurul Folda, Loc. Cit.
terganggu. Maka perlu ada tindakan nyata dari dunia internasional dalam upaya
penyelamatan bumi serta usaha-usaha pencegahan agar dampak pemanasan global
dapat dikurangi.45
Dampak pemanasan global yang terjadi sekarang ini sudah terasa di
seluruh penjuru bumi. Pemanasan global yang terjadi sebagian besar disebabkan
oleh aktivitas manusia. Hal ini dikarenakan zaman yang semakin maju, ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin berkembang.
Sadar atau tidak berbagai aktivitas manusia tersebut memicu menipisnya
lubang ozon sehingga mengakibatkan pemanasan global. Negara maju46 maupun
negara berkembang47 sudah menyadari terjadinya pemanasan global yang telah
memberi banyak dampak bagi negara mereka.
Negara-negara maju disebut-sebut sebagai negara-negara penghasil emisi
karbon yang lebih besar daripada negara berkembang tidak luput dari dampak
pemanasan global, walaupun dampak yang mereka rasakan tidak sebesar yang
dirasakan oleh negara berkembang yang kebanyakan berada di sekitar
khatulistiwa. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Tanzania,
Brazil, dan lain-lain yang umumnya berada di sekitar khatulistiwa menderita
45 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim,
Jakarta, Kompas, 2003. Hal. 18-19.
46 Negara maju disebut juga developed countries yang pada umumnya memiliki cirri-ciri seperti: tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), telah merdeka atau memperoleh kemerdekaannya sebelum tahun 1945, memiliki industri yang kuat dan kebanyakan berada di Benua Eropa atau memiliki tradisi Eropa (Amerika Serikat, Kanada, dan Australia). Negara maju, kecuali Jepang juga diistilahkan sebagai negara-negara Barat (Western States). Lihat dalam Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju”, Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001, hal. 2.
dampak kenaikan suhu bumi. Negara-negara berdataran rendah juga menderita
banjir besar seperti Bangladesh, Laos, Nigeria, Argentina, dan lain-lain.
Tampaklah bahwa dampak perubahan iklim memukul negara berkembang lebih
besar ketimbang negara maju.48
Kesadaran bahwa pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim
akan mengancam keberlanjutan kehidupan di dunia, menjadikan negara-negara di
dunia baik negara maju maupun negara berkembang berputar otak mencari cara
untuk mengatasi pemanasan global yang tengah terjadi.
Pemanasan global telah lama disadari bahwa benar terjadi dan mengancam
peradaban di bumi. Namun baru mulai kurun waktu 1970an diadakan pertemuan
yang secara sungguh-sungguh membahas masalah lingkungan terutama
pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Sejak masa itulah
masyarakat internasional mulai mencoba mencari solusi untuk menurunkan emisi
karbon yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim dengan
berbagai cara.
Cara yang paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara
adalah dengan reboisasi (reforestation). Selain itu banyak dikembangkan
cara-cara lain seperti penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi
pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir masih kontroversial karena
alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya.
Alat penyaring khusus gas buangan perlu digunakan oleh kendaraan
bermotor pada bagian knalpot (tempat keluar gas buangan) yang dapat
menetralisir dan mengurangi dampak negatif gas buangan tersebut. Bisa juga
dengan mengganti bahan bakar dengan bahan bakar alternatif yang ramah
lingkungan, seperti tenaga surya (matahari) atau biodisel. Perlu dikeluarkan
regulasi tentang usia kendraan bermotor yang boleh beroperasi agar tidak
menimbulkan pencemaran.
Selain itu perlu diadakan kerja sama internasional untuk mensukseskan
pengurangan gas-gas rumah kaca. Apabila pada suatu negara diterapkan peraturan
kebijakan lingkungan yang ketat, maka ekonominya dapat terus tumbuh walaupun
berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon
dioksida terbukti sulit dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang serius,
konsisten, dan berkelanjutan agar masalah pemanasan global ini dapat diatasi atau
diminimalisir.
Salah satu upaya internasional dalam menyelamatkan dunia dari
pemanasan global selain dari teknologi-teknologi tersebut adalah perdagangan
karbon antar negara di dunia. Cara ini diharapkan dapat menekan emisi karbon
yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia. Perdagangan karbon ini dapat
menimbulkan simbiosis mutualisme antara negara-negara pelaku bisnis
perdagangan karbon itu sendiri.
Perdagangan karbon diharapkan dapat membantu menekan emisi karbon
yang bermanfaat bagi pembangunan berkelanjutan49 dan bermanfaat bagi
perekonomian negara-negara pelaku perdagangan karbon. Selain cara-cara yang
dapat dilakukan manusia untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan di
bumi, manusia juga sudah sejak lama memikirkan untuk mencari planet pengganti
bumi yang usianya sudah semakin menua. Para ilmuwan dunia melakukan
berbagai studi tentang penemuan planet pengganti bumi yang disebut
Super-Earth50 sejak sekitar dua dasawarsa lalu. Penemnuan terakhir pada tahun 2013,
ditemukan beberapa planet yang berjarak 22 tahun cahaya dari matahari.
Planet-planet ini dapat dihuni, karena diperkirakan memiliki permukaan
dan atmosfer yang sama dengan bumi, juga memiliki hari dan tahun yang sama
panjangnya dengan bumi. Penemuan mengatakan bahwa siang planet-planet
tersebut akan diterangi oleh matahari dan saat malam hari bulan juga akan
bersinar, sama halnya di bumi.51
yang akan datang. Lihat: Sri Hayati, “Pembangunan Berkelanjutan”, sebagaimana dimuat dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196202131990012-SRI_HAYATI/ MK-EKOLOGI_DAN_LINGKUNGAN/PB.pdf, diunduh pada 24 Februari 2014.
50
Nicolas B. Cowan, a postdoctoral fellow at Northwestern University said thatSuper-Earths are expected to have deep oceans that will overflow their basins and inundate the entire surface, but we show this logic to be flawed. Terrestrial planets have significant amounts of water in their interior. Super-Earths are likely to have shallow oceans to go along with their shallow ocean basins. In the study, the research team treated exoplanets like Earth, which has a significant amount of water in its mantle. Rock within the mantle contains tiny amounts of water, but because the mantle is so large - those small amounts of water add up to a large quantity. A water cycle deep within the Earth moves water between oceans and the mantle. The division of water between the oceans and mantle is determined by seafloor pressure, which is relative to gravity. Lihat dalam: Brett Smith, http://www.redorbit.com/news/space/1113042735/super-earths-may-be-like-planet-earth-010914/, diakses pada 17 Januari 2014.
51 “Three Super-Earths Discovered In Habitable Zone Of Same Star For The First Time”,