• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pebedaan Validitas Composite Autonomic Symptoms Scale (COMPASS) Dan Survey Autonomic symptoms(SAS) terhadap Penilaian Disfungsi Otonom Pada Neuropati Diabetika.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pebedaan Validitas Composite Autonomic Symptoms Scale (COMPASS) Dan Survey Autonomic symptoms(SAS) terhadap Penilaian Disfungsi Otonom Pada Neuropati Diabetika."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. NEUROPATI DIABETIKA II.1.1. Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

mempunyai karakteristik ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak. Gambaran utamanya adalah peningkatan kadar glukosa

darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya (PERKENI, 2011)

Hiperglikemia yang menetap dapat mempengaruhi hampir seluruh

jaringan di tubuh dan berhubungan dengan komplikasi berbagai sistem

organ, termasuk mata, saraf, ginjal, dan pembuluh darah. ((Brownlee et al., 2008; Unnikrishnan, et al., 2007)

Prevalensi DM terus meningkat, di Amerika Serikat dari 33 % pada

tahun 1990 menjadi 4.9 % - 6.5 % pada tahun 1998, walaupun peningkatan

ini hasil observasi pada semua umur. Namun pada laporan terakhir

dinyatakan DM dialami sekitar 180 juta penduduk pada tahun 2008, dan

diperkirakan mencapai 360 juta penduduk pada tahun 2030. Diperkirakan 5

-10 % merupakan tipe 1 (yang tergantung insulin) dan 90 % - 95 %

merupakan tipe 2 (tidak tergantung insulin). (Harati, 2002, McGuire KD,

2012 )

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2003

(2)

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diabetes di

Indonesia menempati urutan keenam penyakit penyebab kematian (5,8%)

setelah stroke, tuberkulosis, hipertensi, cedera dan perinatal. Diabetes

sebagai penyebab kematian pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah

perkotaan menduduki peringkat ke-dua yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan,

diabetes menduduki peringkat ke-enam yaitu 5,8% (PERKENI, 2011)

Klasifikasi DM dibagi berdasarkan etiologinya. Klasifikasi yang di

pakai di Indonesia sesuai dengan klasifikasi menurut American Diabetes Association ( ADA ) 2003 terbagi dalam empat kategori. ( Soegondo, 2004 )

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus

Dikutip dari : Soegondo S. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus terkini dalam : Sidartawan Soegondo, dkk ( ed ). Penatalaksanaan

(3)

II.1.2. Neuropati Diabetika II.1.2.1. Defenisi

Defenisi neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda

dari disfungsi saraf perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain

selain diabetes. ( Sjahrir, 2006 ; Boulton dkk, 2005 )

II.1.2.2. Epidemiologi

Prevalensi diabetes melitus terus meningkat di Amerika Serikat pada

tahun 1990 sebesar 4 %, meningkat 33 % menjadi 6.5 % pada tahun 1998,

walaupun peningkatan ini hanya berdasarkan observasi pada semua umur,

etnik, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Dan ditemukan angka yang

cukup signifikan yang menunjukkan DM positif pada usia 30 - 39

tahun.(Harati, 2002 )

Neuropati diabetika terjadi hampir 50 % pada pasien DM, dan pada

DM tipe 1 dijumpai lebih cepat sedangkan pada tipe 2 dijumpai lebih lambat.

Neuropati sensorimotor kronik merupakan bentuk yang paling sering dari

polineuropati diabetik dan paling sering didiagnosa pada diabetes tipe 2

sampai 10 %. ( Aring, 2005 ; Boulton, 2005 ).

Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang

dilakukan pada dekade 1980 – an menujukkan sebaran prevalensi DM 0.8 %

- 6.1 %. Sedangkan pada rentang tahun 1980 – 2000, menunjukkan

peningkatan prevalensi yang sangat tajam yaitu dari 1.7 % menjadi 5.7 %

(4)

penelitian juga ditemukan neuropati diabetika dijumpai pada 50 % pasien

DM. ( Kelompok studi nyeri PERDOSSI, 2011 )

Diperkirakan dari studi epidemiologi prevalensi neuropati pada pasien

DM kira – kira 30 % pada pasien rumah sakit dan 20 % pada pasien di

masyarakat. Di Inggris pada United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), insiden setiap tahun kira – kira 2 % dan pada Diabetes Control and Complication Trial (DCCT), mendapatkan 7 % paien yang didiagnosis dengan DM mengalami neuropati, dan insiden mendekati 50 % pada pasien

yang menderita DM + 25 tahun. (Duby, 2004 )

II.1.2.3. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya neuropati diabetika adalah : ( Duby, 2004 )

a. Hiperglikemi

b. Lamanya menderita DM

c. Umur

d. Merokok

e. Konsumsi alkohol

f. Hipertensi

g. Hipokolestrolemia

II.1.2.4. Klassifikasi Dan Stadium

Ada beberapa klasifikasi dan stadium dari neuroapti diabetika yaitu

(5)

dan American Academy of Neurology ( AAN ). Ada juga yang menurut international Experts In Diabetic Neuropathy. ( Eastman R, Boulton, 2004 )

Pada literatur juga disebutkan stadium beratnya neuropati diabetika

dibuat berdasarkan kecepatan hantaran saraf, quantitative sensory testing (QST ), atau abnormalitas tes otonom. Selain daripada stadium, klinis dari

neuropati diabetika juga dibedakan berdasarkan skala neurologis. ( Boulton,

2004 )

Tabel 2. Klasifikasi Neuropati Diabetika

(6)

Tabel 3. Stadium neuropati diabetika

Dikutip dari : Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies. Diabetes Care. 2004 : 27 ; 1458 – 1486.

Tabel 4. Stadium beratnya Neuropati Diabetika

(7)

II.1.2.5. Patogenesa

Akhir – akhir ini sejumlah patogenesa dibuat untuk melengkapi satu

dengan yang lainnya guna mencapai target pengobatan. Berdasarkan

literatur menunjukan adanya multifaktor yang mendasari patogenesa

neuropati diabetika. ( Duby, 2004 )

Ada tujuh mekanisme yang berpengaruh pada patogenesa neuropati

diabetika yaitu : (i) peningkatan perubahan yang terus menerus jalur poliol

yang didahului oleh penumpukan sorbitol dan fruktosa, pengurangan myio –

inositol dan penurunan aktifitas Na+-K+-ATP-ase, (ii) gangguan metabolisme

asam lemak essensial n – 6 dan prostaglandin yang mengakibatkan

perubahan struktur membran saraf, mikrovaskular dan abnormal hematologi,

(iii) defisit mikrovaskular endoneural mengakibatkan iskemik dan hipoksia

sehingga terjadi oksidatif stress yang disebut dengan hyperglycemic pseudohypoxia, (iv) peningkatan aktivitas protein kinase C β ( PKC β ), (v) penurunan neurotropin yang didahului oleh penurunan ekspresi dan deplesi

Nerve Growth Factor ( NGF ), (vi) penumpukan AGEs pada saraf dan vassa, (vii) proses imunologi yang menyebabkan proses inflamasi. ( Ziegler, 2004 )

Proses terjadinya neuropati diabetika berawal dari hiperglikemia

berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas jalur

poliol, sintesis advance glycosilation end products ( AGEs ), pembentukan radikal bebas dan aktivitas protein kinase. Aktivitas berbagai jalur tersebut

berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf

menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel sehingga terjadilah

(8)

Gambar 1. Patogenesa Neuropati Diabetika

Dikutip dari : Duby, et all. Diabetic neuropaty : an intensive review, Am J Health – syst Pharm . 2004 : 61 (12 ); 160 -176

II.1.2.6. Gejala Klinis

Gejala klinis tergantung pada tipe neuropati dan saraf mana yang

terlibat. Pada beberapa orang bisa tidak ditemui gejala. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki, seringkali merupakan gejala yang utama, bisa juga

nyeri dan kesemutan. Gejala bisa melibatkan sistem saraf sensoris atau

(9)

Tabel 5. Gejala khas pada neuropati diabetika

Dikutip dari : Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies.

Diabetes Care. 2004 : 27 ; 1458 – 1486.

Berdasarkan waktu, gejala klinis dapat dibagi atas 2 yaitu :

Neuropati sensoris akut

Banyak gejala neuropati sensoris akut dan kronik sama. Perbedaan

yang jelas pada onset, tanda yang menyertai dan prognosis. Pemeriksaan

fisik neuropati sensoris akut relatif normal, dan pada pemeriksaan sensoris

bisa ditemukan alodinia, motorik relatif normal, walaupun terkadang bisa

dijumpai penurunan refleks. ( Aring, 2005 )

Neuropati sensoris kronis

Oleh karena neuropati kronik tergantung pada proses yang panjang,

gejala sensoris paling menonjol adalah pada ektremitas bawah, walaupun

(10)

proprioseptik dan kemungkinan abnormal fungsi sensoris otot. ( Boulton,

2005 )

Tabel 6. Gejala Neuropati Diabetika ____________________________________

Symptoms of Diabetic Neuropathy

Sensorimotor neuropathy

Muscular symptoms: muscle weakness (not fatigue), atrophy, balance problems, ataxic gait

Sensory symptoms: pain, paresthesia, numbness, paralysis, cramping, nighttime falls, antalgic gait

Autonomic neuropathy

Cardiovascular symptoms: exercise intolerance, fatigue, sustained heart rate, syncope, dizziness, lightheadedness, balance problems

Gastrointestinal symptoms: dysphagia, bloating, nausea and vomiting, diarrhea, constipation, loss of bowel control

Genitourinary symptoms: loss of bladder control, urinary tract infection, urinary frequency or dribbling, erectile dysfunction, loss of libido, dyspareunia, vaginal dryness, anorgasmia

Sudomotor (sweat glands) symptoms: pruritus, dry skin, limb hair loss, calluses, reddened areas

Endocrine symptoms: hypoglycemic unawareness

Other symptoms: difficulty driving at night, depression, anxiety, sleep disorders, cognitive changes

________________________________________________________ Dikutip dari : Aring, et all. Evaluation an Prevention of Diabetic

(11)

Tabel 7. Perbedaan Neuropati Sensoris Akut dan Kronis

Dikutip dari : Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies. Diabetes Care. 2004 : 27 ; 1458 – 1486.

II.1.2.7. Diagnosa

a. Anamnesis : ( Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2011 )

1. Sensorik : rasa terbakar, ditusuk, ditikam, kesetrum, disobek,

tegang, diikat, alodinia, hiperalgesia, disestasia dapat disertai rasa

baal seperti pakai sarung tangan, hilang keseimbangan, kurang

tangkas, asterogenesis, maupun borok tanpa nyeri. Dan keluhan

akan memberat malam hari.

2. Motorik : Gangguan koordinasi serta paresis distal atau proksimal

antara lain sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi/lantai, terjatuh,

sulit bekerja atau mengangkat lengan ke atas, ibu jari tertekuk,

tersandung, kedua kaki bertabrakan.

3. Otonom : Gangguan berkeringat, sensasi melayang pada posisi

(12)

orgasme, sulit menahan BAB/BAK, ngompol, polakisuri, muntah,

diare, konstipasi dan gangguan pupil berupa sulit adaptasi dalam

gelap dan terang.

4. Neuropati diabetika dicurigai pada pasien DM tipe 1 yang lebih dari 5

tahun dan semua DM tipe 2.

b. Pemeriksaan fisik ( Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2011 )

Pada inspeksi bisa dijumpai kaki diabetik, neuroartropati dan deformitas

claw toe.

c. Pemeriksaan neurologi ( Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2011 }

 Pemeriksaan motorik

 Pemeriksaan sensorik untuk melihat distribusi lesi saraf.

 Pemeriksaan otonom termasuk termasuk evaluasi hipotensi

ortostatik, nadi, tes valsava dan kelenjar keringat.

d. Pemeriksaan penunjang ( Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2011 )

 Elektroneuromiografi

 Test sensoris kuantitatif

e. Laboratorium ( Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2011 )

 Kadar gula darah atau tes toleransi glukosa, HBA1c.

 Laboratorium untuk menyingkirkan diagnosa banding.

Berikut adalah kriteria diagnostik neuropati, di mana diagnostik neuropati

berdasarkan adanya gejala dua atau lebih dari empat kriteria di bawah ini : (Sjahrir,

2006 )

1. Kehadiran satu atau lebih gejala.

2. Ketidakhadiran dua atau lebih reflek ankle.

(13)

4. Fungsi otonomik abnormal ( berkurangnya heart rate variability ( HRV ),

postural hypotension dengan turunnya tekanan darah sistolik 20 mmhg

atau lebih, atau kedua – duanya.

Untuk menegakkan diagnosa neuropati diabetika, sekurang –

kurangnya ada dua abnormlitas dari lima pemeriksaan yaitu : gejala, tanda

klinis, elektrofisiologis ( kecepatan hantaran saraf ), quantitative sensory testing ( QST ), dan quantitative autonomic testing ( QAT ). ( Bril, 1999 )

Selain itu juga, penegakkan neuropati diabetika dapat ditegakkan

berdasarkan konsensus San Antonio. Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa harus ada 1 dari 5 kriteria yakni : (1) Symptom scoring, (2) Physical examination scoring, (3) Quantitative Sensory Testing, (4) Cardiovascular Autonomic Function Testing (c AFT ), (5) Electrodiagnostic studies ( EDS ). ( Mendel, 2003 )

Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination scoring yang telah terbukti memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi untuk mendiagnosa

neuropati diabetika adalah Diabetic Neuropathy Symptom ( DNS ) dan Diabetic Neuropathy Examination ( DNE ). ( Jan – Willem, 2000 )

DIABETIC NEUROPATHY SYMPTOM ( DNS )

Diabetic Neuropathy Symptom ( DNS ) terdiri dari empat item yang telah divalidasi, dengan angka prediktif yang tinggi untuk skrining

polineuropati pada diabetes. Adanya satu gejala diberi nilai satu poin dengan

nilai maksimum adalah 4 poin, dan jika ada skor yang lebih besar atau sama

(14)

Diabetic Neuropathy Symptom ( DNS ) memenuhi kriteria validasi, predictive value, dan practicality untuk tes diagnostik. Skor Diabetic Neuropathy Symptom ( DNS ) cepat dan mudah untuk dilakukan dengan reproducibility yang tinggi. Diabetic Neuropathy Symptom ( DNS ), memiliki spesifisitas 79 % dan sensitivittas 78 %, dengan cut - off point of 0 vs 1 - 4 untuk evaluasi neuropati.(Meijer, 2002)

Asad dkk pada tahun 2010, dalam uji reabilitas, untuk penilaian

neuropati sensorimotor pada pasien tipe 2 mendapatkan skor DNS memiliki

sensitifitas 64.41 % dan spesifisitas 80.95 % , dan menyimpulkan bahwa

DNS adalah paling spesifik pada penilaian neuropati diabetika.(Asad, 2010 )

(15)

Dikutip dari : Mendel JR, Sahenk Z. Painful S ensory Neuropathy. N Engl J Med. 2003: 384 ; 1243 -1255

II.1.2.8. Penatalaksanaan

Langkah penatalaksanaan terhadap pasien ND adalah menghentikan

dan memperlambat progresivitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol

kadar gula secara baik. Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat

mendekati normoglikemi dan kadar HbA1c dibawah 7 %. ( Sjahrir, 2006,

Kelompok Studi PERDOSSI, 2011 )

Pendekatan bisa dilakukan dengan farmakologis dan non

farmakologis. Secara farmakologis dapat diberikan anti konvulsan, NSAID,

analgetik, anti depresan, anti aritmik, dan obat tipikal. Sedangkan terapi

non farmakologis adalah edukasi pasien, dan tindakan bedah. ( Kelompok

Studi Nyeri PERDOSSI, 2011 )

II.2. Disfungsi Otonom

Disfungsi otonom adalah suatu keadaan di mana terjadi kerusakan

pada saraf otonom/ Autonomic Nervus System ( ANS ) yang bisa disebabkan oleh penyakit sistemik. Sistem saraf berfungsi untuk mengontrol sejumlah

fungsi dalam tubuh seperti detak jantung, tekanan darah, saluran

pencernaan dan berkeringat dan lain sebagainya. ( Vinik, 2001)

Sistem saraf otonom berhubungan dengan pengaturan otot jantung,

otot polos pada viseral, dan kelenjar. Sistem saraf otonom membantu

(16)

Sistem saraf otonom terdiri dari jaras aferen, eferen dan kumpulan sel saraf

pada otak dan medula spinalis yang mengatur fungsi sistem. Secara

anatomis, sistem saraf otonom dibagi menjadi dua bagian dimana sebagian

besar aktivitas keduanya bekerja secara berlawanan yaitu sistem saraf

simpatis (torakolumbal) dan parasimpatis (kraniosakral). Sistem saraf

otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya, kejadian

somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. ( Burgos, 2006 )

Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat saraf otonom,

seperti medula oblongata terdapat pengatur pernafasan dan tekanan darah.

Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan saraf otonom. Walaupun

demikian masih ada pusat yang lebih tinggi yang dapat mempengaruhinya

yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai

(17)

Gambar 3. Autonomic Nervus System

Dikutip dari : Burgos AO. Autonomic Function Test. Clinical Application and Examples. Internal Medicine. 2006

II.2.1. Diabetic Autonomic Neuropathy ( DAN ) / Disfungsi Otonom Pada Neuropati Diabetika

II.2.1.1. Defenisi

Diabetic Autonomic Neuropathy (DAN) adalah salah satu komplikasi dari diabetes melitus. Gangguan metabolik pada DM menyebabkan

kerusakan yang luas pada saraf perifer dan saraf otonom. Ketika neuropati

diabetika mempengaruhi saraf otonom, akan menyebabkan kerusakan pada

kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital, neurovaskular dan fungsi

(18)

Adanya Diabetic Autonomic Neuropathy (DAN) menunjukkan keadaan morbiditas dan cenderung ke arah mortalitas dalam beberapa pasien dengan

diabetes. Manifestasi klinis yang utama adalah resting tachycardia, ortostatik hipertensi, konstipasi, gastroparesis, disfungsi ereksi, disfungsi ereksi,

disfungsi sudomotor, gangguan fungsi neurovaskular, brittle diabetes, dan hypoglycemic autonomic. ( Sjahrir, 2006 )

II.2.1.2. Epidemiologi

Dilaporkan bahwa prevalensi disfungsi otonom pada neuropati

diabetika adalah antara 7.7 – 90 %, dan lebih sering terjadi disfungsi pada

gastrointestinal dan disfungsi ereksi. ( Vinik, 2001 )

II.2.1.3. Anatomi

Sistem saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf perifer yang

sebagian besar bertindak independen dari kontrol sadar (sengaja) dan terdiri

dari saraf di otot jantung, otot polos, eksokrin dan kelenjar endokrin. Sistem

saraf otonom bertanggung jawab untuk fungsi-fungsi pemeliharaan

(metabolisme, aktivitas kardiovaskular, pengaturan suhu, pencernaan) yang

memiliki reputasi untuk menjadi di luar kendali sadar. Pembagian utama lain

dari sistem saraf perifer, sistem saraf somatik, terdiri dari tengkorak dan

saraf tulang belakang yang menginervasi jaringan otot rangka dan lebih di

bawah kontrol sengaja. (Anissimov 2006 )

Sistem saraf otonom biasanya dibagi menjadi dua sub sistem utama,

(19)

mengimbangi, menawarkan kerja berlawanan dan tetapi efek saling

melengkapi. Sistem simpatis penawaran saraf dengan respon terhadap stres

dan bahaya, melepaskan epinephrines (adrenalin), dan meningkatnya

aktivitas umum dan tingkat metabolisme. Kebalikan sistem saraf

parasimpatis ini, merupakan pusat selama istirahat, tidur, dan mencerna

makanan, secara umum, menurunkan tingkat metabolisme, memperlambat

aktivitas, dan mengembalikan tekanan darah dan detak jantung istirahat, dan

sebagainya. Sebuah subsistem ketiga, sistem saraf enterik, diklasifikasikan

sebagai sebuah divisi dari sistem saraf otonom juga. Subsistem ini memiliki

saraf di sekitar usus, pankreas, dan kandung empedu. (Chamberlain,

2005).

Sistem saraf vertebrata dibagi ke dalam sistem saraf pusat (SSP),

yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang, dan sistem saraf perifer

(PNS), yang terdiri dari semua saraf dan neuron yang berada atau

perpnajangan di luar sistem saraf pusat, seperti untuk melayani anggota

tubuh dan organ. Sistem saraf perifer, pada gilirannya, biasanya dibagi

menjadi dua sub sistem, sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom.

Sistem saraf somatik atau sistem saraf sensorik-somatik melibatkan saraf di

bawah kulit dan berfungsi sebagai koneksi sensorik antara lingkungan luar

dan SSP. Saraf ini berada di bawah kendali kesadaran, namun sebagian

besar memiliki komponen otomatis, seperti yang terlihat dalam kenyataan

bahwa mereka berfungsi bahkan dalam kasus koma (Anissimov 2007).

Sistem saraf otonom biasanya disajikan sebagai yang bagian dari

(20)

sengaja dan sadar (refleks), dan untuk memasok otot jantung, kelenjar

endokrin, kelenjar eksokrin, dan otot polos Sebaliknya, sistem saraf somatik

memasok jaringan otot rangka, bukan jaringan halus, jantung, atau kelenjar

(Chamberlin, 2005) .

Sistem saraf otonom dibagi ke dalam sistem saraf simpatik, sistem

saraf parasimpatis, dan sistem saraf enterik. Secara umum, sistem saraf

simpatik meningkatkan aktivitas dan tingkat metabolisme (“respon melawan

atau lari”), sedangkan parasimpatis memperlambat aktivitas dan tingkat

metabolisme, mengembalikan fungsi tubuh ke tingkat normal (“beristirahat

dan keadaan mencerna”) setelah tinggi kegiatan dari stimulasi simpatis

(Chamberlin, 2005)

Sistem saraf enterik melayani daerah sekitar usus, pankreas, dan

kandung empedu, berurusan dengan pencernaan, dan sebagainya. Berbeda

dengan sistem saraf somatik, yang selalu berhubungan dengan jaringan

otot, sistem saraf otonom dapat merangsang atau menghambat jaringan

diinervasi (Chamberlin 2005).

Jaringan yang paling terkait dan organ memiliki saraf dari kedua

simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Kedua sistem dapat merangsang

organ target dan jaringan dengan cara yang berlawanan, seperti stimulasi

simpatis meningkatkan denyut jantung dan parasimpatis untuk menurunkan

detak jantung, atau stimulasi simpatis mengakibatkan pelebaran pupil, dan

parasimpatis dalam konstriksi atau penyempitan pupil . (Chamberlin, 2005).

(21)

Disfungsi otonom dapat disebabkan berbagai hal, seperti gangguan

auto imun, penyakit sistemik, proses infeksi, toksisitas, drug induced, herediter, gangguan nutrisi dan lain sebagainya seperti tercantum pada

tabel 8. Diabetes melitus adalah penyebab tersering terjadinya disfungsi

otonom. ( Chowdhury D, 2006 )

Tabel 8. Etiologi Neuropati Otonom

Dikutip dari : Chowdhury D. Approach to a Case of Autonomic Peripheral Neuropathy. Japi. 2006 : 54

II.2.1.5. Patofisiologi

Pada penderita diabetes melitus, terjadi metabolisme yang komplek,

di mana gangguan pada pembuluh darah dan faktor hormonal yang

(22)

perbaikannya. Dan hal ini juga mempengaruhi serat sensorik dan otonom

bagian distal, sehingga menyebabkan hilangnya sensasi secara progresif.

Diabetes dapat menyebabkan disfungsi dari salah satu atau semua bagian

dari sistem saraf otonom dan menyebabkan berbagai gangguan seperti pada

kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital, neurovaskular dan fungsi

metabolisme seperti autoregulasi glukosa. ( Vinik, 2001 )

Gambar 4. Patofisiologi Diabetic Autonomic Neuropathy

Dikutip dari : Monica MD, Diabetes Autonomic Neuropathy. IHC SAINT GEORGE UT. 2011

II.2.1.6. Gambaran klinis

Gambaran klinis utama dari disfungsi otonom adalah adanya

perubahan pada diameter pupil, terjadinya hipoglikemic yang episodik

(23)

tachycardia, cardiac denervation syndrome; gejala gastrointestinal , seperti dysphagia, nyeri abdominal , nausea, muntah , malabsorbsi, fecal incontinence, diare, konstipasi, gejala neurological seperti symmetrical anhydrotic areas, hyperhidrosis; genito-urinary signs: erectile dysfunction, retrograde ejaculation, neurogenic bladder. ( Laura P, Vinik, 2001 )

Gambar 5. Manifestasi klinis dari autonomic neuropathy (Sympathetic fibers ditunjukkan dengan orange, parasympathetic ditunjukkan dengan warna biru, preganglionic solid, dan postganglionic ditunjukkan

dengan garis terputus -putus ).

Dikutip dari : Vinik.A. Recognizing and treating diabetic autonomic neuropathy. Cleveland Clinic Journal Of Medicine. .2001 ; 68 II.2.1.7. Diagnosa

Pemeriksaan kulit, selaput lendir, kuku dan pemeriksaan sendi dapat

menunjukkan adanya disfungsi ototnom. Pada pemeriksaan dini, dapat memberi

(24)

untuk penyakit kusta, dan adanya angiokeratoma pada tungkai dapat dicurigai

sebagai fabry disease. Terjadinya arthritis dan ruam dapat menunjukkan adanya

gangguan jaringan ikat. ( Chowdhury, 2006 )

Evaluasi neurologi dengan penekanan khusus pada sistem motorik

dan sensoris penting untuk mendeteksi adanya neuropati perifer somatik.

Adanya gejala piramidal, ekstrapiramidal dan serebelum, dapat

mengindikasikan adanya gangguan neurologis pada sistem saraf otonom,

seperti multipel sklerosis. (Chowdhury, 2006 )

Pemeriksaan non invasif, dengan validasi yang baik, tes klinis fungsi

otonom sangat berguna untuk mendiagnosa adanya disfungsi otonom.

(Chowdhury, 2006). Selain itu juga dapat digunakan kuesioner dalam

menilai ada/tidaknya dan berat – ringannya disfungsi otonom seperti

penggunaan Composite Autonomic Symptoms Scale (COMPASS) dan Survey Autonomic Symptoms (SAS). Di mana dinyatakan COMPASS memiliki nilai p < 0.0001 dan SAS memiliki sensitifitas 95 % , spesifisitas 50

%. ( Zilliox, 2011 ; Carla, 2009)

II.2.1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan disfungsi otonom pada penderita neuropati diabetika

bertujuan untuk mengobati penyebab spesifik dari otonom neuropati (jika

mungkin ) dan untuk mengontrol gejala neuropati otonom. Kontrol yang

memadai dari kadar glukosa sangat penting dalam neuropati diabetes.

Steroid dan imunoglobulin intravena dapat membantu dalam

(25)

Tabel 9. Penatalaksanaan Neuropati Otonom

Dikutip dari : Vinik. Recognizing and treating diabetic autonomic neuropathy. Cleveland Clinic Journal Of Medicine. 2001 ; 929

II.2.2. Pendekatan Diagnosa Klinis dengan Scoring System

II.2.2.1. Composite Autonomic Symptoms Scale ( COMPASS )

Composite Autonomic Symptoms Scale ( COMPASS ) adalah suatu skor yang memiliki validasi yang cukup baik dalam menilai adanya gangguan

(26)

terdiri dari 73 pertanyaan yang menunjukkan simtom dari kelainan fungsi

otonom yaitu : orthostatic (9 items), sudomotor simptoms ( 8 items ), male sexual dysfunction (8 items), urinary (3 items), gastrointestinal temasuk termasuk gastroparesis, diare dan konstipasi (13 items), pupillomotor temasuk gangguan visual (7 items), vasomotor (6 items), refleks sinkop (11 items) dan gangguan tidur (8 items ). (Slettten, 2012 ; Zilliox, 2011 )

II.2.2.2. Survey Autonomic Symptom ( SAS )

Survey Autonomic Symptoms ( SAS ) merupakan suatu skor yang berisi pertanyaan yang dirancang untuk menyediakan sebuah evaluasi yang

singkat tapi jelas tentang gejala otonom pada penderita neuropati.

Pertanyaan diarahkan atau ditujukan untuk mengevaluasi gejala awal dari

disfungsi otonom. Survey tentang gejala otonom digunakan untuk menilai

ada/tidaknya gejala disertai dengan derajat keparahan. Skala ini bermaksud

untuk menegaskan : ( Zilliox, 2011 )

1. Adanya gejala awal disfungsi otonom pada awal neuropati diabetes.

2. Adanya kepastian bahwa penderita dapat memahami dengan jelas

tentang pertanyaan yang diberikan.

3. Skor ini mudah digunakan pada clinical practice.

Skor ini berisi 11 pertanyaan untuk wanita dan 12 untuk pria, di mana

terdiri atas pertanyaan tentang ortostatik, simtom sudomotor, vasomotor,

(27)

II.3. Kerangka Teori

DIABETES MELITUS

7 mekanisme pd patogenesa ND :(i) peningkatan terus menerus jalur poliol (ii) gangguan metabolisme asam lemak essensial n – 6 dan prostaglandin, (iii) hyperglycemic pseudohypoxia, (iv) peningkatan aktivitas protein DM dikaitkan dgn banyak sindrom

(28)

II.4. Kerangka Konsepsional faktor hormonal yg kemungkinan menggeser keseimbangan antara kerusakan serabut saraf dan perbaikannya. Hal ini juga mempengaruhi serat sensorik dan otonom bagian distal, sehingga menyebabkan hilangnya sensasi secara progresif. ( Vinik, 2001 )

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus
Tabel 2. Klasifikasi Neuropati Diabetika
Tabel 3. Stadium neuropati diabetika
Gambar 1. Patogenesa Neuropati Diabetika
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

12 Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa mampu memahami dan menguasai pelajaran pada materi Sistem Peredaran Darah setelah pembelajaran dengan

Dalam proses ini mengambil data dari tabel mu berupa nilai mu dari kriteria tenaga ahli yang diinginkan kemudian personalia akan mendapatkan satu atau lebih

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengawasan intern dan pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah di Pemerintah Kabupaten

Partisipasi siswa pada mata pelajaran IPS materi permasalahan sosial melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament dengan indikator

[r]

Geopolitik Dan Wawasan Nusantara Materi PKn kelas XI SMK

Autoclave dibuat dari bahan baja tahan karat SS 304 berbentuk silinder dengan diameter dalam 14 cm, tebal dinding 0,173 cm, volume 2,0 liter, tutup dengan sistem flanges tebal 0,425