• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesiapan Rumah Sakit Umum Dr. FL. Tobing Sibolga Dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesiapan Rumah Sakit Umum Dr. FL. Tobing Sibolga Dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2014"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

2.1.1. Pengertian JKN

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah sebuah sistem jaminan sosial yang diberlakukan di Indonesia. Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952 (Kemenkes RI, 2012).

JKNadalah jaminan perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran/iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes RI, 2013)

Program JKN adalah suatu program Pemerintah dan Masyarakat/Rakyat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera

(2)

Sesuai Undang- Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.

2.1.2. Manfaat JKN

Manfaat JKN terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans.Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.

Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis.

Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan: a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai

penge lolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hi dup bersih dan sehat.

b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis B (DPT HB), Polio, dan Campak.

c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(3)

Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:

a. Tidak sesuai prosedur

b. Pelayanan diluar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS c. Pelayanan bertujuan kosmetik

d. General check up, pengobatan alternative

e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana

g. Pasien Bunuh Diri/Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/Bunuh Diri/Narkoba.

2.1.3. Prinsip JKN

UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dibentuk dalam rangka memberikan jaminan kepada seluruh rakyat, dibentuk dalam rangka memberikan jaminan kepada seluruh rakyat, dan merupakan perangkat hukum untuk mengimplementasikan amanat UUD negara Republik Indonesia tahun 1945, menurut Zaelani (2012) dalam menyelenggarakan jaminan sosial berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu sebagai berikut:

(4)

yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dan amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-prinsip menajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dan yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

4. Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5)

6. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan untuk dikelola sebaikbaiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

2.1.4. Pelayanan JKN

a. Jenis Pelayanan: Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diper oleh olehPeserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis).

b. Prosedur Pelayanan Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama- tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkatpertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

c. Kompensasi Pelayanan Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

(6)

2.1.5. Kepesertaan

Prinsip kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib, agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindung (UU No. 40 pasal 4)

1. UU No. 40 Tahun 2004 huruf g menentukan sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip wajib.

2. Penjelasan pasal 4 mengatur bahwa prinsip wajib adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.

Kepesertaan dan iuran antara lain diatur sebagai berikut:

1. Pemberian kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

2. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

3. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya wajib memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.

4. Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti

(7)

6. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjaannya, yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial secara berkala.

Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan (Kemenkes RI, 2012).

2.1.6. Tarif Pelayanan Program JKN a. Jenis Tarif Pelayanan

Tarif pelayanan program JKN didasarkan pada tarif Indonesian-Case Based Group yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBGs adalah besaran pembayaran klaim

oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit (Kemenkes RI, 2013).

Tarif pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama meliputi: 1. Tarif kapitasi yaitu rentang nilai yang besarannya untuk setiap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ditetapkan berda`sarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tarif kapitasi diberlakukan bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang melaksanakan pelayanan kesehatan komprehensif kepada Peserta Program Jaminan Kesehatan berupa Rawat Jalan Tingkat Pertama.

(8)

Jaminan Kesehatan berupa Rawat Inap Tingkat Pertama dan pelayanan Kebidanan dan Neonatal (Kemenkes RI, 2013).

Pembiayaan untuk pelayanan ambulans, pelayanan obat rujuk balik, pelayanan skrining kesehatan tertentu, dan/atau pelayanan kesehatan pada daerah terpencil dan kepulauan dibayar oleh BPJS Kesehatan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan BPJS Kesehatan (Kemenkes RI, 2013).

b. Iuran

Berdasarkan pedoman program JKN, dijelaskan bahwa Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Pembayaran iuran dalam program ini adalah bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah. Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh peserta yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2013).

Besarnya Iuran JKN ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Setiap Peserta wajib membeyar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI) (Kemenkes RI, 2013).

(9)

bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja (Kemenkes RI, 2013).

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal. BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi Kerja dan atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran di perhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran diatur dengan peraturan BPJS Kesehatan.

c. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan

(10)

Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja samadengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, seelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang berkerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut (Kemenkes RI,2013).

d. Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan ditentukan berdasarkan antara BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas besaran program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Kemenkes RI, 2013).

(11)

kelas perawatan, yang disebut denga iur biaya (addional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI (Kemenkes RI,2013).

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (peiode 1 januari sampai dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada SJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya (Kemenkes RI,2013).

Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yangmemiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat 31 Juli tahun berikutnya. 2.1.7. Case Mix INA CBGs (KemenkesRI, 2012)

A. Pengertian

(12)

pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang sama serta biaya perawatan yang relatif sama.

Dalam pembayaran menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.

Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan adalah dengan fee-for-service (FFS), yaitu Provider layanan kesehatan menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di Rumah Sakit. Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for service kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak

(13)

B. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan program Casemix INA CBGs secara umum adalah secara Medis dan Ekonomi. Dari segi medis, para klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif, tetapi langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi, dalam hal ini keuangan (costing) jadi lebih efisien dan efektif dalam penganggaran biaya kesehatan.Sarana pelayanan kesehatan akan mengitung dengan cermat dan teliti dalam penganggaranya. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), manfaat kebijakan program Casemix INA CBGs adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Bagi Pasien

a. Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan

b. Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit, karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan.

c. Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik.

d. Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien

2. Manfaat Bagi Rumah Sakit

(14)

b. Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan rumah sakit.

c. Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA (quality assessment) dengan cara yang lebih objektif

d. Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat. e. Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh

masing-masing klinisi.

f. Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran. g. Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway. 3. Manfaat Bagi Penyandang Dana Pemerintah (Provider)

a. Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan kesehatan.

b. Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat luas akan akan terjangkau.

c. Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider/Pemerintah.

(15)

C. Clinical Pathway

Prinsip pelaksanaan Case Mix INA CBGs adalah untuk efisiensi pembiayaan pelayanan kepada pasien, untuk dapat mencapai itu perlu ada standarisasi pelayanan terhadap pasien sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk mengurangi cost pelayanan rumah sakit berusaha mencari strategi yang terbaik untuk menghemat utilisasi namun memperbaiki kualitas pelayanan (quality of care). Clinical Pathway sebagai salah satu komponen Cost analisys. Clincal Pathway tidak digunakan untuk memperkirakan tarif melainkan untuk maintenace cost weigth (berkaitan langsung dengan standarisasi length of stay).

1. Definisi Clinical Pathway

a. European Pathways Association (EPA) I pada kongres di Slovenia, Desember

2005 telah merevisi definisi Clinical Pathways sebagai berikut: Clinical Pathways adalah metodologi dalam cara mekanisme pengambilan keputusan terhadap layanan pasien berdasarkan pengelompokan dan dalam periode waktu tertentu.

b. Suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.

c. Pathways adalah pelayanan medis yang berpihak pada pasien dan yang

(16)

peluang untuk melaksanakan evaluasi serta proses perbaikan pelayanan medis yang terus menerus.

d. Clinical pathway adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang

merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien mulai masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya, yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur dan dalam jangka tertentu selama di rumah sakit.

2. Tujuan Clinikal Fatway

a. Mengurangi variasi dalam pelayanan, Cost lebih mudah diprediksi.

b. Pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan (Quality of Care)

c. Meningkatkan prosedur costing.

d. Meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan. e. Sebagai (counter-check) pada DRG cost.

f. Terutama pada kasus-kasus (high cost, high volume). 3. Keuntungan Clinical Patway

a. Mendukung pengenalan evidence-based medicine dan penggunaan pedoman klinis.

b. Meningkatkan komunikasi antar disiplin, teamwork dan perencanaan perawatan.

(17)

d. Membantu mengurangi variasi dalam perawatan pasien (melalui standar) e. Meningkatkan proses manajemen sumber daya

f. Menyokong proses Quality Improvement secara berkelanjutan g. Membantu dalam proses audit klinis

h. Meningkatkan kolaborasi antar dokter dan perawat i. Meningkatkan peran dokter dalam perawatan. D. Peran Coding dalam Case Mix INA-CBGs

Dalam pelaksanaan Case Mix INA-CBGs, peran koding sangat menentukan, dimana logic software yang digunakan untuk menetukan tarif adalah dengan pedoman international Classification of Disease (ICD) 10 untuk menentukan diagnois dan ICD 9 CM untuk tindakan atau prosedur. Besar kecilnya tarif yang muncul dalam software INA-CBGs ditentukan oleh diagnosis dan prosedur. Kesalahan penulisan diagnosis akan mempengaruhi tarif. Tarif bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Diagnosis dalam kaidah CBGs, harus ditentukan diagnosa utama dan diagnosa penyerta. Diagnosa penyerta terdiri dari komplikasi dan komorbiditas.

(18)

terjadi level severity tingkat 2 dan level severity tingkat 3. Jika dalam akhir masa perawatan terjadi lebih dari satu diagnosis, koder harus bisa menentukan mana yang menjdi diagnosa utama maupun skunder.

1. Diagnosa Utama (Principa Diagnosis)

a. Adalah diagnosa akhir/final yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama

b. Diagnosis utama selalu ditetapkan pada akhir perawatan seorang pasien (established at the end of the episode of health care)

c. Jika terdapat lebih dari satu diagnosis maka dipilih satu diagnosis yang paling banyak menggunakan resources (SDM, bahan habis pakai, peralatan medik, tes pemeriksaan dan lain-lain.

2. Defenisi/ciri-ciri Diagnosis Sekunder

a. Diagnosis sekunder adalah diagnosis selain dari diagnosis utama (komplikasi + komorbiditi)

b. Komplikasi: Kondisi/diagnosa sekunder yang muncul selama masa perawatan dan dianggap meningkatkan length of stay (LOS) setidaknya satu hari rawat pada kira-kira 75 %

(19)

3. Prosedur/Tindakan

a. Prosedur Utama (Principal Procedure) adalah prosedur tindakan yang paling banyak menghabiskan sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama dan biasanya berhubungan erat dengan diagnosa utama.

b. Prosedur Sekunder

Seluruh signifikan prosedur tindakan yang dijalankan pada pasien rawat inap atau rawat jalan, membutuhkan peralatan special atau dikerjakan oleh staf terlatih dan berpengalaman Dalam proses Case Mix Ina DRG, tidak semua prosedur atau tindakan harus di input dalam software Ina DRG. Beberapa tindakan-tindakan yang tidak perlu di input adalah: Prosedur/tindakan yang berhubungan dengan keperawatan, Prosedur/tindakan yang rutin dilakukan, Prosedur/tindakan yang tidak memerlukan staf khusus, Prosedur/tindakan yang tidak memerlukan peralatan khusus

E. Keterkaitan Kode Diagnosis Dengan INA CBGs

a. Ketepatan pengkelasan CBGs (CBGs grouping) sangat tergantung kepada ketepatan diagnosis utama.

b. Diagnosis utama akan menentukan MDC (Major Diagnostic Category) atau sistem organ yg terlibat.

c. Tingkat keparahan penyakit (severity level) ditentukan oleh diagnosis sekunder, prosedur dan umur pasien.

(20)

e. Mengikuti standar resmi WHO dalam pengkodean diagnosis (WHO Morbidity Refference Group)

f. Mengikuti standar resmi aturan coding ICD 10 dan ICD 9 CM

g. Untuk kasus pasien bayi baru lahir (usia 0 s/d 30 hari) data berat badan lahir dalam gram harus dimasukkan

h. Gunakan kode P (perinatal) untuk diagnosa utama jika umur pasien kurang dari 30 hari.

i. Gunakan kode O820, O821, O828 dan O829 sebagai diagnosa utama jika terdapat prosedur tindakan bedah Caesar (caesarian section)

j. Prosedur utama mesti berkaitan dengan Diagnosa utama (upcoding, unnecessary procedure)(upcoding, unnecessary procedure).

2.2. Kebijakan

2.2.1. Teori Kebijakan Publik

Kebijakan menurut Federick sebagaimana dikutip Agustino (2008) mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

(21)

pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik (Tangkilisan, 2003).

Nugroho (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah”. Senada dengan definisi Dye, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008) juga menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan pemerintah.

Pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu (Winarno, 2012) :

1) Pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan pemerintah. Semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making dimana tindakan-tindakan pemerintah diartikan sebagai suatu kebijakan.

(22)

a. Mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan atau dengan kata lain kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making oleh pemerintah dan dapat juga diklasifikasikan sebagai interaksi negara dengan rakyatnya dalam mengatasi persoalan publik.

Kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making dimana terdapat wewenang pemerintah didalamnya untuk

mengatasi suatu persoalan publik. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai intervensi antara negara terhadap rakyatnya ketika negara menerapkan kebijakan pada suatu mesyarakat.

2.2.2. Tahap-Tahap Pembuatan Kebijakan

Adapun tahap-tahap pembuatan Kebijakan Kebijakan menurut William N. Dunn, 2003 adalah:

1. Penyusunan agenda.

(23)

2. Formulasi Kebijakan.

1. Pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternative kebijakan melihat perlunya membuat perintah ekskutif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif.

2. Adopsi kebijakan

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

3. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit Administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia.

4. Penilaian Kebijakan

Unit-unit pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badaan ekskutif, legilatif dan peradilan memenuhi persaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

2.2.3. Kebijakan Kesehatan

(24)

kebijakan kesehatan internasional. Kebijakan kesehatan adalah suatu hal yang peduli terhadap pengguna pelayanan kesehatan termasuk manajer dan pekerja kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat dilihat sebagai suatu jaringan keputusan yang saling berhubungan, yang pada prakteknya peduli kepada pelayanan kesehatan masyarakat (Green & Thorogood, 1998).

2.2.4. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya (Subarsono, 2005).

Secara garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (Wahab, 2008).

Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah dimana tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders) (Subarsono, 2005).

(25)

memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Parsons, 2008).

Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi actuating dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan fungsi tengah yang terkait erat dengan berbagai fungsi awal, seperti perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembenahan personil (stuffing) dan pengawasan (controlling). Sebagai

langkah awal pada pelaksananan adalah identifikasi masalah dan tujuan serta formulasi kebijakan. Untuk langkah akhir dari rangkaian kebijakan berada pada monitoring dan evaluasi (Abidin, 2002).

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai 4 variabel yaitu :

a. Komunikasi

(26)

Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan kebijakan (Indiahono, 2009).

Pada hakekatnya setiap proses komunikasi terdapat unsur – unsur sebagai berikut (Widjaja, 2000) :

1) Sumber pesan

Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri.

2) Komunikator

Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang meliputi penampilan, penguasaan masalah, penguasaan bahasa.

3) Komunikan

Adalah orang yang menerima pesan. 4) Pesan

(27)

yang terdapatdalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan (informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum, jelas

dan gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan komunikan).

5) Media

Adalah saran yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum, media massa.

6) Efek

Adalah hasil akhir dari suatu komuniksi, yakni sikap dan tingkah laku orang, sesuai atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan, apabila sikap dan tingkah laku orang lain itu sesuai maka komunikasi berhasil, demikian sebaliknya. Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi baik kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat dijadikan untuk menjaga pintu keluar-masuk dengan pihak-pihak luar organisasi (Umar,2002).

Arah komunikasi di dalam suatu organisasi (Umar, 2002) antara lain :

(28)

b. Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi utamanya adalah untuk mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja, saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat, keluhan-keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik secara lesan maupun tertulis atau nota dinas.

c. Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi yang setingkat. Fungsi utamanya adalah untuk melakukan kerja sama dan proaktif pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian atau antar bagian lain yang bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah maupun menceritakan pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.

d. Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dengan pihakluar, misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau media iklan lain

Menurut Cummings dalam Umar(2002), mengkomunikasikan sesuatu memiliki cara sendiri-sendiri. Untuk mengkomunikasikan ke bawah hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan adalah:

a. Memberikan perhatian penuh pada bawahan. b. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. c. Mendengarkan dengan umpan balik.

(29)

e. Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan.

Untuk komunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi berikut ini:

a. Melaporkan dengan segera setiap perubahan yang dihadapi; b. Menyusun informasi sebelum dilaporkan;

c. Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu; d. Mengajukan fakta bukan perkiraan;

e. Melaporkan juga perihal sikap, produktivitas, moral kerja, atau persoalan khusus yang dihadapi bawahan;

f. Menghindari penyebaran informasi yang salah;

g. Meminta nasihat atasan mengenai cara-cara menangani masalah yang sulitdiatasi sendiri oleh bawahan.

Secara umum Edwards membahas tiga hal yang penting dalam proses komunikasi kebijakan,Winarno, B (2012) yaitu :

(30)

b. Kejelasan.

Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaa tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana,tetapi juga komunikasi harus jelas. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interprestasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

c. Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang sampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. b. Sumber Daya

(31)

saja (Indiahono, 2009). Jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan perintah – perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif.

Menurut Winarno, (2012), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri :

1) Staf

Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untruk melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah cukup dan memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki keterampilan yang memadai. Disisi lain kurangnya personil yang memiliki keterampilan juga akan menghambat pelaksanaa kebijakan tersebut.

2) Kewenangan

(32)

3) Informasi

Informasi merupakan sumber penting dalam implemenatasi kebijakan. Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimilki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan disini adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan ataupesan,pedomam,petunjuk dan tata cara pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan.

4) Sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya pelaksnaan suatu kebijakan dan dipergunakaan Untuk mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan.

c. Disposisi

(33)

kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan kebijakan (Indiahono, 2009).

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur yang standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005).

(34)

Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna karena pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari sekedar merumuskannya. Proses perumusan memerlukan pemahaman tentang berbagai aspek dan disiplin ilmu terkait serta pertimbangan mengenai berbagai pihak namun pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa disebabkan karena tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non implementation) dan karena tidak berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful implementation) (Abidin 2002).

Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal yang dapat mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain :

a. Kondisi Fisik

Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal kegagalan pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam ini sering dianggap bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan, sekalipun dalam hal-hal tertentu sebenarnya bisa diantisipasi untuk mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi. b. Faktor Politik

(35)

menimbulkan perbedaan orientasi sentralisasi ke desentralisasi sistem pemerintahan, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan strategi industrialisasi ke orientasi agri-bisnis, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan pasar terbuka ke strategi dependensi dan sebagainya.

c. Attitude

Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu

berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa melakukan perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum kebijakan itu dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan perundang-undangan boleh saja terjadi, namun kesadaran untuk melihat berbagai kelemahan pada waktu baru mulai diberlakukan tidak boleh dipandang sebagai attitude positif dalam budaya bernegara.

d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor input.

Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang diharapkan tidak tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah satu faktor dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup.

e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah pelaksanaan. Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut : A > B > C > D, kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B dengan C dan atau antara C dengan D.

(36)

Kelemahan ini dapat terjadi karena teori yang melatarbelakangi kebijakan atauasumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002). Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan, asumsi yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa pelaksanaan yang baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun hanya akan merupakan sekedar suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat (Abidin, 2002).

2.3. Rumah Sakit

2.3.1. Pengertian Rumah Sakit

Menurut WHO (1968) rumah sakit adalah institusi yang merupakan bagian integral dari organisasi kesehatan sosial berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan yang lengkap baik kuratif dan preventif bagi pasien rawat jalan dan rawat inap melalui kegiatan medik serta perawatan. Rumah sakit juga merupakan pusat pendidikan dan latihan tenaga kesehatan dan riset kesehatan.

(37)

Menurut UU tentang rumah sakit bab 1 pasal 1 Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Menurut buku pedoman penyelenggaraan pelayanan rumah sakit Rumah sakit adalah semua sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,gawat darurat, tindakan medik, yang dilaksanakan selama 24 jam melalui upaya kesehatan perorangan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rumah sakit adalah gedung tempat merawat orang sakit, gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat, dan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga ahli selama 24 jam.

2.3.2. Fungsi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang tentang rumah sakit nomor 44 tahun 2009 Pasal5 fungsi rumah sakit adalah:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

(38)

2.3.3. Tugas Rumah Sakit

Tugas rumah sakit melaksanakan pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) serta melaksanakan upaya rujukan.

2.3.4. Azas dan Tujuan

Menurut UU RI No. 44/2009 pasal 2 Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan, keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Pengaturan penyelenggaraan rumah sakit menurut UU RI No. 44/2009 pasal 3 bertujuan:

a. Mempermudah akses pelayanan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di rumah sakit.

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.

d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit.

2.3.5. Klasifikasi Rumah Sakit

(39)

Rumah sakit Khusus. Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, dan Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang klasifikasi rumah sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit dapat diklasifikasi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan meliputi rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D.

Rumah Sakit Umum Kelas B

a. Aspek Pelayanan Rumah sakit Umum Kelas B

Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) pelayanan Medik Spesialis lainnya dan 2 (dua) pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum kelas B meliputi:

a) Pelayanan Medik Umum terdiri dari Pelayanan Medik Dasar, Pelayanan Medik Gigi dan Mulut dan Pelayanan kesehatan Ibu Anak/Kelurga Berencana.

(40)

c) Pelayanan Medik Spesialis Dasar terdiri dari Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah, Obstetri dan Ginekologi.

d) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik terdiri dari Pelayanan Anestesiologi, Radiologi, Rehabilitasi Medik dan Patologi Klinik.

e) Pelayanan Medik Spesialis lain sekurang-kurangnya 13 tiga belas pelayanan meliputi Mata, Telinga Hidung tenggorokan, Syaraf, Jantung, Pembuluh Darah, Kulit dan Kelamin, Kedokteran Jiwa, Paru, Orthopedi, Urologi, Bedah syaraf, Bedah Plastik dan Kedokteran Forensik.

f) Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut terdiri dari Pelayanan Bedah Mulut, Konservasi/Endodonsi, dan Periodonti.

g) Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan terdiri dari pelayanan asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan

h) Pelayanan Medik Subspesialis 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi Bedah, Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Obstetri dan Ginekologi.

i) Pelayanan Penunjang Klinik terdiri dari Perawatan intensif, Pelayanan Darah, Gizi, Farmasi, Sterilisasi Instrumen dan Rekam Medik

j) Pelayanan Penunjang Non Klinik terdiri dari pelayanan Laundry/Linen, Jasa Boga/Dapur, Teknik dan Pemeliharaan Fasilitas, Pengelolaan Limbah, Gudang, Ambulance, Komunikasi, Pemulasaraan Jenazah, Pemadam Kebakaran,

(41)

b. Aspek Ketenagaan Rumah Sakit Umum kelas B

Ketersediaan tenaga kesehatan di rumh sakit kelas B disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan, yaitu:

a) Pada Pelayana Medik Dasar minimal harus ada 12 (dua belas) orang dokter umum dan (tiga) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap

b) Pada Pelayanan Medik Spesialis dasar masing-masing minimal 3 (tiga) orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang sebagai tenga tetap

c) Pada Pelayanan Spesilis Penunjang Medik harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap

d) Pada Pelayanan Medik spesialis lain harus ada masing-masing 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 4 orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang bebeda.

e) Pada Pelayanan Medik Spesialis Gigi dan Mulut harus ada masing-masing 1 (satu) orang dokter gigi spesialis sebagai tenaga tetap

f) Pada Pelayanan Medik Subspesialis harus ada masing-masing minimal 1 (satu) orang dokter subspesialis dengan 1 (satu) orang dokter subspesialis sebagai tenaga tetap.

(42)

c. Aspek Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Umum Kelas B

Sarana dan prasarana dan peralatan rumah sakit harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Mentri, dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Administrasi dan manajemen terdiri dari struktur organisasi dan tata laksana. Struktur organisasi rumah sakit umum kelas B paling sedikit terdiri atas Kepala rumah sakit atau Direktur rumah sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Tata laksana meliputi tatalaksana organisasi, standar pelayanan, standar operasional rosedur (SOP), Sistem Informasi rumah sakit (SIMRS), hospital by lows dan Medikal Staff by lows.

2.3.6. Bangunan Rumah Sakit

Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam UU RI No. 44/2009 pasal 9 harus dapat digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

Bangunan rumah sakit sebagaimana yang dimaksud di atas adalah paling sedikit terdiri atas ruang:

a. Ruang Rawat Jalan b. Ruang Rawat Inap c. Ruang Gawat Darurat d. Ruang Operasi

(43)

f. Ruang Radiologi g. Ruang Laboratorium h. Ruang Sterilisasi i. Ruang Farmasi

j. Ruang Pendidikan dan Latihan k. Ruang Kantor dan Administrasi l. Ruang Ibadah

m. Ruang Tunggu

n. Ruang Penyuluhan Masyarakat Rumah Sakit o. Ruang Menyususi

p. Ruang Mekanik q. Ruang Dapur r. Laundry

s. Kamar jenazah t. Taman

u. Pengelolaan Sampah

v. Pelantaran parkir yang mencukupi 2.3.7. Sumber Daya Manusia

(44)

tanggung jawab tenaga kesehatan sangatlah penting dalam kegiatan pembangunan kesehatan. Dan agar pelaksanaan dan pendayagunaan terhadap keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan tersebut berjalan dengan baik, seimbang, teratur, terjaga mutunya, dan terlindung baik bagi tenaga kesehatan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan tersebut tentu perlu pengaturan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan (Kemenkes RI, 2010). Menurut UU RI No. 44/2009 pasal 12 ayat (1), yaitu rumah sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga non kesehatan. Jumlah dari sumber daya manusia harus disesuaikan dengan jenis dan klasifikasi rumah sakit.

Tenaga kesehatan adalahsetiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kemenkes, 2010).

(45)

Setiap tenaga kesehatan atau tenaga medis sebelum mendapatkan surat izin praktek harus dilakukan terlebih dahulu uji kompetensi yaitu suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai standar profesi (Kemenkes RI, 2010).

Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien, dan mengutamakan keselamatan pasien sesuai dengan UU RI No. 44/2009 pasal 13 ayat (3).

2.3.8. Fasilitas

(46)

bidangnya. Pemeliharaan peralatan harus didokumentasikan dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan.

2.3.9. Kewajiban Rumah Sakit

Setiap rumah sakit sesuai dengan UU RI No. 44 pasal 29 ayat 1 mempunyai kewajiban:

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayan rumah sakit kepada masyarakat

b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.

d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya.

e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan

pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.

g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.

(47)

i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana orang cacat, wanita menyususi, anak-anak, lanjut usia

j. Melaksanakan sistem rujukan

k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien

m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien n. Melaksanakan etika rumah sakit

o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana

p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional

q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatn lainnya

r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit

s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam meaksanakan tugas

(48)

2.3.10.Hak Rumah Sakit

Menurut UU RI No. 44/2009 pasal 30 menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai hak:

a. Menentukan jumlah, jenis, kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit.

b. Menerima imbalan jasa pelayan serta menentukan penghargaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

d. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian

e. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan f. Mempromosikan pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

2.4. Landasan Teori

(49)

Interaksi faktor–faktor yang saling mempengaruhi dapat digambarkan seperti

Gambar 2.1. Model implementasi menurut George C. III

2.5. Kerangka Pikir

Gambar 2.2. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian difokuskan pada input, proses dan output, dimana input/masukan berupa sarana dan prasarana, Sumber Daya Manusia (SDM), dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang digunakan untuk proses penyelenggaraan JKN yang menyangkut implementasi JKN yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Input dan proses akan menghasilkan output/keluaran berupa

INPUT

4. Struktur Birokrasi

(50)

kesiapan Rumah Sakit Umum Dr. FL Tobing Sibolga dalam implementasi kebijakan JKN.

2.5.1. Definisi Operasional

1. Komponen input adalah keseluruhan dari komponen atau unsur yang terlibat secara langsung dalam implementasi kebijakan program JKN yang terdiri dari: a. Sarana dan prasarana adalah seluruh sarana dan prasarana yang mendukung

untuk pelaksanaan program JKN di Rumah Sakit Umum Dr. FL Tobing Sibolga

b. Sumber Daya Manusia yaitu orang atau individu yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program JKN di Rumah Sakit Umum Dr. FL Tobing Sibolga c. SOP adalah mekanisme atau pedoman yang digunakan dalam melaksanakan

kebijakan.

2. Komponen proses adalah keseluruhan dari proses implementasi kebijakan JKN di Rumah Sakit Umum Dr. FL Tobing Sibolga yang terdiri dari:

a. Komunikasi adalah kejelasan penyampaian informasi yang berkaitan dengan program JKN di Rumah Sakit Umum Dr. Fl Tobing Sibolga

b. Sumber daya adalah kondisi objektif sumber daya manusia yang ada, sarana dan prasarana, serta dana yang dialokasikan untuk implementasi program JKN di Rumah Sakit Umum Dr. FL Tobing Sibolga

(51)

d. Struktur birokrasi adalah keseluruhan komponen yang terorganisir dalam pelaksanaan program JKN melalui peningkatan koordinasi dan kejelasan serta aplikasi dari SOP pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Dr. FL Tobing Sibolga

Gambar

Gambar 2.2. Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Dari data badan pusat statistik menunjukkan pada tahun 2011 jumlah unit usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) mendekati 99,98 % terhadap keseluruhan unit usaha di

Oleh karena itu pembuatan aplikasi kalkulator tubuh ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi seseorang yang benar-benar ingin mengontrol bentuk tubuhnya terutama berat

Dengan memperhatikan Dokumen Kualifikasi Pekerjaan Barang Jasa Pemerintah, serta sesuai Dokumen Kualifikasi perusahaan saudara, setelah dilakukan evaluasi yang berdasarkan

Dalam upaya Perusahaan Timah Karya untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, Perusahaan tersebut harus memilih jenis bijih timah berkualitas baik atau berkualitas sedang yang

Beberapa peningkatan tindakan yang dilakukan berdasarkan pada hasil refelksi siklus I yaitu memberikan kepercayaan diri kepada tutor roling kedua, dengan cara tutor

Langkah selanjutnya kita akan membuat kubus dengan wizard yang mana dimensi-dimensi secara otomatis menyesuaikan apa yang akan kita buat dalam kubus ini (kita data

pengolahan data diperoleh t-hitung lebih besar dari t-tabel yang berarti hipotesis kerja diterima, yang sekaligus berarti penggunaan media lagu berbahasa Jepang

Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tingkat kepuasan pelanggan terhadap kinerja manajemen PDAM Kabupaten Semarang yang merupakan bagian dari penelitian