• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA

DI WILAYAH HUKUM POLTABES YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan sejak dahulu hingga sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari

kalangan pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri. Persoalan kejahatan bukanlah

merupakan persoalan yang sederhana terutama dalam masyarakat yang sedang

mengalami perkembangan seperti Indonesia.

Melalui berbagai media masa dapat diketahui hampir setiap hari terjadi kejahatan

dengan berbagai jenisnya. Demikian pula dengan pelaku kejahatan sendiri, siapapun

dapat menjadi pelaku dari kejahatan, apakah pelakunya masih anak-anak, orang yang

berusia lanjut baik laki-laki ataupun perempuan. Jadi, tanpa memandang usia atau jenis

kelamin meskipun pada kenyataannya jumlah kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak

relatif kecil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan yang dilakukan anak tersebut

terjadi dimana-mana. Seperti tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di

bawah umur. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adanya

pengaruh lingkungan yang tidak baik, bacaan-bacaan yang berbau porno, gambar-gambar

porno, film dan VCD prono yang banyak beredar di masyarakat. Beredarnya buku

bacaan, gambar, film dan VCD porno tersebut dapat menimbulkan rangsangan dan

pengaruh bagi yang membaca dan melihatnya.

Pengertian anak di bawah umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 KUHP

(2)

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

disebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur

8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin.

Dalam rangka penegakan hukum, Polri melakukan tugas-tugas penyidikan tindak

pidana yang diemban oleh penyidik atau penyidik pembantu baik oleh fungsi Reserse

maupun fungsi operasional Polri yang lain dari PPNS yang diberi wewenang untuk

melakukan penyidikan secara profesional.

Sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur maka

setelah ditangkap, terhadapnya dilakukan pemeriksaan, berdasarkan ketentuan Pasal 42

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 pemeriksaan dapat dilakukan dengan ketentuan

sebagai berikut :

1. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan;

2. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyidik

wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing masyarakat, dan apabila

perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli

kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.

3. Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.

Sebagaimana pernah dimuat di media massa tentang beberapa kasus yang

dilakukan oleh anak di bawah umur serta perlakuan dari aparat penegak hukum.

Sebagaimana, pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju yang

menganiaya temannya. Raju yang baru berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk

menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma pada dirinya dan pada tanggal 29

Mei 2009, diberitakan oleh Kompas.com tentang penangkapan yang dilakukan oleh

(3)

saat itu bermain judi dengan taruhan Rp 1.000 per anak di kawasan bandara. Ke-10

(sepuluh) anak tersebut rata-rata masih berusia 10 sampai dengan 16 tahun. Sebagian

besar dari mereka adalah pelajar SD Negeri Rawa Rengas yang sehari-hari bekerja

sebagai penyemir sepatu di kawasan Bandara Soekarno-Hatta. Contoh lain di Bandar

Lampung bahwa pada tahap penyidikan, sebagian besar anak ditahan dan ditempatkan

bersama-sama dengan orang dewasa dalam sel tahanan. Pemeriksaan oleh penyidik juga

tidak dalam suasana kekeluargaan, dan hak untuk mendapat bantuan hukum tidak

diberitahukan kepada anak yang diperiksa oleh penyidik.

Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak pada situasi rawan dan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir dari aparat penegak hukum terkait sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan Anak maupun UU Perlindungan Anak. Akan tetapi, realita menunjukkan antara law in book (teori) dengan law in action (praktek) kerap terjadi kesenjangan di negeri ini. Bahkan, penerapan hukum sering dirasakan oleh si lemah begitu keras, kaku, dan salah kaprah.1

Hasil sementara studi menunjukan anak-anak konflik hukum memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak konflik hukum mengaku telah mengalami tindak kekerasan ketika berada di Kantor Polisi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan, namun ada juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersangka anak yang ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan. Selain kekerasan yang dilakukan dalam rangka penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dimana kekerasan merupakan bagian dari upaya memperoleh pengakuan, bentuk kekerasan lain yang terjadi, yaitu perampasan uang yang ada pada anak. Selain itu kekerasan juga terjadi dalam wujud penghukuman yaitu berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi (menyapu dan mengepel) dan membersihkan mobil.2

Menurut anak, selama proses penyidikan, tidak jarang anak dimasukkan ke tahanan dewasa, karena di berbagai wilayah belum adanya rumah tahanan khusus anak-anak. Selama proses penyidikan, anak mengemukakan tentang berbagai perlakuan tindak kekerasan dan intimidasi yang kerap diterima anak. Sebaliknya Penyidik

1

M. Musa, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Dosen Hukum Pidana pada Fak. Hukum UIR dan Prog.Ilmu Hukum-PPS UIR, http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 4 November 2009

(4)

mengungkapkan bahwa proses penyidikan pada anak berbeda dengan orang dewasa, bersifat kekeluargaan dan diupayakan oleh penyidik anak. Namun dari bebeberapa ungkapan anak didik di LP, diperoleh gambaran bahwa sejak proses penangkapan, anak telah diperlakukan “kasar” terlebih jika anak tersebut adalah anak jalanan.3

Hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai hukum positif yang memberi jaminan perlindungan anak, semestinya cukup membuat lega bagi orang tua dan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah anak di Indonesia. Namun realitasnya, jaminan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, masih “sebatas idealitas”. Bahkan Kak Seto mengaku prihatin terhadap perlindungan anak di Indonesia sebagaimana yang diatur UUPA No 23 tahun 2002, pelaksanaannya jauh dari harapan semua pihak. Pelaksanaan UU tersebut, saat ini mungkin hanya dilaksanakan baru sekitar 20 % saja. Fenomena kekerasan terhadap anak, dengan berbagai bentuknya nampaknya masih menjadi trend yang terus meningkat dalam masyarakat.4

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 disebutkan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun, karena memang secara psikogis anak pada

hakikatnya adalah seseorang yang berada pada suatu fase perkembangan tertentu menuju

dewasa dan mandiri. Karenanya, anak bukanlah sosok manusia dewasa dengan fisik yang

masih kecil. Anak adalah anak, dengan karakteristik psikologisnya yang khas dalam masa

tumbuh dan berkembang. Adanya pentahapan menunjukkan bahwa anak sebagai sosok

manusia dengan kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai

kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya. Oleh

karena itu, anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dan perlindungan dari

orang dewasa (orang tua, pendidik, dan pihak lainnya). Dengan alasan itu pula

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 dibuat untuk melindungi anak Indonesia.

Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) yang bertugas melakukan bimbingan kepada warga binaan

pemasyarakatan. Petugas Kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar tugas

3 Alit Kurniasari, Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI., http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 4 November 2009

4 Suryadi, Upaya Perlindungan Anak dari Kekerasan, Radarbanjar, 28 October 2008,

(5)

penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam maupun di

luar sidang anak, dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan serta

membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan

pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan

kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak yang memperoleh

pembebasan bersyarat dari Lembaga.

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar dan Kota

Wisata. Dengan kondisi Kota Yogyakarta yang demikian, menjadikan banyak penduduk

musiman berdatangan ke Yogyakarta baik dengan tujuan untuk mengikuti pendidikan,

tujuan wisata maupun tujuan mencari pekerjaan bagi masyarakat di daerah sekitar kota

Yogyakarta. Kepadatan penduduk, kurangnya lapangan pekerjaan, banyaknya fasilitas

internet di Kota Yogyakarta menjadi faktor pendukung terjadinya kejahatan selain faktor

kondisi orang tua, lingkungan, pergaulan, VCD Porno.

Data Kepolisian Kota Besar Yogyakarta menunjukkan bahwa pada tahun 2008,

sedikitnya terdapat 66 kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur,

sedangkan pada tahun 2009, hanya terdapat 42 kasus. Dari 66 kasus tindak pidana yang

dilakukan oleh anak di bawah umur pada tahun 2006, kasus yang paling banyak

dilakukan adalah tindak pidana pencurian sebanyak 35 kasus yang terdiri dari tindak

pidana pencurian biasa sebanyak 14 kasus dan tindak pidana berat sebanyak 21 kasus,

kemudian tindak pidana penganiayaan sebanyak 9 kasus, tindak pidana pengeroyokan

sebanyak 7 kasus, tindak pidana pengrusakkan sebanyak 4 kasus, tindak pidana

pemerasan dan pengancaman sebanyak 3 kasus, tindak pidana pencabulan, tindak pidana

membawa senjata tajam, dan tindak pidana melarikan gadis masing-masing sebanyak 2

kasus, serta tindak pidana penipuan dan tindak pidana membuang orok masing-masing

(6)

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

menulis dalam penulisan hukum atau skripsi dengan judul: “PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA DI WILAYAH HUKUM POLTABES YOGYAKARTA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di muka, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Apakah perundang-undangan pidana (pidana anak) sudah memberikan perlindungan

terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana?

2. Kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang

Referensi

Dokumen terkait

Skala ini mendefinisikan dan menjelaskan nilai 1 sampai 9 untuk pertimbangan dalam perbandingan berpasangan elemen pada setiap level hirarki terhadap suatu kreteria di

Berdasarkan hasil penelitian yang dicapai dalam Penelitian Tindakan Kelas ini dapat diimplikasikan bahwa ”Media Pembelajaran Benda Konkret” dapat digunakan untuk

Penelitian ini sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan menambah wawasan mengenai Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Spiritual terhadap

kebutuhan petani yang sangat mendesak, karena dengan menjual produksi karet kepada pedagang pengumpul, petani akan menerima uang secara langsung, sedangkan apabila

Pembuktian kualifikasi untuk menilai pengalaman yang sejenis dan besaran nilai pekerjaan yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang akan dikompetisikan dilakukan dengan melihat

Variable dalam penelitian ini adalah Strategi Coping stres adalah suatu cara individu mencoba dua yaitu Problem focused coping (coping yang berpusat pada

Melalui metode simulasi berbasis project based learning tersebut siswa diharapkan tidak hanya dapat melakukan simulasi langsung dalam menemukan pemahaman tentang

Tabel 2 hasil perhitungan dengan bantuan SPSS for window, maka dapat diketahui bahwa variable Kepemimpinan, Insentif Finansial, , dan Motivasi Kerja adalah