• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUALISME PENANGANAN KREDIT MACET PADA BA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DUALISME PENANGANAN KREDIT MACET PADA BA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

DUALISME PENANGANAN KREDIT MACET PADA BANK PEMERINTAH ANTARA RISIKO BISNIS ATAU TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH :

NAMA : FADLI ALFARISI, S.H.

PRODI : MAGISTER ILMU HUKUM JAKARTA

(HUKUM LITIGASI)

MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN

DOSEN : Dr. SURACH WINARNI, S.H., M.Hum.

JAKARTA AGUSTUS 2015

(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional mencakup pembangunan hukum, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pada pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk membiayai jalannya roda perekonomian. Lembaga keuangan yang ikut dalam suatu pembiayaan pembangunan ekonomi salah satunya adalah bank. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbank-an) dinyatakan bahwa, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.1 Jadi, bank memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan.

Kegiatan usaha bank (bank umum) di dalam Undang-Undang Perbankan yang paling utama adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang lainnya yang dipersamakan de-ngan itu dan memberikan (menyalurkan kembali) kepada masyarakat (debitur) dalam bentuk kredit.2 Kredit sangat berguna untuk menjunjang kegiatan perekonomian seperti usaha mikro, kecil, dan menengah. Bahkan perusahaan besar sekalipun juga membutuhkan kredit untuk menambal modal guna pengembangan usahanya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Perbankan, bentuk hukum suatu bank umum dapat berupa perseroan terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi.3 Pada perseroan terbatas dapat berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta.4 Bank Pemerintah masuk ke dalam lingkup bank umum dan tunduk pada Undang-Undang ini.

Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank Pemerin-tah, milik swasta nasional, dan milik swasta asing. Definisi dari bank Pemerintah atau Bank BUMN adalah bank yang sebagian atau seluruhnya modalnya dimiliki oleh Peme-rintah (Negara), sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh PemePeme-rintah.

Contoh-1 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 2 Ibid, Pasal 6 huruf a dan b.

3Ibid, Pasal 21.

(3)

nya: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia 46 (BNI 46), dan Bank Mandiri, dll.5

Bank Pemerintah sebagai badan usaha pada umumnya, dalam menjalankan kegiatan usahanya juga sering mengalami kendala, salah satunya adalah pengembalian kredit yang kurang lancar dari debitur atau disebut dengan kredit bermasalah (Non Performing Loan). Bahkan lebih berbahaya lagi jika kredit tersebut sampai macet. Kredit macet yang belakangan ini terjadi pada bank Pemerintah telah menjadi suatu hal yang menakutkan, terutama bagi para pengambil kebijakan di Bank tersebut. Karena dapat mengarah pada tindak pidana korupsi.

Menurut Djoko Sarwoko (mantan Hakim Agung), “kredit macet yang mengakibat-kan kerugian terhadap keuangan Negara merupamengakibat-kan perbuatan tindak pidana korupsi”. Begitu terjadi kredit macet dan pihak bank tidak dapat melakukan eksekusi perdata ka-rena jaminannya fiktif, maka perbuatan itu masuk ranah korupsi. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Nomor 2477K/Pid/1988 tanggal 20 Maret 1993 pada pertimbang-annya telah menetapkan kaidah hukum atas kasus kredit macet pada bank yang sebagi-an atau seluruh atau sebagisebagi-an modalnya dari Negara adalah tindak pidsebagi-ana korupsi dsebagi-an Putusan tersebut diikuti putusan-putusan berikutnya.6

Sebagai contoh adalah pada tahun 2005, ketiga mantan direktur Bank Mandiri, yaitu ECW Neloe (mantan Direktur Utama), I Wayan Pugeg (mantan Direktur Risk Manage-ment), dan M. Sholeh Tasripan (Mantan EVP Coordinator Corporate & Goverment) ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung RI dalam kasus pemberian kredit sebesar Rp.160.000.000.000 ke PT Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) yang da-lam perkembangannya kredit tersebut macet dan menimbulkan kerugian Negara. Dak-waan Jaksa Penuntut Umum pada saat itu secara garis besar adalah para terdakwa sela-ku pemutus kredit telah melasela-kukan perbuatan melawan husela-kum, yaitu tidak melaksana-kan ketentuan-ketentuan hukum, seperti Artikel 520 Kebijamelaksana-kan Perkreditan PT. Bank Mandiri (KPBM) Februari 2000, pada saat menyetujui pemberian kredit kepada PT. CGN yang tertuang dalam Nota Analisa Kredit Bridging Loan No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 perihal permohonan fasilitas Bridging

5 Dika Anugrah, 2012, “Pengertian Bank”, http://www.academia.edu/4468798/Pengertian_Bank,

diakses tanggal 22 Mei 2015.

6 Harian Orbit, 2014,”di Balik Perjanjian Kredit Perbankan Kredit Macet Tindak Pidana Korupsi”,

(4)

Loan yang diajukan oleh saksi EDYSON selaku Dirut PT. CGN. Para terdakwa tidak memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, oyek-tif, cermat, dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemohon kredit.7

Pada Persidangan tingkat pertama, Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan bebas mursi (vrijspraak) pada tanggal 20 Pebruari 2006 kepada para terdakwa. Terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum mengajukan kasasi. Lalu Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No.1144 K/PID/2006 tanggal 13 Sep-tember 2007 atas nama E.C.W. Neloe dkk. Pada amar putusan tersebut dinyatakan kasa-si dari Penuntut umum diterima dan para terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut” serta menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada para terdakwa dengan pida-na penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) tahun.8

Pendapat berbeda disampaikan oleh pengamat hukum perdata Universitas Sumatera Utara Prof. Tan Kamelo, yaitu masalah kredit macet adalah persoalan perdata. Jadi, pe-nanganan kasus kredit macet yang hanya semata-mata dipandang sebagai suatu manifes perbuatan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat menimbulkan implikasi pada ru-saknya law enforcement dan kepastian hukum di Indonesia. Karena perjanjian pemberi-an kredit pemberi-antara perbpemberi-ankpemberi-an dengpemberi-an nasabah, maka perkara hukumnya masuk dalam ra-nah perdata dan harus diselesaikan secara hukum korporasi. Dengan demikian, apabila pihak perbankan dan nasabah telah ada kesepakatan, namun terjadi kredit macet, maka kedua belah pihak harus tunduk pada hukum perdata.9

Hal senada juga disampaikan oleh Anton Purba dari Bank Indonesia (BI) yang me-maparkan tentang aturan Standar Operasional Procedure (SOP) perjanjian kredit. Pada saat menjalankan bisnis kredit, bank biasanya menerapkan suatu prosedur baku yang mengacu pada prinsip kehati-hatian (prudential banking). Segala aspek dari sisi debitur serta objek standar dalam melakukan penilaian dan analisa kredit selain aspek lainnya yang kadang ikut diperhitungkan seperti aspek hukum, likuiditas bank, dan batas

maksi-7 E.C.W Neloe, 2013, Pemberian Kredit Bank Menjadi Tindak Pidana Korupsi, Verbum Publishing, Jakarta, hlm. 135 - 140.

(5)

mal pemberian kredit. Namun, setiap penyaluran kredit mengandung risiko macet (risi-ko bisnis). Pada hakikatnya, kredit macet bagian dari bisnis kredit itu sendiri, walaupun faktor penyebabnya bervariasi, baik dari sisi internal maupun eksternal.10

Oleh karena itu, aparat penegak hukum dituntut harus jeli, obyektif, dan hati-hati da-lam menangani kasus kredit macet pada bank Pemerintah karena adanya dualisme pena-nganan sebagai risiko bisnis (perdata) atau tindak pidana korupsi (pidana). Penegak hu-kum harus dapat memilah-milah faktor penyebab dari kredit macet guna menentukan dan mengklasifikasikan secara tepat dan proporsional penanganannya. Apakah masuk dalam kategori risiko bisnis (perdata) atau tindak pidana korupsi (pidana). Kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kredit macet secara tepat dan proporsio-nal merupakan cerminan profesioproporsio-nalisme yang akan menentukan keberhasilan penegakan hukum demi terwujudnya kepastian hukum di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang adanya dualisme penanganan kredit macet pada bank Pemerintah dalam kaitannya sebagai risiko bisnis atau tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana solusi dalam menghadapi dualisme penanganan kredit macet pada bank

Pemerintah dalam kaitannya sebagai risiko bisnis atau tindak pidana korupsi?

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Adanya Dualisme Penanganan Kredit Macet Pada Bank

(6)

Pemerintah dalam Kaitannya Sebagai Risiko Bisnis atau Tindak Pidana Korupsi

1. Dasar Hukum Bank Pemerintah

Pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut Undang-Undang BUMN), salah satu tujuan pendirian BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya serta turut aktif memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengusaha ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Berdasarkan Pasal 9 bentuk BUMN terdiri dari Persero dan Perum.11 Jika dihubungkan dengan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perbankan, maka bentuk hukum dari bank umum salah satunya adalah Perseroan Terbatas.12 Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang BUMN dinyatakan, Perse-ro adalah BUMN yang berbentuk persePerse-roan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.13 Pada tahun 2011, menurut data dari Bank Indonesia dan laporan keuangan bank, kepemilikan Pemerintah pada Bank Mandiri tinggal 60 %, BNI 60 %, BRI 56,75 %, dan BTN 71,9 %.14

Segala aktifitas dari bank Pemerintah sebagai badan hukum berupa Perseroan Terbatas sesuai dengan Pasal 11 Undang BUMN tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Un-dang-Undang PT) sebagai Lege generali15 dan kinerja bank Pemerintah sebagai per-sero diatur dalam Undang-Undang BUMN sebagai lex specialis.

2. Munculnya Dualisme Penanganan Kredit Macet Pada Bank Pemerintah dalam Kaitannya Sebagai Risiko Bisnis atau Tindak Pidana Korupsi

Dualisme penanganan kredit macet pada bank Pemerintah muncul karena pene-rapan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam mengelola bisnis perbankan

11 Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negera

(Undang-Undang BUMN).

12 Pasal 21, op.cit.

13 Pasal 1, op.cit.

14 Ester Meryana, 2012, “Porsi Pemerintah di Bank BUMN Kian Surut

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/22/18030467/Porsi.Pemerintah.di.Bank.BUMN.Kian .Susut, diakses tanggal 23 Mei 2015.

(7)

dalam rangka Good Corporate Governance (prinsip GCG) atau prinsip-prinsip Per-usahaan yang sehat berdasarkan Undang-Undang PT, salah satunya adalah perbeda-an penafsirperbeda-an terhadap ketentuperbeda-an Perundperbeda-ang-undperbeda-angperbeda-an mengenai kekayaperbeda-an Negara yang dipisahkan sebagai modal penyertaan dalam suatu BUMN.

Pada pendapat pertama dinyatakan, modal BUMN yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip GCG. Pasal 11 Undang-Undang BUMN menegaskan bahwa terhadap peru-sahaan yang berbentuk persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas. Sedangkan pendapat kedua dinyatakan, kekayaan Negara yang dipisahkan dan merupakan modal BUMN adalah keuangan Negara se-bagaimana termuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK dan Undang - undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (se-lanjutnya disebut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).16

Putusan MA No.2477 K/Pid/1988 tanggal 20 Maret 1993 dalam pertimbangan-nya berpendapat para terdakwa telah terbukti merugikan keuangan Negara. Karena PT. Bank Pacific 50% modalnya dimiliki oleh Bank Indonesia (sahamnya milik Ne-gara). Jadi modal di bawah 100 % termasuk kerugian Negara.17

Penegak hukum memaknai keuangan Negara pada BUMN dalam kaitannya dengan penempatan keuangan Negara sesuai Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengenai ruang lingkup keuangan Negara yang sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga keuangan Negara memiliki makna yang luas meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Kekurangan satu rupiah pun dianggap merugikan keuangan Negara, sehingga masuk ranah pidana.18

3. Penanganan Kredit Macet Pada Bank Pemerintah dalam Kaitannya Sebagai Risiko Bisnis

Risiko bisnis bank merupakan tingkat ketidakpastian mengenai pendapatan atau

16 Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Alumni, Bandung, hlm.56-57.

17 Ibid., hlm.143.

(8)

keuntungan bank yang diperkirakan akan diterima. Semakin tinggi ketidakpastian pendapatan yang diperoleh, semakin besar kemungkinan risiko yang dihadapi dan semakin tinggi pula premi risiko atau bunga yang diinginkan. Begitu pula dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank terkandung risiko yang perlu terlebih dahulu dipahami dalam proses perencanaan kredit. Menurut Dahlan Siamat, salah satu dari risiko bisnis di bidang perbankan adalah Risiko kredit, yaitu suatu risiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak.19

Status kredit bisa bergerak mulai dari lancar sampai bermasalah ”Non Permorming Loan” (NPL). Menurut aturan Bank Indonesia (BI), NPL maksimum 5% dari jumlah kredit yang digulirkan. Kredit bermasalah diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Hal ini umumnya dikarenakan kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok kredit beserta bungannya seperti yang telah dituangkan sebelumnya dalam perjanjian kredit. Kolektibilitas kredit diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/kep/Dir tanggal 29 Mei 1993, yaitu kredit lancar, kredit dalam perhatian khusus, kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet (kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bungannya telah mengalami penundaan lebih dari satu tahun sejak jatuh tempo menurut waktu yang diperjanjikan).20

a. Contoh kasus kredit macet di BNI 21

Identitas debitur adalah PT Rimba Sunkyong (PT. RS) yang bergerak di bidang usaha industri Plywood, panel, flooring, dan laminated board, beralamat di Jl.woltermonginsidi 2 AA, Padang dan Pabrik : Jl. Raya Padang Painan km.20 Padang, Sumatera Barat. Menjadi debitur sejak tahun 2001 dan kreditnya bermasalah sejak 31-08-2005 dengan kolektibilitas HB (kredit tidak lancar) sejak 30-10-2006. Sebelum tahun 2001, PT RS adalah debitur Bank Mandiri (Bank Bumi Daya) Cabang Padang dengan fasilitas KMKE (kredit modal kerja ekspor) maksimum Rp.9.800.000.000 dan KMK (kredit modal

19 Dahlan Siamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, FE UI, Jakarta, hlm.91-92.

20 Boy Leon & Sony Ericson, 2005, Manajemen Aktiva Pasiva Bank Non Devisa, STIEP Press, Jakarta, hlm.81.

21 Fadli Alfarisi, 2008, Skripsi: Studi tentang Penanganan Kredit Macet Pada Bank Milik Pemerintah

(9)

kerja) postfinancing SKBDN (surat keterangan berdokumen dalam negeri) maksimun Rp. 4.200.000.000. Tanggal 28-05-2001 menjadi debitur BNI dengan fasilitas KMKE maksimum Rp.13.000.000.000.,dengan postfinancing

SKBDN maksimum Rp. 25.000.000.000. Total maksimal Rp.38.000.000.000. PT RS merupakan group usaha dari PT Sky Camping Indonesia (debitur dengan status pailit). Manajemen PT RS dijalankan oleh Dany Sutanto (selaku presiden direktur) dan San Kyoung Bae (selaku wakil presiden direktur). Sejak bulan April 2004 perusahaan sudah berjalan tidak normal karena kesulitan likuiditas sebagai dampak pelarian modal kerja untuk grup usahanya. Lalu PT RS juga terlilit hutang kepada pemasok kayu total sebesar Rp. 8.735.001.362, sehingga debitur menjadi kesulitan untuk mendapatkan pasokan kayu kecuali yang bersangkutan dapat membayar secara tunai. Semula PT RS memiliki HPH (Hak Penguasaan Hutan) namun sudah tidak ada lagi izinnya, sedangkan HPH yang dulu dimiliki melalui grup usahanya, PT. Rimba Baru Lestari, sudah tidak dapat diandalkan lagi karena potensi kayu sudah habis.

Kegiatan usaha terhenti sejak bulan februari 2005 dan pada bulan agustus 2005 perusahaan resmi ditutup. Mesin-mesin produksi dalam kondisi kotor dan tidak terawat, namun masih dalam kondisi lengkap dan dapat dioperasikan. Apabila gaji karyawan dibayar (total kurang lebih Rp.850.000 per bulan), mereka bersedia kembali bekerja. Namun untuk dapat beroperasi juga masih terdapat kendala yaitu aliran listrik telah diputus karena menunggak pembayaran. Dalam Surat Persetujuan Bersama tanggal 12-09-2005, disebutkan bahwa PT RS bersepakat dengan karyawan untuk mengakhiri hubungan kerja terhitung sejak tanggal 15-08-2005. Tanggal 16-08-2006 telah diletakkan sita eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Padang terhadap pabrik PT RS yang merupakan jaminan di BNI, atas permohonan saudara Bujang Paman selaku ketua serikat pekerja PT RS. Dengan adanya sita tersebut BNI selaku pemegang hak tanggungan tidak dapat melakukan lelang eksekusi. b. Penanganan kasus kredit macet yang terindikasi sebagai risiko bisnis

(10)

(PKOPK) di BNI, risiko bisnis dikenal dengan istilah in the course of business,

yaitu perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai semata-mata untuk kepentingan bisnis bank yang mendesak dan memenuhi ketentuan ini. Unsur-unsur yang harus dipenuhi pertama, adanya kesadaran penuh atas perbuatan yang dilakukan. Kedua, niat dan maksud telah dilakukannya perbuatan tersebut terlebih dahulu telah diperhitungkan. Ketiga, mengetahui bahwa akibat dari perbuatan tersebut dapat menimbulkan risiko bagi bank. Keempat, dilakukan dengan itikad baik demi kepentingan bisnis bank yang mendesak.22

Perbuatan in the course of business harus dilaporkan dan diupayakan langkah-langkah pengamanannya baik dari pegawai yang dimaksud maupun atasannya langsungnya. Prosedurnya adalah setelah melakukan perbuatan in the course of business, pegawai yang bersangkutan harus melapor secara lisan kepada atasan langsung untuk mendapat pengarahan sebagai langkah-langkah pengamanan yang perlu dilaksanakan. Lalu dalam waktu paling lambat satu hari keja setelah terjadinya perbuatan tersebut pegawai dimaksud menegaskan dengan laporan tertulis kepada atasan langsung dengan tembusan kepada SPI. Kemudian SPI segera melakukan penilaian untuk menentukan apakah perbuatan tersebut in the course of business. Apabila berdasarkan pemeriksaan bukan in the course of business maka pegawai yang melakukan perbuatan pelanggaran diproses berdasarkan ketentuan sanksi administratif.

Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, yang harus dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dan nasabah (debitur), yang dikenal dengan sebutan “the five C of credit analysis” (prinsip 5 C.) Prinsip ini akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.23 Ini dapat disimpulkan bank harus melaksanakan kegiatan perkreditan secara hati-hati (prudential banking). Cara yang saat ini masih digunakan untuk menganalisis calon debitur dapat dipercaya adalah prinsip 5 C, yaitu :24

1) Character (karakter). Berkaitan dengan moral, watak ataupun sifat-sifat

22Ibid, hlm.66.

23 Dahlan Siamat, 1995, Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, hlm.99.

24 Hartri Putranto, 2005, Bahan Ajar Manajemen Aktiva Pasiva I, STIE Perbanas Press,

(11)

pribadi yang kooperatif dan mempunyai rasa tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadi dan dalam menjalankan usahanya.

2) Capacity (kemampuan) adalah suatu penilaian terhadap calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya atau yang dibiayai dengan kredit dari bank.

3) Capital (modal). Calon debitur harus memiliki sejumlah kekayaan tertentu sebagai modal usaha dan kekurangan modal berdasarkan rasio tertentu sesuai dengan kebijakan perhitugan bank, itulah yang dibiayai dengan kredit. Data tersebut dapat disediakan oleh calon debitur dari laporan keuangan yang disampaikan kepada bank.

4) Condition of Economy (Kondisi Perekonomian) adalah penilaian terhadap faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi usaha calon debitur yang akan dibiayai dengan kredit dari bank, meliputi kondisi usaha debitur saat ini dan prospeknya ke depan, penyediaan bahan baku dan sejauh mana ketergantungannya terhadap bahan baku impor dan apakah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur usaha calon debitur.

5) Collateral (Agunan) menjadi bagian penting untuk menutupi kerugian bank apabila debitur mengalami kegagalan dalam menjalankan usahanya. Agunan adalah barang jaminan yang marketable dan nilai jaminan harus menutupi fasilitas kredit beserta bunganya jika terjadi kegagalan usaha. Umumnya nilai jaminan 150 % dari total fasilitas kredit yang diberikan. Ketiga, barang jaminan harus diikat secara notarial sempurna. Artinya jaminan berupa tanah dan bangunan harus dipasang hak tanggungan dan untuk jaminan berupa barang bergerak harus diikat dengan fidusia. Kelalaian melakukan pengikatan secara notariil sempurna akan berakibat fatal bagi bank.

Pada setiap jenjang persetujuan pemberian kredit, para pejabat pengambil keputusan harus dapat mempertanggungjawabkan kepada bank bahwa :25 1) Keputusan pemberian kredit tersebut didasarkan pada hasil analisis kredit

yang proporsional;

2) Kredit tersebut dapat diharapkan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah;

(12)

3) Kredit tersebut telah memenuhi ketentuan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit yang telah digariskan oleh bank;

4) Keputusan pemberian kredit tadi bebas dari pengaruh pihak ketiga yang ikut berkepentingan dalam pemberian kredit tersebut.

ANALISIS

PT RS yang merupakan debitur dari Bank BNI sejak tahun 2001 (di ambil alih tahun 2001 dari Bank Mandiri dalam kondisi sehat) memulai usahanya dengan sangat baik dan mempunyai prospek bagus di masa depan. Lalu BNI juga menambah fasilitas kredit modal kerja bagi PT RS dengan maksud agar bisa ekspansi bisnis. Namun pembayaran kredit mulai tidak lancar pada pertengahan April 2004 dikarenakan perusahaan sudah berjalan tidak normal karena kesulitan likuiditas. Selain itu PT RS juga terlilit hutang kepada pemasok kayu dengan total sebesar Rp. 8.735.001.362, sehingga debitur menjadi kesulitan untuk mendapatkan pasokan kayu kecuali yang bersangkutan dapat membayar secara tunai. Semula PT RS memiliki Hak Penguasaan Hutan namun sudah tidak ada karena terjadi penurunan aset terhadap debitur akibat gejolak ekonomi sehingga tidak dapat melunasi kewajiban kreditnya.26

Pihak BNI yang terkait dengan proses penyaluran kredit kepada PT RS mengklaim telah melakukan proses penyaluran kredit sesuai dengan SOP dan BPP yang berpegang pada prinsip kehati-hatian serta proses analisis risiko yang baik. Apabila kemudian terjadi kredit macet, maka hal tersebut merupakan risiko bisnis yang tidak mampu diprediksi oleh pihak kreditur dan debitur sebelumnya. Kegiatan operasional dan penyaluran kredit yang rugi tersebut merupakan kegiatan bisnis sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya, karena ternyata sebagian besar kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan. Dahulu bisnis sebagai pengusaha kayu (furnitur, kayu lapis, kertas atau industri yang bahan bakunya berasal dari kayu) di Sumatera sangat menjanjikan karena luasnya daerah hutan dan tingginya tingkat kebutuhan lokal serta ekspor kayu.27

Kemudian dalam hal pihak BNI yang tidak bisa melakukan lelang eksekusi karena telah diletakkan sita eksekusi oleh PN Padang terhadap pabrik PT RS

26 Fadli Alfarisi, 2008, op.cit, hlm.68.

(13)

yang merupakan jaminan di BNI, maka pihak BNI dapat melakukan perlawanan pihak ketiga (derdenverzet). Pada asasnya suatu putusan hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (ps.1917 BW). Akan tetapi apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka BNI dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut yang diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan dengan menggugat para pihak (Serikat Pekerja PT RS dan PT RS) lewat cara biasa (ps. 379 RV). Ini dimungkinkan karena BNI tidak hanya mempunyai kepentingan, namun nyata-nyata telah dirugikan haknya, yaitu tidak terbayarnya pelunasan hutang atas kredit yang dibebankan kepada PT RS. Apabila perlawanan itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.28

Dengan demikian, sekalipun risiko itu tidak dapat dihindari, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengelola risiko sampai batas minimum. Artinya, kalau risikonya tidak dapat dikendalikan maka pihak manajemen dapat mempertanggungjawabkannya secara administratif (sudah memenuhi prinsip 5C) risiko itu di luar kendali manajemen. Selain itu, jelas merupakan merupakan kelalaian dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian.29

Konsep perlindungan terhadap pengurus perseroan juga terdapat pada prinsip business judgement rule yang dapat ditemukan dalam Pasal 97 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan, apabila dapat membuktikan telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.30 Artinya, dalam konsep business judgement rule terkandung prinsip yang melindungi direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik.

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan bahwa: 31

28 Ibid, hlm.69.

29 Krisna Wijaya, 2000, Reformasi Perbankan Nasional, Kompas, Jakarta, hlm.46.

30 Juni Sjafrien Jahja, 2011, Peranan Prinsip Kehati-hatian Dalam Tata Kelola Pemerintahan dan

(14)

1) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;

4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Standar acuan prinsip kehati-hatian berdasarkan ketentuan Perundang-undangan pada perbankan maupun Badan Usaha Milik Negara dalam rangka tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) adalah asas reponsibilitas atau pertanggungjawaban, yaitu setiap pengelolaan Pemerintahan dan perusahaan harus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip Pemerintahan dan korporasi yang sehat. Sehingga apabila Direksi melakukan perbuatan yang bersifat ultra vires, yang berindikasi pidana atau pejabat Negara melakukan perbuatan yang dapat digolongkan kepada menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum maka harus diproses dan diselesaikan menurut jalur hukum yang berlaku.32

Menurut Prof. Arifin Soeria Atmadja, S.H.,33 di dalam bukunya yang berjudul keuangan publik dalam perspektif hukum, teori, praktik dan kritik menjelaskan, bank Pemerintah merupakan badan hukum Negara yang bersifat privat. Jadi dalam kedudukannya sebagai badan hukum privat, Pemerintah telah mengadakan hubungan hukum dengan subjek hukum lain berdasarkan hukum privat. Salah satu hubungan hukum perdata adalah dengan adanya perbuatan Pemerintah sendiri atau secara bersama-sama dengan subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara tergabung dalam suatu bentuk kerjasama (vorm van samenwerking) tertentu yang diatur oleh hukum perdata, adapun bentuk kerja sama dalam pembentukan Perseroan terbatas ini adalah berdasarkan Undang-Undang PT yang dilakukan atas dasar perjanjian. Jadi ketika Pemerintah menyatakan keinginannya untuk mendirikan suatu badan hukum perseroan terbatas, implementasinya dilakukan atas dasar perjanjian pembentukan perseroan. Pemerintah tidak dapat memaksakan kehendaknya

32Ibid., hlm.67-68.

(15)

untuk mencapai suatu kesepakatan. Pemerintah dalam dalam melakukan perjanjian pembentukan suatu perseroan terbatas harus tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Oleh karena itu, dalam hal pendirian suatu PT, Pemerintah tidak dapat bertindak dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangan publiknya untuk mengatur dan mengelola perseroan. Karena keikutsertaan Pemerintah dalam perseroan adalah bertindak sebagai badan hukum privat, sehingga tanggung jawab dalam pengelolaannya tidak dapat dibebankan pada Pemerintah sebagai badan hukum publik. Sebagai contoh, beban pertanggung jawaban perseroan yang sahamnya antara lain dimiliki Negara yang menyebabkan kerugian pada pihak lain tidak dapat dibebankan kepada perseroan untuk menjalankan ketentuan Pasal 1365 Kuhperdata, apabila tanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai badan hukum publik, maka pelayanan publik terganggu, demikian pula dengan perencanaan dan pekerjaan Pemerintah tidak akan terlaksana dengan baik disebabkan adanya tuntutan dan gugatan yang diajukan oleh pihak lain terhadap Pemerintah sebagai badan hukum perdata.

Dengan demikian, bank Pemerintah merupakan badan hukum Negara yang bersifat privat dan tunduk kepada Undang-Undang PT. Adanya pembedaan peranan Negara yang direpresentasikan oleh Pemerintah, maka bank Pemerintah sebagai badan hukum privat, apabila terdapat kerugian perseroan terbatas yang disebabkan adanya penyimpangan dana perseroan seperti halnya korupsi -quad non-, hal tersebut tidak dapat disebut sebagai merugikan Negara dalam arti merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

4. Penanganan Kredit Macet Pada Bank Pemerintah dalam Kaitannya Sebagai Tindak Pidana Korupsi

(16)

perdata, karena merupakan sengketa antara bank dan nasabah mengenai utang piutang, dimana nasabah tidak dapat mengembalikan utangnya sebagaimana yang telah diperjanjikan (wanprestasi). Jadi, tidak semua kasus kredit macet dapat dijadikan perkara pidana. Hanya yang dilatarbelakangi adanya kejahatan atau yang diawali dengan tindak pidana yang dapat dipidanakan, yaitu:34

a. Kolusi

Kolusi adalah bentuk kerjasama yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tetapi berakibat merugikan kepentingan umum atau Negara. Dalam pemberian kredit tidak terlepas adanya kolusi antar nasabah dan oknum pejabat bank, karena nasabah yang mengajukan permohonan kredit ke bank berkeinginan mendapat kredit yang cepat dan jumlahnya seperti yang diharapkan. Sebagai contoh pada perkara R.S Natalegawa. Pada putusan MA No. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam pertimbangannya terdakwa sebagai Direktur atau anggota direksi Bank Bumi Daya pada tahun 1974 dan tahun 1975 telah menerima pemberian fasilitas dari Direktur Utama PT. Jawa Housing atau PT. Kulim, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau diatasnamakan anaknya, dan atau istrinya dan atau perusahaan saudaranya (PT. Gunung Salak Gede).

Pengucuran kredit kepada PT. Jawa Building dilatarbelakangi adanya kolusi antara terdakwa dan anggota direksi lainnya dengan Direktur PT. Jawa Housing atau PT. Kulim. Padahal berdasarkan aturan Bank Indonesia No. SE6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973, No. 7/1998/Kl tanggal 23 Juli 1974 melarang pemberian kredit baik untuk investasi maupun ekspoitasi yang menyangkut proyek real estate. Namun terdakwa tetap memberikan sejumlah kredit kepada PT. Jawa Building untuk kepentingan pembiayaan proyek real estate, sehingga secara langsung Negara dirugikan sebesar lebih kurang 14, 25 miliar rupiah.

b. Ketidaktelitian Bank dan Itikad Buruk Nasabah

Perbuatan nasabah yang buruk dapat terjadi ketika permohonannya sedang diproses bank dan pada waktu kredit harus dikembalikan. Pada waktu permohohan kredit diajukan, nasabah menggunakan dokumen-dokumen palsu untuk menyakinkan pihak bank. Disini, pihak bank juga dapat merupakan penyebab

(17)

terjadinya masalah tersebut secara sengaja seperti kolusi dan dapat secara tidak sengaja atau tindakan yang ceroboh.

Pada kasus kredit macet di PT. Bank Pacifik Jakarta yang terjadi di tahun 1983, MA dalam putusannya No.2477 K/Pid/1988 tanggal 20 Maret 1993 telah membuktikan kesalahan para terdakwa, yaitu Sukaria Wangsa, dkk. Para terdakwa terdiri dari tiga orang sebagai direksi dan seorang komisaris PT. Metro saksi Internasional Incorporation. Pada waktu permohonan kredit diajukan, para terdakwa menjaminkan dengan surat-surat fiktif dan sudah ada niat tidak baik kepada Bank, karena sudah mengetahui nantinya akan sulit membayar kembali dan jaminan tidak berharga sama sekali. Kejadian ini sebenarnya tidak perlu terjadi, jika pejabat bank bekerja dengan sangat teliti dan mengecek kebenaran jaminan.35 c. Penyalahgunaan Pemakaian Kredit

Kredit macet dapat terjadi akibat nasabah menggunakan kredit untuk kepentingan lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemakaiannya sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian kredit. MA dalam putusannya No. 241 K/Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989 berpendapat, kredit yang diterima Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan kredit khusus dari Negara melalui BRI Cabang Pematang Siantar untuk tujuan yang telah ditentukan yaitu kredit benih dan untuk pembelian pangan. Penyimpangan yang dilakukan para terdakwa (Legimin Wasito, dkk) menyebabkan macetnya pengembalian kredit, sehingga keuangan Negara telah dirugikan.36

d. Kredit Fiktif

Pada kredit fiktif, berkasnya memang ada, tetapi nasabahnya tidak ada. Hal ini biasanya terjadi karena ada oknum pejabat bank yang ingin mendapatkan uang secara mudah. Pada Putusan Pengadilan Negeri Batang No. 69/Pid/B/1989/PN.Btg. tanggal 29 Maret 1990 yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung telah mempidana terdakwa mantan pimpinan BRI Unit Desa di Batang, karena terbukti membuat kredit pedesaan fiktif dengan mencatut nama beberapa orang dan setelah kredit dicairkan uangnya dimiliki oleh terdakwa.37

Beberapa contoh kasus diatas diperkuat juga dengan hasil penelitian terhadap

(18)

beberapa perkara korupsi yang berakar dari pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam rangka GCG. Asas-asas yang dilanggar, yaitu:38

a. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu pengelolaan perusahaan haruslah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Masalah yang sering timbul adalah adanya manipulasi data analisa kredit dengan melakukan mark up, dimana nilai agunan jauh dibawah dari besarnya nilai kredit yang diperoleh debitur. Ini terjadi karena pimpinan bank atau para petugas analisa melakukan persekongkolan dengan debitur.39 b. Kemandirian (Independency), seyogyanya segala kegiatan dikelola secara

profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

c. Implementasi GCG yang belum maksimal. Seluruh anggota Direksi dan komisaris harus memahami tanggung jawabnya mengelola perusahaan secara jujur, beretika sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Prof. Jean Rivero dan Prof. Wiline yang dianut oleh Yurisprudensi Perancis dalam hukum administrasi mengenai penyalahgunaan wewenang yang dijadikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara BLBI, yaitu:40

a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

b. penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan lain.

c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Dengan demikian, dalam praktek Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat dikenakan terhadap tindak pidana dalam lingkup kegiatan perbankan, yaitu dengan

38 Juni Sjafrien Jahja, op.cit., hlm.68-72.

(19)

mencari dan menguraikan mengenai kesalahan prosedur, ketidaklengkapan syarat, tidak melakukan verifikasi, dan penyalahgunaan fasilitas kredit yang merupakan kesalahan terhadap ketentuan internal (sistem dan prosedur) di perbankan. Perbuatan-perbuatan materiil dari direksi, komisaris atau pejabat struktural di bank Pemerintah berupa penyimpangan dari penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Perusahaan berbasis Good Corporate Governance (GCG) terkait kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan pintu masuk dalam mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam lingkup kegiatan perbankan dan harus dapat dibuktikan terlebih dahulu oleh penegak hukum.

B. Solusi dalam Menghadapi Dualisme Penanganan Kredit Macet Pada Bank Pemerintah dalam Kaitannya Sebagai Risiko Bisnis atau Tindak Pidana Korupsi

Bahwa sebagai solusi guna mengakhiri dualisme penanganan kredit macet pada bank Pemerintah dalam kaitannya sebagai risiko bisnis atau tindak pidana korupsi, maka perlu adanya keseragaman pemahaman dan tindakan dari aparat penegak hukum dalam menangani perkara kredit macet, khususnya mengenai:

1. Penggunaan Asas kekhususan sistematis (systematische specialiteit) dalam menangani kredit macet pada bank Pemerintah

Semua perbuatan yang menyimpangi aturan tentunya diartikan sebagai perbuatan melawan hukum, tetapi tidak dapat diartikan selalu sebagai perbuatan koruptif. Asas kekhususan sistematis merupakan sarana untuk mencegah dan membatasi serta meluruskan kembali arah asas “perbuatan melawan hukum” dan menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi agar tidak bermakna “all embracing act dan all purposing act”.41 Dalam konteks hukum pidana, istilah “Administrative Penal Law” adalah semua produk legislasi berupa Perundang-undangan dalam lingkup Administrasi Negara yang memiliki sanksi, salah satunya adalah tindak pidana perbankan.42

Rambu-rambu perbankan sebagai suatu manifestasi perlindungan hukum bagi para nasabah sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam suatu orasi ilmiah Lustrum VIII/Dies Natalis XL Universitas Airlangga

41 Indriyanto Seno Adji, Op.cit, hlm.153.

(20)

tanggal 10 November 1994 (pada halaman 13 s/d 19 orasi ilmiah tersebut), selain prinsip kehati-hatian, berkaitan dan mencakup pula dengan Capital Adequancy Ratio (persentase minimal dari modal suatu bank) dan Loan to Deposit Ratio (perbandingan antara kredit yang diberikan oleh bank dengan jumlah dana simpanan pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank tersebut), usaha yang sifatnya limitatif dari bank umum, persyaratan pemberian kredit, batas maksimum pemberian kredit..dst. Sanksi terhadap pelanggaran prinsip kehati-hatian dari anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pegawai Bank maupun rambu-rambu perbankan, antara lain ditentukan melalui Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan.43

Tidak terdapatnya penjelasan pada Pasal 49 Undang-Undang Perbankan tentang pengertian kata-kata “tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank”, menyebabkan timbulnya elastisitas (Pasal karet), jadi setiap perbuatan dari anggota dewan komisaris, direksi dan pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketujuh rambu perbankan ini identik dengan perbuatan dengan sengaja tidak memenuhi ketaatan bank yang selanjutnya dapat dikenakan sanksi pidana. Menurut penegak hukum, setiap perbuatan yang dikategorikan bertentangan dengan rambu-rambu yang melanggar prinsip kehati-hatian adalah melawan hukum (bertentangan dengan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan), sehingga dalam praktek perkara-perkara kredit macet digunakanlah ketentuan klasik Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (melawan hukum).44

Dalam korelasi prinsip Prudential Banking sebagai Administrative penal law

dengan Privaatrechtelijkheid dengan tindak pidana korupsi, pemahaman penegak hukum terhadap proses pemberian kredit yang menyimpang, kelalaian dalam mengembalikan kredit dan keputusan pimpinan perbankan dalam menentukan persetujuan kredit yang mengakibatkan kredit macet maupun pelanggaran prinsip kehati-hatian perbankan (Prudential Banking Principles) dipersepsikan sebagai tindak pidana korupsi, baik dalam bentuk perbuatan melawan hukum maupun penyalahgunaan wewenang.

Jadi, untuk menentukan Undang-Undang khusus mana yang diberlakukan,

(21)

maka berlaku asas kekhususan sistematis, artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus atau ia akan bersifat khusus dari khusus yang telah ada. Misalnya, subyek personal, obyek dugaan perbuatan yang dilanggar, alat bukti yang diperoleh, lingkungan dan area delicti berada dalam konteks perbankan, maka Undang-Undang Perbankan yang diberlakukan, meskipun Undang-Undang khusus lainnya seperti Undang-Undang tindak pidana korupsi memiliki unsur delik yang dapat mencakupnya, namun sifatnya adalah akseptabelitas.45

Pelanggaran Prudential Principles Perbankan tidaklah dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif, karena berdasarkan asas kekhususan sistematis pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian adalah area tindak pidana perbankan, bukan tindak pidana korupsi untuk menghindari pelanggaran asas concursus.46

Menurut salah satu pembentuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu Prof. Dr. Muladi, S.H, memberikan pemahaman eksplisitas melalui Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu “Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Dengan demikian, dalam hal perundangan tertentu tersebut tidak menyatakan “sebagai tindak pidana korupsi”, maka yang berlaku bukanlah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi47, sehingga tidak dibenarkan seseorang yang melanggar Undang-Undang Perbankan, selain didakwa melanggar Undang-Undang perbankan, juga dijerat dengan Undang-Undang tindak pidana korupsi.

Menurut Andi Hamzah, dalam tindak pidana korupsi ada tiga unsur yang harus dipenuhi, yaitu melawan hukum, merugikan keuangan Negara, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Suatu perbuatan dikategorikan memperkaya orang lain jika bunga, denda, atau pokok belum dibayar ketika kredit telah jatuh tempo. Tapi jika kredit yang belum jatuh tempo dan pihak debitur sudah lari ke luar negeri belum dapat dikatakan merugikan keuangan Negara. Sebaliknya jika debitur tidak melarikan diri, semua kewajiban telah dipenuhi dan belum jatuh tempo maka perbuatan debitur maupun kreditur

(22)

tidak dapat dikategorikan telah memenuhi unsur memperkaya orang lain.48 Oleh karena itu, dalam kasus perbankan sebaiknya digunakan Undang-Undang Perbankan, khususnya Pasal 49 yang mengatur sanksi hukum bagi pelaku (termasuk direksi), bukan Undang-Undang tindak pidana korupsi. Karena jika dipaksakan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi melanggar asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dan asas hukum kekhususan sistematis. Lalu dalam praktek ada terdakwa yang tidak dapat dihukum, seperti dalam kasus Gubernur BI Syahril Sabirin.49

Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, ada kekurangan dari asas kekhususan sistematis, yaitu kurang operasionalnya Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di dalam praktek. Hal ini karena tidak jelasnya latar belakang dan maksud dirumuskannya Pasal tersebut. Sebab di dalam penjelasan Pasal ini sama sekali tidak ada penjelasan atau contoh Undang mana (di luar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi) yang menegaskan bahwa pelanggaran atau tindak pidana yang di atur dalam Undang-Undang itu “dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi”. Kemudian di dalam Undang-Undang Perbankan juga tidak ada dijelaskan, bahwa delik dalam Pasal 49 di atas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Demikian pula di dalam Undang-Undang yang lain.50

2. Teori Adequate

Perumusan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sejalan dengan hukum pidana Indonesia yang hanya mengenal akibat langsung. Akibat langsung ini bersumber dari teori Trager atau Von Kries, yang menyatakan: yang menjadi sebab ialah yang seimbang (adequate) dengan akibat. Dasar dari teori ini adalah sebab yang tidak langsung tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan ajaran causaliteit, yaitu: de leer adequate veroorzaking.51

Unsur dapat merugikan keuangan Negara dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Pasal 1 butir 22 Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mensyaratkan kerugian Negara yang nyata dan riil. Hal ini sejalan dengan pendapat Soejatna Soenoesoebrata yang

48 O.C. Kaligis, op.cit, hlm. 416.

49 Ibid, hlm.421.

50 Barda Nawawi Arief, 2014, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

(23)

menyatakan kerugian keuangan Negara adalah Negara tidak mendapat apa yang menjadi haknya. Lalu Andi Hamzah juga menyatakan Mahkamah Agung di bawah Pimpinan Subekti pada tahun 1966 menganut teori adequate yang pada intinya dinyatakan suatu tindak pidana yang kerugian Negara 1 miliar, namun pada saat yang bersamaan menguntungkan Negara lebih dari 1 miliar, itu tidak usah dihukum. Oemar Seno Adji pada tahun 1977 juga menyatakan ada suatu perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang insinyur yang ditunjuk sebagai pimpro untuk membuat proyek reboisasi. Akan tetapi ternyata pimpro tersebut melakukan pengurangan terhadap tanaman yang harus ditanam, biaya selebihnya dikuasai secara pribadi oleh pimpro tersebut sehingga sudah dikategorikan telah terjadi korupsi. Namun ternyata hasil korupsi seharga pohon tadi, dibelikan oleh pimpro bus operasional kantor (plat merah) untuk angkutan pegawai karena pegawai sering terlambat datang ke kantor. Hal tersebut merugikan keuangan Negara, tapi di sisi lain juga menguntungkan Negara sehingga pimpro tersebut tidak dipidana.52

Dengan demikian, berdasarkan teori adequate, jika bank Pemerintah telah mendatangkan keuntungan 1 miliar rupiah bagi Negara, lalu pada waktu lain dinyatakan rugi 1 miliar rupiah, maka belum dapat dikatakan telah timbul kerugian keuangan Negara.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1. Dualisme penanganan kredit macet pada bank Pemerintah muncul karena ada perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Perundang-undangan, khususnya me-ngenai kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai modal penyertaan dalam suatu BUMN (bank Pemerintah). Pertama, modal BUMN yang berasal dari kekayaan

(24)

Negara yang dipisahkan, pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prin-sip-prinsip Perusahaan yang sehat (GCG). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 Un-dang-Undang BUMN, yaitu terhadap perusahaan yang berbentuk persero berla-ku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaberla-ku bagi Perseroan Terbatas (PT). Kedua, kekayaan Negara yang dipisahkan dan merupakan modal BUMN adalah keuangan Negara. Hal ini dengan jelas termuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK dan Undang-Undang-Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.

2. Perlindungan terhadap pengurus bank Pemerintah terdapat pada prinsip business judgement rule, yaitu Pasal 97 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dinyatakan anggota direksi tidak dapat diper-tanggungjawabkan atas kerugian perseroan, apabila dapat membuktikan telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

3. Dalam praktek, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat dikenakan ter-hadap tindak pidana dalam lingkup kegiatan perbankan, yaitu dengan terlebih dahulu mencari, menemukan, dan menguraikan mengenai kesalahan prosedur, ketidaklengkapan syarat, tidak melakukan verifikasi, dan penyalahgunaan fasili-tas kredit yang merupakan kesalahan terhadap ketentuan internal (sistem dan prosedur) di perbankan. Perbuatan-perbuatan materiil dari direksi, komisaris atau pejabat struktural di bank Pemerintah berupa penyimpangan dari penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Perusahaan berbasis GCG terkait de-ngan kebijakan yang diambil merupakan pintu masuk dalam mengungkap duga-an tindak pidduga-ana korupsi dalam lingkup kegiatduga-an perbduga-ankduga-an dduga-an harus dapat di-buktikan oleh penegak hukum.

B. Rekomendasi

(25)

mengikuti political wills Pemerintah, dan budaya hukum dengan cara merubah

mindset penegakan hukum tindak pidana korupsi bukan sebagai ideologi (setiap perbuatan tidak sesuai prosedur dan merugikan keuangan Negara dianggap ko-rupsi), melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional melalui penegakan hukum yang berdasarkan pada kepastian, keadilan, dan ke-manfaatan.

2. Agar penggunaan asas kekhususan sistematis (systematische specialiteit) dalam menangani kredit macet pada bank Pemerintah berjalan efektif dan dapat diope-rasionalkan, maka diperlukan revisi terhadap Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan menyatakan kualifikasi delik yang diancam oleh Un-dang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Lalu di luar UnUn-dang-Undang Tindak Pida-na Korupsi juga harus ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap tindak pidaPida-na yang di atur dalam Undang-Undang, misalnya Undang-Undang perbankan di-nyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji, Indriyanto Seno, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 2014, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenadamedia group, Jakarta.

Jahja, Juni Sjafrien, 2011, Peranan Prinsip Kehati-hatian Dalam Tata Kelola Pemerintahan dan Korporasi Mencegah Manajemen Koruptif, PT. Deltacitra Grafindo, Jakarta.

(26)

Kasmir, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Leon, Boy & Ericson. Sony, 2005, Manajemen Aktiva Pasiva Bank Non Devisa, Stiep Press, Jakarta.

Neloe, E.C.W, 2013, Pemberian Kredit Bank Menjadi Tindak Pidana Korupsi, Verbum Publishing, Jakarta.

Putranto, Hartri, 2005, Bahan Ajar Manajemen Aktiva Pasiva I, STIE Perbanas Press, Jakarta.

Siamat, Dahlan, 1995, Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta.

____________, 2001,Manajemen Lembaga Keuangan, FE UI, Jakarta.

Supramono, Gatot, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Alumni, Bandung.

Untung, Budi, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, ANDI, Yogyakarta.

Wijaya, Krisna, 2000, Reformasi Perbankan Nasional, Kompas, Jakarta.

B. Hasil Penelitian/Tugas Akhir

Alfarisi, Fadli, 2008, Studi tentang Penanganan Kredit Macet Pada Bank Milik Pemerintah Antara Risiko Bisnis atau Tindak Pidana Perbankan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

C. Internet

Dika Anugrah, 2012, “Pengertian Bank

http://www.academia.edu/4468798/Pengertian_Bank, diakses tanggal 22 Mei 2015.

Ester Meryana, 2012, “Porsi Pemerintah di Bank BUMN Kian Surut” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/22/18030467/Porsi.Pemerintah. di.Bank.BUMN.Kian.Susut, diakses tanggal 23 Mei 2015.

Harian Orbit, 2014,” di Balik Perjanjian Kredit Perbankan Kredit Macet Tindak Pidana Korupsi”, http://www.harianorbit.com/di-balik-perjanjian-kredit-perbankan-kredit-macat-tindak-pidana-korupsi/, diakses tanggal 23 Mei 2015.

D. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(27)

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).

Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negera (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355).

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).

Referensi

Dokumen terkait

ke pembeli. Sang Hyang Seri Regional IV Medan bagian pengemasan juga mendapat tugas untuk mencatat ke dalam kartu gudang. Bagian pengiriman mempunyai tugas dan

Siliragung Petani 351022158157 0003 Dokumen laporan pertanggungjawaban anggaran dana desa barurejo Kec.

Pengumpulan informasi sangat dibu- tuhkan dalam proses pengembangan perangkat pembelajaran kompetensi teks anekdot bertemakan konflik sosial di ka- langan remaja

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid

pekerja sortasi akhir pada bagian kaki sebelum perancangan ulang diketahui bahwa keluhan tertinggi pada lutut Lutut pekerja sering mengalami keluhan sakit karena

Berdasarkan Gambar 1.1, dapat dilihat bahwa pada mesin laser cutting CNC persentase biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembelian suku cadang adalah sebesar 76,13% dari

Dalam mengantisipasi terjadinya keterbatasan lahan dan kapasitas penumpang seperti pada Bandar Udara Adisutjipto, maka perlu dilakukan analisis kebutuhan luas

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Aribawa dan Kariada (2006) tentang pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan beberapa varietas padi seperti Ciherang,