• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HUK (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HUK (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

DAN HUKUM INDONESIA

Oleh : Asman (F02916204)

Abstract: Phenomenon of different religion marriage is not a

new thing in Indonesia although the Marriage Act No.1 of 1974 did not regulate the marriage with one of the couple has a different religion. While all of recognized religion in Indonesia did not permit the marriage if both of bride and bridegroom have different religion. In this condition there is a law vacancy for them who will do a marriage. He marriage regulation in Indonesia requires a recording of the marriage either in Indonesia. The problem in this thesis in what the position of different religion marriage in law system in Indonesia and law system in islamic, This research applies normative juridical method to study the regulations and the jurisdiction. As a normative law research, the data collecting method in this study is a library research. Recording of marriagemean sthat them arriage was not legal under Indonesian law. Recording only the fulfillment of administrative duties and provide status in social life and give status in life of society so that clear legal status as citizens.

Keywords: Interfaith Marriage

A. PENDAHULUAN

Perkawinan beda agama antara muslim dengan non muslim pada masa pemerintahan kolinial termasuk dalam lingkup perkawinan campuran yang diatur dalam Penetapan Raja tanggal 29 September 1896 No. (Stb.1898 No.158) yang dikenal dengan Regeling op de gemengde huwelijken (GHR).1 Pada masa itu pernikahan beda agama tidak menjadi penghalang sahnya perkawinan, dan perkawinan dianggap sah jika mengikuti peraturan Negara. Kebolehan pernikahan antar agama dipertegas

1 Pasal 1 GHR menyebutkan bahwa perkawinan campuran melingkupi; perkawinan campuran

(2)

2

pada pasal 7 ayat (2) GHR yang menetapkan bahwa “perbedaan agama, bangsa atau asal usul sama sekali tidak menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan”.

Pada masa kemerdekaan dikeluarkanlah Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 (selanjutnya disingkat UUP) untuk memenuhi kebutuhan hukum perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal ini ditafsirkan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilansungkan kepada agama para pihak. Maka jika pernikahan dianggap tidak sah oleh agamanya, maka Negara tidak akan mengakuinya.

Perdebatan tentang keboleh atau tidak perkawinan beda agama menjadi hangat ketika dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung nomor 1400/K/Pdt/1986 yang mengizinkan pernikahan berbeda agama dengan mengganggap salah satu pihak tidak lagi menghiraukan status agamanya (in casu agama islam), sehingga diperbolehkan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Diskusi ini mencuat kembali saat ini dengan diajukannya Judicial Review pasal 2 ayat (1) UUP yang dianggap tidak memberikan kepastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Pernikahan beda agama menjadi pembahasan yang menarik dan tidak berkesudahan, karena pasal 2 ayat (1) masih menimbulkan banyak perbedaan penafsiran. Sedangkan masalah dimasyarakat tentang perkawinan beda agama semakin berkembang dan membutuhkan kepastian hukum.

(3)

3

B. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM ISLAM

1. Dasar Hukum dan Tafsir Para Ulama

Para ulama sepakat bahwa pernikahan beda agama antara muslim dan non muslim tidak diperbolehkan.2 Dengan menggunakan landasan hukum

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221.

“dan janganlah kamu kawini Dengan perempuan-perempuan kafir musyrik sebelum mereka beriman (memeluk agama Islam); dan Sesungguhnya seorang hamba perempuan Yang beriman itu lebih baik daripada perempuan kafir musyrik sekalipun keadaannya menarik hati kamu. dan janganlah kamu (kawinkan perempuan-perempuan Islam) Dengan lelaki-lelaki kafir musyrik sebelum mereka beriman (memeluk ugama Islam) dan Sesungguhnya seorang hamba lelaki Yang beriman lebih baik daripada seorang lelaki musyrik, sekalipun keadaannya menarik hati kamu. (yang demikian ialah kerana orang-orang kafir itu mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke syurga dan memberi keampunan Dengan izinNya. dan Allah menjelaskan ayat-ayatNya (keterangan-keterangan hukumNya) kepada umat manusia, supaya mereka dapat mengambil pelajaran (daripadanya)”.

Namun penafsiran menjadi berbeda ketika pernikahan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Sebagian ulama’

2 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997), 1409.

(4)

4

memperbolehkan nikah beda agama laki-laki muslim dengan ahli kitab berdasarkan pada tafsir Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5 yang merupakan tahsin atas surat al-Baqarah 221. enak-enak serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan kamu berkahwin) Dengan perempuan-perempuan Yang menjaga kehormatannya di antara perempuan Yang beriman, dan juga perempuan-perempuan Yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Yang diberikan Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskahwinnya, sedang kamu (dengan cara Yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan. dan sesiapa Yang ingkar (akan syariat Islam) sesudah ia beriman, maka Sesungguhnya gugurlah amalnya (yang baik) dan adalah ia pada hari akhirat kelak dari orang-orang Yang rugi”.

Perdebatan muncul ketika menafsirkan siapa ahli kitab? Secara bahasa ahl al-kitab adalah penganut al-kitab.5 Sedangkan secara istilah

para ulama’ berbeda pendapat tentang siapa mereka. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa maksud musyrik adalah umum mencakup semua musyrik baik menyembah berhala, majusi maupun ahli kitab. Pendapat ini berdasarkan pengertian bahwa setiap kafir pada hakikatnya adalah

4 Al-Qur’an. Al-Midah : 5.

(5)

5

musyrik, juga didasarkan pada suatu riwayat Ibn Umar yang melarang mengawini perempuan nasrani dan yahudi. Sebab, menurutnya Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah Tuhannya.

Jumhur ulama’ lain berpendapat bahwa lafadz al-musyrikat tidak mencakup ahli kitab. Dalam surat al-Bayyinah ayat 1 dengan jelas membedakan antara musyrik dan ahli kitab dengan pernyataan yang menggunakan kata penghubung atau huruf wawu ‘ataf. Menurut Rasyid Rida kata penghubung wawu ‘ataf yang berarti “dan” ini menggandung arti berbeda di antara kedua hal yang dihubungkan, berarti ahli kitab dan musyrik tidaklah sama atau berbeda.6 Imam Syafi’i menjelaskan bahwa

ahli kitab adalah terbatas pada keturunan bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan kitab Injil pada masa Nabi Isa.

Ibn Taimiyah menafsirkan surat al-Maidah ayat 5 membolehkan laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa ulama sepakat atas kehalalan menikahi perempuan ahli kitab dengan syarat ia merdeka.7 Ibn Munzir menyatakan tak ada dari sahabat yang mengharamkan laki-laki muslim menikahi ahli kitab kecuali Ibn Umar.

Imam madzhab yang empat pada prinsipnya mempunyai pendapat yang sama yaitu kebolehan mengawini perempuan ahli kitab. Madzhab Hanafiyah berpendapat haram menikahi perempuan ahli kitab yang berdomisili di wilayah yang sedang berperang dengan Islam (dar al-harb), karena dikhawatirkan suami muslim akan patuh pada istri yang akan membawa anak-anaknya kepada agama yang bukan Islam, dan suami tersebut akan memberdaya dirinya sendiri serta tidak menghiraukan aliansi dari perintah negarannya.

6 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-manan (Beirut: Dar al-Fikrt, t.t), II, 394.

(6)

6

Pendapat madzhab Malikiyah terbagi dua; kelompok pertama, menikahi ahli kitab baik di dar al harb ataupun zimmi hukumnya makruh mutlak. Kelompok kedua, memandang tidak makruh mutlak sebab zahir surat al-Maidah ayat 5 membolehkan secara mutlak tetapi tetap saja makruh, karena digantung kemakruhannya itu berkaitan dengan pemerintah islam. Sebab perempuan ahli kitab tetap saja tidak haram minum khamr, memakan babi, dan pergi ke gereja.

Sebagaimana Malikiyah, madzhab Syafi’i memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab. Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang bangsa Israel dan Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.

8

نٔ

ﱓو

لﺎﲝ

ﲅﺴﻤﻠ

ﻞﲢﺪﻗ

ﺔﻛﴩﳌا

ةٔﺮﳌاو

لﺎﲝ

كﴩﳌ

ﻞﲢﻻ

ﺔﻤﻠﺴﳌا

Hambali menghukumi lain, laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab tanpa makruh sama sekali, dengan syarat perempuan tersebut ahli kitab dan merdeka.

2. Fatwa MUI

Pada tanggal 1 Juni 1980 MUI mengeluarkan fatwa keharaman menikah orang muslim dengan non muslim, termasuk menikahi perempuan ahli kitab.9 Metode yang digunakan adalah istinbat al-ahkam dengan berdasarkan kepentingan masyarakat Islam. Dan pada tanggal 30 September MUI Jakarta menegaskan sekali lagi agar kaum muslimin untuk tidak melakukan perkawinan beda agama.10

8 “perempuan muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki musyrik dengan keadaan apa pun,

dan perempuan musyrik itu kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam dengan sesuatu hal dan perempuan itu perempuan kitabi”. Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth), juz 4, 287

9 Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), 99.

10 Abd Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian

(7)

7

Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta memutuskan dan menetapkan bahwa: 1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; 2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tama adalah haram dan tidak sah. Keputusan fatwa tersebut didasarkan pada pertimbangan: a) bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; b) bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengandung perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga mengandung keresahan di tengah-tengah masyarakat; c) bahwa di tengah-tengah-tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan, dan; d) bahwa untuk mewujudkan dan memlihara ketenteraman kehidupan berumahtangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman sebagaimana disebutkan di atas.11

Hasil dari rumusan diatas bahwa fatwa MUI tentang perkawian beda agama merujuk dalam al-Qur’an surah al-Nisa [4]: 3, al-Rum [30]: 21, Tahrim [66]: 6, Maidah [5]: 5, Baqarah [2]: 221, al-Mumtahanah [60]: 10, al-Nisa [4]: 25. Beserta hadits Rasulullah SAW yang artinya : “Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu”. (hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a.) dan Qa’idah Fiqh yaitu : “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan”. Jadi hasil kesepakatan dalam fatwa MUI adalah menyatakan bahwa :

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

(8)

8

C. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM INDONESIA

a. Perkembangan Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang Perkawinnan nomr 1 tahun 1974, pada masa penjajahan belanda telah diatur berkaitan dengan perkawinan campuran.

Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken, selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:12

a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.

b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat. c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinan

campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6)antara Indonesia dan

12 Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim dengan Non Muslim Dalam Peraturan Perundang

Undangan, Jurisprudensi dan Praktek Masyarakat., (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi

(9)

9

Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.

d. Perkawinan Campuran Antar Agama: Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama.

Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai larangan terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900.13

Paska kemerdekaan diundangkan UUP Nomor 1 tahun 1974 dengan menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Undang-undang ini disambut baik oleh Umat Islam, karena dasar terbentuknya UUP adalah berdasarkan pada hukum Islam. Terutama pasal 2 ayat (1) yang dapat diartikan menutup kemungkinan terjadinya perkawinan beda agama yang semula diperbolehkan oleh belanda. Karena pada dasarnya dalam hukum Islam melarang perkawinan beda agama.

Walaupun secara tertulis telah diatur tentang ketidakbolehan perkawinan beda agama, namun hal ini tidak menjadikan tidak adanya perkawinan beda agama. Di lapangan terdapat berbagai pernikahan agama baik itu secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.

(10)

10

Salah satu putusan hukum yang lahir berkaitan dengan nikah beda agama adalah keptusan Mahkamah Agung Nomor 1400/k/Pdt./1986. Dalam putusan tersebut MA memberikan beberapa pertimbangan:14

a. UUP tidak mengatur perkawinan beda agama dan perbedaan agama tidak dijadikan penghalang untuk melangsungkan perkawinan oleh undang-undang karena itu ada kekosongan hukum.

b. Adanya perbedaan asas antara UUP dengan peraturan perkawinan peninggalan belanda khususnya GHR. Peraturan belanda bersifat sekluler, sedangkan UUP bersifat religius.

c. Pemohon dianggap in cassu Islam atau tidak menghiraukan agamanya dan dianggap keluar dari agama Islam karena telah berupaya mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Sehingga tidak ada lagi penghalang dalam perkawinannya tersebut.

d. Kantor Catatan Sipil adalah satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan dengan kedua calon suami-istri yang tidak beragama Islam.

Dalam putusan tersebut secara tidak langsung Mahkamah Agung telah mengakui adanya kekosongan hukum terhadap perkawinan beda agama. Maka problematika ini akan terus berkembang selama tidak ada ketentuan hukum yang secara pasti mengatur perkawinan beda agama dan mengakibatkan beberapa pasangan yang menikah beda agama tidak mendapatkan kejelasan status hukum.

b. Perdebatan tentang Sah atau Tidaknya Perkawinan Beda Agama Dalam UUP pasal 2 ayat (1) disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.” Dalam penjelasannya dikatakan bahwa: tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD 1945. Pasal 8 (f) dijelaskan “perkawinan dilarang antara dua orang yang

(11)

11

mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin”.

Dalam KHI (Komplikasi Hukum Islam) tentang larangan perkawinan beda agama disebutkan dalam bab VI pasal 40, “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan karena keadaan tertentu: (c) seorang perempuan yang tidak beragama Islam.” Dan Pasal 44, “Seorang perempuan Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. KHI pasal 40 secara tegas telah melarang perkawinan antara laki-laki muslim dan perempuan non muslim. Melihat kitab mereka Taurat dan Injil yang telah di nasakh oleh al-Qur’an, sehingga perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab tidak diperbolehkan lagi.15

Pasal 2 ayat (1) UUP oleh sebagian kalangan ahli hukum diartikan bahwa pernikahan yang sah adalah apabila dilakukan berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing. Sedangkan sebagian lain menafsirkan bahwa pasal tersebut tidak mengatur pernikahan beda agama.

Hilman Hadikusuma menafsirkan klausul “hukum masing-masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama bukan hukum agamanya masing-masing yaitu hukum yang dianut agamanya masing-masing. Maka jika perkawinan dilakukan dengan menggunakan agama Islam kemudian dilakukan kembali dengan menggunakan agama lain maka menjadi tidak sah, begitu sebaliknya.16

Hal yang sama juga disampaikan oleh Hazairin. Ia mengatakan bahwa pasal 2 ayat (1) UUP ada kaitannya dengan UUD 1945 sebagai landasan dasar penyusunan UU dibawahnya. Menurutnya, materi pasal 2 ayat (1) yang berisi klausul “masing-masing agamanya” merupakan konsistensi dari pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara menjamin

15 Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia., (Yogyakarta: Gama Media, 2001),

345.

16 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum

(12)

12

kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu.17

Pasal 2 ayat (2) UUP menambahkan bahwa sahnya hukum adalah dicatatkannya perkawinan yang merupakan salah satu pembaharuan hukum perkawinan di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hak-hak keperdataan warga Negara. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 2, disebutkan bahwa perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan perkawinan antara orang-orang yang tidak beragama Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Banyak yang berpendapat bahwa status hukum perkawinan beda agama tidak sah. Mayoritas dari mereka menjadikan pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) sebagai argument dasarnya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa karena perkawinan beda agama tidak diatur dalam UUP, maka solusinya harus mengikuti pasal 66 UUP. Peraturan yang tidak ada dalam UUP diberlakukan kembali sepanjang tidak diatur didalamnya maka harus menunjuk GHR. Ahli hukum Islam sendiri masih terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan tidak atau diperbolehkannya seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab berdasarkan pada surat Baqarah ayat 221 yang dianggap telah ditahsin dengan surat al-Maidah ayat 5.

Terdapat alasan yang mengatakan bahwa diperbolehkannya laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab adalah karena keyakinan bahwa laki-laki dipandang memiliki kekuasaan untuk mengatur keluarga sehingga tidak dikhawatirkan akan mudah tergoyah imannya, sedangkan jika perempuan muslimah dilarang menikah dengan laki-laki non muslim karena ditinjau dari aspek psikologi memang seorang istri mudah

17 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1982),

(13)

13

terpengaruh oleh pola pikir suami yang dominan, baik karena sang istri takut atau terbawa oleh persaaannya.

Sebagaimana kita ketahui bersama kondisi perempuan pada zaman sekarang jauh berbeda dengan kondisi zaman dulu, dimana sekarang perempuan mempunyai posisi setara dengan laki-laki, bahkan perempuan bisa menjadi decision maker di dalam keluarganya. Banyak faktor yang menjadikan perempuan berperan dominan dalam sebuah keluarga. Jadi adanya perbedaan pembolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab sedangkan perempuan muslimah dilarang tidak relevan lagi untuk digunakan. Mengenai kemungkinan seorang laki-laki bisa membawa istri ke agama Islam, perempuan muslimah pun bisa melakukan hal yang sama. Sebaliknya laki-laki muslim mungkin juga menjadi lemah dan terpengaruh oleh perempuan ahli kitab.18

Fenomena pernikahan beda agama akan menimbulkan berbagai masalah sebagai akibat tidak adanya hukum yang mengatur secara pasti. Diantara masalah yang muncul adalah masalah pencatatan perkawinan. Telah disebutkan diatas bahwa perkawinan dianggap sah jika dicatatkan di KUA bagi yang melakukan pernikahan berdasarkan agama Islam, dan KCS bagi yang melaksanakan pernikahan selain agama Islam.

Perdebatan perkawinan beda agama menjadi tidak berkesudahan, maka dalam memaknai masalah ini harus penuh kehati-hatian. Pertama, melihat dalam kaidah fiqih saddu az-zari’ah, dimana kaidah ini menekankan sikap preventive dan antisipatif berdasarkan pengalaman dan analisis psikologis dan sosiologis untuk mencegah bahaya terjadinya pemurtadan dan hancurnya rumah tangga akibat konflik idiologis dan akidah akibat perkawinan beda agama.19

18 Berkaitan dengan ketidak adilan Gender dengan anggapan perempuan sebagai makhluk kurang

akal dan kurang agama baca, Hamim Ilyas, “Kodrat Perempuan; Kurang Akal dan Kurang

Agama?”, dalam Perempuan Tertindas, (Yogyakarta; eLSAQ Press&PSW, 2003), 33-50.

19 Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, Sejarah,Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Cet-2

(14)

14

Kedua, kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddam ‘alajabil masalih yang menunjukkan sekala prioritas dalam menentukan pilihan hidup yaitu bahwa mencegah dan menghindari mafsadah atau resiko yang dalam hal ini bisa berupa kemurtadan dan perceraiian harus diutamakan daripada harapan mencari manfaat dan kemaslahatan berupa menarik pasangan hidup dan anak-anak keturunanya nanti serta keluarga besar pasangan yang berbeda agama untuk masuk islam. Hal ini masih terkait dengan pertimbangan perkawinan beda agama dapat menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga serta eksistensi aqidah Islam.

Ketiga, pada prinsipnya agama Islam mengharamkan perkawinan beda agama. Sedangkan adanya izin kawin seorang pria muslim dengan seorang perempuan ahli kitab berdasarkan surat al-Maidah ayat 5 itu hanyalah sebuah dispensasi bersyarat (rukhsah).

Yusuf al-Qardawi mengemukakan bahwa dibalik pernikahan dengan ahli kitab itu akan terjadi fitnah, mafsadah atau kemudharatan, makin besar kemudaratannya makin besar tingkat larangannya. Lebih lanjut Yusuf al-Qardawi mengingatkan banyaknya mudarat yang mungkin terjadi dalam perkawinan beda agama, diantaranya suami mungkin akan terpengaruh oleh agama istrinya, demikian juga anaknya, apabila hal ini terjadi maka fitnah akan benar-benar menjadi nyata. Dan juga perbedaan agama akan mempersulit hubungan suami istri dan pendidikan anak-anaknya. Melihat banyaknya kemudaratan yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh, maka dalam kaidah ushul fiqh maqasid asy-syariah adalah mengutamakan maslahah yang dharuriyyah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.20

(15)

15 D. KESIMPULAN

1. Bahwa permasalahan perkawinan beda agama tidak hanya dalam ranah teoritis, namun juga dalam ranah praktis. Perbedaan pendapat tentang sah atau tidaknya perkawinan beda agamapun bergulir dan tidak ada kesepakatan pasti baik dalam ranah hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia (UUP). Bahkan MA telah mengakui adanya kekosongan hukum, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Agung nomor 1400/K/Pdt/1986. Yurisprudensi ini kemudian diajadikan dasar hokum dalam memenuhi kekosongan hukum perkawinan beda agama yang tidak diatur dalam UUP. Petusan tersebut diikuti dengan surat edaran MA bernomor KMA/72/IV/1981 bertanggal 20 April 1981 kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai “pelaksanaan perkawinan campuran.”

2. Permasalahan mencuat kembali ketika diajukannya judisial review pasal 2 ayat (1) UUP yang dianggap telah melanggar hak konstitusional untuk melakukan perkawinan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi perkawinan mereka. Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), pasal 28B ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28E ayat (1) dan (2), pasal 28I ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

3. Penjabaran diatas dapat kita gunakan sebagai pisau analisis masalah ini, ketika mereka menggap bahwa pasal 2 ayat (2) melanggar hak asasi manusia dalam kebebasan beragama dan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing tidak dapat dibenarkan. Karena perkawinan adalah suatu ikatan yang meliputi hukum agama, sosial dan yuridis.

(16)

16

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Alyasa. Perkawinan Muslim dengan Non Muslim Dalam Peraturan Perundang Undangan, Jurisprudensi dan Praktek Masyarakat. Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

Arief, Abd Salam. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Mahmud Shaltuh. Jakarta; Lesfi, 2003.

Atho Mudzar, Muhammad. Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.

Aziz Dahlan, Abdul, et.al. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat, Hukum Agama, cet-3. Bandung: Bandar Maju, 2007.

Majlis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta 2011.

Munawwir, Warson. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progres, 1997.

Rafiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2001.

Rasyid Rida, Muhammad. Tafsir al-manan. Beirut: Dar al-Fikrt, t.t, II.

Sodiqin, Ali. Fiqh Ushul Fiqh, Sejarah,Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Cet-2. Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.

Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta: UI Press, 1982.

Referensi

Dokumen terkait

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih

1) Apakah yang dimaksud dengan filsafat, menurut asal katanya? 2) Apakah pendapat Plato tentang pen.. Latihan d dapat diselesaikan dengan memahami elapan jalan kebenaran

Pengujian kinerja perkerasan jalan dan perencanaan lapis tambah (overlay ) dengan alat Benkelman Beam dilakukan dengan cara pengukuran lendutan balik maksimum, sedangkan lendutan

cabang ilmu dan/atau rumpun ilmu yang dibina program studi yang akan diakreditasi diperlukan kajian yang komprehensif mencakup jumlah program studi yang masuk dalam cabang

Refleksi ini dilakukan bersama dengan observer. Observer yang dimaksud adalah rekan guru yang mengajar di SMK NU 1 Adiwerna. Melalui refleksi ini peneliti dapat melihat

- Biaya administrasi 500.000/tim, maksimal 10 hari kerja setelah mengisi form pendaftaran - Jika >10 hari tidak bayar, dianggap mengundurkan diri, jika mau daftar ulang lagi

agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Korban bullying menunjukkan fungsi sosial

Menurut pemimpin pada PT Anugerah Agro Mandiri Ngajuk, hubungan dengan karyawan merupakan hal yang penting karena dengan menjalin hubungan yang erat, maka