• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL S (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL S (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL SISWA`SMA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING” DAN “CYCLE LEARNING”

DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

oleh I Wayan Sadia Jurusan Pendidikan Fisika

Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha

ABSTRAK

(2)

berkualifikasi rendah; (2) Model PBL/LCM ternyata efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa; dan (3) Model PBL lebih baik daripada LCM dan MPK, dan model LCM lebih baik dari pada MPK dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini maka disarankan kepada para guru Fisika maupun guru bidang studi lain untuk menggunakan model PBL atau model LCM dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa.

Kata kunci : berpikir formal, PBL, LCM

ABSTRACT

(3)

teachers to use PBL and LCM in teaching and learning process in their effort to developing student’s formal thinking ability.

Key words : formal thinking, PBL, LCM.

1. Pendahuluan

(4)

secara serius dalam dunia pendidikan pada jenjang pendidikan menengah atas.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengungkap profil kemampuan berpikir formal siswa SMA di Kabupaten Buleleng, serta mengkaji dua model pembelajaran yang inovatif yang diperkirakan akan mampu menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model pembelajaran yang akan diterapkan adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan model siklus belar (Learning Cycle Model). Model siklus belajar hipotetik-deduktif akan memberi wahana bagi siswa untuk mengembangkan pola-pola penalaran tingkat tinggi seperti pengendalian variabel, penalaran korelasional, dan penalaran-penalaran hipotetik-deduktif melalui tiga tahapan pembelajaran yaitu eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Sedangkan model pembelajaran berbasis masalah akan memberi wahana bagi tumbuh dan berkembangnya keterampilan pemecahan masalah berdasarkan pola-pola penalaran yang rasional, analitis, sintesis, dan reflektif. Di samping itu model pembelajaran berbasis masalah juga memberi peluang kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir hipotetik, berpikir kombinatorial, berpikir divergen, serta latihan metakognisi.

(5)

Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktivitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala – gejala alam yang konpleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan argumentasinya, melakukan interprestasi, dan memperbaiki gagasannya (Ramsey, 1993). Fase – fase aktivitas belajar dalam model siklus belajar adalah (1) fase eksplorasi, (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa belajar melalui aksi dan reaksinya dalam suatu situasi baru. Kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen dengan bimbingan guru yang seminimal mungkin. Gejala – gejala yang diobservasi dalam fase eksplorasi diharapkan memunculkan pertanyaan – pertanyaan bagi siswa yang belum dapat dipecahkan dengan menggunakan prior knowladge atau prakonsepsi mereka. Pada fase pengenalan konsep, para siswa didorong untuk mendiskusikan temuan – temuan dalam fase eksplorasi. Melalui fase ini para siswa diharapkan membangun struktur mental baru sebagai modifikasi terhadap prakonsepsinya. Pada fase aplikasi para siswa diberi kesempatan untuk menerapkan konsepsi barunya dalam situasi yang baru. Fase aplikasi merupakan wahana untuk memperkaya dan memperkuat struktur kognitifnya.

(6)

disajikan juga hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain. Melalui problem based learning para siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu proses interaktif dalam mengevaluasi apa yang mereka ketahui, mengidentifikasi apa yang perlu mereka ketahui, mengumpulkan informasi, dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data yang telah mereka kumpulkan. Sedangkan guru lebih berperan sebagai tutor dan fasilitator dalam menggali dan menemukan hipotesis, serta dalam mengambil kesimpulan.

Savoi & Andrew (1994), mengemukakan enam tahapan proses pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut, (1) mulai dengan penyajian masalah; (2) masalah hendaknya berkaitan dengan dunia siswa (masalah riil); (3) organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah; (4) memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajarannya sendiri; (5) menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses pembelajaran; dan (6) menuntut siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari.

Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pembelajaran problem based learning sehingga proses pembelajaran benar-benar menjadi berpusat pada siswa (student-centered) adalah sebagai berikut. (1) Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran konsep-konsep sains yang esensial dan strategis. (2) Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya

(7)

seminar atau publikasi (jurnal ilmiah) atau dalam bentuk penyajian poster (Gallagher & Stepien, 1995).

Implementasi strategi pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perbaikan proses belajar-mengajar, khususnya dalam menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa, baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, berpikir proporsional, berpikir kombinatorial, maupun dalam meningkatkan kemampuan berpikir reflektif.

2. Metode Penelitian 2.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan rancangan “Nonrandomized Pretest-Posttest Kontrol Group Design” . Dalam hal ini digunakan dua kelompok eksperimen dan satu kelompok Kontrol. Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut (Isaac Stephen & Michael William B.; 1971)

Kelompok Eksperimen I T1 Xa T2

Kelompok Eksperimen II T1 Xb T2

Kelompok Kontrol T1 - T2

Keterangan: T1 = pre-test kemampuan berpikir formal

T2 = post-test kemampuan berpikir formal

Xa = model pembelajaran “ Problem based learning”

Xb = model pembelajaran “ Learning cycle model” 2.2 Populasi dan Sampel Penelitian

(8)

dari populasi dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, dilakukan pengambilan sampel sekolah dengan teknik cluster random sampling. Pada tahap kedua, pengambilan sampel kelas dilakukan dengan teknik simple random sampling. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, maka sebaran sampel penelitian ini dapat dilihat pada tabel 01 berikut.

Tabel 01: Sebaran Sampel Penelitian

No. Nama Sekolah Kelompok Kelas Jumlah

Siswa 1 SMA Negeri 1 Singaraja

(Sekolah Standar Nasional)

Eksperimen I X2 35

Eksperimen II X4 35

Kontrol X3 35

2 SMA Negeri 1 Seririt (Sekolah Berpotensi)

Eksperimen I X5 36

Eksperimen II X4 38

Kontrol X3 38

Jumlah 217

2.3 Variabel (Objek) Penelitian

Variabel bebas penelitian eksperimental ini adalah perlakuan (treatmen) yang dikenakan pada kelompok eksperimen, yaitu model pembelajaran problem based learning (PBL) dikenakan pada kelompok eksperimen I, model pembelajaran learning cycle model (LCM) dikenakan pada kelompok eksperimen II, dan model pembelajaran konvensional (MPK) dikenakan pada kelompok kontrol. Variabel terikatnya adalah efek dari perlakuan yaitu kemampuan berpikir formal (KBF)

2.4 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

(9)

kelompok eksperimen II berupa program pembelajaran berdasarkan model siklus belajar (learning cycle model); (3) Instrumen perlakuan untuk kelompok kontrol berupa program pembelajaran berdasarkan model konvensional; (4) Tes kemampuan berpikir formal, yang disusun berdasarkan empat indikator berpikir formal yaitu kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorik, dan kemampuan berpikir reflektif. Tes kemampuan berpikir formal ini merupakan modifikasi tes yang dikembangkan oleh Robert B. Sund (1976).

2.5 Teknik Analisis Data

(10)

Tabel 02 : Pedoman Konversi Kualifikasi KBF

No. Interval Skor Kualifikasi

1 > Mi + si Tinggi

2 (Mi – 0,5 si) --- (Mi + 1,5 si) Sedang

3 < Mi – 0,5 si Rendah

Data tentang perbedaan peningkatan kemampuan berpikir formal antara kelompok siswa yang belajar Fisika melalui model problem based learning, learning cycle, dan model pembelajaran konvensional, akan dianalisis dengan statistik analisis varian (anova) dengan menggunakan program SPSS.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1 Hasil Penelitian

3.1.1 Profil kemampuan berpikir formal

Kemampuan berpikir formal siswa diukur melalui tes objektif dengan jumlah butir 30. Setiap butir yang dijawab benar diberi skor 1 dan yang dijawab salah diberi skor 0. Dengan demikian, rentangan skor idealnya adalah antara 0 sampai 30. Rerata (mean) idealnya adalah 15 dan simpangan baku idealnya adalah 5. Dengan menggunakan pedoman konversi kualifikasi kemampuan berpikir formal yang telah diuraikan pada bagian teknik analisis data, maka jika skor yang dicapai siswa lebih besar dari 22,5 kemampuan berpikir formalnya dikategorikan berkualifikasi tinggi. Jika skornya antara 12,5 sampai 22,5 dinyatakan dengan kualifikasi sedang, dan jika skornya lebih kecil dari 12,5 maka dikategorikan berkualifikasi rendah.

(11)

Tabel 03 : Profil Kemampuan Berpikir Formal

No. Model-Level Persentase tiap-tiap kualifikasi

Tinggi (%) Sedang (%) Rendah (%)

1 A1B1 (n = 35) 22,86 27,14 0,00

2 A1B2 (n = 36) 19,44 80,56 0,00

3 A1 ( n = 71) 21,13 78,87 0,00

4 A2B1 (n = 35) 14,29 85,71 0,00

5 A2B2 (n = 38) 18,42 81,58 0,00

6 A2 (n = 73) 16,45 83,55 0,00

7 A3B1 ( n = 35) 5,71 88,58 5,71

8 A3B2 (n = 38) 0,00 89,47 10,53

9 A3 (n = 73) 2,74 89,04 8,22

Keterangan:

A1 = Kelompok PBL A2B2= Kelompok LCM,

sekolah level 2 A1B1 = Kelompok PBL, sekolah level 1 A3 = Kelompok MPK

A1B2 = Kelompok PBL, sekolah level 2 A3B1 = Kelompok MPK,

sekolah level 1 A2 = Kelompok LCM A3B2 = Kelompok MPK,

sekolah level 2 A2B1 = Kelompok LCM, sekolah level 1

Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tercantum pada tabel 03 berikut, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Secara umum dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui model pembelajaran PBL (A1) sebagian besar (78,87%) siswa kemampuan

(12)

Fisika melalui PBL (A1B1), 22,86% siswa kemampuan berpikir formalnya

berkualifikasi tinggi dan 77,14% siswa berkualifikasi sedang. Siswa pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui PBL (A1B2), 19,44%

kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi tinggi dan (80,56%) berkualifikasi sedang serta tidak terdapat siswa yang kualifikasi kemampuan berpikir formalnya berkategori rendah. (3) Secara umum dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui model pembelajaran LCM (A2) sebagian besar (83,55%) siswa kemampuan

berpikir formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian lagi (16,45%) berkualifikasi tinggi, dan tidak ada yang berkualifikasi rendah. (4) Jika ditinjau dari level sekolah, siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar Fisika melalui LCM (A2B1), ternyata 14,29% siswa kemampuan berpikir

formalnya berkualifikasi tinggi, dan 85,71% berkualifikasi sedang. Siswa pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui LCM (A2B2),

ternyata 18,42% siswa kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi tinggi, dan (81,58%) berkualifikasi sedang, serta tidak terdapat siswa yang kualifikasi kemampuan berpikir formalnya berkategori rendah. (5) Secara umum dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui model MPK (A3) sebagian besar (89,04%) siswa kemampuan

berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 8,22%) berkualifikasi rendah, dan hanya 2,74% yang berkualifikasi tinggi. (6) Jika ditinjau dari level sekolah, siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar Fisika melalui MPK (A3B1),

sebagian besar (88,58%) siswa kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 5,71% berkualifikasi rendah dan 5,71% berkualifikasi tinggi. Siswa pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui MPK(A3B2), sebagian besar (89,47%) kemampuan berpikir

(13)

3.1.2 Pengujian Hipotesis

Untuk menjawab pertanyaan seberapa efektif model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM) dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal, serta untuk menguji keunggulan komparatif PBL dan LCM terhadap model pembelajaran konvensional (MPK), maka dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan analisis statistik Anova dua jalur.

Hipotesis alternatif (Ha), ”Terdapat perbedaan yang signifikan antara

kemampuan berpikir formal siswa SMA yang belajar Fisika melalui model pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM), dan model pembelajaran konvensional (MPK)”. Atau dinyatakan dalam hipotesis nol (H0) ”Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

kemampuan berpikir formal siswa SMA yang belajar Fisika melalui model pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM), dan model pembelajaran konvensional (MPK)” . Hipotesis nol (H0) ini diuji

dengan teknik analisis varian melalui uji-F.

Berikut pada tabel 04 dan 05 akan disajikan hasil analisis statistik deskriptif dan hasil analisis varians, untuk digunakan sebagai pengambilan kesimpulan dalam uji hipotesis.

Tabel 04 : Rangkuman Hasil Analisis Statistik Deskriptif Model

Level

Mean Simpangan Baku N

(14)

PMK 1 2 Total 18,2857 17,8421 18,0548 2,7070 3,5832 3,1793 35 38 73 Total 1 2 Total 19,8190 19,1429 19,4700 2,7273 3,1818 2,9830 105 112 217 Tabel 05 : Rangkuman Hasil Analisis Varians

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model Intercept Model Level

Model * Level Error Total Corrected Total 298,135a 82346,239 269,855 22,989 4,069 1623,920 84183,000 1922,055 5 1 2 1 2 211 217 216 59,627 82346,239 134,928 22,989 2,034 7,696 7,747 10699,450 17,531 2,987 0,264 0,000 0,000 0,000 0,085 0,768

Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dan hasil analisis varian, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa ”Tidak terdapat perbedaan yang signifikan

(15)

daripada kemampuan berpikir forma siswa yang belajar Fisika melalui LCM (mean = 20,1429) dan lebih baik daripada kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui MPK (mean = 18,2857). (4) Untuk sekolah level-2 (SSN), kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL(mean = 20,5556) lebih baik daripada kemampuan berpikir forma siswa yang belajar Fisika melalui LCM (mean = 19,1053) dan lebih baik daripada kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui MPK (mean = 17,8421). (5) Tidak terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dengan level sekolah (F = 0,264; p > 0,05). Artinya, penerapan PBL dan LCM dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa tidak dipengaruhi oleh level sekolah.

3.2 Pembahasan

(16)

Gambaran tentang profil kemampuan berpikir formal seperti yang disajikan pada tabel 03 menunjukkan bahwa PBL lebih efektif daripada LCM dan jauh lebih efktif daripada MPK serta model LCM lebih efektif daripada MPK dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Proses pembelajaran Fisika yang diawali dengan penyajian masalah dan dilanjutkan dengan analisis masalah oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil sampai pada penemuan konsep, ataupun prinsip Fisika untuk memecahkan masalah merupakan wahana yang sangat baik dalam mengasah dan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, termasuk kemampuan berpikir formal. Di sisi lain, pembelajaran Fisika dengan model LCM yang kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen memberi peluang yang banyak kepada siswa untuk merancang eksperimen, mengendalikan variabel, merumuskan hipotesis, menganalisis data, dan mengambil kesimpulan melalui proses induktif. Peluang-peluang tersebut juga ada pada model PBL. Jika proses pembelajaran berlangsung melalui model konvensional (ekspositori), kesempatan siswa untuk mengasah dan melatih kemampuan penalaran formalnya sangat rendah. Kondisi itulah yang menyebabkan adanya perbedaan yang tajam antara model PBL dan LCM dengan model konvensional (MPK) dalam pengembangan kemampuan berpikir formal siswa.

Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara model pembelajaran dan level sekolah dalam peningkatan kemampuan berpikir formal siswa. Artinya, efektivitas model pembelajaran PBL maupun LCM dalam peningkatan kemampuan berpikir formal tidak dipengaruhi oleh level sekolah. PBL dapat diterapkan pada semua level sekolah baik itu sekolah yang berstatus SNBI, maupun SSN.

(17)

Berdasarkan perasalahan, tujuan penelitian, dan hasil analisis data, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, secara umum dengan tidak memandang perlakuan (treatment) dan level sekolah, ternyata sebagian besar (83,82%) siswa SMA kelas I di Kabupaten Buleleng kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 13,44% berkualifikasi tinggi, dan 2,74% berkualifikasi rendah. Kedua, model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM) ternyata cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM) dan model pembelajaran konvensional (MPK) dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model PBL lebih baik daripada LCM dan MPK, dan model LCM lebih baik dari pada MPK. Hal ini terbukti dari hasil uji hipotesis dengan menggunakan teknik analisis varian dimana F = 17,531 (p < 0,05). Keempat, tidak terjadi interaksi antara model pembelajaran dan level sekolah dalam pengembangan kemampuan berpikir formal, dalam arti bahwa efektivitas PBL maupun LCM dalam pengembangan berpikir formal tidak dipengaruhi oleh level sekolah, apakah SMA berstatus SNBI maupun SSN.

(18)

pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM) ternyata cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa, dan juga bahwa model PBL lebih baik daripada model LCM dan MPK, serta model LCM lebih baik daripada MPK dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal dan pemahaman konsep Fisika, maka disarankan kepada para guru Fisika maupun guru bidang studi lain untuk menggunakan model PBL atau model LCM dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Barrows, Howard S. 1996. Problem-Based Learning in Medicine and Beyond. New Direction for Teaching and Learning. Jossey-Bass Publishers.

Bodner, George M. 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education, Vol.63.

Brooks J.G & Martin G.B. 1993. In Search of Anderstanding; The Case for Contructivist Classroom. Alexandria Virginia.

Dantes, dkk. 1994. Pengaruh Bakat Diferensial Matematika, Kemampuan Awal dan Intelgensi Terhadap Kesanggupan Berpikir Formal dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar Matematika. Laporan Penelitian STKIP Singaraja.

Driver, Rosalind. 1988. Changing Conceptions. Centre for Studies in Science and Mathematics Education, University of Leeds.

Eka Wilantara, I Putu. 2003. Implementasi Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran Fisika untuk Mengubah Miskonsepsi Ditinjau dari Penalaran Formal Siswa. Thesis Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja

(19)

Fosnot, Caterine Twomey 1989. Equiring Teachers Equiring Learners. A Construvitist Approach for Teaching. New York: Teachers College Press.

Gallagher, Shelagh A & Stepien, William J. 1995. Implementing Problem-Based Learning in Science Classroom. School Science and Mathematics

Isaac Stephen & Michael William B. 1971. HandBook in Research and Evaluation. San Diego, California: Robert R. Knapp Publisher. Ratna Wilis Dahar 1989. Teori-Teori Belajar.Jakarta: Penerbit Erlangga Sadia. 1996. Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam

Pembelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Program Pascasarjana IKIP Bandung

Savoie J.M. & Andrew S.H. 1994. Problem-Based Learning as Classroom Solotion. Educational Leadership

Savery, John R & Duffy, Thomas M. Problem Based Learning: An Instructional Model and Its Contructivist Framework.

Gambar

Tabel 02 : Pedoman Konversi Kualifikasi KBF
Tabel  03 :  Profil Kemampuan Berpikir Formal
Tabel 04 : Rangkuman Hasil Analisis Statistik Deskriptif
Tabel 05 : Rangkuman Hasil Analisis Varians

Referensi

Dokumen terkait

Kegunaan Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap teori layanan penguasaan konten dalam meningkatkan konsep diri positif siswa

Berat Molekul Sodium Alginat penyimpanan suhu kamar vs penyimpanan di dalam lemari pendingin.

Pada web portal, pembangun juga boleh memasukkan ‘label’ untuk mengkategorikan pembelajaran supaya lebih tersusun dan memaparkan bahan kursus pembelajaran dengan mewujudkan

dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pada variabel luas lahan diperoleh nilai t-hitung sebesar 1,974 dengan

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber daya insani diartikan sebagai penataan dan pengelolaan tenaga kerja sebagai sumber daya oragnisasi yang efektif dan efisien

Berdasarkan hasil analisis telah diketahui bahwa dalam penelitian eksperimen kuasi ini perlakuan yang berupa pelatihan motivasi berprestasi mampu meningkatkan sikap

Untuk aspek manajemen, komite sekolah menyiapkan strategi perencanaan pemasaran pendidikan secara mendetail, dalam hal ini strategi yang dilakukan adalah melibatkan

Pada Gambar 4.20 menampilkan grafik hasil simulasi dengan menggunakan ensemble sebanyak 150 dan iterasi percobaan sebanyak 200 kali yang memban- dingkan hasil grafik keadaan real