• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adsorpsi Karotenoida Dari Minyak Sawit Mentah (CPO) Menggunakan Kalsium Polistirena Sulfonat Berderajat Sulfonasi 27% dan Desorpsinya Dengan Etanol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adsorpsi Karotenoida Dari Minyak Sawit Mentah (CPO) Menggunakan Kalsium Polistirena Sulfonat Berderajat Sulfonasi 27% dan Desorpsinya Dengan Etanol"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit berasal dari buah tanaman kelapa sawit yang didapat dengan

cara mengekstraksi buah tersebut. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak

yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) yang

disebut dengan Crude Palm Oil atau CPO, dan minyak yang berasal dari inti (kernel) yang disebut Palm Kernel Oil atau PKO (Somaatmaja, 1981).

Perbedaan minyak sawit dengan minyak inti sawit adalah adanya pigmen

karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit. Perbedaan lainnya

yaitu dalam kandungan asam lemaknya. Pada minyak inti sawit terdapat asam

kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat pada minyak sawit (Muchtadi,

1992).

CPO mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari

karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol-sterol, fosfolipid dan glikolipid, terpen

dan gugus alifatik, serta elemen sisa (trace element) lainnya. Komponen terbesar

(2)

Tabel 2.1. Jenis-jenis karotenoida dan komposisinya dalam komponen minor

Jenis-jenis Karotenoida Komposisi (%)

Phytoene 1,27

Cis- -Carotene 0,68

Phytofluence 0,06

-Carotene 56,02

α-Carotene 35,16

Cis-α-Carotene 2,49

-Carotene 0,69

-Carotene 0,33

δ-Carotene 0,83

Neurosporene 0,29

-Zeacarotene 0,74

α-Zeacarotene 0,23

Lycopene 1,3

(Wei, P.C., et al, 2005 )

2.2. Karotenoida

Karotenoida merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah

jingga, dan bersifat larut dalam minyak. Karotenoida terdapat dalam kloroplast

(0,5%) bersama-sama dengan klrorofil (9,3%) terutama pada bagian permukaan

atas daun, dekat dengan dinding sel palisade (Winarno, 1991).

Karotenoida dibagi atas empat golongan, yaitu; (1) karotenoida

hidrokarbon, C40H56 seperti α, , dan karoten dan likopen; (β) xantofil dan

derivate karoten yang mengan dung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin,

C40H55OH dan lutein, C40H54(OH)2; (3) asam karotenoida yang mengandung

gugus karboksil; dan (4) ester xantofil asam lemak (Meyer, 1966).

Karotenoida termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut

(3)

terutama dalam pemisahan karotenoida dari bahan lain (Ranganna, 1979). Sifat

fisika dan kimia karotenoida adalah :

1. Larut dalam minyak dan tidak larut dalam air

2. Larut dalam kloroform, benzene, karbon disulfide dan petroleum eter

3. Tidak larut dalam etanol dan metanol dingin

4. Tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum

5. Peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya

6. Mempunyai ciri khas adsorpsi cahaya (Meyer 1966).

Adanya ikatan rangkap menyebabkan karotenoida peka terhadap oksidasi,

dan reaksinya akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya

tembaga, besi, dan mangan (Walfford, 1980). Oksidasi terjadi secara acak pada

ikatan rangkap rantai atom karbonnya. Kepekannya terhadap oksidasi membuat

karotenoida digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai

tokoferol dan askorbat. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna

karotenoida dalam makanan dan merupakan mekanisme degradasi utama yang

banyak menjadi perhatian (Fennema, 1996).

Karotenoida belum mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu

60oC. Reaksi oksidasi karotenoida berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif

tinggi terutama jika terdapat prooksidan (Worker, 1957). Karotenoida merupakan

sumber vitamin A yang berasal dari tanaman dalam bentuk α-karoten, -karoten

dan -karoten, sedangkan yang berasal dari hewan berbentuk vitamin A. Senyawa ini sering disebut antixerophtalmia, karena kekurangan senyawa tersebut dapat

menimbulkan gejala rabun mata. Senyawa -karoten dalam minyak sawit sebagai provitamin A bermanfaat untuk penanggulangan kebutaan karena xerophtalmia,

mengurangi peluang terjadinya kanker, mencegah proses menua yang teralu dini,

meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.

(4)

H2C

CHC CHC CHCH CCH CHCH CCH

CH3 CH3 CH CH3 CH3

Gambar. β.1. Struktur -karoten

(Fennema, 1996)

Mengkonsumsi -karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah

defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi -karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia memiliki kemampuan

mengubah sejumlah besar -karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga

-karoten disebut provitamin A (Winarno, 1991). Sekitar β5% dari -karoten yang teradsorpsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedangkan 75% sisanya

diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim 15, 15’ -karotenoksigenase (Fennema, 1996).

2.2.1. Metode-Metode Memperoleh Karotenoida

Berbagai metode untuk memperoleh karotenoida telah banyak dilakukan oleh para

peneliti, antara lain :

2.2.1.1. Metode Penyabunan

Proses penyabunan diawali dengan melarutkan minyak sawit kasar dengan

KOH/NaOH. Prinsip dari metode ini adalah memisahkan senyawa karotenoida

yang merupakan senyawa yang tidak tersabunkan dengan senyawa-senyawa yang

dapat disabunkan. Pemisahan selanjutnya adalah dengan mengekstraksi

karotenoida tersebut dengan menggunakan pelarut organik (Parker, 1992). Blaizot

(1956) menyabunkan CPO dengan NaOH metanolik selama beberapa jam pada

suhu 30-40oC. Gliserin yang terbentuk dipisahkan dengan cara dekantasi, bahan

(5)

bertekanan 0,001-0,0001 mmHg, diperoleh karotenoida bercampur dengan residu

dengan yield sebesar 5-6%. Suria (2015) menambahkan CPO kedalam KOH etanolik. Campuran tersebut didiamkan dalam pendingin selama 24 jam (untuk

mengeliminasi lipida dan mengendapkan poliphenol pada fase alkohol).

Campuran yang tersabunkan kemudian ditempatkan pada corong pisah dengan etil

eter dan fase ini dicuci dengan air, lapisan bawah yang terbentuk dibuang.

Campuran tersebut dikeringkan dengan sulfat anhidrat dan dievaporasi hingga

benar-benar kering, diperoleh peningkatan konsentrasi karotenoida sebesar 13%

dari konsentrasi awal 507 ppm.

2.2.1.2. Metode Ekstraksi Pelarut

Teknologi ekstraksi telah banyak dikembangkan untuk memperoleh karotenoida.

Ektraksi pelarut merupakan suatu proses transfer massa antara minyak sawit

dengan suatu pelarut yang sesuai, yang memiliki afinitas dan selektifitas yang

baik terhadap karotenoida (Othman, 2010). Ekstraksi pelarut pada kondisi normal

banyak menggunakan n-heksana sebagai pelarut untuk mengekstraksi karotenoida

dari minyak mentah sawit, akan tetapi n-heksana berpotensi mengakibatkan

kebakaran, berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan (Choo, et al., 1996). Kekurangan penggunaan pelarut n-heksana tersebut menyebabkan banyak usaha

untuk mengekstraksi karotenoid dari minyak sawit yang lebih aman, salah satunya

ialah ektraksi cair superkritis (SFE). Aplikasi ekstraksi cair superkritis adalah

dengan menggunakan karbondioksida superkritis (SC-CO2) sebagai pelarut, jika

dibandingkan dengan pelarut n-heksana atau aseton, karbondioksida lebih bersifat

inert, tidak beracun, tidak menimbulkan ledakan, tidak meninggalkan residu pada

produk (Watkins et al., 1994).

Ekstraksi karotenoida dari minyak sawit mentah dengan pelarut

karbondioksida superkritis (SC-CO2) telah dilakukan oleh (Wei et al., 2005). Proses ektraksi dilakukan dengan memasukkan CPO kedalam wadah ekstraksi

(extraction vessel), ekstraksi terbawa ke system dinamis (flow through).

(6)

Pada penelitian ini dilakukan variasi tekanan, suhu, laju alir, dan ukuran sampel.

Dibagian luar wadah dirangkai saringan untuk mencegah kotoran terbawa.

Ekstrak yang dihasilkan dikumpulkan pada suatu wadah yang ditutup dengan

alumunium foil, disimpan dalam ruangan gelap dengan suhu -10oC untuk

mencegah degradasi oleh panas, udara dan cahaya. Hasil yang diperoleh

menunjukkan kelarutan karotenoida dalam minyak sawit mentah terhadap

karbondioksida superkritis (SC-CO2) rendah yaitu antara 1,31 x 10-4 sampai 1,58

x 10-3 gkg-1 karbondioksida, pada kondisi suhu 40-80oC dan tekanan 14-30Mpa,

recovery karotenoida yang diperoleh sebesar 80-90%.

2.2.1.3. Adsorpsi

Adsorpsi adalah proses penyerapan molekul-molekul cair atau gas pada

permukaan zat padat atau cair yang terjadi karena adanya interaksi gaya

tarik-menarik antara molekul-molekul zat yang diadsorpsi dengan molekul-molekul zat

yang mengadsorpsi yang terjadi hanya pada permukaan adsorben (Sulaiman, H.

1997). Bahan yang dipakai untuk melakukan proses adsorpsi dinamakan

adsorben, sedangkan bahan yang dijerap disebut adsorbat (Kumar, K. et al., 2004). Kebanyakan adsorben adalah bahan yang mempunyai porositas tinggi

untuk menempatkan adsorbat pada dinding pori. Dalam proses penjerapan,

permukaan adsorben yang sifatnya polar akan mengikat molekul yang sifatnya

polar dan permukaan adsorben nonpolar akan mengikat molekul yang sifatnya

nonpolar (Sunarno, 2000)

Adsorpsi pada fase padat diklasifikasikan kedalam adsorpsi kimia

(kemisorpsi) dan adsorpsi fisika (Fisisorpsi). Dalam adsorpsi kimia, reaksi kimia

terjadi pada permukaan padatan dan gas tertahan pada permukaan padatan yang

relatif merupakan ikatan kimia yang kuat. Dalam adsorpsi fisika, molekul gas

tertahan pada permukaan padatan yang relatif lemah karena terjadi ikatan

(7)

Gaya Van der Waals merupakan salah satu jenis interaksi elektrostatis

yang kekuatan ikatannya sangat lemah dibandingkan ikatan kimia lainnya seperti

ikatan ionik, kovalen, kovalen koordinasi, dan ikatan logam. Berdasarkan

kepolaran molekul, ada tiga tipe gaya Van der Waals yang ditemukan oleh

ilmuwan sains yang berbeda-beda dimana tipe ini diberi nama sesuai dengan

nama penemunya, yaitu:

2.2.1.3.1. Gaya Keesom

Interaksi ini terjadi antara sesama molekul kovalen polar yang memiliki momen

dipol permanen. Momen dipol permanen ini terjadi karena adanya perbedaan

sebaran densitas elektron yang tidak merata pada semua bagian atom-atomnya

dimana elektron akan lebih banyak berkumpul pada atom yang lebih

elektronegatif dibandingkan atom lainnya. Ketika molekul-molekul polar ini

berdekatan satu dengan yang lainnya, maka kutub positif dari satu molekul akan

berikatan dengan kutub negatif molekul lain. Interaksi ini merupakan interaksi

yang lebih kuat diantara keempat tipe gaya Van der Waals.

Contoh: H3N----HCl

N

H H Cl

Atom N yang lebih elektronegatif akan cenderung menarik elektron ke arahnya

sehingga densitas elektron pada N lebih tinggi daripada H. Demikian juga pada

HCl, densitas elektron pada Cl lebih tinggi daripada H. Gaya intermolekul ini

terjadi antara atom N dari molekul NH3 dengan atom H dari molekul HCl.

2.2.1.3.2. Gaya Debye

Interaksi ini terjadi antara molekul kovalen polar dan molekul kovalen nonpolar.

Ketika molekul nonpolar berdekatan dengan molekul polar, maka kutub positif

dari molekul polar berinteraksi dengan elektron pada molekul nonpolar sehingga

(8)

Contoh: OH2---O2

+

-H2O

Kovalen Polar

O2

Kovalen Nonpolar

H2O O2

Dipol

Permanen DipolTerinduksi

- + - + - +

2.2.1.3.3. Gaya London

Interaksi ini terjadi antara sesama molekul kovalen nonpolar. Ketika sesama

molekul kovalen nonpolar saling berdekatan maka, masing-masing molekul

tersebut cenderung mengalami self-polarised membentuk dipol terinduksi akibat adanya osilasi awan-awan elektron yang akan menyebabkan densitas elektron

pada satu atom lebih besar daripada atom lainnya sehingga molekul tersebut

menjadi sedikit polar. Contohnya adalah interaksi N2, O2 . Interaksi ini merupakan

interaksi yang paling lemah diantara gaya Van der Waals (Madan, R.D. 2003).

2.2.1.4. Adsorpsi Menggunakan Polimer Sebagai Adsorben

Baharin (1998) telah mengadsorpsi karotenoida dari CPO dengan proses

kromatografi kolom menggunakan adsorben suatu resin berpori, yaitu kopolimer

stirena-divinil benzene. Proses tersebut dilakukan dengan menempatkan adsorben

yang telah dicuci dengan alkohol kedalam kolom, kondisi kolom dijaga pada suhu

40-60oC. CPO dilarutkan dalam 400 ml isopropil alkohol (IPA) atau etanol

kemudian dimasukkan kedalam kolom, dan larutan CPO dalam IPA atau etanol

ditampung, setelah itu kedalam kolom ditambahkan n-heksana sebanyak 300 ml,

larutan CPO dalam n-heksana ditampung. Pelarut dari kedua larutan tersebut

diuapkan dengan rotary-evaporator kemudian ditimbang padatan yang diperoleh.

Karotenoida yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer, dan

hasil tertinggi diperoleh sebesar 108.929 ppm menggunakan adsorben diaion

(9)

Karlina (2012) menggunakan adsorben polimer yaitu kalsium polistirena

sulfonat untuk mengadsorpsi karotenoida dari metil ester kasar. Kadar karotenoida

dalam metil ester kasar sebesar 601 ppm. Proses adsorpsi dilakukan dengan

mencampurkan metil ester kedalam etanol kemudian karotenoidanya diadsorpsi

dengan adsorben kalsium polistirena sulfonat, sambil diaduk untuk

menyempurnakan penyerapan, kemudian adsorben yang mengandung karotenoida

dipisahkan dari campuran metil ester dengan sentrifugasi. Karotenoida yang

terserap dalam adsorben kemudian didesorpsi dengan pelarut n-heksana, dan

setelah pelarutnya diuapkan diperoleh karotenoida dengan konsentrasi sebesar

116.000 ppm, telah terjadi pemekatan sebanyak 193 kali.

Lois (2014) mengadsorpsi tokoferol dan tokotrienol dari metil ester

minyak kemiri, dengan menggunakan 2 jenis adsorben, yaitu garam Ca dari

polistirena sulfonat ( derajat sulfonasi >30%, larut dalam air) dan garam Ca dari

polistirena sulfonat ( derajat sulfonasi <30%, larut dalam kloroform). Hasil

adsorpsi tertinggi dihasilkan dengan menggunakan adsorben berderajat sulfonasi

>30% terhadap tokotrienol yaitu sebesar 100%, hasil desorpsinya sebesar 1,1%,

sedangkan hasil desorpsi tertinggi diperoleh dengan menggunakan adsorben

berderajat sulfonasi <30% terhadap tokoferol yaitu sebesar 2,3%, hasil

adsorpsinya sebesar 99,1%.

Garam M-PSS (M= Na, Mg, Ca, Sr dan Ba; PSS = Polistirena Sulfonat )

juga telah digunakan Justaman (2014) untuk mengadsorpsi karotenoida dari CPO,

polistirena sulfonat yang digunakan berderajat sulfonasi 9,1%. Proses penyerapan

dilakukan dengan mencampurkan CPO dalam etanol kemudian ditambahkan

adsorben, dilakukan pengocokan untuk menyempurnakan penyerapan

karotenoida, kemudian adsorben yang mengandung karotenoida dipisahkan dari

larutan CPO dengan sentrifugasi. Karotenoida yang terserap pada adsorben

kemudian didesorpsi dengan pelarut n-heksana. Hasil tertinggi yang diperoleh

terlihat pada proses desorpsi dengan menggunakan garam Ca-PSS yaitu sebesar

84,53%, hasil adsorpsinya sebesar 75,78%.

(10)

2.3. Ikatan Hidrokarbon Tak Jenuh Dengan Orbital σ Logam

Hidrokarbon tak jenuh seperti alkena mengandung satu atau lebih ikatan rangkap

karbon-karbon. Alkena yang paling sederhana adalah etena dengan rumus C2H4.

Ikatan rangkap terkonjungasi adalah ikatan rangkap yang dipisahkan oleh

masing-masing satu ikatan tunggal. Adanya ikatan rangkap terkonjungasi dalam satu

molekul akan memberikan sifat fisik dan kimia yang khusus. Banyak molekul

yang mengandung sistem ikatan rangkap terkonjungasi mengadsorpsi panjang

gelombang spesifik dari sinar tampak (Stoker, H.S, 1991).

Alkena sederhana adalah ligan dihapto yang dapat mendonasikan densitas

elektron dari orbital π yang terisi ke orbital σ kosong dari logam (Gambar β.β. a )

dan selanjutnya orbital π* dari ligan akan menerima densitas elektron dari orbital d

logam yang terisi (Gambar 2.2. b ). Penjelasan ikatan logam-alkena karena donasi

densitas elektron dari orbital π alkena ke orbital σ kosong logam dan secara

bersamaan terjadi penerimaan densitas elektron oleh orbital π* alkena yang

kosong

dari orbital d logam yang terisi tersebut dikenal dengan model

Dewar-Chatt-Duncanson (DCD). Aliran desitas elektron dari orbital d logam yang terisi ke

orbital π* alkena disebut backdonation, dan ini terjadi pada logam-logam transisi

(11)

C

C H H

H H

C

C H H

H H

a

b

M

M

H

Gambar 2.2. Interaksi alkena dengan logam : (a) donasi densitas elektron dari

orbital π ligan alkena ke orbital σ kosong logam, (b) Backdonation densitas elektron dari orbital d logam yang terisi ke orbital π*

alkena yang kosong.

Dalam hal logam nontransisi seperti kalsium, yang terjadi hanya donasi

densitas elektron dari orbital π alkena ke orbital σ kosong logam kalsium seperti

terlihat pada Gambar 2.3 berikut.

Ca

C

C H

H

H

Gambar 2.3. Donasi densitas elektron dari orbital π ligan alkena ke orbital σ

(12)

2.4. Reaksi Sulfonasi

Sulfonasi merupakan reaksi substitusi untuk memasukkan gugus –SO3H kedalam

molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbon, sangat jarang pada atom

nitrogen. Reaksi sulfonasi ini adalah reaksi elektrofilik, sehingga sangat

bergantung pada jenis gugus yang terikat pada cincin aromatis. Agen pensulfonasi

yang umumnya digunakan adalah H2SO4 dan SO3. Pada umumnya, reaksi

sulfonasi ini digunakan untuk memodifikasi ahan polimer yang memiliki cincin

aromatis sebagai rantai utamanya. Sulfonasi polimer aromatic merupakan reaksi

yang sangat kompleks karena reversibilitasnya (Pinto, B.P., dkk, 2006).

Sulfonasi terhadap senyawa aromatis seperti benzena dengan asam sulfat

berasap (H2SO4) menghasilkan asam benzensulfonat dapat dilihat pada Gambar

berikut.

SO3 H2SO4

40 Co

SO3

H

SO3H

asam benzenasulfonat 50%

Gambar. 2.4. Reaksi pembuatan asam benzenasulfonat

Reaksi sulfonasi ini bersifat mudah balik (reversible) dan menunjukkan

efek isotop kinetik yang sedang, dimana ion benzenonium sebagai zat antara

dalam reaksi dapat kembali ke benzena atau terus ke asam benzenasulfonat

dengan hamper sama mudahnya. Gugus asam sulfonat mudah digantikan oleh

aneka ragam gugus lain. Oleh karena itu, pada reaksi sulfonasi, asam arilsulfonat

merupakan zat antara yang bermanfaat dalam sintesis (Fessenden dan Fessenden,

(13)

2.5. Polistirena Sulfonat

Polistirena sulfonat merupakan turunan dari polistirena yang dibuat melalui reaksi

sulfonasi polistirena dengan suatu agen pensulfonasi, baik dengan reaksi homogen

maupun heterogen. Agen pensulfonasi yang sering digunakan adalah H2SO4

pekat, SO3, campuran trietil fosfat dan SO3, serta larutan asetil sulfat dalam

dikloroetana (Martins et al. 2003). Adapun reaksi polistirena dengan agen

pensulfonasi asetil sulfat adalah sebagai berikut.

+

Gambar 2.5. Reaksi sulfonasi polistirena dengan agen pensulfonasi asetilsulfat

Kelarutan dari polistirena sulfonat tergantung pada derajat sulfonasi dan

jenis pelarutnya. Asam polistirena sulfonat dengan derajat sulfonasi diatas 30 %

bersifat larut dalam air sedangkan, asam polistirena sulfonat dengan derajat

sulfonasi di bawah 30 % bersifat larut dalam pelarut organik, misalnya kloroform

(14)

2.6. Kalsium Polistirena Sulfonat

Polistirena disulfonasi dengan asetil sulfat yang dibuat dari asetat

anhidrida dan asam sulfat pekat dalam pelarut kloroform, akan menghasilkan

asam polistirena sulfonat. Asam polistirena sulfonat yang dihasilkan ada dua jenis

yaitu, asam polistirena sulfonat yang larut dalam air dan asam polistirena sulfonat

yang tidak larut dalam air namun larut dalam kloroform. Asam polistirena

sulfonat yang larut dalam kloroform kemudian ditambahkan dengan NaOH

hingga pH=7 menghasilkan garam natrium polistirena sulfonat. Adanya

kemungkinan asam sulfat yang tersisa dan asam asetat sebagai hasil samping,

menyebabkan terbentuknya garam Na2SO4 dan CH3COONa. Na2SO4 dan

CH3COONa ini akan dipisahkan dengan penambahan etanol, karena kedua garam

ini lebih larut dalam etanol sehingga natrium polistirena sulfonat yang diperoleh

lebih murni. Natrium polistirena sulfonat yang diperoleh selanjutnya dilarutkan

kembali dalam kloroform lalu ditambahkan dengan CaCl2 sehingga menghasilkan

kalsium polistirena sulfonat.

(15)

2.7. Desorpsi

Desorpsi adalah proses pelepasan molekul-molekul adsorbat dari permukaan

adsorben. Desorpsi dapat terjadi karena interaksi antara molekul adsorbat dengan

adsorben relatif lebih lemah sehingga dapat lebih mudah dilepaskan dari

permukaan adsorben

Untuk memperlemah interaksi antara adsorben dengan adsorbat dapat

dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : (Sulaiman, A.H. 1997)

1. Menaikkan temperatur

Proses desorpsi membutuhkan energi panas (endotermik). Dengan

menaikkan temperatur sistem maka, interaksi molekul adsorbat dengan

adsorben akan menjadi lebih lemah sehingga molekul adsorbat menjadi

lebih mudah dilepaskan dari permukaan adsorben.

2. Menambahkan zat-zat kimia/pelarut

Dalam hal ini, molekul adsorbat yang teradsorpsi akan didesorpsi dengan

menambahkan zat-zat kimia (pelarut) yang sifatnya lebih kuat berinteraksi

dengan molekul adsorbat daripada interaksi antara adsorben dengan molekul

adsorbat.

Dalam penelitian ini, karotenoida yang teradsorpsi oleh kalsium

polistirena sulfonat akan didesorpsi dengan menambahkan pelarut etanol kering

secara berulang sebanyak empat kali sehingga dapat memutuskan ikatan antara

Gambar

Tabel 2.1. Jenis-jenis karotenoida dan komposisinya dalam komponen minor
Gambar. β.1. Struktur �-karoten
Gambar 2.2. Interaksi alkena dengan logam : (a) donasi densitas elektron dari
Gambar. 2.4. Reaksi pembuatan asam benzenasulfonat
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

5 AMALIAH GUSFADILAH 6 Ananda Adiyatma Putra 7 ANNISA AMALIA NURAINI 8 Ardhi mas Ilham BP 9 ARDIA REGITA PRAMESTI 10 Arka Fadila Yasa. 11 Putu Napoleon Krishna Bayu 12 Reza

‘Improvements’ have been introduced at several levels: the overall profile of the structure has been made to conform to the bending moment diagram for gravitational load, the

Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, anjir, kanal dan terusan untuk mengangkut

Dewi-Fortuna dalam pengambilan keputusan menerima atau menolak pesan khusus meja kantor dengan menggunakan analisis akuntansi diferensial yaitu dengan membandingkan antara

[r]

Sangatlah penting untuk mengetahui tingkat likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas agar perusahaan dapat melakukan tindakan-tindakan atau evaluasi kinerja yang dapat

bahwa untuk terkoordinirnya kegiatan pengelolaan Teknologi dan Komunikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Tim Pengelola Teknologi Informasi dan